Meskipun aku tahu dia mengatakan itu karena ada anaknya saja dan dia mau menjagaku juga tapi tetap aku merasa seperti aku terlindungi. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku seperti mengharapkan sekali perhatian dari pria ini? Seperti aku nyaman dengan perhatiannya.
Caca sebetulnya hanya tersenyum saja mendengar celetukan Amar barusan. Tapi hatinya memang merasa sangat bahagia sekali.
Dia tidak bisa menampik di dalam sana ada rasa yang tidak bisa dilupakannya.
"Kau pandai sekali bercanda."
"Hehehe. Aku seriuslah. Aku tidak mungkin membuang anak istriku. Oh ya jadi kau ingin aku yang menentukan kita pakai cara yang ma
"Maaf ya mamaku cerewet sekali.""Tapi aku senang dengan perhatian yang mamamu berikan padaku. Dia sangat baik sekali."Pembahasan pertama yang mereka bicarakan saat Amar sudah masuk ke dalam kamar tidurnya. Dia mengunci pintu tanpa menurunkan Caca dari kedua tangannya."Eh kita mau ke mana? Sofa di sana."Amar masih tetap berjalan menuju wardrobe makanya Caca penasaran. Bukankah seharusnya Amar mendudukkannya di sofa kalau di tempat tidur khawatir kotor?"Mau membersihkan kakimu. Supaya tidak ada infeksi dan kita langsung bersihkan lukanya nanti.”
"Bikin anaknya?"Tak pakai disensor lagi, Caca yang tahu ke mana arah pembicaraan Amar sekedar memastikan."Jika kau tidak keberatan.""Di sini?""Aku tidak yakin."Amar mengangkat bahunya."Tapi kita akan lihat situasinya. Karena tempatnya di mana itu belum jelas. Tergantung bagaimana kita memulainya dan bagaimana nanti ujung akhirnya."Apa penjelasanku tidak dimengerti ya? Kenapa dia
CPR172: TEPAT SASARAN"Ke kasurlah, biar nyaman Ca!"Baru kali ini Amar benar-benar tak tahan. Dia ingin cepat-cepat membawa Caca ke dalam kamar dan sudah terbayang apa yang memang ingin dilakukannya.Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya selama empat puluh sembilan tahun masa hidupnya."Kita mulai sekarang ya Ca!"Dan setelah merebahkan tubuh Caca, dia pun sudah siap eksekusi rencana yang ingin dilakukannya.Tok Tok Tok! "Amar! Buka pintunya dulu! Biarkan istrimu makan dulu!"Sayangnya sudah ada suara yang mengganggunya."Dia tidak lapar Mama! Caca sudah tidur!""Amar! Jangan bohongi Mamamu atau aku akan mengambil kunci serep!""Hihi, kenapa kau tidak membuka pintu dulu saja untuk ibumu! Kasihan kan. Aku juga tak pergi kemanapun kok."Saat Amar yang sudah ada di atas tubuhnya meringis, Caca malah tersenyum kecil. Dia meminta sesuatu yang tak ingin dilakukan Amar.“Apalagi yang kau tunggu? Kenapa hanya menatapku saja? Buka dulu saja pintunya cepat!” bujuk Caca lagi karena Amar belum
"Amar, apa kau yakin ingin punya anak dariku?""Kenapa jadi bertanya begitu Ca?""Kau tidak akan menyia-nyiakan anak itu setelah dia ada di sini?" Amar tadi tidak membahas tentang anak tapi dia membahas tentang tubuh Caca yang terlihat begitu menarik.Tapi wanita itu malah membawanya ke pertanyaan yang membuatnya sulit."Dengar. Aku tidak akan menyakiti anak kita. Aku akan membesarkannya dan akan lebih menyenangkan lagi jika ternyata kita cocok dan kau mau bersama dengan kami.""Amar apa maksudnya ini? Kau memberikan kesempatan padaku untuk menjadi istrimu sungguhan?""Aku bilang tadi kalau kau cocok denganku. Aku tidak akan memaksamu."Tawaran yang membuat Caca tersenyum. Dia ingin menutupi sendiri itu sebetulnya dan tidak ingin menunjukkan ekspresi apapun tapi rasa bahagia di dalam hatinya sudah membuatnya sulit mengendalikan ekspresi itu."Menurutmu itu ide bagus?"