"Aku masih menunggu jawabanmu. Ayolah beritahu aku. Kupikir kau sudah diam lebih dari semenit.”Pertanyaan Rania kan simple. Tapi dua pertanyaan itu rasanya berat sekali untuk Reza menjawabnya.Malah membuat hatinya jadi semakin tak tenang. Degup jantungnya makin meningkat dan terbayanglah suasana di suatu malam dengan seorang wanita yang berteriak saat dirinya terjatuh saat didorong oleh suaminya.Padahal dia memiliki bayi di dalam kandungannya. Seorang wanita yang merintih menangis saat darah itu mulai keluar dari intinya.Dan saat itu Reza kecil belum bisa melakukan apapun. Ini membuat adrenalinnya bertambah. Ketakutan dari bayangan masa lalu inilah yang kembali membuat tangannya mengepal kencang."Aku tidak main-main dengan ancamanku. Sebaiknya kau pergi!"Dan seharusnya saat Rania mendengar ucapan Reza ini dia sadar kalau degup jantung pria yang kini dipeluk olehnya semakin kencang. Dia harus pergi. Reza masih sangat berbahaya saat ini."Aku tidak akan pergi!""Di mana kau taruh o
"Daddy Reza.""Rania. Aku bicara padamu serius apa yang kau inginkan?""Tadi sudah kusebutkan. Aku hanya menginginkan papanya Marsha. Tak bisakah kau mendengarnya?"Reza tadinya mencoba bertanya apa yang dibutuhkan oleh Rania sekarang. Karena dia belum tahu apa yang harus dia lakukan di saat emosinya masih turun naik dan dia merasa kesal sendiri karena dia masih gagal untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya. Dan rasanya saat ini seperti tidak mungkin lagi dia melakukan itu. Apalagi Rania sudah tahu semuanya dan dirinya juga merasa lemah karena dia tidak berani melakukannya padahal dia tak ingin bersama dengan anak keturunan dari Ganesha Rahardja.Tapi jawaban Rania malah memusingkan dirinya."Lebih spesifik!""Kau Daddy Reza. Setiap inci jiwamu. Setiap inci tubuhmu. Aroma tubuhmu, belaian tanganmu. Aku juga menginginkan tatapanmu dan senyummu hanya untukku."Rania bicara sambil memberanikan diri menggerakkan jarinya memegang bagian wajah Reza yang disebutkannya."Aku ingin menjadi
Apa memang sesederhana ini caraku bahagia dengannya?Masih ada ragu di dalam hati Rania yang tidak diucapkannya pada Reza.Malam itu dirinya tak bisa tidur dan masih terus kepikiran tentang rencana Reza yang akan memboyongnya ke Hongkong.Wajah pria itu sumringah dan menunjukkan kalau memang kakeknya Vladimir sudah merestui mereka dan dia sudah merencanakan dirinya ingin memperkenalkan Rania sebagai ratu di dalam hatinya di hadapan semua orang.Tapi rasanya itu terlalu indah. Sesuatu yang membuat Rania membayangkannya saja jadi takut.“Apa iya sekarang adalah akhir dari semua rasa sakitku dan ini adalah awal dari kebahagiaan kami happily ever after selamanya?”Dan pertanyaan ini terlontar lagi dari bibir Rania ketika dia sudah duduk di pesawat jet pribadi milik keluarga Clarke.Tadi pagi Rania sudah dapat ceramah dari Reza karena kantong matanya yang besar dan lingkar matanya menghitam. Reza tahu kalau Rania tidak tidur dan tadi malam adalah malam di mana Reza memang tertidur pulas tid
"Aku tidak suka kamu membohongiku. Jadi bisa kau menepati janjimu untuk tidak menelepon mereka semua yang kularang, sweet J?""Yang ingin kutelepon dengan handphone ini hanyalah Papanya Marsha. Aku tidak akan menghubungi siapapun dan aku juga tidak akan membuka media sosialku yang dulu. Tenang saja Daddy Reza.""Handphone-mu yang lama masih padaku. Aku sengaja tidak mengaktifkannya. Tapi semua data-datanya masih aktif. Aku memastikan nomor itu masih menjadi milikmu. Tapi tidak untuk kau gunakan."Masih menjadi miliknya tapi tidak boleh digunakannya? Rania juga tak paham tapi dia sudah mengangguk saja, terserah Reza."Sekarang beristirahatlah. Tak perlu ke kamar mandi dulu. Kalau kau ingin ke sana, biar nanti pelayan menemanimu. Aku keluar dulu sebentar dan jika kau butuh sesuatu, mintalah pada Shine.""Iya Reza. Gadis itu siapa? Dia sepertinya seumuran denganku?""Anaknya Paman Bagus."Rania saat itu juga membulatkan bibirnya. Da baru tahu anaknya Bagus."Dia bekerja di sini?""Paman B
