Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Farhan dan Arga sampai juga di rumah sederhana yang letaknya di pelosok desa."Ayo turun, Ga!" ajak Farhan. Dia turun terlebih dahulu dan menurunkan koper yang ada di bagasi."Biar aku bantu." Arga ikut menyusul Farhan dan membawa kopernya sendiri."Terima kasih. Ayo silahkan masuk!" kata Farhan lagi.Suasana pedesaan yang tenang membuat Arga sedikit nyaman. Sejenak dia melupakan pikiran soal peneror yang ternyata bukan Farhan. "Assalamu'alaikum!" seru Farhan. Diketuknya pintu yang terbuat dari kayu itu beberapa kali."Waalaikumsalam. Pakde Farhan?" seru anak laki-laki yang usianya sekitar sepuluh tahunan itu.Arga sekilas melihat anak itu mirip sekali dengan Dara. Dan jika mendengar panggilan anak itu untuk Farhan, sudah tentu itu anak dari adiknya Farhan. Tapi, Arga belum berpikir kalau itu anak Dara, karena bisa saja adik Farhan lebih dari satu."Iya, ini Pakde. Simbah mana?" tanya Farhan sambil sedikit membungkuk."Ada di dapur,
Tok! Tok! Tok!"Le, bangun! Makanannya sudah siap. Ayo makan dulu!" Ibu Dara mengetuk pintu kamar milik Farhan.Arga menggeliat mendengar ketukan dari luar. Dia bangun terlebih dahulu. Sedangkan Farhan masih tertidur pulas."Iya, Bu. Tapi Mas Farhan masih tidur, Bu."Arga keluar kamar terlebih dahulu dan menemui ibunya Dara dan Farhan itu."Biarkan saja dulu, Le. Kamu saja yang makan lebih dulu," kata Ibu Dara yang bernama Ibu Desi."Terima kasih, Bu." Arga mengekori Ibu Desi.Di meja makan sudah tersedia makanan yang sangat banyak. Keenan sudah ada di sana dan duduk tenang di kursi makan. "Kenapa jadi repot-repot begini, Bu? Ini terlalu banyak, Bu," kata Arga tak enak hati."Gak apa-apa, Le. Ini tidak seberapa dibanding dengan kebahagiaan Ibu karena anak Ibu pulang," jawab Ibu Desi sambil tersenyum.Ketiganya lalu makan bersama dalam keheningan. Arga menikmati sekali makanan yang dibuat oleh Ibu Desi. Rasanya sudah lama sekali tidak merasakan masakan seorang Ibu."Wah, makan kok gak
Setelah bertemu dengan Arga, Nirmala sudah tenang. Arga baik-baik saja dan ternyata dia mengenal pengacara yang disewa oleh Ridwan.Saat tengah malam, Nirmala terbangun dari tidurnya. Dia pun memutuskan untuk sholat tahajud. Di atas sajadah, Nirmala berdoa untuk kebaikan semua. "Ya Allah, semoga keputusan yang akan Hamba ambil ini adalah yang terbaik untuk semua. Aamiin!" Sepenggal doa yang dipanjatkan oleh Nirmala.Karena tidak bisa tidur lagi, Nirmala memutuskan untuk membaca Al-Qur'an sampai subuh menjelang. Sungguh, hati Nirmala menjadi sangat tenang dan juga nyaman. Sudah lama sekali dia tidak merasakan hal yang demikian.Sidang terakhir perceraiannya kurang tiga hari lagi. Siap tidak siap, dia harus bersiap dengan status barunya. Status yang bagi sebagian orang akan dianggap sebelah mata. Hari ini, Nirmala berencana ingin bicara empat mata dengan Raga. Dia tidak mau terlalu lama menggantung lamaran dari Raga.[Assalamu'alaikum, Mas Raga. Maaf mengganggu waktunya. Apa bisa kit
"Kamu sudah siap, La?" tanya Ridwan. Dia ingin memastikan jika yang akan disampaikan oleh adiknya adalah yang terbaik."InshaaAllah sudah, Bang. Nirmala siap mengatakan keputusannya dan semoga ini yang terbaik untuk semuanya, Bang.""Aamiin! Ya sudah, ayo kita ke depan! Gak enak kalau Raga kelamaan nunggu," kata Ridwan. Nirmala pun mengangguk.Nirmala dan Ridwan berjalan beriringan. Di ruang tamu, Raga sudah menunggu. Di depan Raga sudah tersaji teh hangat dan juga beberapa camilan. "Maaf, ya, Ga, lama menunggu," ucap Ridwan sambil menyalami Raga. "Gak apa-apa, Bang. Belum lama juga aku di sini," jawab Raga sembari tersenyum.Setelah dipersilahkan duduk, Nirmala mulai mengatur nafas sebelum memulai pembicaraan. "Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk menyampaikan keputusan ini," batin Nirmala sembari menutup matanya."La, kok malah merem!" seru Ridwan.Ternyata Nirmala memejamkan mata untuk waktu yang agak lama dan dia tidak sadar."Eh, maaf, Bang. Maaf, ya, Mas Raga. Sebelumnya Nirm