“Aku tidak tahu.”“Kau bertanya begini padaku karena saat ini kau menginginkan tubuhku. Kita tidak tahu apakah nanti
"Iya?"Caca menoleh ke belakang dengan tatapan bingung."Maaf. Aku pikir tadi kau memanggilku. Tadi siapa?""Kau menengok refleks saat aku memanggil Marsha?"Ragu tapi Caca pun mengangguk."Ya kudengar seperti aku mendengar namaku dipanggil. Tapi ini bukan pertama kalinya aku menengok.""Apa maksudmu?"Amar jadi bingung. Dia tak paham dengan maksud Caca yang bukan kata pertama kali tadi."Mungkin karena aku dipanggil Caca jadi kadang kalau ada orang memanggil Marsha atau Caca padahal bukan padaku aku suka sering menengok. Seperti namaku dipanggil tapi bukan." Lagi-lagi jawaban yang membuat Amar penasaran."Siapa nama lengkapmu?""Kau sudah tahu di surat nikah kita."Caca benar lagi. Mereka sudah menikah dan tentu saja Amar tidak mungkin tidak tahu siapa namanya."Kapan kau lahir?”"Kau juga sudah tahu di surat nikah kita."Lagi-lagi Caca menjawab yang sama dan memang benar Amar juga melihat tanggal lahirnya dan dia pun masih menghapalnya sampai sekarang."Kau punya foto ibumu?"Caca
"Hmm ... Caca, aku minta maaf. ""Tidak. Kau tidak bersalah karena memang tubuhku saja jelek dan banyak bekas luka jadi wajar jika kau tidak berani menyentuh tubuhku lagi yang tidak menarik.""Eish, bocah ini. Siapa juga bilang kalau aku tidak tertarik padamu? Justru sekarang aku jadi bingung karena aku merasa bersalah.""Bersalah maksudmu?""Sudah-sudah jangan banyak pertanyaan sini mendekat padaku."Amar tak tahu bagaimana cara menjelaskannya dia menarik tubuh Caca dan mendekapnya erat tanpa mengatakan apapun.Kau sudah besar sekarang Marsha. Kalau benar ini adalah dirimu bagaimana aku mempertanggungjawabkannya pada Rania? Aku benar-benar tidak menculikmu dan dia pasti akan berpikir kalau aku menculikmu, nyembunyikanmu dan membawamu bersamaku. Ah tapi tidak. Aku bisa membawamu dan menceritakan padanya kalau kau tidak kuculik. Tapi apa Reza percaya? Mungkin dia akan berpikir aku memanfaatkanmu. Aku harus bagaimana ya? Masa iya aku sekarang seperti meniduri anakku sendiri sedangkan ak
"Ah, tidak apa-apa. Mungkin kau butuh ini untuk menghangatkan tubuhmu."Mungkin bagi Amar jawaban ini masuk akal. Tapi apakah Caca berpikir hal yang sama dengan piyama yang masih dipegang oleh Amar itu?Kenapa dia ingin aku pakai piyama? Bukankah kata teman-temanku kalau baru melakukan itu dengan seseorang maka dia akan lebih suka kalau wanitanya memakai baju seksi atau tidur tanpa menggunakan pakaian? Tapi kenapa dia memilihkan baju piyama untukku?"Kau benar. Cuacanya memang agak dingin. Terima kasih untuk piyamanya."'Biar kubantu untuk memakaikannya."
