"Hal yang tersulit dalam hidup bukanlah memiliki apa yang dicintai. Melainkan tetap setia mencintai apa yang sudah dimiliki. Tak peduli apa pun yang terjadi."______Aku berusaha menenangkan napasku yang masih terengah-engah. Emosiku belum mereda. Belum puas menganiayanya. Bagiku itu belum seberapa. Seharusnya dia mendapatkan perlakuan yang lebih kejam dari pada itu.Siapa dia, Mai. Kenapa kamu memukulinya?”Aku diam sejenak. Menatapnya tajam dengan mata yang masih berkilat marah.“Jawab, Mai.”“Dia perempuan iblis yang sudah menghancurkan hidupku.” Aku bersuara pada akhirnya. Mengalihkan tatapan dari wajahnya. Menahan air mata agar tidak melesak. Merasa geram.“Dia yang merebut suami kamu?” Dia bertanya lagi dengan nada simpati. Tak kujawab. Kupikir dia sudah tahu jawabannya.Dia kemudiam diam. Pun aku. Kami sama-sama diam. Samar kudengar dia mendesah.Hari yang berantakkan. Tapi aku tak menyesal. Aku puas bisa meluapkan dendamku. Seharusnya sejak dulu aku melakukannya. Tapi sayangny
Benar saja. Urat di bagian tengah perutku serasa dipilin dengan kuat. Mendapati apa yang ditangkap oleh penglihatanku. Sebuah Triton hitam bak terbuka sudah terparkir di sana. Bagaimana dia bisa masuk pikirku.Biasanya satpam kompleks tak semudah itu mengizinkan orang asing masuk. Dia benar-benar nekat. Dengan perasaan campur aduk aku keluar kamar menelusur ke pintu depan berjalan dengan langkah yang amat diperhitungkan. Karena cemas membangunkan penghuni rumah terutama papa.“Mai?!”Dia menyongsongku sewaktu aku baru akan melangkah ke luar pekarangan. Menarik tangan tergesa. Kepanikanku bertambah. Kupikir ada apa dengannya. Kenapa terkesan mendesak sekali. “Akhtar, kamu ...?” Kelopak mataku melebar menatapnya dengan dua pertanyaan darurat di kepala. Ada apa dan mau ke mana?“Masuk sekarang. Jangan di sini bicaranya.”Setelah memberi perintah seperti itu dia menarikku masuk dan melajukan mobilnya keluar dari kawasan kompleks. Aneh. Bukannya menginterogasi dengan banyak pertanyaan, se
Tapi Kak Sarah tetap keras kepala. Dia tidak mau mendengarkan. Ya sudah. Apa daya. Memang paling sulit menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Bagai menghalau kobaran api. Bukannya padam dia justru akan kian menyala dan membakar apa saja yang melintasinya. Aku hanya bisa berharap dia akan sadar suatu hari kelak.“Mai?”Aku tersentak sewaktu suara Kak Sarah menembus pikiranku yang terdalam. Ah, seperti biasa aku terlalu jauh tenggelam. Sampai lupa kalau aku sedang berada pada satu hal yang akan menentukan alur hidupku ke depan.“I ...iy ..iya. Maaf.” Tatapanku teralih pada Kak Sarah sejenak tak lama berpaling pada Akhtar. Tetapi kembali terkejut ketika melihat benda yang dia asongkan padaku.Sebuah cincin.Aku menatap benda melingkar dengan berlian di tengahnya itu ragu-ragu. Aku masih tidak yakin akan secepat ini. Rasanya baru kemarin aku mengikat janji dengan seorang pria. Tapi kenapa harus terjadi lagi.Tidak. Apa yang terjadi? Andai diizinkan ingin sekali aku menapar wajahku kua
“Mai, aku minta waktu sebentar.”Aku duduk dengan sikap enggan. Membuang muka. Sebenarnya tidak tega melakukan ini. Tapi sewaktu ingatanku menangkap wajah setan betina itu. Aku mendadak muak.“Maafkan aku untuk kejadian hari itu.” Dia berkata dengan intonasi sangat rendah. Tatapannya nyaris tak berkedip. Memandang tajam.“Kalau aku memaafkan kamu, apa kamu bisa untuk tidak lagi mengangguku?”Dia terpekur sejenak. Menelaah ucapanku. Lantas menunduk. Cahaya matanya menyuram. Kulihat kucewa tergambar di mimik wajahnya. Tapi kucoba untuk tidak peduli.“Apa tidak ada kesempatan lagi untuk kita?”“Jangan menyebut 'kita' karena bagiku aku dan kamu sekarang adalah dua orang asing yang kebetulan pernah saling mengenal.”“Aku mencintai kamu Mai.”“Dan aku mencintai orang lain,” tukasku menegaskan ucapan. Dia tersentak dengan nada bicaraku. Tapi siapa peduli. Apa dia pikir selama ini hatiku tidak tercacah karena perbuatannya?“Maaf, sebentar lagi aku akan menikah. Jadi silakan undur diri.”“Meni
