"Fuuuh, akhirnya mobil itu terlihat juga."Setelah berjalan lumayan jauh hampir 1 km AmaR tiba juga di tempat dia parkir mobil. Memang agak jauh dari pelataran Eiffel.Ini wajar. Karena mereka memang tidak ada tempat parkir yang disediakan di dekat sana kecuali central parkir."Maaf ya apa aku terlalu berat?"Senyum-senyum Amar ketika mendengarnya saat dia sudah mendudukkan wanita yang tadi digendongnya di dalam mobil."Kau tidak menjawabku, apa aku berat?”"Ya mungkin sekitar sekarung beras lebih sedikit.”"Hei. Kau menyamakanku dengan beras?"Caca tak terima. Dia agak sewot dengan Amar."Kalau begitu kutanya padamu berapa berat badanmu?""53 kilo," jawab Caca jujurDengan tingginya yang hampir 170 cm tentu saja berat badannya masih tergolong rendah.Jauh dari berat badan ideal yang seharusnya. Lalu kenapa dia harus dibilang berat oleh Amar?"Sekarang aku tanya padamu. Berat karung beras rata-rata berapa?""Aku tidak pernah beli beras.”" Berat karung terigu?” Amar mengganti topiknya
"Eh?"Kaget lah Caca mendengar penjelasan Amar barusan."Hehe, nggak usah kayak gitu mukanya. Aku nggak akan maksa kamu ngelakuin itu. Tapi tadi itu opsi karena kamu bertanya saja makanya aku kasih tahu apa sebenarnya yang terbaik untuk membuat orang tuaku tidak lagi menggangguku."Amar tahu apa yang dikatakannya itu bukan sesuatu yang mudah. Apabila terjadi kesepakatan antara Caca dan Amar untuk menjalankan rencana tersebut maka akan ada ikatan jika rencana mereka berhasil. Mau tidak mau apa yang diminta oleh Amar itu adalah bagian dari mereka berdua. Jadi memang dia tidak yakin Caca akan mengatakan setuju."Maaf tadi aku itu cuman kag
Meskipun aku tahu dia mengatakan itu karena ada anaknya saja dan dia mau menjagaku juga tapi tetap aku merasa seperti aku terlindungi. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku seperti mengharapkan sekali perhatian dari pria ini? Seperti aku nyaman dengan perhatiannya.Caca sebetulnya hanya tersenyum saja mendengar celetukan Amar barusan. Tapi hatinya memang merasa sangat bahagia sekali.Dia tidak bisa menampik di dalam sana ada rasa yang tidak bisa dilupakannya."Kau pandai sekali bercanda.""Hehehe. Aku seriuslah. Aku tidak mungkin membuang anak istriku. Oh ya jadi kau ingin aku yang menentukan kita pakai cara yang ma
"Maaf ya mamaku cerewet sekali.""Tapi aku senang dengan perhatian yang mamamu berikan padaku. Dia sangat baik sekali."Pembahasan pertama yang mereka bicarakan saat Amar sudah masuk ke dalam kamar tidurnya. Dia mengunci pintu tanpa menurunkan Caca dari kedua tangannya."Eh kita mau ke mana? Sofa di sana."Amar masih tetap berjalan menuju wardrobe makanya Caca penasaran. Bukankah seharusnya Amar mendudukkannya di sofa kalau di tempat tidur khawatir kotor?"Mau membersihkan kakimu. Supaya tidak ada infeksi dan kita langsung bersihkan lukanya nanti.”