"Ya ampun Caca. Aku bahkan tidak kepikiran itu sama sekali.""Tapi kau menjauhiku. Aku tahu kau menghindar dariku. Dari cara bersikapmu berbeda sekali. Kau cuma tidak ingin menyakitiku makanya kau berusaha untuk menenangkanku tapi sebenarnya kau ingin menjauh dariku.""Aku ingin menjauh darimu? Tidak benar. Aku ingin melindungimu dan aku hanya merasa bersalah saja padamu. Hanya itu saja.""Karena permainan yang sudah kita lakukan kau merasa bersalah padaku? Bukankah itu sesuai dengan perjanjian kita?"Caca ini bukan Marsha. Ya kalaupun dia merasa dia sudah berubah. Dia sudah dewasa dan cara berpikirnya berbeda dan cara mene
Delima: Mana ku tahu. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu. Mungkin dia ingin memberikan surprise padamu.Shaun, dia menempuh kuliah S1 dan S2-nya di Jepang dan semuanya mendapat beasiswa. Hari ini kepulangannya dan Alila sungguh tak percaya kalau temannya itu sudah datang tanpa meneleponnya.Alila: Berikan teleponnya padanya.Shaun: Hai Alila.Delima pun menurut. Dan kini suara seseorang sudah membuat Alila begitu murka padanyaAlila: Kau. Sahabat macam apa kau pulang tidak bilang-bilang padaku?Shaun: Dengar dulu, aku-Alila: Tak mau. Aku lagi marah padamu Shaun.Yah, sudah terbayang memang bagaimana kesalnya Alila karena tidak diberitahukan tentang kedatangan pria itu. Padahal selama ini komunikasi mereka cukup lancar. Tapi kenapa dia harus tahu dari orang lain tentang kedatangan Shaun?Shaun: Baiklah, aku minta maaf, aku ingin kasih kejutan padamu.Alila: Maafmu tidak diterima. Cepat temui aku di plaza dan bantu aku mengurus empat monster kecil ini. Bawa juga Delima. Dia yang pa
"Alila, kau dengar aku tidaaaak?""Dengaaaar, sabarlah Darwin, kan aku masih berpikir!"Entah kenapa Alila jadi mengingat ini. Sampai dia diam beberapa detik dan Darwin mengomel.Bayangan tentang Arthur memang tidak bisa dilupakannya dengan mudah. Ini yang membuatnya kembali menunjuk pekerjaan pada Darwin."Jangan bilang kau akan menunda lagi. Atau jangan-jangan kau menunda terus supaya aku berpaling dari Delima padamu.""Dih, kau pikir aku menyukaimu Darwin? Ish.""Habis, lama sekali sih. Aku sudah tidak sabar. Apa kau tidak mendukungku bersama dengannya dan hanya menipuku selama ini?"Darwin memang tidak sabaran. Delima memang sangat cantik sekali dan Darwin menyukainya sejak pandangan pertama. Alila jadi terkekeh lagi melihat bagaimana kesalnya Darwin padanya.Hubungannya dengan Darwin tidak se-kaku hubungan antara Reza dengan David. Mereka tak pakai panggilan resmi. Di tempat kerja, panggilan nama seperti ini juga tak masalah. Tak jarang mereka juga ribut satu sama lain di depan k
"Amar, Caca akan melahirkan!"Cuma sebelum siapapun merespon, Alila sadar duluan. Darah segar pun mengalir begitu saja yang membuat Amar cemas, Alila memekik."Kenapa kau diam saja? Cepat bawa istrimu ke dalam!"Reza juga panik. Dia segera mungkin membuka ruangan dan memanggil dokter untuk mempersiapkan operasi kedua yang jaraknya bahkan tak lebih dari seperempat jam dari Rania yang baru selesai.Caca tidak bisa diminta lahiran normal karena masalah di kepalanya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya.Sekarang saja masalah di otaknya belum sembuh betul. Ya memang kondisinya sudah lebih baik. Caca bisa bertahan mengingat seseorang lebih dari seperempat jam. Bahkan rekor, pernah setengah jam dia tak bertanya dan bisa fokus ke obrolan tanpa gangguan. Tapi tetap saja, lahiran normal ini resiko berat."Papa. Amar. Bisa tidak sih kalian tidak bolak-balik? Mengganggu penglihatanku saja!"Tadi saat Rania melahirkan, Reza masih bisa tenang hanya menggenggam tangan Alila dan merangkul putri
"Aku tidak jadi bicara denganmu. Akan kupikirkan lagi bagaimana aku harus menyingkirkanmu!"Lagi-lagi jawaban yang membuat kepala David pening."Reza kau ingin aku mengundurkan diri kah?"Amar tak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan tapi sepertinya dia melihat sisi positif dari sikap David yang menekan Reza ini."Kau tidak perlu mengundurkan diri kalau Reza memang membenciku, David. Dia masih berpikir kalau aku ingin merebut Rania-""BUKAN HANYA RANIA!" Reza memekik."Kau pikir masalahku denganmu hanya karena itu? Aku membencimu karena kau selalu mengganggu hidupku, selalu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."Bingung juga Amar mencernanya. Karena dia merasa tidak mengambil apapun dan bahkan dia sudah mengembalikan Rania kepada Reza.Dia tidak mengganggu hubungan mereka selama mereka bersama, dia tidak datang kecuali dia ingin mengecek DNA Caca barulah dia muncul."Sudah Amar, tidak perlu dipikirkan. Reza hanya cemburu tentang Marsha. Kau bersama dengan Marsha dari d
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi