"Amar, apa kau yakin ingin punya anak dariku?""Kenapa jadi bertanya begitu Ca?""Kau tidak akan menyia-nyiakan anak itu setelah dia ada di sini?" Amar tadi tidak membahas tentang anak tapi dia membahas tentang tubuh Caca yang terlihat begitu menarik.Tapi wanita itu malah membawanya ke pertanyaan yang membuatnya sulit."Dengar. Aku tidak akan menyakiti anak kita. Aku akan membesarkannya dan akan lebih menyenangkan lagi jika ternyata kita cocok dan kau mau bersama dengan kami.""Amar apa maksudnya ini? Kau memberikan kesempatan padaku untuk menjadi istrimu sungguhan?""Aku bilang tadi kalau kau cocok denganku. Aku tidak akan memaksamu."Tawaran yang membuat Caca tersenyum. Dia ingin menutupi sendiri itu sebetulnya dan tidak ingin menunjukkan ekspresi apapun tapi rasa bahagia di dalam hatinya sudah membuatnya sulit mengendalikan ekspresi itu."Menurutmu itu ide bagus?"“Aku tidak tahu.”“Kau bertanya begini padaku karena saat ini kau menginginkan tubuhku. Kita tidak tahu apakah nanti
"Iya?"Caca menoleh ke belakang dengan tatapan bingung."Maaf. Aku pikir tadi kau memanggilku. Tadi siapa?""Kau menengok refleks saat aku memanggil Marsha?"Ragu tapi Caca pun mengangguk."Ya kudengar seperti aku mendengar namaku dipanggil. Tapi ini bukan pertama kalinya aku menengok.""Apa maksudmu?"Amar jadi bingung. Dia tak paham dengan maksud Caca yang bukan kata pertama kali tadi."Mungkin karena aku dipanggil Caca jadi kadang kalau ada orang memanggil Marsha atau Caca padahal bukan padaku aku suka sering menengok. Seperti namaku dipanggil tapi bukan." Lagi-lagi jawaban yang membuat Amar penasaran."Siapa nama lengkapmu?""Kau sudah tahu di surat nikah kita."Caca benar lagi. Mereka sudah menikah dan tentu saja Amar tidak mungkin tidak tahu siapa namanya."Kapan kau lahir?”"Kau juga sudah tahu di surat nikah kita."Lagi-lagi Caca menjawab yang sama dan memang benar Amar juga melihat tanggal lahirnya dan dia pun masih menghapalnya sampai sekarang."Kau punya foto ibumu?"Caca
"Hmm ... Caca, aku minta maaf. ""Tidak. Kau tidak bersalah karena memang tubuhku saja jelek dan banyak bekas luka jadi wajar jika kau tidak berani menyentuh tubuhku lagi yang tidak menarik.""Eish, bocah ini. Siapa juga bilang kalau aku tidak tertarik padamu? Justru sekarang aku jadi bingung karena aku merasa bersalah.""Bersalah maksudmu?""Sudah-sudah jangan banyak pertanyaan sini mendekat padaku."Amar tak tahu bagaimana cara menjelaskannya dia menarik tubuh Caca dan mendekapnya erat tanpa mengatakan apapun.Kau sudah besar sekarang Marsha. Kalau benar ini adalah dirimu bagaimana aku mempertanggungjawabkannya pada Rania? Aku benar-benar tidak menculikmu dan dia pasti akan berpikir kalau aku menculikmu, nyembunyikanmu dan membawamu bersamaku. Ah tapi tidak. Aku bisa membawamu dan menceritakan padanya kalau kau tidak kuculik. Tapi apa Reza percaya? Mungkin dia akan berpikir aku memanfaatkanmu. Aku harus bagaimana ya? Masa iya aku sekarang seperti meniduri anakku sendiri sedangkan ak
"Ah, tidak apa-apa. Mungkin kau butuh ini untuk menghangatkan tubuhmu."Mungkin bagi Amar jawaban ini masuk akal. Tapi apakah Caca berpikir hal yang sama dengan piyama yang masih dipegang oleh Amar itu?Kenapa dia ingin aku pakai piyama? Bukankah kata teman-temanku kalau baru melakukan itu dengan seseorang maka dia akan lebih suka kalau wanitanya memakai baju seksi atau tidur tanpa menggunakan pakaian? Tapi kenapa dia memilihkan baju piyama untukku?"Kau benar. Cuacanya memang agak dingin. Terima kasih untuk piyamanya."'Biar kubantu untuk memakaikannya."
