*Flashback.Tiga bulan sebelumnya."Anda mau pindah ke Jerman!" Alfred terkejut."Iya, aku sudah memutuskan untuk tinggal menetap disana, ada kenangan yang mau aku lupakan, kalau terus berada disini rasanya sesak." lirih Sagara, matanya menatap sendu ke sekeliling kamar tidurnya, bayang-bayang mantan istri masih sering menghantui kamar ini walaupun sudah berlalu beberapa bulan.Kenangan bersama Tiara membuat Sagara kesulitan tidur ataupun beraktivitas, ia terus dihantui oleh rasa bersalah, ingatan saat dirinya menyiksa Tiara bermunculan seperti sebuah hukuman bagi jiwanya."Hmm, haruskah paman ikut denganmu kesana?" Alfred begitu khawatir, karena Sagara akan hidup sendirian di negeri bir, ia takut kalau-kalau Sagara mengakhiri hidupnya disana karena rasa frustasi dan depresi paska perceraian."Paman tak perlu khawatir berlebihan, aku tidak akan tinggal sendirian disana, kebetulan Sabrina akan berkuliah disana." seru Sagara, saat melihat wajah Alfred yang tampak sedang banyak pikiran.
*Flashback.Hatinya mendingin, jiwanya penuh rasa kecewa. Dentuman keras dari perkataan Tiara, mengobrak-abrik sosok monsters dalam jiwa Sagara.Penghianat cinta membelah jiwanya jadi berkeping-keping. Sagara ingin berteriak marah, namun tak ia lakukan. Rasa penyesalan dan rasa rindu akan belaian sang istri telah menaklukkan monster itu.Namun apa daya tidak ada yang bisa ia lakukan, Tiara telah mencintai pria lain, bahkan sampai memiliki seorang anak darinya.Sagara bisa saja menggunakan uangnya untuk membunuh mereka, atau merebut kembali Tiara dari Rangga, mengurungnya dalam istana dingin, memasung kedua kakinya agar tak bisa berlari kabur.Tapi Sagara tak kuasa melakukan itu semua, ia memilih untuk menanggung rasa sakit atas perbuatannya. Hidup tanpa Tiara, itulah hukuman atas perbuatannya kejinya. Membayangkan kehidupan Tiara dengan Rangga dan juga anak mereka. Kebahagiaan mereka menjadi penderitaan bagi Sagara, entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir.'Aku harus mencari
Dua bulan Kemudian.Pagi-pagi sekali, Rangga membawa istrinya ke rumah sakit, sejak subuh dini hari. Tiara terus merasa mulas, tanda akan adanya kehadiran sang buah hati."Uugghh!! Hmmp, hmmp!!" sejak subuh, Tiara terus meringis kesakitan, ia sedang mengalami kontraksi, keringatnya tak berhenti bercucuran.Ia duduk berbaring lemas di ranjang kamar rumah sakit, Rangga terus duduk di dekatnya, ditemani seorang bidan yang mengawasi pembukaan Tiara."Tenang sayang, yang kuat ya, bertahanlah." seru Rangga sambil mengusap lembut keringat di dahi Tiara."I-iya, huhuhuhu." seru Tiara lirih, sambil terengah-engah, sembari merasa keheranan pada suaminya yang tidak terlihat panik sama sekali, mungkin karena Rangga seorang dokter kandungan, jadi sudah banyak pengalaman menangani pasien yang melahirkan secara normal dan juga caesar."Dokter, ini sudah pembukaan 4 ." ucap seorang bidan yang membantu persalinan Tiara."Oke. Sayang tarik nafas yang dalam, tahan sebentar, ikuti aku ya." seru Rangga me
"Hue, hue..." suara imut nan lucu bayi laki-laki, Satria kecil sedang berbaring tenang di pembaringan baby box rumah sakit."Oww, cucuku, kamu mirip sekali dengan Tiara sewaktu masih bayi." Yanti sungguh terharu, akhirnya punya cucu, bahagia rasanya bisa melihat cucu laki-laki, yang lahir dengan sehat."Hei, kamu salah, cucuku lebih mirip Rangga sewaktu bayi", dengus Dian, yang ikut juga menjenguk cucunya.Dari dulu kedua emak-emak ini memang tidak pernah akur, walaupun sudah menjadi besan.'Gak mungkin mirip Rangga lah.' batin Yanti sembari tersenyum sinis ke arah besan yang menyebalkan. Pasalnya kedua orangtua Rangga tak tahu kalau itu bukan anak putranya."Terimakasih, kalian semua sudah mau datang jauh-jauh dari jakarta untuk menengokku Satria." seru Rangga tersenyum sumringah, ia masih memakai jubah putih, mendampingi Tiara, sebagai seorang dokter dan juga suami."Aku sangat bersyukur, karena semuanya berjalan lancar sampai hari ini." Theo tersenyum bahagia, sejak semalam ia tak
*Kota Berlin.'Gluk gluk gluk.'Sagara sedang meneguk bir kaleng, sambil duduk merebahkan tubuhnya diatas sofa tv, jemarinya tak henti-henti terus memencet tombol remote televisi, ia memindahkan channel siaran berulangkali.Akhir-akhir ini suasana hati Sagara sedang tidak baik-baik saja. Tiap malam Sagara mengalami kesulitan tidur, walaupun sudah berobat ke dokter psikiater, tetap saja hatinya tidak merasa tenang, ia sendiri tidak mengerti kenapa bisa jadi seperti ini.'Klang.'Suara bir kaleng kosong sengaja ia jatuhkan di lantai keramik rumah barunya. Setelah itu, Sagara membuka lagi kaleng minuman yang baru, kemudian meneguk habis isinya, hal ini terus menerus ia lakukan.Cekrek.Pintu kamar Sagara dibuka, Sabrina datang membawa nampan berisi makanan."Kak, ayo makan dulu, nanti sakit." titah Sabrina, caranya bicara mirip sekali dengan Grace ibu mereka.Namun Sagara tak menjawab, ia hanya melirik sekilas pada adik tirinya."Taruh saja di meja, nanti aku makan", ucap Sagara ketus."
Malam ini merupakan malam yang sungguh menegangkan. Di sebuah rumah megah dan mewah terdengar suara jeritan seorang wanita. Kedua tangannya di ikat kebelakang, matanya di tutup. Ia berdiri diam, sambil menahan rasa sakit di kedua betisnya. . . "Aaakkhh...!!!" Ia berteriak kesakitan, saat betis itu di pecut kembali dengan tali ikat pinggang. "Menangis lah lebih keras hahahaha...!!! Konyol sekali kamu malah ingin kabur, padahal aku sudah membelikan semua barang mahal untuk kamu. Dasar istri tidak tahu diri....!!!" "Tak...!!!" Sagara kembali melecut betisnya. "Hiks....Sakit....tolong hentikan huhuhuhu..." Tiara menangis dan memohon agar penyiksaan ini di hentikan. "Rasakan....!!!" namun Sagara malah semakin menjadi-jadi, tidak berhenti ia terus menyakiti Tiara sang istri yang tidak berdaya. . . Para pelayan yang menyaksikan kejadian menyedihkan ini, hanya bisa menutup telinga, mata, dan mulut mereka. Sudah selama 3 bulan sejak pernikahan kilat terjadi, Tiara terus mene
Rumah besar dan mewah milik Sagara. Harusnya menjadi istana tempat berlindung yang aman untuk Tiara yang telah resmi menjadi istrinya. Tapi bagi Tiara rumah ini seperti neraka, tempat penyiksaan.Sagara begitu mudah meluapkan emosinya, apalagi kalau keinginannya tidak dituruti, ia pasti akan akan langsung main tangan. Selama tiga bulan ini Tiara sudah terbiasa menerima tamparan di wajahnya yang mungil. Tapi itu tidak seberapa menyakitkan, ada hal yang lebih menyakiti Tiara, sampai-sampai ia tidak bisa menerima perlakuan kurang ajar suaminya. Setelah mendapatkan puluhan pecutan di betis, Tiara berjalan tertatih-tatih. Dua orang pelayan wanita memapah sang nyonya menaikinya lift. Tiara menutup mulutnya rapat-rapat, ia tidak lagi meminta bantuan mereka, sudah tiga kali Tiara gagal melarikan diri dari rumah yang seperti sangkar emas ini. Tapi Tiara selalu saja tertangkap oleh basah suami. Tubuh kecilnya di seret secara kasar, dirinya menerima pukulan bertubi-tubi, semakin ia menjerit men
Matahari pagi menyusup masuk melalui kaca jendela balkon. Tiara terbangun, perlahan ia membuka mata. Hatinya merasa lega saat melihat ranjang sebelahnya sudah kosong. Suaminya pasti sudah lebih dulu bangun dan berangkat bekerja.Sambil masih meringis, Tiara memencet tombol panggilan di sebelah ranjang. Tidak lama kedua pelayan wanita masuk ke dalam kamarnya."Aku mau berendam di bathtub, tolong siapkan air panas." titah Tiara, yang masih menutup tubuh polosnya.Kedua pelayan itu mengangguk, menyiapkan baju dan juga air hangat. Seperti biasanya, setiap pagi Tiara menikmati kedamaian. Ia membasuh dirinya. Menumpahkan jiwanya lelah di dalam bathtub air hangat. Menenggelamkan tubuhnya sampai dengan kepala. Tiara tidak ingin keluar. namun kedua pelayan mengawasi dirinya. "Hahaha, mana bisa mati dengan cara seperti ini." batin Tiara, tersenyum smirk.Setelah menuntaskan ritual mandinya. Tiara berpakaian menggunakan dress santai yang bergaya elegant minimalis. Lalu ia memoles dirinya di dep