Athena mengendarai mobilnya keluar dari area sebuah rumah sakit sambil menangis. Jam menunjukkan pukul tiga sore."Brengsek! Kenapa gue harus hamil anak Rey! Menjijikkan sekali, hasil hubungan terlarang," gumamnya, sambil terus menangis.Tadi setelah terbangun dari tidurnya, dia mandi dan makan siang, lalu periksa ke dokter. Hasilnya sangat mengejutkan, fakta bahwa wanita itu kini berbadan dua."Selamat, ya, Bu. Anda kini sedang hamil. Dari hasil USG, ada janin yang berusia satu bulan." Itu adalah kata-kata keramat dari dokter tadi, yang sangat tidak ingin didengar oleh Athena.Wanita itu tak menyangka, hubungan di luar nikah yang hanya semalam, menghasilkan seorang calon bayi di dalam perutnya. Hatinya tidak bahagia, tetapi justru rasa menyesal dan hancur berkeping-keping terus saja menghantui. Athena menghapus air mata yang menghalangi pandangannya agar bisa menyetir morbid dengan benar. Dia menuju rumah Edwin, sambil berharap pria itu sudah pulang dari kantor. Di antara napas yan
Athena terus berlari menuju apartemennya, yang ternyata hanya beberapa meter dari toko tempat dia memarkirkan mobil tadi. Sesekali menoleh ke belakang. Edwin, Audrey dan Zofia masih berusaha mengejarnya."Ngapain pakai dikejar segala!" kesalnya, sambil terus berlari.Sampai di depan lift, Athena segera menuju lantai paling atas. Audrey menyipitkan mata, sempat melihat di atas pintu lift itu, angka 12 di samping arah panah. Lantai yang dituju oleh Athena. "Maaf, Bapak-Ibu ini siapa? Kenapa lari-lari?" tanya seorang satpam, sambil menghadang mereka.Edwin menangkupkan kedua telapak tangannya di dada. "Maaf, kami izin masuk, karena ada kepentingan darurat.""Untuk apa Anda semua lari-lari. Kalau Bu Athena memang salah seorang penghuni apartemen ini. Kami belum pernah melihat Bapak di sini." Satpam itu merasa curiga."Athena mau bun*uh diri, Pak! Kami mau mencegahnya. Izinkan kami masuk," pinta Edwin, langsung menerobos tangan Pak satpam yang tadi menghadangnya.Audrey mengatur napasnya y
Beberapa saat kemudian, Rey datang. Dia mendapatkan info tentang alamat apartemen dan arah rooftop itu dari Edwin. "Athena, aku ... minta maaf," ucap Rey, ragu.Semua menoleh. Edwin mengembuskan napas lega. "Akhirnya lu ke sini juga!" Dia melirik sinis, teringat kejadian beberapa tahun lalu.Rey tak menjawab, karena merasa tak enak pernah membuat fitnah dalam rumah tangga Edwin. Athena menoleh, lalu berdiri dengan badan yang sedikit terhuyung. "Mau apa lu ke sini, brengsek?"Audrey memegang kedua bahu perempuan di sampingnya, agar tidak jatuh."Aku mau tanggung jawab atas anak di dalam perutmu. Tolong, jangan bun*h diri!" pinta Rey, memelas."Halah! Omong kosong!" teriak Athena, dengan mata yang menyorot tajam pada lelaki yang telah menodainya.Rey mencoba mendekat. "Izinkan aku menebus kesalahanku."Tiba-tiba tubuh Athena bergetar hebat, lalu dia seperti ketakutan. "Pergi! Gue belum sanggup lihat lu!" Audrey membaca situasi. "Tolong kamu pergi, sepertinya Athena masih trauma.""T
"Alhamdulillaah, ya, Mas. Satu bulan sejak Athena mau kembali ke jalan yang benar, rumah tangga kita ikut adem-ayem. Nggak ada lagi yang menganggu. Dianti juga lebih mudah diatur, karena sudah semakin besar," kata Audrey, seraya memasangkan dasi ke kemeja kerja suaminya.Edwin menatap lekat istrinya sambil mengangkat kedua sudut bibir ke atas. "Iya, Sayang. Alhamdulillaah. Mungkin, itu berkah sekaligus rezeki dari Allah."Audrey menghentikan aktivitasnya sejenak, dengan dahi berkerut dalam. "Rezeki? Maksudnya, Mas?""Rezeki, kan, nggak harus dalam bentuk uang. Bisa nikmat iman yang baru dirasakan Athena sekarang. Bisa dalam bentuk kesehatan, serta ketenangan atau sakinah dalam rumah tangga. Makanya, seorang muslim itu harus membantu orang lain saat kesulitan, supaya Allah juga memberikan jalan keluar pada kita ketika menghadapi masalah. Nggak peduli dia itu jahat atau tidak. Bahkan, mungkin pernah menyakiti kita," jelas Edwin."Baru paham sekarang. Pantesan Athena itu kelihatan lebih