Pasca keputusan dari Nirmala, semuanya berjalan seperti biasa. Raga sudah tidak pernah menghubungi Nirmala lagi. Hari yang ditunggu pun datang. Sidang terakhir perceraian Nirmala digelar. Dia datang sendirian karena Ridwan harus menemani Aisyah ke dokter."Kamu beneran gak apa-apa, kan, Dek? Maaf, ya, jadwalnya sama dengan jadwal kontrol ke dokter," ucap Aisyah saat Nirmala berkunjung ke rumahnya."Gak apa-apa, Kak. Lagian ini cuma sidang pembacaan putusan. Cek up calon keponakanku ini penting, Kak. Jadi, jangan sampai dilewatkan," jawab Nirmala sambil mengelus perut milik Aisyah.Usia kandungan Aisyah kini sudah memasuki trimester ketiga. Semakin sering pula Aisyah dan Ridwan kontrol rutin ke dokter untuk memastikan semuanya baik-baik saja."Alhamdulillah. Nanti kalau sempat, kita akan mampir ke sana, La. Itu pun kalau sidangnya belum selesai," sahut Ridwan yang baru saja bergabung bersama mereka."Iya, Bang. Tidak pun tak masalah, Bang. Nirmala minta doanya, ya, Kak, Bang. Semoga s
"Kalian berangkat bareng?" tanya Nirmala saat sudah bergabung bersama mereka."Iya, La. Ternyata Mas Farhan ini kakaknya temanku jaman dulu. Dan kami ada sedikit urusan yang harus diselesaikan," balas Arga. Balasan Arga itu sekaligus menjawab beberapa pertanyaan lainnya. Ya walaupun tidak semuanya terjawab. Nirmala tak mau terlalu dalam ikut campur urusan mereka."Oh begitu." Respon yang Nirmala berikan cukup singkat.Mereka bertiga duduk di depan ruang sidang sembari menunggu jam sembilan. Keakraban Arga dan Farhan membuat Nirmala merasa canggung. Dia tidak tahu yang dua orang laki-laki itu bicarakan.Sambil memilin ujung bajunya, Nirmala berusaha untuk tidak terlihat gugup di depan Arga. Kalau boleh jujur, saat ini dia sangat tegang dan juga gugup."Ayo masuk, Bu Nirmala!" ajak Farhan karena hakim ketua juga sudah datang. Nirmala mengangguk dan berjalan mengikuti langkah Farhan dan Arga. Nirmala duduk bersama dengan Farhan. Sedangkan Arga, dia duduk sendirian karena memang tidak a
Nirmala mondar-mandir di depan rumah Ridwan. Dia masih terus mencoba menghubungi kakaknya itu. [Ada apa, La? Abang masih di rumah sakit. Tadi kakakmu mendadak pendarahan. Kita di rumah sakit tempat Zaki kerja.] Sebuah pesan mengejutkan datang dari Ridwan. Tanpa pikir panjang, Nirmala pergi ke rumah sakit yang dimaksud oleh Ridwan. "Halo, Bang. Nirmala ada di depan rumah sakit. Abang dan Kak Aisyah di mana?" tanya Nirmala lewat telepon. "Abang masih di IGD, La. Masih nunggu observasi apakah perlu rawat inap atau tidak. Kamu ke sini saja," balas Ridwan. Saat sedang menunggu antrian pemeriksaan, tiba-tiba Aisyah merasakan sakit perut yang hebat. Darah segar mengalir dari kedua kakinya. Beruntung mereka ada di rumah sakit, jadi segera dapat pertolongan dan bayi dalam kandungan Aisyah baik-baik saja. "Permisi, Bang!" ucap Zaki yang kebetulan menangani Aisyah juga. "Bagaimana, Dok? Istri saya tidak apa-apa, kan?" Jelas sekali raut kekhawatiran dari wajah Ridwan. "Alhamdulillah semu
"Ada apa, Bang?" tanya Nirmala setelah mereka ada di ruang tamu."Abang mau minta bantuan darimu, La. Tolong kamu tinggal di sini sementara waktu sampai kakakmu melahirkan. Abang takut kejadian serupa terjadi lagi karena Abang tak bisa seharian bersama kakakmu. Abang sedang ada beberapa proyek yang tidak bisa diwakilkan, La."Beberapa bisnis baru memang tengah dijajal oleh Ridwan. Dan sekarang ini dia tengah sibuk-sibuknya menyiapkan semuanya bersama dengan tim manajemen miliknya.Lama sekali Nirmala berpikir mengenai permintaan Ridwan itu. Dia juga sebenarnya saat ini tengah mempersiapkan pembukaan cabang baru. Tapi, keselamatan Aisyah juga sama pentingnya."Boleh, deh, Bang. Nirmala juga takut kalau Kak Aisyah jatuh lagi. Nanti urusan pembukaan laundry cabang baru gampang lah bisa diatur," jawab Nirmala."Alhamdulillah. Terima kasih, ya, La!"