"Aduh, sakit! Tuh, kan, Ma ... Mas Zaki suka gitu orangnya," adu Fano. Lidahnya dijulurkan ke arah Zaki bermaksud mengejek kakaknya."Sudah ... sudah! Kok malah kalian yang berantem, sih? Kamu juga Fano, sukanya ikut campur. Kamu sendiri gimana sama Nadira? Jadi nikah gak? Mama sekarang gak masalah mau siapa dulu diantara kalian berdua yang menikah duluan.""Ntar dulu aja, deh, Ma. Fano masih ada kasus besar yang harus diungkap. Setelah itu, nanti Fano pikirkan lagi," balas Fano sambil meringis menunjukkan giginya yang putih dan tersusun rapi."Kasus besar? Kasus apa, Fan? Kamu yang hati-hati kalau berbuat apapun. Jangan sampai kamu kenapa-napa, ya, Fan," sahut Mama Zoya.Tiba-tiba Mama Zoya merasa khawatir dengan keselamatan Fano. Bukan tidak percaya dengan polisi, tapi sebatas khawatirnya seorang ibu."Zaki berangkat, ya, Ma!" pamit Zaki menyudahi pembicaraan pagi itu.Selang beberapa menit kemudian, Fano juga ikut menyusul kakaknya berangkat kerja. Dan hanya tinggal Mama Zoya sendi
"Iya, ini saya Dokter Zaki." Perempuan itu menunduk tak berani menatap Zaki."Kamu beneran Cindi?" ucap Zaki setengah tak percaya.Cindi yang dikenal Zaki, bukanlah Cindi seperti yang ada dihadapannya saat ini. Pakaiannya lusuh, rambutnya tidak tertata rapi dan juga wajahnya tidak semulus dulu."Kamu kenapa? Dan ibu hamil itu siapa kamu?" sambung Zaki."Ceritanya panjang. Tapi, saya mohon, Dok, lakukan yang terbaik untuk teman saya itu. Hanya —" Ucapan Cindi terhenti. Matanya mengedar keberbagai arah seperti orang yang bingung."Kamu gak perlu pikirkan itu. Yang penting kamu setuju kalau temanmu kita operasi, ya?" Seakan paham maksud Cindi, Zaki menyahut. "Terima kasih, Dok."Cindi merasa sangat malu dengan Zaki. Setelah apa yang dia perbuat, Zaki masih mau membantu temannya. Cindi paham betul kalau rumah sakit itu juga pemiliknya adalah Zaki. "Baiklah kalau begitu. Saya akan siapkan ruang operasi segera," ucap Zaki.Cindi pun keluar dari ruangan Zaki. Dengan harap-harap cemas, dia
Rasanya sungkan untuk meminta bantuan lagi kepada Zaki. Zaki sudah banyak membantunya. Dia pun memutuskan untuk mencari cara agar bisa menyewa satu kamar kos agar bayi Intan tidak hidup di jalanan.Dia pun teringat lagi kalau Intan memberinya sebuah dompet yang Cindi sendiri tidak tahu isinya."Isinya apa ini?" Saat itu, Cindi berisitirahat di sebuah masjid setelah berjalan lumayan jauh dari rumah sakit."Subhanallah, Ya Allah, Intan! Kenapa kamu gak bilang dari dulu kalau kamu punya perhiasaan?" Cindi kaget karena dompet itu berisi kalung, gelang dan juga cincin emas beserta surat-suratnya."Apa mungkin ini sudah kamu siapkan, Intan? Apa kamu punya firasat akan pergi? Aku janji akan gunakan ini untuk keperluan yang penting-penting saja. Dan aku janji akan merawat anakmu setulus hatiku," gumam Cindi seorang diri.Cindi lalu berjalan lagi mencari toko emas untuk menjual salah satu perhiasan milik Intan itu. Hasil penjualan itu, akan digunakan oleh Cindi menyewa kos dan juga membeli su
"La, tidak baik terlalu lama menunda jawaban lamaran Raga. Kamu harus segera memutuskannya. Abang tidak bermaksud apapun, La. Tapi ini semua demi kebaikanmu sendiri," nasehat Ridwan pada adiknya."Iya, Bang, Nirmala ngerti."Nirmala memang sudah punya jawaban atas lamaran Raga. Hanya saja dia masih ingin meyakinkan lagi jawaban itu."Bang, Nirmala besok mau ke rumah sakit, ya. Mau lihat Mas Arga," kata Nirmala."Yaudah gak apa-apa. Abang hanya berpesan kamu jangan terlalu dekat lagi Arga lagi. Sebentar lagi putusan cerai kalian akan keluar. Oh iya, Abang sama kakakmu mau pulang juga. Kasihan kakakmu sekarang gampang capek.""Iya, Bang. Hati-hati di jalan, ya, Bang."Ridwan dan Aisyah pamit pulang karena hari juga sudah malam. Nirmala pun ikut pergi melihat outlet laundrynya. Jam operasional laundry milik Nirmala sampai jam sembilan malam. Dan sekarang baru jam delapan malam. "Gimana laundry hari ini? Ramai?" tanya Nirmala pada Odi, salah satu karyawan laki-laki di laundryannya. "Alh