"Kalau begitu, pergilah!" Rania tahu apa maksudnya.Tidak mungkin menyelesaikan masalah hanya dengan diam di rumah tanpa melihat langsung ke lokasi dan bicara dengan orang-orang yang berkepentingan."Aku tidak bisa," cuma jawaban Reza lagi-lagi membuat Rania speechless.Saat itu Rania baru bangun tidur. Masa kelahirannya sudah tinggal beberapa hari lagi. Sembilan bulan dua minggu. Rania sudah masuk ke minggu kedua. Di sini dia menatap Reza yang masih duduk di sampingnya dengan pakaian rumah, seperti biasa. Padahal dia bilang sendiri sedang ada masalah, makanya Rania gemas."Kenapa? Aku aman di sini. Bodyguard-mu banyak di rumah ini. Lagi pula ada Kakek di sini dan aku kalau perlu bantuan apa-apa bisa bilang pada Shine."Rania membujuk karena dari wajahnya Reza memang tampak kesal sendiri dirinya, menanggung beban yang mengganggunya ini."Pergilah Daddy Reza. Atau kau ingin aku ikut?""Kau beristirahatlah!" Reza menolak."Tapi--""Kau yakin tidak akan apa-apa aku tinggal sebentar?""Hmm
“Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kakek kenapa?"'Rania melihat Vladimir tidak jauh dari posisinya jadi cemas dan meninggikan suara. Dari tadi memang Vladimir berada di sana memperhatikan mereka bermain dan tadi dia juga sempat mengobrol dengan Rania."Kakek? Kakek tidak apa-apa?" Rania ketakutan sendiri melihat kondisi Vladimir."Nyonya Clarke, tenanglah.""Ya Tuhan, bagaimana aku bisa tenang, Han? Apa kakek punya masalah dengan jantungnya?"Dengan wajah cemasnya Rania berusaha berdiri dan berjalan mendekat pada Vladimir yang sempat mengangkat telepon tadi dan kini dia merasa kesakitan di jantungnya, lalu teleponnya juga sudah dimatikan oleh Han."Ehm, saya akan mengurus Tuan Besar. Nyonya Clarke, Anda tidak perlu khawatir dan bermainlah dulu di sini dengan Putri Anda dan mengobrol sajalah di sini dengan Shine.""Mana bisa!" Rania menolak."Kau sendiri cemas begitu!" tegas Rania lagi yang yakin sekali kalau Han sangat mengkhawatirkan Vladimir dan bahkan sudah memberi kode pada bodyguard un
"Selamat pagi Rania. Bagaimana malammu? Mimpimu indah kan?""Hmm, selamat pagi Mama. Yah, aku tidur pulas dan tidak ada lagi mimpi buruk seperti yang kemarin-kemarin."Pagi itu di sebuah mansion besar terdengar sebuah percakapan yang melegakan semua orang yang ada di meja makan itu."Papa senang mendengarnya. Duduk Rania dan makan sarapanmu. Kurang makan bisa membuatmu bermimpi buruk. Dan itu tidak terlalu bagus.""Papa benar. Terima kasih Papa. Dan sekarang juga sudah musim dingin di Paris. Aku butuh makan supaya aku tidak menggigil dan membeku."Gadis bernama Rania itu mengikuti saran dari orang tuanya dan dia sudah duduk di kursinya lalu tersenyum melihat menu sarapan pagi ini."Mama, kau selalu saja punya surprise di pagi hari. Aku selalu saja suka dengan hidangan lezat yang kau sajikan." Rania menjawab lagi antusias."Mama kita memang selalu pintar memasak Rania. Kau lupa? Dari kecil Mama selalu memperhatikan kita. Dan makanan favorit kita selalu sama. Dan kalau Mama masak itu pas
"Hihi, tapi tidak Amar. Aku ingin diperlakukan biasa di kantor dan aku tidak ingin kamu membuka hubungan kita pada siapapun, Mar.""Kok gitu?"Amar serasa tak bisa terima saat Rania membuat rencana seperti itu."Ya, harus begitu. Karena aku tak mau hubungan kita terbuka. Gimana pun aku ini orang baru dan aku ingin memulai semuanya dari awal. Mendapatkan pengakuan dari mereka kalau aku yang memang kompeten di bidangku bukan aku sebagai kekasihmu, kekasihnya si Bos yang punya perusahaan. Pengakuan kemampuanku sendiri itu sangat berharga bagiku, Mar."Sebetulnya Amar ingin protes lagi dan mengatakan kalau dia tidak setuju. Dia ingin semua orang tahu kalau Rania adalah kekasihnya. Tapi Amar melihat keseriusan di wajah Rania saat dirinya meminta itu."Baiklah kalau menurutmu itu yang terbaik.""Kau serius kan?"Amar sudah setuju tapi Rania masih mempertanyakan."Iya. Kalau maumu seperti itu aku bisa apa, Sayang?"Kini senyum pria itu terurai sambil dia memegang tangan Rania."Cuma kamu haru
