"Hey, berhentilah menangis. Seharusnya kau bukan menangis tapi tersenyum bahagia Sweet J."
Pria yang bersama dengan Rania mencoba membujuknya dan kini dia menghapus air mata di pipi wanita yang masih terlihat pucat dan lemah.
"Mama, aku sudah lihat adik bayiku. Dia lucu sekali. Tapi dia tidak mau membuka matanya. Aku mau mengajaknya bermain tapi dia tidur saja."
"Hihi, sabarlah Rich. Kau baru bisa bermain dengannya setahun lagi. Sekarang ini dia paling hanya bisa kau asuh saja."
"Sama seperti kau mengasuhku, Shine?"
"Hmm, begitulah."
"Lila jam segini kau belum pulang Apa kau tidak akan dimarahi oleh orang tuamu?""Aman ajalah! Lagian dalam beberapa jam lagi juga aku udah 17 tahun dan aku sudah masuk hitungan dewasa."Alila mencoba menenangkan teman-temannya yang sedikit khawatir karena mereka tahu ayah Alila sangatlah tegas dan kalau sudah marah bisa berbahaya untuk mereka nanti."Apa kau yakin? ""Aku dapat bekingan dari kakakku Rich. Dia yang melobi temannya Arthur supaya aku bisa masuk ke night club ini. "Senyum mengembang di bibir Alila mengingat bagaimana tadi pagi dia mencoba mem
"Kau menyukai pelayan?"Hancur hati Alila ketika mendengar jawaban Arthur. Ini tidak sesuai dengan rencananya apalagi melihat pria itu mengangguk cepat."Aku tidak pernah melihat wanita secantik dia. Dan kau tahu? Dia sangat sulit sekali untuk didekati! Aku sudah berkali-kali mencoba mendekatinya tapi tetap saja dia dingin dan butuh bertahun-tahun untuk menjadi temannya."Alila membuang wajahnya dan tersenyum sinis."Kalau dia gampangan dikejar olehmu itu artinya dia bodoh. Dia tidak bisa membuatmu tertarik padanya dan tergila-gila padanya. Itu kan taktik murahan wanita."
Sesaat sebelum kejadian."Permisi, dua Negroni, Caipiranha, whiskey dan Pina Colada, pesanan meja ini?"Pelayan wanita yang baru datang ke satu meja menyebutkan nama pesanan pelanggan yang duduk di meja tersebut.Ada lima orang pria yang tadi sedang mengobrol dan kini memperhatikannya."Oh iya benar."Wanita itu pun menaruh satu persatu minumannya dan minuman yang pertama baru saja diambil oleh seorang pria yang seakan-akan meminum minuman tersebut. Tanpa disadari oleh wanita yang tertuju matanya pada minuman di meja dia memasukkan sesuatu yang langsung ter
"Rich--""Kakak, kau tahu tadi Arthur sudah mengatakan apa padaku?"Sesaat sebelumnya ketika Rich datang ke night club milik sahabatnya Arthur, dia melihat perselisihan dan kini sebelum Arthur menjelaskan, adiknya Alila sudah lebih dulu masuk ke dalam dekapannya dan mencoba mengadu semua yang terjadi di sana."Apa permasalahan sebenarnya?""Kau tahu Caca? Wanita yang kubilang--""Kau masih mengejar pelayan itu?"Rich sudah tahu apa yang dibahas oleh Arthur. Nama itu bu
"Aku sudah menelpon mereka. Tunggu saja mereka datang!""Alila Kau mau ke mana?"Rich kembali memegang bahu adiknya karena tidak ingin Alila meninggalkan tempat itu sebelum masalah ini beres."Aku sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sekarang waktunya aku pergi! "Alila tidak mau berada di sana. Dia kesal sekali dengan Arthur. Bahkan tak mau melihat wajahnya.Aku berusaha untuk membencinya mulai saat ini meski sulit. Tapi tiap kali aku melihatnya pasti akan semakin sulit untuk membuatku benci karena aku memang sangat menyukai Arthur.
"Itu akibat kau tidak bisa menjaga adikmu sampai dia pulang marah-marah begitu dan kelihatannya sangat sedih sekali! Apa yang terjadi padanya, Rich?"Rania memang sangat menyayangi putrinya dan suaminya juga sangat memanjakan anak bungsu mereka ini. Begitupun Rich yang juga sangat perhatian pada adiknya, membuat mereka pasti sangat khawatir kalau melihat Alila merengut dan bad mood.Makanya wajar saja jika Rania langsung mengomel pada putranya Rich."Kurasa ini ada hubungannya sama Arthur.""Bukannya kau bilang kau akan membicarakan dengan Arthur tentang pertunangan adikmu dengannya?""Eh, iya sih Pa. Tadinya ada rencana begitu tapi ada sedikit masalah tadi di night club."Keluarga Rich semuanya sudah tahu kalau Alila jatuh cinta pada s
"Apa ada yang menanyakannya?"Dan di tempat yang lain di waktu yang bersamaan, seorang pria bertanya pada seseorang ditelepon dan tersenyum setelah mendapatkan jawaban dari pria itu.Dia tak berbicara lagi dan sudah menutup teleponnya lalu kini pandangan matanya mengarah pada sesosok tubuh yang masih belum sadarkan diri."Permisi Tuan. Ini yang anda butuhkan, Tuan!"Dan beberapa detik kemudian, pintu kamar yang memang tidak ditutup itu baru saja dimasuki oleh pelayannya yang membawakan sesuatu di atas nampan."Oh bagus! Kau jangan ke mana-mana ya. Nanti dia kaget kalau hanya melihatku," ucap pria itu yang kini berjalan mendekat pada seseorang yang masih menutup matanya."Apa dia baik-baik saja?""Kurasa begitu. Hanya ada sekelompok anak muda mencoba untuk membuatnya tak sadarkan diri makanya sekarang aku menyuntikan obat untuk menghilangkan pengaruh obat biusnya.""Apa ada yang ingin berbuat buruk padanya Tuan?"
"Yah, luka ini!" Caca memegang lukanya dan tersenyum mengingat masa lalunya."Luka ini karena ayahku yang saat itu sedang depresi sekali karena kematian Ibuku dan aku masih berusia setahun, dia tak sengaja menjatuhkanku. Ayah masih belum bisa melupakan Ibuku, dia sangat mencintai ibuku bahkan sampai sekarang dia belum menikah lagi. Makanya ayahku merasa sangat bersalah sekali."Amar melirik Caca yang kini sudah menunduk padahal sebelumnya dia bicara sambil menatap Amar yang justru tak menatapnya karena sedang menyetir."Kau yakin itu luka saat kau kecil?""Aku terluka dua kali di tempat yang sama. Pertama saat aku kecil dan terjatuh dengan ayahku lalu yang kedua saat ayah sedang mengemudi mobil menuju kuburan ibuku, kami kecelakaan. Itulah yang membuatku pitak lumayan besar jadi harus ditutupi dengan rambut yang lain. Kadang aku tak pe-de juga."Amar tidak bertanya lagi karena dia belum tahu harus berkomentar apa, hanya mendengarkan cerit