Ustazah Nazira. Tiba-tiba aku merasa ada sembilu yang menyayat perlahan di ulu hati. Akhtar berbasi-basi dengan perempuan itu. Sedangkan aku memasang wajah tidak suka.“Mbak Maikana apa kabar?”“Saya baik.” Kujawab sekenanya.“Maaf saya nggak tahu kalau Mbak ada disini. Mas Akhtar nggak ngomong apa-apa semalam.”Kelopak mataku melebar sempurna mendengar penuturannya. Mas Akhtar nggak ngomong apa-apa? Maksudnya apa?“Euh, semalam waktu menelepon Mas Akhtar Cuma bilang kalau Shaili sakit “ Dia menyunggingkan senyum. Memperbaiki ucapannya.Dia menelepon perempuan ini memberitahu kalau Shaili sakit. Sedangkan aku, orang yang sangat dibutuhkan Shaili justru Randy yang mengabariku. Dasar brengsek. Oh, sekarang aku tahu mungkin inilah penyebab segalanya berubah.Mataku nyalang menatap mereka bergantian. Perasaan marah merambati darahku. Udara di dalam ruangan inj mendadak gerah. Padahal sebelumnya adem-adem saja. Pasti karena kedatangan penganggu ini. Menyebalkan. Rupanya dia membawakan mak
“Diiihh ... Antusias banget.”“Besok kita mau kedatangan tamu dari Bandung. Teman Papa dulu waktu kuliah mau memperkenalkan anaknya sama kamu.”“Kenalin sama Mai? Kok ...?”Aku merasa bingung. Menatap bergantian pada papa dan Kak Sarah.“Iya. Sudah tunggu besok aja. Rencananya memang nunggu kamu pulang dari Jogja. Eh, kebetulan Mai udah datang. Jadi tadi nggak lama kamu datang Papa kasih tahu Ustad Husni. Insya Allah besok mereka datang.”“Memangnya ada apa sih, Pa. Kok Mai nggak dilibatkan.”“Nggak ada apa-apa. Cuma silaturhami kekeluargaan. Sudah lama Papa nggak ketemu Ustad Husni. Eh ... Dengar kabar beliau sibuk berdakwah juga mengelola yayasan yatim piatunya.”Aku mengangguk saja. Meski tak paham arah pembicaraan papa. Kak Sarah cengar-cengir saja. Membuatku jengkel._____Sejak subuh buta Kak Sarah meminta segera bersiap-siap. Berpakaian serapi mungkin. Bi Nah tak kalah sibuk menyiapkan suguhan untuk menyambut tamu. Padahal aku masih mengantuk. Lagi pula aku merasa gelisah dan s
"Cinta bukanlah sebuah ketidaksengajaan tetapi satu hal yang telah Allah rencanakan"____“Neng kenapa?”Dia menatapku panik. Aku menggeleng buru-buru. Tentu saja aku tidak ingin mencederai apa yang Papa sudah rencanakan matang-matang.“Nggak apa-apa, Kang. Karena belum sarapan aja mungkin.” Kupaksakan tersenyum menahan sekuat mungkin.Dia tetap menatap cemas. Mimiknya menegang. Meski aku berusaha meyakinkannya Tapi rasa sakit itu bukannya berkurang justru kian mendera. Otot perutku seperti ditarik dengan kuat. Kepalaku serasa berputar. Kali ini dia tak tahan hanya memandangiku yang semakin kesakitan. Dia bangkit menahan bahuku sembari memanggil papa.Menit selanjutnya aku tak sanggup lagi berbicara. Tubuhku gemetar hebat. Keringat dingin bertimbulan membasahi kening dan punggung. Kak Sarah berlari panik memegang pelipisku. Menyusul papa yang berjalan tertatih diikuti ustaz Husni. Keadaan menjadi panik. Kemudian aku menjadi sangat lemas. Terkulai tanpa daya. Dia membopongku masuk k
Menjelang waktu dzuhur kang Imam pamit sebentar ke masjid yang masih satu area dengan rumah sakit untuk melaksanakan salat. Sepeninggalnya, papa mengulang kembali menyampaikan mengenai diri Kang Imam. Ya, aku tahu arah pembicaraan papa. Sebenarnya aku ingin menyatakan keberatan. Maksudnya kenapa Kak Sarah dan papa tidak meminta persetujuanku terlebih dahulu. Tapi perkataan papa selanjutnya membuatku mengurungkan niat.“Dia laki-laki yang baik, Mai. Baik iman juga akhlaknya. Papa berharap dia bisa menjadi pembimbing sekaligus pemimpin untuk kamu.”Senyum papa begitu tulus. Jejak usia di gurat wajahnya menitipkan banyak harapan padaku. Papa ... Tapi aku mencintai sosok yang lain. Seluruh perasaanku telah terhempas pada satu nama, satu hati. Dan itu tidak mudah untuk diubah begitu saja. Kubenamkan kepedihan dalam-dalam. Tak ingin ada air mata yang menetes di hadapan orang yang darahnya mengakir di tubuhku. Biarlah takdir-Nya yang menentukan arah dan langkah Lamunanku beterbangan ketika
