Aku mengangguk. Terus mengulang pertanyaan yang sama. Namun Randy terkesan menutup-nutupi. Berkali-kali mengatakan semua baik-baik saja. Tidak ada yang harus aku cemaskan. Sekali pun meragukan apa yang dia sampaikan. Aku tetap mengangguk mencoba mempercayainya. Barangkali aku terlalu khawatir. Bisa jadi semua memang baik-baik saja seperti yang dia katakan. Tak lebih dari satu jam kami berbincang dia pamit undur diri. Karena harus pergi ke kampus. Ada mata kuliah yang tidak bisa dia tinggalkan.Sepeninggalnya aku semakin gelisah. Tak sabar menunggu dokter melakukan pemeriksaan lanjutan. Setiap detik yang berlalu seperti tusukan jarum yang merajam di bawah kulitku. Nasib baik tak lama kemudian dokter yang melakukan diagnostik sebelumnya muncul. Beberapa pertanyaan dia ajukan dan kujawab semua dengan anggukan. Mengatakan padanya bahwa aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Tak ada keluhan yang ku rasakan. Jujur,di bagian ini terpaksa aku berbohong. Sebenarnya punggung masih terasa nyeri
Kuabaikan tatapannya. Melenggang tanpa dosa. Memberi isyarat pada Kang Imam agar dia mengikutiku. Dia bergeming. Membatu di tempat. Seiring langkahku yang menjauh.Dalam perjalanan menuju rumah Kang Imam tak banyak bicara. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia bertanya mengenai hubunganku dan Akhtar juga Shaili. Kujelaskan secara singkat. Dia mengangguk mengerti. Meski di ekspresinya masih banyak tanya yang ingin dia ajukan.”Sepertinya dia memiliki perasaan begitu dalam sama Neng.” Tebakannya lumayan mengejutkanku. Mataku terangkat. Memandanginya lekat-lekat. Lalu perlahan menggeleng.“Kami bukan siapa-siapa bagi satu sama lain,” lirihku dengan sedih. Melempar tatapan.“O ya?Aku tak merespons.Hening lagi.Hingga tiba di rumah. Tak lebih dari satu jam kami berbincang. Dan inti dari pertemuan hari ini adalah dia ingin mengenalku lebih dekat. Dan berharap kami menemukan kecocokan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sebenarnya bisa saja aku langsung menolak ga
"Kelak jika kita telah menemukan tujuan sebagai pemberhentian masing-masing. Aku berharap kita masih berkenan saling mengingat dan tak segan saling menyapa ketika berjumpa sebagai sahabat lama. Tanpa ada dendam."______Akhtar, apa aku sedang bermimpi atau kau yang mengigau?Entalah ...“Maafkan saya. Saya tidak bisa melepaskan kamu Mai. Tidak bisa .... “ Dia mendesis lirih. Menyelusup ke telinga. Menggetarkan hati “Saya mencintai kamu. Sampai kapan pun akan tetap mencintai kamu. ““Akhtar, apa saya bermimpi?”Sekali lagi kuangkat kepala. Menatap wajahnya lekat-lekat. Meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang bermimpi atau berimajinasi. Dia benar ada. Bahkan kami tak berjarak.“Tidak Mai. Kamu tidak sedang bermimpi. Semua nyata. Perasaan saya nyata. Bahkan jika bermimpi lebih memungkinkan untuk bisa sedekat ini dengan kamu saya rela untuk tidak terbangun selamanya.”Aku tidak tahu perasaan apa yang menguasaiku saat ini. Seolah sebuah gelembung yang berisi air pecah dalam dadaku. Meruahka