"Ya ampun Caca. Aku bahkan tidak kepikiran itu sama sekali.""Tapi kau menjauhiku. Aku tahu kau menghindar dariku. Dari cara bersikapmu berbeda sekali. Kau cuma tidak ingin menyakitiku makanya kau berusaha untuk menenangkanku tapi sebenarnya kau ingin menjauh dariku.""Aku ingin menjauh darimu? Tidak benar. Aku ingin melindungimu dan aku hanya merasa bersalah saja padamu. Hanya itu saja.""Karena permainan yang sudah kita lakukan kau merasa bersalah padaku? Bukankah itu sesuai dengan perjanjian kita?"Caca ini bukan Marsha. Ya kalaupun dia merasa dia sudah berubah. Dia sudah dewasa dan cara berpikirnya berbeda dan cara mene
"Sweet J, kau tidak apa-apa?"Melihat istrinya diam saja dan dari tadi tampak murung sendiri bahkan Rania yang tadinya mau bermake up kini hanya duduk memandang wajahnya saja di cermin meja riasnya membuat suaminya khawatir tentu saja.Pria itu bertanya pelan dan sangat khawatir. Dia ingin memastikan kalau istrinya baik-baik saja."Reza, apa menurutmu menikahkan Alila dengan Arthur adalah yang terbaik untuk mereka?"Saat ini Rania sangat mengkhawatirkan putrinya. Tapi bukan hanya putrinya yang dipikirkan untuk jangka panjang. Sahabat sekaligus teman dekat dari putranya yaitu Arthur pasti akan bermasalah dengan keluarganya jika suatu saa
Bagaimana Sekarang? Aku tidak mungkin tidak memberitahukan pada Rania bukan?Selepas meninggalkan rumahnya dan kini sudah berada di dalam mobilnya Amar mencoba berpikir apa yang harus dilakukannya. Dia bisa merasakan sakitnya Rania karena kehilangan putrinya dulu.Tapi apa mereka akan percaya padaku kalau bukan aku yang menculiknya? Lalu apa Reza akan membiarkan aku untuk bersama dengan putrinya setelah dia tahu apa yang terjadi? Ada ragu di dalam hati Amar karena dia memang sangat mencintai Caca, dia takut sekali kalau harus dipisahkan dengan Caca. Rasa cinta itu muncul begitu saja setelah dia tahu siapa wanita yang bersamanya. Rasanya setelah apa yang dia perbuat pada istri kecilnya itu Amar tidak mungkin ingin meninggalkannya.Aku tahu ini salah. Dia sudah seperti anakku sendiri. Tapi aku tidak tahu kalau aku memulai ini dengannya. Dan aku tidak mungkin membiarkan diriku meninggalkannya sedangkan dia juga sudah memiliki perasaan padaku. Atau mungkin ini hanya pelarian dari kekasih
"Reza. ""Oh tidak Rania. Tidak apa-apa."Amar tidak mau menimbulkan keributan dengan kedua orang di hadapannya dan dia mengerti kenapa Reza tidak menginginkan dirinya berada di sana."Jika kalian menginginkan untuk bertemu denganku dan mau mendengarkan apa yang mau kukatakan tolong kabari aku.""Kami tidak akan pernah mau mendengar apapun darimu. Sebaiknya Kau pergi!"Amar tersenyum ketika mendengar kemarahan Reza ini.“Aku mengerti tentang kekhawatiranmu dan kemarahanmu ini. Tapi aku yakin sekali kau ingin mendengar apa yang ingin kubicarakan. Jadi kau bisa menemuiku jika memang kau ingin mendengarnya. Kau tahu di mana aku harus temui. Kau sangat berkuasa.”Amar berpamitan saat itu juga setelah dia menundukkan kepalanya sedikit sambil menatap Rania tapi dia sudah tidak mengatakan apapun. Sungguh sebuah keadaan yang membuat Rania marah. Dia sudah mengepalkan tangannya penuh dengan emosi."Reza apa-apaan ini?"Amar masih ingin berjalan meninggalkan tempat itu tapi dia sudah mendengark