Aku mengangguk. Terus mengulang pertanyaan yang sama. Namun Randy terkesan menutup-nutupi. Berkali-kali mengatakan semua baik-baik saja. Tidak ada yang harus aku cemaskan. Sekali pun meragukan apa yang dia sampaikan. Aku tetap mengangguk mencoba mempercayainya. Barangkali aku terlalu khawatir. Bisa jadi semua memang baik-baik saja seperti yang dia katakan. Tak lebih dari satu jam kami berbincang dia pamit undur diri. Karena harus pergi ke kampus. Ada mata kuliah yang tidak bisa dia tinggalkan.Sepeninggalnya aku semakin gelisah. Tak sabar menunggu dokter melakukan pemeriksaan lanjutan. Setiap detik yang berlalu seperti tusukan jarum yang merajam di bawah kulitku. Nasib baik tak lama kemudian dokter yang melakukan diagnostik sebelumnya muncul. Beberapa pertanyaan dia ajukan dan kujawab semua dengan anggukan. Mengatakan padanya bahwa aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Tak ada keluhan yang ku rasakan. Jujur,di bagian ini terpaksa aku berbohong. Sebenarnya punggung masih terasa nyeri
Kuabaikan tatapannya. Melenggang tanpa dosa. Memberi isyarat pada Kang Imam agar dia mengikutiku. Dia bergeming. Membatu di tempat. Seiring langkahku yang menjauh.Dalam perjalanan menuju rumah Kang Imam tak banyak bicara. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia bertanya mengenai hubunganku dan Akhtar juga Shaili. Kujelaskan secara singkat. Dia mengangguk mengerti. Meski di ekspresinya masih banyak tanya yang ingin dia ajukan.”Sepertinya dia memiliki perasaan begitu dalam sama Neng.” Tebakannya lumayan mengejutkanku. Mataku terangkat. Memandanginya lekat-lekat. Lalu perlahan menggeleng.“Kami bukan siapa-siapa bagi satu sama lain,” lirihku dengan sedih. Melempar tatapan.“O ya?Aku tak merespons.Hening lagi.Hingga tiba di rumah. Tak lebih dari satu jam kami berbincang. Dan inti dari pertemuan hari ini adalah dia ingin mengenalku lebih dekat. Dan berharap kami menemukan kecocokan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sebenarnya bisa saja aku langsung menolak ga
"Kelak jika kita telah menemukan tujuan sebagai pemberhentian masing-masing. Aku berharap kita masih berkenan saling mengingat dan tak segan saling menyapa ketika berjumpa sebagai sahabat lama. Tanpa ada dendam."______Akhtar, apa aku sedang bermimpi atau kau yang mengigau?Entalah ...“Maafkan saya. Saya tidak bisa melepaskan kamu Mai. Tidak bisa .... “ Dia mendesis lirih. Menyelusup ke telinga. Menggetarkan hati “Saya mencintai kamu. Sampai kapan pun akan tetap mencintai kamu. ““Akhtar, apa saya bermimpi?”Sekali lagi kuangkat kepala. Menatap wajahnya lekat-lekat. Meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang bermimpi atau berimajinasi. Dia benar ada. Bahkan kami tak berjarak.“Tidak Mai. Kamu tidak sedang bermimpi. Semua nyata. Perasaan saya nyata. Bahkan jika bermimpi lebih memungkinkan untuk bisa sedekat ini dengan kamu saya rela untuk tidak terbangun selamanya.”Aku tidak tahu perasaan apa yang menguasaiku saat ini. Seolah sebuah gelembung yang berisi air pecah dalam dadaku. Meruahka
“Maaf, Pak Ustaz, saya masih ragu menentukan keputusan. Masih butuh waktu untuk mengenal Kang Imam lebih jauh, andai diizinkan. “Aku merasa gugup luar biasa menjawab pertanyaan yang akan menentukan kehidupanku ke depan. Bayangan wajah Akhtar bagai siluet yang berlintasan di kepala. Memberatkan langkah. Tapi mempertimbangkan kebahagiaan orang yang menyayangiku lebih utama. Aku tidak ingin beliau kecewa untuk kesekian.Papa ... Rasanya aku ingin berlari dari kenyataan. Aku ingin bahagia bersamanya bukan orang yang ada di depanku sekarang. Bagaimana jika aku tetap memaksakan diri untuk terikat dengannya namun hatiku milik orang lain? Bukankah itu sebuah pengkhianatan yang amat menyakitkan.“Nggak apa-apa. Jangan dijadikan beban.” Ustaz Husni tersenyum kecil. “Lebih cepat lebih bagus. Masalah perkenalan bisa dilanjut setelah menikah. Tapi kalau Nak Mai merasa masih ada ganjalan, ya ... Baiknya mantapkan dulu. Kita sebagai orang tua Cuma bisa mendoakan dan memberi saran terbaik.”Aku meng