"Ada rasa takut kehilangan. Padahal kita belum saling memiliki. "____“Apa yang membuat kamu begitu khawatir?” Dia bertanya setelah kusampaikan perihal keberatanku jika kami menikah secepat itu. Aku beralasan butuh rencana yang matang membuat momen yang sangat sakral ini agar menjadi sangat berkesan “Maafkan saya Akhtar.” Kupandangi dia lamat-lamat dengan perasaan tak tega. Dia diam sejenak bekerjap-kerjap. Mengembangkan senyum. Meski raut kecewa terpampang jelas di wajahnya.“Tidak perlu meminta maaf. Saya selalu siap memaklumi kamu. Apa pun asalkan itu membuat kamu nyaman.” Dia manarik sudut bibirnya. Tertawa lirih. Menyibak anak-anak rambut yang jatuh di keningku.Aku semakin terpana memandangi matanya yang bercahaya. Mata yang menenteramkan Merasa sangat terharu. Yang terjadi jauh dari prasangka. Aku sempat mengira dia akan menolak usulku sebab dia tahu sejak awal memang bermaksud menunda. Tapi syukurlah dia menjadi sangat pengertian. “Jangan bermuka masam seperti itu. Tersenyu
“Toko buku?” protesku.Dia mengangguk. Justru sebelumnya aku mengira dia akan mengajakku ke suatu tempat yang tak terduga atau bahkan tak terpikirkan olehku. Ya ... Tempat apa, kek.Tapi toko buku. Rasanya-rasa dia salah tebak. Aku tidak terlalu suka gudang eh maksudku toko buku. Memangnya apa yang mau di cari di tempat ini. Aah ... Aku lebih suka baca komik Detektif Connan dari pada novel-novel dengan genre dari A sampai Z.“Memangnya kamu mau cari buku apa?” Aku bertanya dengan bodohnya. Dia keluar terlebih dahulu lalu berputar dan membuka pintu untukku. Aku nyaris seperti anak kecil yang dibujuk oleh bapaknya yang seorang pendiri sebuah komunitas gerakan cinta buku. Agar memiliki minat yang tinggi untuk membaca sejak dini.“Kamu lihat aja nanti.”Sewaktu dia mendorong pintu kaca tebal dan melangkah ke dalam tumpukan buku pada display-display dan rak-rak panjang menyambut kami. Seorang pramuniaga yang berjaga di bagian depan menyunggingkan senyum ramah. Mengucapkan selamat datang. A
Selesai dari toko buku dia melanjutkan ke tujuan berikutnya. “Sebelum ke twenty one sebaiknya kamu isi perut dulu, ya. Biar nggak kelaparan pas nonton adegan-adegan mesra,” katanya seraya meletakkan dua plastik buku yang tadi kami beli di jok belakang.“Kamu mau ngajak saya nonton? Kok nggak ngomong dulu. Padahal saya nggak mau.”“Eits. Malam ini kamu harus menuruti apa pun kemauan saya. Kalau nggak, saya akan memaksa.”“Kok begitu. Itu namanya pemerkosaan kebebasan bersuara.”“Itu hak saya Mai. Kewajiban kamu menaati.”“Apa?” Dalil dari mana itu?! Saya wajib menaati setiap perkataan kamu nanti kalau kamu sudah jadi suami saya, tahu?!” Aku berseru lantang. Membelalakkan mata. Menantang.Tapi sangat terkejut lantas menarik diri sewaktu dia merespons reaksiku dengan mendekatkan wajahnya. Hingga nyaris menyentuh hidungku. Tanganku bergerak cepat. Mendorong dadanya. Dia terjengkang dengan kepala membentur kaca pintu mobil “Aawww ... Mai ....”Dia mengerang panjang. Tertahan memegangi ke
"Mungkin dalam hidup ada hari dimana kita pernah begitu menyesali satu hal. Berharap itu tak pernah terjadi, tak pernah ada atau tak pernah terucap. Tapi betapun besar rasa sesal itu tetap tidak bisa mencegah sesuatu yang memang akan terjadi.Tak ada yang bisa dilakukan. Selain merentangkan tangan dan menerimanya dengan rela.Yang akan pergi biarkan pergi. Pun, yang akan datang dipersilakan untuk datang tak ada yang melarang. Segala hal telah tertulis rapi dalam sebuah catatan. Dan setiap kita hanya bisa menjalani semua. Suka atau tidak.Seperti halnya aku.Selama kau dan aku bersama, setidaknya kita tampak baik-baik saja. Terjalnya jalan akan mampu kita lalui. Jangan ada kata menyerah. Terus saja melangkah sekali pun kita tak pernah tahu sejauh apa jalan yang mesti kita tempuh untuk bisa melihat indah pelangi.Selama iman terjaga tak mengapa tawa dan air mata itu ada. Berjanjilah untuk tetap berpegangan tangan. Jangan terlepas Kita akan sama kuat, sama tegar. Hingga nanti tiba di tu