“Maaf, Pak Ustaz, saya masih ragu menentukan keputusan. Masih butuh waktu untuk mengenal Kang Imam lebih jauh, andai diizinkan. “Aku merasa gugup luar biasa menjawab pertanyaan yang akan menentukan kehidupanku ke depan. Bayangan wajah Akhtar bagai siluet yang berlintasan di kepala. Memberatkan langkah. Tapi mempertimbangkan kebahagiaan orang yang menyayangiku lebih utama. Aku tidak ingin beliau kecewa untuk kesekian.Papa ... Rasanya aku ingin berlari dari kenyataan. Aku ingin bahagia bersamanya bukan orang yang ada di depanku sekarang. Bagaimana jika aku tetap memaksakan diri untuk terikat dengannya namun hatiku milik orang lain? Bukankah itu sebuah pengkhianatan yang amat menyakitkan.“Nggak apa-apa. Jangan dijadikan beban.” Ustaz Husni tersenyum kecil. “Lebih cepat lebih bagus. Masalah perkenalan bisa dilanjut setelah menikah. Tapi kalau Nak Mai merasa masih ada ganjalan, ya ... Baiknya mantapkan dulu. Kita sebagai orang tua Cuma bisa mendoakan dan memberi saran terbaik.”Aku meng
Ya, sebenarnya aku tidak tahu. Hatiku diliputi keengganan. Rasanya ingin mengangkat tangan ke udara dan mengatakan “aku menyerah!” aku keberatan meneruskan kesepakatan ini.Cukup panjang aku dan Kang Imam bercengkerama. Tidak satu kata pun yang menambah keraguanku. Hanya satu halnya tidak bisa kuubah sekuat apa pun aku berusaha. Perasaanku padanya. Ruang yang kusediakan untuknya, kosong. Hampa bahkan untuk seurai harapan. Maafkan aku ....Di tempat bekerja termangu-mangu. Menatap tanpa minat layar laptop yang kursornya berkedip-kedip. Laporan keuangan bulan ini kuselesaikan setengah hati. Mengabaikan salah ketik pada kolom keterangan. Akhh .... Aku benar-benar suntuk. Sepulangnya aku dikejutkan dengan kedatangan Shaila dan Shaili. Mereka berteriak-teriak menyambutku yang akan memarkir mobil ke dalam garasi. Aku menyangka mereka datang bersama Akhtar ternyata Randy yang mengantar mereka. Dan mengatakan bahwa Akhtar sudah dua hari berada di Tokyo, Jepang. Hati teriris mendengar itu. Ba
“Iya. Tenang aja. Kita bakalan jagain Mama Mai dengan baik. ““Terima kasih.”“Papa, tunggu. Ada yang Shaila mau bicarakan.”“Apa. Kok sepertinya serius sekali.”“Boleh nggak kalau kita tinggal sama Mama Mai selamanya.”Tawa Akhtar mendadak lenyap.Senyap. Shaila, Shaili berpandangan. Dan aku tiba-tiba merasa tegang menunggu responnya.“Eum ... Bagaimana kalau Papa pulang nanti kita bicarakan lagi.” Suara Akhtar kembali terdengar. Meski tampak kecewa di raut wajah mereka tetapi dua makhluk cantik itu mengangguk sepakat.“Baiklah.”“Ya sudah sampai ketemu ya.”“Papa jaga diri disana. ““Jangan ngelamun teruuussss ...” Shaili nimbrung. Membuat tawa Akhtar kembali berderai.“Shaili gitu amat. Memangnya kapan Papa ngelamun?”“Sering.” Mereka menjawab kompak.Aku yakin saat ini Akhtar salah tingkah. Tak menyangka gelagatnya tak luput dari pengamatan dua putrinya.“Kamu jaga kesehatan.” Dia mengingatkan ketika ponsel dikembalikan padaku. Lidahku menjadi kaku untuk menjawabnya. “Iya. Terim
"Betapa pun terjalnya jalan yang harus di tempuh. Cinta selalu punya cara untuk saling menemukan."_________“Bagaimana kabar Kang Imam?” Kak Sarah bertanya saat kami berada di sebuah swalayan untuk berbelanja bulanan.“Kok nanya sama Mai sih? Ya, mana tahu,” tukasku sebal. Lagian ada-ada saja memangnya aku emaknya yang selalu tahu keadaan Kang Imam.“Iih, jutek amat! Pasti mikirin Akhtar lagi.“Sok tahu.”“Udah jangan bohong. Nggak satu pun hal yang membuat kamu begitu uring-uringan. Kecuali laki-laki itu.”Mata Kak Sarah mendelik. Mengamati air wajahku. Aku membuang muka. Berjalan ke pojok buah-buahan dengan tidak berminat. Memasukkan pisang, durian, melon dan apel ke dalam keranjang secara sembarang kemudian tergesa mendorong troli menuju kassa. Meninggalkan Kak Sara yang masih celingukan mencari beberapa barang dalam daftar yang di pegang sedari tadi. Terserah saja. Yang terpenting aku sudah menyelesaikan bagianku : sayur dan buah.Dalam perjalanan pulang dia masih berusaha mengor