Acara ijab qabul Rey dan Athena berjalan dengan lancar. Tamu yang diundang sangat sedikit, meliputi keluarga, kerabat dekat dan teman-teman mereka berdua.Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan-makan secara prasmanan. Setelah selesai, para tamu memberikan selamat kepada kedua mempelai."Semoga bahagia, ya, Na! Jaga baik-baik kandunganmu! Dia berhak mempunyai ibu yang salehah, terlepas seperti apa masa lalunya. Semua orang berhak menjadi lebih baik," pesan Audrey, sambil menyalami Athena. "Aamiin. Makasih, Audrey. Kamu adalah jembatan untukku mendapatkan hidayah Allah. Nggak akan aku lepaskan teman sebaik kamu," jawab Athena.Audrey menatap pada temannya itu. "Kamu cantik banget hari ini, beda dari biasanya!""Iish! Ya iya, kan, momen nikah. Kalau dandan kayak biasa, nanti tamunya bingung, pengantinnya mana?""Ahaha, kamu bisa aja. Ya udah, aku pamit dulu, sama Mas Edwin dan Dianti," sahut Audrey.Edwin saling tatap sejenak dengan Rey, karena merasakan sesuatu yang tak nyaman. Na
Audrey melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa semangat sama sekali. Mulai dari mencuci baju serta menjemurnya, mencuci piring dan menyapu lantai. Dia merasa lelah, enggan memasak untuk makan siang, lalu terbaring kembali di kamar."Baiklah, kalau memang Mama mau memanjakan Dianti. Biarkan saja, aku nggak akan mengganggu, sebab kendali pada anakku sendiri perlahan mulai terkikis. Sekalian nanti kalau dia pulang, makan siang di tempat Omanya!" geram Audrey, mulai menitikkan air mata lagi.Dia sadar, seharusnya tugas mendidik anak ada di pundak seorang ibu, tetapi Dianti lebih percaya pada Zofia, karena terlalu dimanjakan sejak kecil. Dia sendiri heran, mengapa Sean dan Syifa tidak diperlakukan demikian. Mungkin karena Papa-Mama mereka orang berada. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari arah depan. "Assalaamu'alaikum. Yang di depan, motor dari Oma buat aku, ya, Ma?" tanya perempuan beranjak remaja itu, sambil mencium punggung tangan Audrey."Wa'alaikumussalaam," jawab Mamanya, tanpa ban
Edwin pulang ke rumah bakda Isya'. Dianti yang sedang duduk di ruang tamu, justru sibuk mengunggah foto motornya di aplikasi Ins****am. "Assalaamu'alaikum," salam Papanya, tetapi tak dijawab.Dianti masih sibuk dengan ponselnya."Nak, kalau Papa salam dijawab!" tegur Edwin, membuat anaknya terperanjat."Eh, Papa? Wa'alaikumussalaam. Baru pulang, Pa?" tanya Dianti santai, sambil berdiri lalu menjabat dan mencium punggung tangan Papanya. Pria itu menggeleng lemah. "Lain kali, jangan terlalu fokus sama HP. Sepenting apa, sih? Menjawab salam itu wajib, Nak." Dia mengalihkan pandangan ke ponsel Dianti di atas meja yang masih menyala."Ma-maaf, Pa. Tadi, lagi upload foto motor baru. Abisnya keren banget, hadiah dari Oma," jawab putrinya, dengan suara pelan."Ya sudah, tapi lain kali jangan diulangi! Sudah kerjakan PR atau belajar buat ulangan?"Dianti tampak berpikir, lalu mukanya ditekuk. "Belum, Pa."Edwin membuang napas kasar. "Kerjakan dulu sana! Prioritaskan mana yang lebih penting.
Sejak saat itu, Dianti selalu bangun lebih awal demi bisa menyetir motor ke sekolah, diikuti Edwin. Bila pulang, kebetulan Papanya sedang senggang sehingga bisa mengawasi anaknya memakai mobil dari belakang, agar dia tetap selamat. Hal itu berlangsung selama tiga hari.Selanjutnya, Dianti sudah dibolehkan berangkat sekolah menyetir motor dan pulangnya, tanpa diikuti lagi oleh Edwin. Audrey hanya bisa mendoakan dari rumah, semoga putrinya selalu diberi keselamatan.Pada Sabtu sore, Dianti mengunjungi Omanya."Assaamu'alaikum, Oma," salamnya.Zofia yang baru selesai menyetrika baju, menuju pintu. "Wa'alaikumussalaam. Tumben, sore-sore udah ke sini? Biasanya bikin tugas terus.""Hehe, iya, nih. Mumpung weekend, mau minta izin pakai Wifi, buat nonton film terbaru di salah satu aplikasi berbayar," jawab Dianti, sambil memamerkan deretan giginya yang rapi."Boleh, dong, Sayang. Masuk aja! Oma mau bicara sesuatu sama kamu," kata Zofia, lalu berjalan masuk.Putrinya Edwin mengerutkan dahi, ke