Delima: Mana ku tahu. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu. Mungkin dia ingin memberikan surprise padamu.Shaun, dia menempuh kuliah S1 dan S2-nya di Jepang dan semuanya mendapat beasiswa. Hari ini kepulangannya dan Alila sungguh tak percaya kalau temannya itu sudah datang tanpa meneleponnya.Alila: Berikan teleponnya padanya.Shaun: Hai Alila.Delima pun menurut. Dan kini suara seseorang sudah membuat Alila begitu murka padanyaAlila: Kau. Sahabat macam apa kau pulang tidak bilang-bilang padaku?Shaun: Dengar dulu, aku-Alila: Tak mau. Aku lagi marah padamu Shaun.Yah, sudah terbayang memang bagaimana kesalnya Alila karena tidak diberitahukan tentang kedatangan pria itu. Padahal selama ini komunikasi mereka cukup lancar. Tapi kenapa dia harus tahu dari orang lain tentang kedatangan Shaun?Shaun: Baiklah, aku minta maaf, aku ingin kasih kejutan padamu.Alila: Maafmu tidak diterima. Cepat temui aku di plaza dan bantu aku mengurus empat monster kecil ini. Bawa juga Delima. Dia yang pa
"Alila, kau dengar aku tidaaaak?""Dengaaaar, sabarlah Darwin, kan aku masih berpikir!"Entah kenapa Alila jadi mengingat ini. Sampai dia diam beberapa detik dan Darwin mengomel.Bayangan tentang Arthur memang tidak bisa dilupakannya dengan mudah. Ini yang membuatnya kembali menunjuk pekerjaan pada Darwin."Jangan bilang kau akan menunda lagi. Atau jangan-jangan kau menunda terus supaya aku berpaling dari Delima padamu.""Dih, kau pikir aku menyukaimu Darwin? Ish.""Habis, lama sekali sih. Aku sudah tidak sabar. Apa kau tidak mendukungku bersama dengannya dan hanya menipuku selama ini?"Darwin memang tidak sabaran. Delima memang sangat cantik sekali dan Darwin menyukainya sejak pandangan pertama. Alila jadi terkekeh lagi melihat bagaimana kesalnya Darwin padanya.Hubungannya dengan Darwin tidak se-kaku hubungan antara Reza dengan David. Mereka tak pakai panggilan resmi. Di tempat kerja, panggilan nama seperti ini juga tak masalah. Tak jarang mereka juga ribut satu sama lain di depan k
"Amar, Caca akan melahirkan!"Cuma sebelum siapapun merespon, Alila sadar duluan. Darah segar pun mengalir begitu saja yang membuat Amar cemas, Alila memekik."Kenapa kau diam saja? Cepat bawa istrimu ke dalam!"Reza juga panik. Dia segera mungkin membuka ruangan dan memanggil dokter untuk mempersiapkan operasi kedua yang jaraknya bahkan tak lebih dari seperempat jam dari Rania yang baru selesai.Caca tidak bisa diminta lahiran normal karena masalah di kepalanya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya.Sekarang saja masalah di otaknya belum sembuh betul. Ya memang kondisinya sudah lebih baik. Caca bisa bertahan mengingat seseorang lebih dari seperempat jam. Bahkan rekor, pernah setengah jam dia tak bertanya dan bisa fokus ke obrolan tanpa gangguan. Tapi tetap saja, lahiran normal ini resiko berat."Papa. Amar. Bisa tidak sih kalian tidak bolak-balik? Mengganggu penglihatanku saja!"Tadi saat Rania melahirkan, Reza masih bisa tenang hanya menggenggam tangan Alila dan merangkul putri
"Aku tidak jadi bicara denganmu. Akan kupikirkan lagi bagaimana aku harus menyingkirkanmu!"Lagi-lagi jawaban yang membuat kepala David pening."Reza kau ingin aku mengundurkan diri kah?"Amar tak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan tapi sepertinya dia melihat sisi positif dari sikap David yang menekan Reza ini."Kau tidak perlu mengundurkan diri kalau Reza memang membenciku, David. Dia masih berpikir kalau aku ingin merebut Rania-""BUKAN HANYA RANIA!" Reza memekik."Kau pikir masalahku denganmu hanya karena itu? Aku membencimu karena kau selalu mengganggu hidupku, selalu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."Bingung juga Amar mencernanya. Karena dia merasa tidak mengambil apapun dan bahkan dia sudah mengembalikan Rania kepada Reza.Dia tidak mengganggu hubungan mereka selama mereka bersama, dia tidak datang kecuali dia ingin mengecek DNA Caca barulah dia muncul."Sudah Amar, tidak perlu dipikirkan. Reza hanya cemburu tentang Marsha. Kau bersama dengan Marsha dari d
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi