Delapan tahun lalu saat kremasi Bu Stefani selesai dilaksanakan,
Pak Darius menyimpan guci itu ke dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian menaruh sebuah karangan bunga kecil di sampingnya. Berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian menutup tempat itu.
“Sudah selesai? Kita pulang sekarang, ada beberapa perobotan rumah yang harus kita beli sekarang juga,” Bu Fiona menggandeng tangan Pak Darius tidak sabar.
Daniel yang melihat itu lagi-lagi harus menahan rasa marahnya, Bu Stefani baru saja dikremasi, Yohan tidak tahu di mana, lalu wanita ini dengan santainya mengajak berbelanja?
“Aku harus mencari Yohan dulu,” ucap Pak Darius. “Setelah itu baru kita berbelanja.”
“Anak itu akan pulang sendiri. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi,” Bu Fiona mulai kesal jika pembicaraan tentang Yohan terjadi.
Sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri, Daniel segera angkat bicara, “Yohan bukan seseorang yang akan berpikir realistis saat sedang marah, apakah anda tidak cemas terjadi sesuatu dengannya?”
“Apa yang bisa terjadi? Merajuk?” ejek Bu Fiona.
“Yohan bersikeras tidak ingin ibunya dikremasi, lalu sekarang dia menghilang belum kembali, tidakkah anda sebagai seorang ibu tidak merasa cemas sedikitpun?” tutur Daniel dengan sangat menjaga emosinya.
Bu Fiona mengangkat bahu, “Dia bukan anakku dan aku tidak peduli, jika kau memang cemas ya sudah cari saja sendiri! Kau memperlakukan dia seperti bayi saja.”
“Sudahlah!” Pak Darius melerai. “Kita pergi sekarang. Daniel, terima kasih sudah membantu, ya.”
Daniel hanya mengangguk dan membiarkan pasangan itu pergi dari sana. Lelaki itu kembali mendekat ke arah guci abu Bu Stefani, berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian mengusapnya pelan.
“Tenang di sana, tante.”
***
Seminggu telah berlalu, Yohan benar-benar tidak ada tanda-tanda untuk kembali. Ponselnya tidak aktif, tidak ada di apartemen, kampus, bahkan di tempat pribadinya.
Hanya keterangan dari pelayan yang sempat melihat Yohan malam itu pulang. Setelah itu Yohan tidak terlihat lagi.
“Mungkin anak itu keluar kota, biarkan saja,” ujar Bu Fiona satu waktu.
“Yohan tidak memegang uang sepeser pun, bukankah kau yang memintaku untuk menarik uangnya?”
Pak Darius juga sudah mengecek ke tempat saudaranya yang lain, mungkin saja Yohan di sana, namun tidak ada satupun dari mereka yang tahu di mana Yohan.
“Lebih baik kita bersiap, Alvin dan Diana akan kembali. Jadilah ayah yang baik, karena ini sudah waktunya!”
Lagi-lagi Pak Darius tidak bisa untuk menolak apa yang dikatakan oleh sang istri. Ia hanya berharap Yohan bisa cepat kembali dengan keadaan yang baik-baik saja.
***
Keadaan yang sama terjadi pada Daniel, karena Yohan belum kembali ia berusaha keras untuk mengupayakan penundaan ujian pada Yohan. Tapi susah sekali, mereka adalah mahasiswa kedokteran yang harus disiplin.
Jika melanggar satu aspek saja maka akan berakibat buruk pada nilai akhir mereka. Yohan sebenarnya mahasiswa yang sangat pintar, namun keadaan akhir-akhir ini begitu mengganggu konsentrasi Yohan sehingga semua nilai dan tugasnya merosot jauh.
“Apakah Yohan masih belum masuk?” tanya Ayu mendekat ke Daniel.
Daniel menggeleng, “Masih berduka,” ujarnya, ia memang tidak memberitahu temannya yang lain jika keberadaan Yohan tidak diketahui. Ponsel Daniel bergetar, dengan cepat ia segera membuka pesan itu?
“Oh?” mata Daniel membulat kaget saat membacanya.
[Temui aku di bandara internasional jam sebelas siang ini, mungkin ini akan menjadi perpisahan kita –Yohan]
Tidak tahu apa yang terjadi, Daniel tidak berpikir dua kali lagi, buru-buru menyambar tasnya dan berlari pergi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas, jika Daniel tidak cepat, mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi.
***
“Yohan??”
Daniel berlari seraya melihat kesekeliling mencari keberadaan dari Yohan, ini tidaklah mudah karena di sana banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Setidaknya Daniel akan mencoba mencari segala arah, pesan Yohan tadi sangatlah singkat dan tidak bisa untuk dihubungi kembali.
“Tuan Daniel?”
Daniel menengok dan mendapati seseorang dengan pakaian rapi berjas menghampiri Daniel. “Iya?”
“Ikutlah saya, Tuan Yohan sudah menunggu,” ujarnya.
Meskipun tidak mengerti dan tidak mengenal orang ini, Daniel tidak ada pilihan lain kecuali mengikutinya.
“Yohan??”
Ada perasaan lega dan juga senang saat Daniel melihat seseorang di sana, buru-buru ia berlari mendekat. “Yohan, apa yang …,”
Daniel cukup terkejut dengan apa yang dia lihat sekarang, keadaan Yohan terlihat tidak begitu baik, ia duduk di kursi roda dengan kaki yang dibalut perban, wajahnya juga nampak luka-luka.
“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Daniel sembari merendahkan tubuhnya dan berjongkok di depan Yohan. “Aku sudah mencarimu ke mana-mana, apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa bisa seperti ini?
Yohan tidak menjawab, matanya berkaca-kaca, ia memegang tangan Daniel dan meremasnya dengan kuat. “A-aku harus pergi,” ucapnya gemetar.
“Pergi?” Daniel kaget. “Pergi ke mana? Apakah ayahmu tahu?”
“T-tidak, dia bukan ayahku lagi. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi,” air mata Yohan jatuh.
Daniel masih tidak mengerti. “Yohan, apa yang terjadi? Katakan, aku akan membantumu tapi aku mohon jangan melakukan hal yang bodoh,” bujuknya.
“Aku akan kembali, tapi saat aku sudah kuat, aku tidak bisa hidup berdekatan dengan orang yang membuat ibuku meninggal.”
“Yohan,”
Yohan kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Daniel, kemudian mengucapkan kalimat yang membuat Daniel membelalakkan matanya kaget bukan main.
“Apa yang kau katakan? Kau bercanda?”
“Tidak,” Yohan menggeleng. “Mama meninggalkan sesuatu untukku, aku tidak bisa tinggal diam.”
Segal emosi dan kesedihan yang dirasakan oleh Yohan bisa Daniel rasakan, ia belum pernah melihat Yohan seperti ini. “Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau tidak memegang uang sepeserpun, kau tidak punya apa-apa, Yohan!”
“Ada seseorang yang akan membantuku, jangan cemas. Terima kasih kau sudah menjadi sahabat yang baik, aku minta tolong untuk menjaga mama selagi aku pergi.”
“Yohan,” Daniel berusaha membujuk. “Aku bisa membantumu, apa yang kau butuhkan? Tapi kau jangan pergi ke manapun!” pintanya.
Yohan menggeleng, “Terima kasih, tapi aku harus pergi,” katanya seraya memberikan sesuatu pada Daniel. “Berikan ini pada papa, katakan padanya semoga bahagia dengan keluarga barunya.”
“Yohan.”
“Aku akan kembali, tapi aku tidak bisa tahu kapan. Selamat tinggal, Daniel.” Yohan tersenyum dan memeluk Daniel untuk terakhir kalinya.
Daniel menarik nafas panjang, “Well, kau tahu harus menghubungiku jika butuh sesuatu. Kau harus ingat, aku memiliki uang dan juga kekuasaan,” ujarnya mengingatkan.
Yohan mengangguk, kemudian lelaki berjas tadi mendorong kursi roda Yohan dan mereka pergi karena pesawat mereka sudah siap untuk berangkat. Daniel menatap kepergian sahabatnya itu dengan ikhlas.
Tidak mungkin Yohan mengambil keputusan tanpa berpikir dahulu, apa yang dia tahu pasti lebih banyak. Daniel tidak bisa untuk mencegahnya lagi.
Sebaliknya, Daniel mengepalkan tangannya saat mengingat apa yang dikatakan oleh Yohan tadi. Sebagai seorang ayah, Pak Darius benar-benar tidak tegas dalam mengambil tindakan.
Daniel kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang, “Bisakah aku menyewa seorang pengawal lagi? Yah, kali ini aku ingin pengawal yang tidak segan melukai seseorang. Kirimkan sekarang!”
***
“Jadi, anak itu tidak akan kembali?” Bu Fiona bersedekap tangan sembari mendekati Pak Darius yang duduk di ruang tengah. Sejak kehadiran Daniel yang cukup singkat tadi membuat Pak Darius banyak terdiam.“Sudahlah, lebih baik seperti ini. Kau tidak akan mencarinya, kan?”Pak Darius menggeleng, “Dia sudah tidak menganggap aku ayahnya,” ujar lelaki paruh baya itu datar.“Ya sudah, kau masih memiliki dua anak yang lebih baik dari dia, jangan pikirkan Yohan lagi!! Sudah cukup semua tentang dia dan ibunya.”“Kau dulu pernah berkata, apapun yang akan terjadi aku tetap boleh mengurus Yohan dengan baik. Tapi apa ternyata?”Bu Fiona mendekati Pak Darius kemudian merengkuh bahunya, “Dengar, ini tujuan kita dari awal, jangan pernah lupa dan jangan goyah. Kita udah sampai di tahap yang kita inginkan sejak awal! Jangan memikirkan mereka lagi!”Pak Darius terdiam.“Yohan sudah bukan anakmu lagi. Ingat, kau sebenarnya juga tidak pernah menginginkan anak itu dari awal!” tegas Bu Fiona.“Mama!! Kakak
“Sepertinya itu memang benar ayahmu!”Yohan meletakkan roti yang ada di tangannya dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Daniel.Seorang lelaki lima puluh tahunan awal nampak sedang berbelanja di sebuah outlet pakaian di Mall itu. Yohan bisa mengenali sang ayah dengan mudah.“Wah, sedang berbelanja untuk ulang tahun pernikahan mungkin?” sahut Ayu seraya tersenyum.Namun Yohan tidak bereaksi apapun, ia masih melihat ke arah sana dengan jantung yang berdebar aneh. Apalagi saat seorang wanita menghampiri ayahnya dan menggandeng lengan lelaki itu.Wanita yang bukan ibu dari Yohan tentu saja, Yohan tidak mengenali dia, bukan sekretaris Pak Darius, sang ayah, maupun saudaranya. Dan hal yang membuat Yohan bertambah kaget adalah saat Pak Darius mencium pipi wanita itu.Yohan berdiri tanpa sadar, tidak menghiraukn teman-temannya yang bertanya ia segera berjalan lurus menuju ke tempat itu. Ia hanya berpikir untuk menemui ayahnya dan meminta penjelasan.“Papa?” tegur Yohan yang sebenarnya ia be
“Aku tidak pernah mengajari anakku untuk berkata tidak sopan seperti itu apalagi terhadap seorang wanita!” Pak Darius menatap Yohan dengan tajam sementara Bu Fiona bersedekap tangan puas.“Jika semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik saja kenapa harus memancing keributan seperti ini? Anak kurang ajar!”Yohan tertegun dan meraba pipinya yang terasa begitu perih dan panas, ini bertama kalinya Pak Darius memukulnya dan mengatakan hal yang begitu menyakitkan.“Jadi, papa lebih membela wanita itu daripada aku?” tanyanya menatap Pak Darius tidak percaya. “Bukankah aku anak papa?”“Sudahlah!” Bu Fiona menyela. “Mungkin memang sudah saatnya kau tahu, daripada kami menyembunyikan ini terus. Akan lebih baik juga jika kau yang menjelaskan pada ibumu nanti.”Entah kenapa setiap kali wanita itu bicara emosi Yohan selalu tersurut. “Jika kau berani memberitahu mama, aku tidak segan untuk melakukan sesuatu! Sebaliknya, aku berikan waktu pada kalian untuk mengakhiri hubungan terkutuk itu!!”“Kau ti
Daniel berjalan menyusuri koridor rumah sakit dan mencari nomor kamar tempat Yohan dirawat. Lelaki itu membawa satu paperbag berisi makanan dan juga kebutuhan untuk sahabatnya itu.Yohan yang berbaring di tempat tidur berusaha bangkit. Kakinya mendapatkan beberapa jahitan serta tangan kiri harus digips untuk beberapa waktu.“Bubur dan juga jus, makanlah.” Daniel mengeluarkan isi paperbag yang ia bawa. “Berhentilah bertengkar dengan ayahmu, dia mencabut semua uangmu dan kau terancam tidak bisa ikut ujian.”“Dia memang membenciku, mungkin aku bukan anaknya.”Daniel menarik nafas panjang, satu yang tidak suka dari Yohan adalah anak ini selain pemarah juga sering menyalahkan dirinya sendiri, susah menerima masukan dari orang lain juga.***Yohan berada di rumah sakit sekitar lima hari saja, ibunya tidak mengizinkan untuk kembali ke apartemen, Yohan harus pulang ke rumah sampai keadaannya benar-benar pulih.Sebenarnya Yohan malas sekali harus pulang dan bertemu dengan Pak Darius setiap har
“Yohan, papa mohon, jangan begini terus!” Pak Darius berulang kali mencoba untuk membujuk. “Kau bukan anak kecil lagi, kasihan mama jika terus-terusan kau tahan seperti ini!”Duka Yohan sangatlah mendalam, ia benar-benar tidak mengizinkan ibunya untuk diproses pemakaman. Yohan akan mengamuk dan menyalahkan semua orang.“PERGI!! Ini semua karena selingkuhan papa! Dia membunuh mama!!” seru Yohan menangkis tangan Pak Darius dan kembali memeluk tubuh ibunya yang telah kaku itu.“Yohan, jika kau tetap seperti ini! Papa tidak akan terus menunggu. Kita harus memulai kremasi pada mama!” tegas Pak Darius.Lagi-lagi Yohan menggelengkan kepala, “Mama tidak akan pergi ke manapun! Dia akan tetap di sini bersamaku!” ujarnya berkeras.Yohan hendak memegang tangan wanita itu saat dirinya menangkap sesuatu yang tergenggam di jemari tangan ibunya yang sudah kaku. “Oh?” Dengan perlahan Yohan menariknya.Jantung lelaki itu berdetak dengan sangat kencang saat melihat apa yang tertera pada kertas itu.“Su
Tahun mungkin sudah silih berganti, orang juga banyak berubah. Akan tetapi pemuda yang berdiri dengan pakaian rapi berwibawa ini masih memberikan kesan yang sama seperti delapan tahun yang lalu.“Ini Kak Yohan, dokter dan juga rekan kerja Kak Alvin di rumah sakit,” kata Diana memperkenalkan.Pak Darius merasakan kakinya lemas tak bertulang, jantung berdetak dengan sangat cepat. Ini bukan mimpi, Yohan ini benar-benar Yohan yang telah menghilang delapan tahun yang lalu.“Bagaimana bisa …,” Bu Fiona pun tak kalah kaget, matanya terbelalak lebih pada menyiratkan kebencian yang begitu mendalam. Rasa senang yang beberapa saat lalu ia rasakan kini hilang entah ke mana.“Saya Yohan, rekan kerja Dokter Alvin di departemen yang sama. Senang sekali bisa berkunjung!” sapa Yohan dengan senyum tersungging seolah kemenangan telah berhasil ia raih.Entah bagaimana dia bisa mengatur dirinya untuk tetap setenang itu. “Tidak heran Dokter Alvin begitu cakap, dia memiliki orang tua sehebat kalian. Pasti m
“Jadi, anak itu tidak akan kembali?” Bu Fiona bersedekap tangan sembari mendekati Pak Darius yang duduk di ruang tengah. Sejak kehadiran Daniel yang cukup singkat tadi membuat Pak Darius banyak terdiam.“Sudahlah, lebih baik seperti ini. Kau tidak akan mencarinya, kan?”Pak Darius menggeleng, “Dia sudah tidak menganggap aku ayahnya,” ujar lelaki paruh baya itu datar.“Ya sudah, kau masih memiliki dua anak yang lebih baik dari dia, jangan pikirkan Yohan lagi!! Sudah cukup semua tentang dia dan ibunya.”“Kau dulu pernah berkata, apapun yang akan terjadi aku tetap boleh mengurus Yohan dengan baik. Tapi apa ternyata?”Bu Fiona mendekati Pak Darius kemudian merengkuh bahunya, “Dengar, ini tujuan kita dari awal, jangan pernah lupa dan jangan goyah. Kita udah sampai di tahap yang kita inginkan sejak awal! Jangan memikirkan mereka lagi!”Pak Darius terdiam.“Yohan sudah bukan anakmu lagi. Ingat, kau sebenarnya juga tidak pernah menginginkan anak itu dari awal!” tegas Bu Fiona.“Mama!! Kakak
Delapan tahun lalu saat kremasi Bu Stefani selesai dilaksanakan, Pak Darius menyimpan guci itu ke dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian menaruh sebuah karangan bunga kecil di sampingnya. Berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian menutup tempat itu.“Sudah selesai? Kita pulang sekarang, ada beberapa perobotan rumah yang harus kita beli sekarang juga,” Bu Fiona menggandeng tangan Pak Darius tidak sabar.Daniel yang melihat itu lagi-lagi harus menahan rasa marahnya, Bu Stefani baru saja dikremasi, Yohan tidak tahu di mana, lalu wanita ini dengan santainya mengajak berbelanja?“Aku harus mencari Yohan dulu,” ucap Pak Darius. “Setelah itu baru kita berbelanja.”“Anak itu akan pulang sendiri. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi,” Bu Fiona mulai kesal jika pembicaraan tentang Yohan terjadi.Sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri, Daniel segera angkat bicara, “Yohan bukan seseorang yang akan berpikir realistis saat sedang marah, apakah anda tidak cemas terjadi sesuatu dengannya?”“Ap
Tahun mungkin sudah silih berganti, orang juga banyak berubah. Akan tetapi pemuda yang berdiri dengan pakaian rapi berwibawa ini masih memberikan kesan yang sama seperti delapan tahun yang lalu.“Ini Kak Yohan, dokter dan juga rekan kerja Kak Alvin di rumah sakit,” kata Diana memperkenalkan.Pak Darius merasakan kakinya lemas tak bertulang, jantung berdetak dengan sangat cepat. Ini bukan mimpi, Yohan ini benar-benar Yohan yang telah menghilang delapan tahun yang lalu.“Bagaimana bisa …,” Bu Fiona pun tak kalah kaget, matanya terbelalak lebih pada menyiratkan kebencian yang begitu mendalam. Rasa senang yang beberapa saat lalu ia rasakan kini hilang entah ke mana.“Saya Yohan, rekan kerja Dokter Alvin di departemen yang sama. Senang sekali bisa berkunjung!” sapa Yohan dengan senyum tersungging seolah kemenangan telah berhasil ia raih.Entah bagaimana dia bisa mengatur dirinya untuk tetap setenang itu. “Tidak heran Dokter Alvin begitu cakap, dia memiliki orang tua sehebat kalian. Pasti m
“Yohan, papa mohon, jangan begini terus!” Pak Darius berulang kali mencoba untuk membujuk. “Kau bukan anak kecil lagi, kasihan mama jika terus-terusan kau tahan seperti ini!”Duka Yohan sangatlah mendalam, ia benar-benar tidak mengizinkan ibunya untuk diproses pemakaman. Yohan akan mengamuk dan menyalahkan semua orang.“PERGI!! Ini semua karena selingkuhan papa! Dia membunuh mama!!” seru Yohan menangkis tangan Pak Darius dan kembali memeluk tubuh ibunya yang telah kaku itu.“Yohan, jika kau tetap seperti ini! Papa tidak akan terus menunggu. Kita harus memulai kremasi pada mama!” tegas Pak Darius.Lagi-lagi Yohan menggelengkan kepala, “Mama tidak akan pergi ke manapun! Dia akan tetap di sini bersamaku!” ujarnya berkeras.Yohan hendak memegang tangan wanita itu saat dirinya menangkap sesuatu yang tergenggam di jemari tangan ibunya yang sudah kaku. “Oh?” Dengan perlahan Yohan menariknya.Jantung lelaki itu berdetak dengan sangat kencang saat melihat apa yang tertera pada kertas itu.“Su
