“Maaf, Pak Ustaz, saya masih ragu menentukan keputusan. Masih butuh waktu untuk mengenal Kang Imam lebih jauh, andai diizinkan. “Aku merasa gugup luar biasa menjawab pertanyaan yang akan menentukan kehidupanku ke depan. Bayangan wajah Akhtar bagai siluet yang berlintasan di kepala. Memberatkan langkah. Tapi mempertimbangkan kebahagiaan orang yang menyayangiku lebih utama. Aku tidak ingin beliau kecewa untuk kesekian.Papa ... Rasanya aku ingin berlari dari kenyataan. Aku ingin bahagia bersamanya bukan orang yang ada di depanku sekarang. Bagaimana jika aku tetap memaksakan diri untuk terikat dengannya namun hatiku milik orang lain? Bukankah itu sebuah pengkhianatan yang amat menyakitkan.“Nggak apa-apa. Jangan dijadikan beban.” Ustaz Husni tersenyum kecil. “Lebih cepat lebih bagus. Masalah perkenalan bisa dilanjut setelah menikah. Tapi kalau Nak Mai merasa masih ada ganjalan, ya ... Baiknya mantapkan dulu. Kita sebagai orang tua Cuma bisa mendoakan dan memberi saran terbaik.”Aku meng
Ya, sebenarnya aku tidak tahu. Hatiku diliputi keengganan. Rasanya ingin mengangkat tangan ke udara dan mengatakan “aku menyerah!” aku keberatan meneruskan kesepakatan ini.Cukup panjang aku dan Kang Imam bercengkerama. Tidak satu kata pun yang menambah keraguanku. Hanya satu halnya tidak bisa kuubah sekuat apa pun aku berusaha. Perasaanku padanya. Ruang yang kusediakan untuknya, kosong. Hampa bahkan untuk seurai harapan. Maafkan aku ....Di tempat bekerja termangu-mangu. Menatap tanpa minat layar laptop yang kursornya berkedip-kedip. Laporan keuangan bulan ini kuselesaikan setengah hati. Mengabaikan salah ketik pada kolom keterangan. Akhh .... Aku benar-benar suntuk. Sepulangnya aku dikejutkan dengan kedatangan Shaila dan Shaili. Mereka berteriak-teriak menyambutku yang akan memarkir mobil ke dalam garasi. Aku menyangka mereka datang bersama Akhtar ternyata Randy yang mengantar mereka. Dan mengatakan bahwa Akhtar sudah dua hari berada di Tokyo, Jepang. Hati teriris mendengar itu. Ba
“Iya. Tenang aja. Kita bakalan jagain Mama Mai dengan baik. ““Terima kasih.”“Papa, tunggu. Ada yang Shaila mau bicarakan.”“Apa. Kok sepertinya serius sekali.”“Boleh nggak kalau kita tinggal sama Mama Mai selamanya.”Tawa Akhtar mendadak lenyap.Senyap. Shaila, Shaili berpandangan. Dan aku tiba-tiba merasa tegang menunggu responnya.“Eum ... Bagaimana kalau Papa pulang nanti kita bicarakan lagi.” Suara Akhtar kembali terdengar. Meski tampak kecewa di raut wajah mereka tetapi dua makhluk cantik itu mengangguk sepakat.“Baiklah.”“Ya sudah sampai ketemu ya.”“Papa jaga diri disana. ““Jangan ngelamun teruuussss ...” Shaili nimbrung. Membuat tawa Akhtar kembali berderai.“Shaili gitu amat. Memangnya kapan Papa ngelamun?”“Sering.” Mereka menjawab kompak.Aku yakin saat ini Akhtar salah tingkah. Tak menyangka gelagatnya tak luput dari pengamatan dua putrinya.“Kamu jaga kesehatan.” Dia mengingatkan ketika ponsel dikembalikan padaku. Lidahku menjadi kaku untuk menjawabnya. “Iya. Terim
"Betapa pun terjalnya jalan yang harus di tempuh. Cinta selalu punya cara untuk saling menemukan."_________“Bagaimana kabar Kang Imam?” Kak Sarah bertanya saat kami berada di sebuah swalayan untuk berbelanja bulanan.“Kok nanya sama Mai sih? Ya, mana tahu,” tukasku sebal. Lagian ada-ada saja memangnya aku emaknya yang selalu tahu keadaan Kang Imam.“Iih, jutek amat! Pasti mikirin Akhtar lagi.“Sok tahu.”“Udah jangan bohong. Nggak satu pun hal yang membuat kamu begitu uring-uringan. Kecuali laki-laki itu.”Mata Kak Sarah mendelik. Mengamati air wajahku. Aku membuang muka. Berjalan ke pojok buah-buahan dengan tidak berminat. Memasukkan pisang, durian, melon dan apel ke dalam keranjang secara sembarang kemudian tergesa mendorong troli menuju kassa. Meninggalkan Kak Sara yang masih celingukan mencari beberapa barang dalam daftar yang di pegang sedari tadi. Terserah saja. Yang terpenting aku sudah menyelesaikan bagianku : sayur dan buah.Dalam perjalanan pulang dia masih berusaha mengor
Perasaanku seolah akan meletup. Setelah mengucapkan terima kasih aku melesat masuk ke dalam lift. Menekan tombol angka 9. Benakku begitu kacau. Bahkan aku lupa apa saja yang akan kukatakan padanya.Ting.Kuserat kaki keluar dari lift berjalan di koridor yang dingin dan senyap. Tak ada seorang pun di sana. Beberapa ruangan pintu masih tampak terbuka. Aku lupa di ruangan mana. Kukira di satu lantai hanya ada satu ruangan terbuka. Tapi ternyata tidak. Sedikit membingungkan. Tiba-tiba aku terkesiap saat sebuah tangan meraih jemariku dan menariknya pelan. Sewaktu aku memutar badan ternyata dia. Napasku tersekat.“Mai ...”Dia membimbingku masuk ke sebuah ruangan dan menutup rapat pintu. Untuk beberapa lama kami sama terpaku. Terperangkap dalam diam yang panjang. Seolah berdiri di tepi jurang yang dalam. Tak ada yang berniat untuk memulai. Tiba-tiba aku merasa luruh. Kehilangan daya untuk mengucapkan apa yang seharusnya kusampaikan. Tapi hanya detik ini saja yang tersisa. Bisa jadi setelah
Tapi aku membuat kesepakatan dengan Kak Sarah bahwa aku tidak mau direpotkan segala hal yang bersangkutan dengan ritual sakral itu. Apalagi harus mencari dan memilih gaun pengantin. Bagiku tidak penting. Aku ingin acara ijab-qobul dilaksanakan sesederhana dan sesingkat mungkin. Kak Sarah mengangguk setuju.Dua hari berikutnya keluarga besar Kang Imam datang. Membawa berbagai hantaran. Aku tak begitu mendengar apa yang dibicarakan. Yang terpenting sudah tercapai kesepakatan. Lagi pula aku malas menceritakan bagian ini. Terserah bagaimana baiknya menurut mereka. Wajah Kang Imam tampak sumringah. Garis bibirnya melengkung mengulas senyum. Meski belum menempatkannya di bagian tertentu di sudut hatiku. Tapi aku sama sekali tak meniatkan diri untuk menolaknya. Bagiku dia tak perlu menjadi seperti sosok yang kuinginkan. Cukup menjadi lelaki yang baik dan bertanggung jawab.Hari senin di pilih Ustaz Husni untuk meresmikan hubungan kami. Dan berati 6 hari dari sekarang. Tak ada lagi keraguan.
"Sekoyak apa pun luka, seiring waktu ia kan sembuh. Jadi jangan pernah meminta untuk kembali bertemu."_________Hari itu tiba. Didampingi Kak Sarah dan Papa aku menuju ke ruang tamu dimana keluarga Kang Imam dan Penghulu sudah menunggu. Kak Sarah membantuku duduk disamping Kang Imam yang beberapa menit lagi akan menjadi suamiku. Beberapa saat tatapannya terpaku padaku. Wajahnya menyemburat. Terlihat gugup. Dia tampak elegan dan berwibawa dalam balutan pakaian khas sunda berwarna putih tulang. Sedangkan aku berusaha mengenakan gaun syar'i sesuai permintaan Kang Imam. Dengan hijab panjang yang hampir menutupi seluruh tubuh. Tentu saja aku harus memantaskan diri dengan keluarga Kang Imam yang notabene religius untuk menjadi bagian dari mereka.Dalam suasana yang sederhana prosesi sakral kami berlangsung khidmat. Dihadiri kerabat dan sahabat dekat saja. Sekali pun sempat gugup namun Kang Imam mampu menyempurnakan kalimat ijab-qabul. Dan berakhir dengan ucapan “Sah!” dari saksi. Aku tid
Dia akan membangunkanku jika waktu subuh datang. Lalu tak lupa bertanya seperti yang sudah-sudah, “Apa mau shalat subuh berjamaah?” Sekali pun tahu akan menerima jawaban yang sama tapi dia tidak bosan mengajukan pertanyaan yang sama. “Nggak, Kang. Saya mau shalat sendiri aja.”Meski begitu dia tetap mengulas senyum. Kemudian undur diri untuk berjamaah di masjid. Sebenarnya aku mulai berpikir untuk memenuhi permintaannya, kenapa tidak. Sebaiknya aku mulai membiasakan diri dengannya. Dia suami sekaligus imam bagiku jadi kenapa tidak belajar banyak hal dan menimba ilmu darinya? Tapi masalahnya aku masih merasa serba canggung.Dua minggu berlalu. Kang Imam akan mengawali aktivitas barunya sebagai dosen di sebuah Universitas Islam di Bandung. Aku agak tersentak mendengarnya dan baru ingat bahwa Kang Imam pernah menyampaikan ini sebelumnya. Hanya saja aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Jadi aku tidak ingat. Namun dia mengatakan tidak akan serta-merta membawaku pindah ke kotanya. D