Perasaanku seolah akan meletup. Setelah mengucapkan terima kasih aku melesat masuk ke dalam lift. Menekan tombol angka 9. Benakku begitu kacau. Bahkan aku lupa apa saja yang akan kukatakan padanya.Ting.Kuserat kaki keluar dari lift berjalan di koridor yang dingin dan senyap. Tak ada seorang pun di sana. Beberapa ruangan pintu masih tampak terbuka. Aku lupa di ruangan mana. Kukira di satu lantai hanya ada satu ruangan terbuka. Tapi ternyata tidak. Sedikit membingungkan. Tiba-tiba aku terkesiap saat sebuah tangan meraih jemariku dan menariknya pelan. Sewaktu aku memutar badan ternyata dia. Napasku tersekat.“Mai ...”Dia membimbingku masuk ke sebuah ruangan dan menutup rapat pintu. Untuk beberapa lama kami sama terpaku. Terperangkap dalam diam yang panjang. Seolah berdiri di tepi jurang yang dalam. Tak ada yang berniat untuk memulai. Tiba-tiba aku merasa luruh. Kehilangan daya untuk mengucapkan apa yang seharusnya kusampaikan. Tapi hanya detik ini saja yang tersisa. Bisa jadi setelah
Di rumah aku menjadi tidak bersemangat. Segala hal kukerjakan setengah hati. Meski begitu aku berusaha tetap tersenyum dihadapan Kang Imam. Dan malam hari adalah siksaan bagiku. Sewaktu Kang Imam memeluk bayangan Akhtar mengikat kuat ingatanku. Aku disergap perasaan bersalah. Di mataku Kang Imam menjadi sosok lain, sosok orang yang kucintai. Apalagi ketika Kang Imam melayaninya, aku semakin tersiksa imajinasiku bergerak liar. Aku tak mampu menepisnya, Akhtar menguasaiku. Dan puncaknya malam ini, saat jemariku mencengkeram punggung Kang Imam tiba-tiba nama Akhtar terlontar dari bibirku. Aku terkesiap. Kang Imam menatapku meradang. Dia berguling ke samping tak menuntuskan hasratnya.Aku menangis. Menangisi ketidakberdayaanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Sepanjang malam itu kami sama-sama diam."Jujurlah dengan perasaan kamu, Neng?" ucap Kang Imam malam berikutnya. Dia menatapku dalam-dalam. Seakan ingin mengorek apa yang tersembunyi di balik mataku."Maafkan aku, Kang." Air mata
Tiga bulan berjalan rumah tanggaku dan Kang Imam tampak baik-baik saja. Aku tetap melayani dia selayaknya istri yang baik. Meskipun Kang Imam tidak mengizinkan aku bekerja, sesekali dia mengizinkan aku membantu Kak Sarah. Di sela-sela itulah diam-diam aku mencuri waktu menemui Shaila dan Shaili. Mereka berteriak histeris saat aku datang. Aku tak kuasa membendung air mata. Kupeluk mereka erat-erat seolah-olah tidak mau berpisah."Kita kangen sama Mama Mai." Shaili sesegukan di bahuku. Shaila memegang erat bahuku."Mama juga Sayang. Kalian sehat kan?"Keduanya mengangguk. Ibu Akhtar menyembunyikan air mata. Aku memeluknya dengan perasaan frustasi. Apakah cinta harus menyakiti banyak hati. Andai aku dan Akhtar menikah mungkin air mata ini tak akan pernah ada."Papa Akhtar, di Itali Mama. Katanya dua minggu lagi pulang."Aku mengangguk mengusap air mata keduanya."Tapi Papa baik-baik aja kan?""Papa Akhtar baik Ma."Aku dan Ibu Akhtar tak banyak bicara. Beliau seakan tahu perasaanku. Di b
Satu jam berikutnya setelah Randy meninggalkan ruangan, aku masih tepekur di tempat yang sama. Mendengarkan dengan seksama kata-kata Randy yang masih menggema di kepala. Impotensi. Napasku kembali tersekat. Gemetar. Susah payah menghapus pikiran buruk mengenai dia. Ingin sekali tidak mempercayai ini. Bisa jadi hanya gangguan psikis sementara di sebabkan dia sering kelelahan. Aku yakin bisa disembuhkan. Kenapa dia harus mengambil keputusan sepihak? Andai aku tahu sejak awal mungkin aku tidak akan rela menjauh darinya. Lebih memilih tetap bersamanya. Memberinya kekuatan agar bisa melewati hari-hari yang berat, waktu-waktu yang sulit. Dengan saling melepaskan seperti ini sama artinya saling menyakiti. Aku tidak mengerti kenapa dia begitu yakin menyangka aku menderita jika tetap memilih bersamanya. Padahal seterjal apa pun jalan yang mesti dilewati asalkan langkah tetap searah aku percaya semua bisa teratasi.Tapi kenapa seterlambat ini. Aku tak bisa mundur begitu saja. Pernikahanku
Randy mengatakan sudah dua malam dia tidak pulang ke rumah. Aku mendatangi bengkelnya tapi salah seorang karyawannya memberitahuku kalau Akhtar baru saja pulang. Dengan hati yang di penuhi harap cemas aku kembali melajukan mobil, aku tahu ke mana dia pergi.Dari jalan aku menatap bangunan dua tingkat itu, tampak lampu menyala. Dengan langkah yang semakin gemetar aku masuk cahaya suram dari lampu yang menempel di dinding dekat tangga membentuk siluet panjang tubuhku . Kutarik napas, menegarkan hati andai Akhtar tetap menolak aku akan siap. Anak tangga demi anak tangga kulewati dengan jantung yang kian bergemuruh. Sekujur tubuhku lemas. Kini aku tiba di puncak tangga kulihat dia sedang berdiri melamun dekat jendela. Pandangannya terlempar jauh. Seakan tak menyadari kehadiranku.Aku berjalan mendekat. Namun betapa kagetnya sewaktu mendengar suaranya."Mau apa kamu ke sini. Nggak ada yang perlu kita bahas lagi."Air mataku hampir jatuh bahkan sebelum aku menyampaikan maksudku."Akhtar, R
"Kesetiaan tak ubahnya seperti cahaya lampu-lampu yang redup. Menyala sekejap lalu padam dengan cepat."____Aku pernah mengira-ngira apa yang dinamakan cinta sejati. Apa semacam perasaan mendalam pada seseorang, hingga tak ada hal yang bisa menggantikan atau menghentikannya? Sebuah cinta yang hakiki yang akan dibawah sampai mati? Semacam itukah? Tapi kupikir itu tidak benar. Nyatanya perasaan cinta seringkali hanya singgah sebentar untuk kemudian berubah seiring masa dan pergantian waktu. Seperti halnya yang terjadi padaku, mencintai seseorang dengan begitu mendalam. Sempat aku menyangka bahwa dialah belahan jiwa yang Tuhan kirimkan untuk menemaniku mengarungi luasnya samudera kehidupan. Demi dia seakan-akan aku sanggup melakukan apapun agar tetap dibersamakan dengannya selamanya. Akan tetapi apa yang terjadi tidaklah segemilang yang ada dibayangkan.Dia memilih pergi.Meruntuhkan segenap kekuatan, meluruhkan rasa hingga tiada lagi yang tersisa selain kebencian yang sama besarnya.Dan
POV Akhtar.Terkadang tak butuh sebuah alasan mengapa kita bersedia menunggu. Menunggu demi sesuatu yang sudah pasti tidak akan terjadi. Menunggu untuk satu hal yang sudah jelas dan terang benderang kenyataannya. Bukan sebuah kemungkinan, antara 'iya' dan 'tidak'. Namun secara sadar menerima dengan kelapangan hati bahwa tidak ada yang salah. Tak mengapa jika memang ingin melakukannya. Ego sering kali butuh ruang untuk itu Laksana menyimpan harapan-harapan yang patah atau mendekap mimpi-mimpi yang rapuh lagi semu. Yang tiada lain kata akhirnya ada kesia-siaan. Tapi aneh aku tetap mampu tersenyum. Tak ada rasa kecewa. Tentu saja, aku sudah merelakannya.Aku bahagia melihatnya hari itu. Dia tersenyum memandang lelaki yang kini berstatus suaminya. Senyum yang amat manis yang sudah puluhan kali ia berikan padaku. Sekali pun aku tidak tahu apa itu senyum yang sama.Berbahagialah Mai. Aku akan turut bahagia.Kau terlalu berharga untuk sebuah cinta yang tidak sempurna seperti diriku. Di kehi
Dia akan membangunkanku jika waktu subuh datang. Lalu tak lupa bertanya seperti yang sudah-sudah, “Apa mau shalat subuh berjamaah?” Sekali pun tahu akan menerima jawaban yang sama tapi dia tidak bosan mengajukan pertanyaan yang sama. “Nggak, Kang. Saya mau shalat sendiri aja.”Meski begitu dia tetap mengulas senyum. Kemudian undur diri untuk berjamaah di masjid. Sebenarnya aku mulai berpikir untuk memenuhi permintaannya, kenapa tidak. Sebaiknya aku mulai membiasakan diri dengannya. Dia suami sekaligus imam bagiku jadi kenapa tidak belajar banyak hal dan menimba ilmu darinya? Tapi masalahnya aku masih merasa serba canggung.Dua minggu berlalu. Kang Imam akan mengawali aktivitas barunya sebagai dosen di sebuah Universitas Islam di Bandung. Aku agak tersentak mendengarnya dan baru ingat bahwa Kang Imam pernah menyampaikan ini sebelumnya. Hanya saja aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Jadi aku tidak ingat. Namun dia mengatakan tidak akan serta-merta membawaku pindah ke kotanya. D
"Sekoyak apa pun luka, seiring waktu ia kan sembuh. Jadi jangan pernah meminta untuk kembali bertemu."_________Hari itu tiba. Didampingi Kak Sarah dan Papa aku menuju ke ruang tamu dimana keluarga Kang Imam dan Penghulu sudah menunggu. Kak Sarah membantuku duduk disamping Kang Imam yang beberapa menit lagi akan menjadi suamiku. Beberapa saat tatapannya terpaku padaku. Wajahnya menyemburat. Terlihat gugup. Dia tampak elegan dan berwibawa dalam balutan pakaian khas sunda berwarna putih tulang. Sedangkan aku berusaha mengenakan gaun syar'i sesuai permintaan Kang Imam. Dengan hijab panjang yang hampir menutupi seluruh tubuh. Tentu saja aku harus memantaskan diri dengan keluarga Kang Imam yang notabene religius untuk menjadi bagian dari mereka.Dalam suasana yang sederhana prosesi sakral kami berlangsung khidmat. Dihadiri kerabat dan sahabat dekat saja. Sekali pun sempat gugup namun Kang Imam mampu menyempurnakan kalimat ijab-qabul. Dan berakhir dengan ucapan “Sah!” dari saksi. Aku tid
Tapi aku membuat kesepakatan dengan Kak Sarah bahwa aku tidak mau direpotkan segala hal yang bersangkutan dengan ritual sakral itu. Apalagi harus mencari dan memilih gaun pengantin. Bagiku tidak penting. Aku ingin acara ijab-qobul dilaksanakan sesederhana dan sesingkat mungkin. Kak Sarah mengangguk setuju.Dua hari berikutnya keluarga besar Kang Imam datang. Membawa berbagai hantaran. Aku tak begitu mendengar apa yang dibicarakan. Yang terpenting sudah tercapai kesepakatan. Lagi pula aku malas menceritakan bagian ini. Terserah bagaimana baiknya menurut mereka. Wajah Kang Imam tampak sumringah. Garis bibirnya melengkung mengulas senyum. Meski belum menempatkannya di bagian tertentu di sudut hatiku. Tapi aku sama sekali tak meniatkan diri untuk menolaknya. Bagiku dia tak perlu menjadi seperti sosok yang kuinginkan. Cukup menjadi lelaki yang baik dan bertanggung jawab.Hari senin di pilih Ustaz Husni untuk meresmikan hubungan kami. Dan berati 6 hari dari sekarang. Tak ada lagi keraguan.