Setelah beberapa lama mengobrol, Nirmala pamit pada Arga. Tak enak juga rasanya jika berlama-lama di sana. Apalagi Nirmala tahu jika sudah ada Farhan yang siap membantu Arga."Kalau begitu Nirmala pamit, ya, Mas. Sampai ketemu di sidang putusan Minggu depan. Semoga cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa," pamit Nirmala sambil menjabat tangan Arga. Tak lupa Nirmala juga berpamitan kepada Farhan."Hati-hati di jalan, La. Salam buat Bang Ridwan, ya! Sampaikan rasa terima kasihku kepadanya." Nirmala mengangguk dan berlalu meninggalkan ruangan Arga.Sebenarnya Nirmala penasaran dengan hubungan Arga dan Farhan. Tapi rasanya tak pantas dia menanyakannya pada mereka. ***"Gimana? Kamu jadi mau ikut aku?" tanya Farhan selepas Nirmala pergi."Ikut Mas Farhan saja. Aku juga penasaran dengan apa yang ingin Mas Farhan tunjukkan padaku," jawab Arga.Farhan memang kembali lagi ke rumah sakit di hari berikutnya. Niatnya, dia ingin mengajak Arga untuk ke kampung halamannya. Selain ke makam D
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Farhan dan Arga sampai juga di rumah sederhana yang letaknya di pelosok desa."Ayo turun, Ga!" ajak Farhan. Dia turun terlebih dahulu dan menurunkan koper yang ada di bagasi."Biar aku bantu." Arga ikut menyusul Farhan dan membawa kopernya sendiri."Terima kasih. Ayo silahkan masuk!" kata Farhan lagi.Suasana pedesaan yang tenang membuat Arga sedikit nyaman. Sejenak dia melupakan pikiran soal peneror yang ternyata bukan Farhan. "Assalamu'alaikum!" seru Farhan. Diketuknya pintu yang terbuat dari kayu itu beberapa kali."Waalaikumsalam. Pakde Farhan?" seru anak laki-laki yang usianya sekitar sepuluh tahunan itu.Arga sekilas melihat anak itu mirip sekali dengan Dara. Dan jika mendengar panggilan anak itu untuk Farhan, sudah tentu itu anak dari adiknya Farhan. Tapi, Arga belum berpikir kalau itu anak Dara, karena bisa saja adik Farhan lebih dari satu."Iya, ini Pakde. Simbah mana?" tanya Farhan sambil sedikit membungkuk."Ada di dapur,
Tok! Tok! Tok!"Le, bangun! Makanannya sudah siap. Ayo makan dulu!" Ibu Dara mengetuk pintu kamar milik Farhan.Arga menggeliat mendengar ketukan dari luar. Dia bangun terlebih dahulu. Sedangkan Farhan masih tertidur pulas."Iya, Bu. Tapi Mas Farhan masih tidur, Bu."Arga keluar kamar terlebih dahulu dan menemui ibunya Dara dan Farhan itu."Biarkan saja dulu, Le. Kamu saja yang makan lebih dulu," kata Ibu Dara yang bernama Ibu Desi."Terima kasih, Bu." Arga mengekori Ibu Desi.Di meja makan sudah tersedia makanan yang sangat banyak. Keenan sudah ada di sana dan duduk tenang di kursi makan. "Kenapa jadi repot-repot begini, Bu? Ini terlalu banyak, Bu," kata Arga tak enak hati."Gak apa-apa, Le. Ini tidak seberapa dibanding dengan kebahagiaan Ibu karena anak Ibu pulang," jawab Ibu Desi sambil tersenyum.Ketiganya lalu makan bersama dalam keheningan. Arga menikmati sekali makanan yang dibuat oleh Ibu Desi. Rasanya sudah lama sekali tidak merasakan masakan seorang Ibu."Wah, makan kok gak
Setelah bertemu dengan Arga, Nirmala sudah tenang. Arga baik-baik saja dan ternyata dia mengenal pengacara yang disewa oleh Ridwan.Saat tengah malam, Nirmala terbangun dari tidurnya. Dia pun memutuskan untuk sholat tahajud. Di atas sajadah, Nirmala berdoa untuk kebaikan semua. "Ya Allah, semoga keputusan yang akan Hamba ambil ini adalah yang terbaik untuk semua. Aamiin!" Sepenggal doa yang dipanjatkan oleh Nirmala.Karena tidak bisa tidur lagi, Nirmala memutuskan untuk membaca Al-Qur'an sampai subuh menjelang. Sungguh, hati Nirmala menjadi sangat tenang dan juga nyaman. Sudah lama sekali dia tidak merasakan hal yang demikian.Sidang terakhir perceraiannya kurang tiga hari lagi. Siap tidak siap, dia harus bersiap dengan status barunya. Status yang bagi sebagian orang akan dianggap sebelah mata. Hari ini, Nirmala berencana ingin bicara empat mata dengan Raga. Dia tidak mau terlalu lama menggantung lamaran dari Raga.[Assalamu'alaikum, Mas Raga. Maaf mengganggu waktunya. Apa bisa kit