"Bikin anaknya?"Tak pakai disensor lagi, Caca yang tahu ke mana arah pembicaraan Amar sekedar memastikan."Jika kau tidak keberatan.""Di sini?""Aku tidak yakin."Amar mengangkat bahunya."Tapi kita akan lihat situasinya. Karena tempatnya di mana itu belum jelas. Tergantung bagaimana kita memulainya dan bagaimana nanti ujung akhirnya."Apa penjelasanku tidak dimengerti ya? Kenapa dia
CPR172: TEPAT SASARAN"Ke kasurlah, biar nyaman Ca!"Baru kali ini Amar benar-benar tak tahan. Dia ingin cepat-cepat membawa Caca ke dalam kamar dan sudah terbayang apa yang memang ingin dilakukannya.Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya selama empat puluh sembilan tahun masa hidupnya."Kita mulai sekarang ya Ca!"Dan setelah merebahkan tubuh Caca, dia pun sudah siap eksekusi rencana yang ingin dilakukannya.Tok Tok Tok! "Amar! Buka pintunya dulu! Biarkan istrimu makan dulu!"Sayangnya sudah ada suara yang mengganggunya."Dia tidak lapar Mama! Caca sudah tidur!""Amar! Jangan bohongi Mamamu atau aku akan mengambil kunci serep!""Hihi, kenapa kau tidak membuka pintu dulu saja untuk ibumu! Kasihan kan. Aku juga tak pergi kemanapun kok."Saat Amar yang sudah ada di atas tubuhnya meringis, Caca malah tersenyum kecil. Dia meminta sesuatu yang tak ingin dilakukan Amar.“Apalagi yang kau tunggu? Kenapa hanya menatapku saja? Buka dulu saja pintunya cepat!” bujuk Caca lagi karena Amar belum
"Amar, apa kau yakin ingin punya anak dariku?""Kenapa jadi bertanya begitu Ca?""Kau tidak akan menyia-nyiakan anak itu setelah dia ada di sini?" Amar tadi tidak membahas tentang anak tapi dia membahas tentang tubuh Caca yang terlihat begitu menarik.Tapi wanita itu malah membawanya ke pertanyaan yang membuatnya sulit."Dengar. Aku tidak akan menyakiti anak kita. Aku akan membesarkannya dan akan lebih menyenangkan lagi jika ternyata kita cocok dan kau mau bersama dengan kami.""Amar apa maksudnya ini? Kau memberikan kesempatan padaku untuk menjadi istrimu sungguhan?""Aku bilang tadi kalau kau cocok denganku. Aku tidak akan memaksamu."Tawaran yang membuat Caca tersenyum. Dia ingin menutupi sendiri itu sebetulnya dan tidak ingin menunjukkan ekspresi apapun tapi rasa bahagia di dalam hatinya sudah membuatnya sulit mengendalikan ekspresi itu."Menurutmu itu ide bagus?"“Aku tidak tahu.”“Kau bertanya begini padaku karena saat ini kau menginginkan tubuhku. Kita tidak tahu apakah nanti
"Iya?"Caca menoleh ke belakang dengan tatapan bingung."Maaf. Aku pikir tadi kau memanggilku. Tadi siapa?""Kau menengok refleks saat aku memanggil Marsha?"Ragu tapi Caca pun mengangguk."Ya kudengar seperti aku mendengar namaku dipanggil. Tapi ini bukan pertama kalinya aku menengok.""Apa maksudmu?"Amar jadi bingung. Dia tak paham dengan maksud Caca yang bukan kata pertama kali tadi."Mungkin karena aku dipanggil Caca jadi kadang kalau ada orang memanggil Marsha atau Caca padahal bukan padaku aku suka sering menengok. Seperti namaku dipanggil tapi bukan." Lagi-lagi jawaban yang membuat Amar penasaran."Siapa nama lengkapmu?""Kau sudah tahu di surat nikah kita."Caca benar lagi. Mereka sudah menikah dan tentu saja Amar tidak mungkin tidak tahu siapa namanya."Kapan kau lahir?”"Kau juga sudah tahu di surat nikah kita."Lagi-lagi Caca menjawab yang sama dan memang benar Amar juga melihat tanggal lahirnya dan dia pun masih menghapalnya sampai sekarang."Kau punya foto ibumu?"Caca