Daniel berjalan menyusuri koridor rumah sakit dan mencari nomor kamar tempat Yohan dirawat. Lelaki itu membawa satu paperbag berisi makanan dan juga kebutuhan untuk sahabatnya itu.Yohan yang berbaring di tempat tidur berusaha bangkit. Kakinya mendapatkan beberapa jahitan serta tangan kiri harus digips untuk beberapa waktu.“Bubur dan juga jus, makanlah.” Daniel mengeluarkan isi paperbag yang ia bawa. “Berhentilah bertengkar dengan ayahmu, dia mencabut semua uangmu dan kau terancam tidak bisa ikut ujian.”“Dia memang membenciku, mungkin aku bukan anaknya.”Daniel menarik nafas panjang, satu yang tidak suka dari Yohan adalah anak ini selain pemarah juga sering menyalahkan dirinya sendiri, susah menerima masukan dari orang lain juga.***Yohan berada di rumah sakit sekitar lima hari saja, ibunya tidak mengizinkan untuk kembali ke apartemen, Yohan harus pulang ke rumah sampai keadaannya benar-benar pulih.Sebenarnya Yohan malas sekali harus pulang dan bertemu dengan Pak Darius setiap har
“Aku tidak pernah mengajari anakku untuk berkata tidak sopan seperti itu apalagi terhadap seorang wanita!” Pak Darius menatap Yohan dengan tajam sementara Bu Fiona bersedekap tangan puas.“Jika semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik saja kenapa harus memancing keributan seperti ini? Anak kurang ajar!”Yohan tertegun dan meraba pipinya yang terasa begitu perih dan panas, ini bertama kalinya Pak Darius memukulnya dan mengatakan hal yang begitu menyakitkan.“Jadi, papa lebih membela wanita itu daripada aku?” tanyanya menatap Pak Darius tidak percaya. “Bukankah aku anak papa?”“Sudahlah!” Bu Fiona menyela. “Mungkin memang sudah saatnya kau tahu, daripada kami menyembunyikan ini terus. Akan lebih baik juga jika kau yang menjelaskan pada ibumu nanti.”Entah kenapa setiap kali wanita itu bicara emosi Yohan selalu tersurut. “Jika kau berani memberitahu mama, aku tidak segan untuk melakukan sesuatu! Sebaliknya, aku berikan waktu pada kalian untuk mengakhiri hubungan terkutuk itu!!”“Kau ti
“Sepertinya itu memang benar ayahmu!”Yohan meletakkan roti yang ada di tangannya dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Daniel.Seorang lelaki lima puluh tahunan awal nampak sedang berbelanja di sebuah outlet pakaian di Mall itu. Yohan bisa mengenali sang ayah dengan mudah.“Wah, sedang berbelanja untuk ulang tahun pernikahan mungkin?” sahut Ayu seraya tersenyum.Namun Yohan tidak bereaksi apapun, ia masih melihat ke arah sana dengan jantung yang berdebar aneh. Apalagi saat seorang wanita menghampiri ayahnya dan menggandeng lengan lelaki itu.Wanita yang bukan ibu dari Yohan tentu saja, Yohan tidak mengenali dia, bukan sekretaris Pak Darius, sang ayah, maupun saudaranya. Dan hal yang membuat Yohan bertambah kaget adalah saat Pak Darius mencium pipi wanita itu.Yohan berdiri tanpa sadar, tidak menghiraukn teman-temannya yang bertanya ia segera berjalan lurus menuju ke tempat itu. Ia hanya berpikir untuk menemui ayahnya dan meminta penjelasan.“Papa?” tegur Yohan yang sebenarnya ia be