Daniel berjalan menyusuri koridor rumah sakit dan mencari nomor kamar tempat Yohan dirawat. Lelaki itu membawa satu paperbag berisi makanan dan juga kebutuhan untuk sahabatnya itu.
Yohan yang berbaring di tempat tidur berusaha bangkit. Kakinya mendapatkan beberapa jahitan serta tangan kiri harus digips untuk beberapa waktu.
“Bubur dan juga jus, makanlah.” Daniel mengeluarkan isi paperbag yang ia bawa. “Berhentilah bertengkar dengan ayahmu, dia mencabut semua uangmu dan kau terancam tidak bisa ikut ujian.”
“Dia memang membenciku, mungkin aku bukan anaknya.”
Daniel menarik nafas panjang, satu yang tidak suka dari Yohan adalah anak ini selain pemarah juga sering menyalahkan dirinya sendiri, susah menerima masukan dari orang lain juga.
***
Yohan berada di rumah sakit sekitar lima hari saja, ibunya tidak mengizinkan untuk kembali ke apartemen, Yohan harus pulang ke rumah sampai keadaannya benar-benar pulih.
Sebenarnya Yohan malas sekali harus pulang dan bertemu dengan Pak Darius setiap hari, namun tidak ada pilihan lain daripada ibunya curiga.
“Yohan, sayang! Ke marilah, rekan kerja papa ada yang ingin menjengukmu!”
Yohan menarik nafas panjang dan segera menuruni tangga, setelah makan malam tadi Yohan memang buru-buru untuk masuk ke dalam kamar menghindari sang ayah.
“Yohan, bagaimana kabarnya? Sudah sembuh?”
“Sudah, saya baik-baik sa-,”
Ucapan Yohan terhenti dan matanya terbelalak kaget saa t melihat siapa yang ada di hadapannnya itu. “Anda?” gumamnya seraya mengepalkan tangan.
Bagaimana tidak kaget jika Bu Fiona, selingkuhan dari ayahnya itu berdiri di samping sang ibu sembari membawa keranjang buah. Pak Darius juga berdiri di sana dengan canggung.
“Ini Bu Fiona rekan bisnis, papa. Ayo disapa dulu,” ujar Bu Stefani. “Kalian mengobrol dulu, ya. Mama keluar sebentar mengecek pelayan baru.”
Sesaat setelah Bu Stefani keluar rumah, Yohan dengan emosi maju merebut keranjang buah itu dan melemparkannya ke lantai. “Beraninya kau ke sini!” bentaknya marah.
“Santai, Yohan. Sedang sakit tidak boleh marah-marah,” ujar Bu Fiona dengan nada yang mengejek.
Yohan memandang ayahnya, “Papa benar-benar keterlaluan! Bagaimana bisa papa membawa wanita ini ke sini!! Papa ingin membunuhku dan juga mama?” gertaknya dengan kemarahan luar biasa.
“Tidak seperti itu,” ujar Pak Darius. Bu Fiona segera menyela, “Yah, jika memang harus jujur pada ibumu kenapa tidak?
“Diam!!” bentak Yohan. “Aku tidak bicara denganmu. Papa sudah di bawah kontrol wanita ini, papa menjadi budaknya!”
“Jaga bicaramu!” Pak Darius mendekat. “Bukankah papa sudah berulang kali mengatakan padamu, jaga sikap jika ingin semuanya baik-baik saja!”
Yohan tertawa sinis, “Jaga sikap? Bagaimana bisa aku menjaga sikap saat papa sendiri melakukan hal ini! Wanita itu tidak diharapkan di sini!”
“Wah, sebaiknya papa jujur saja,” sahut Bu Fiona. “Katakan jika dia bukan satu-satunya anak papa, bukankah dia anak yang lahir karena tidak diharapkan?”
Yohan mengepalkan tangan, “Jadi, kau sedang mengarang cerita?”
“Tidak, sayang. Kau pikir ayahmu ini tulus mencintai ibumu? Dia menikahinya karena harta yang dimiliki dia. Tidak lebih. Kau lahir karena ketidaksengajaan!”
“OMONG KOSONG!”
Bu Fiona tersenyum lagi, “Sangat masuk akal karena buktinya sampai sekarang kau tidak memiliki saudara lain, bukan? Hanya kebetulan? Tentu saja tidak. Karena keluarga ayahmu yang sesungguhnya adalah aku dan juga anak-anakku!”
Pak Darius kemudian menatap Yohan lagi. “Dengar, papa mungkin memiliki keluarga lain, kehadiranmu mungkin tidak pernah papa rencanakan, tapi papa tidak pernah sedikitpun tidak menyayangimu!”
“Jadi semuanya benar?” tanya Yohan dengan darah terasa begitu mendidih. “Semua yang diucapkan wanita itu tidak bohong?”
“Semua itu ada alasannya, Yohan. Papa tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan!”
“Tidak ada alasan bagi seseorang untuk berselingkuh kecuali orang itu sama-sama pengecut dan munafik!” seru Yohan.
“Kami tidak berselingkuh!” Bu Fiona membentak. “Aku adalah istri pertama dari ayahmu! Aku lebih berhak bersama dengan dia, bukan kau dan ibumu!”
Yohan menyingkirkan tangan Bu Fiona yang menunjuknya, “Wanita bodoh mana yang mengizinkan suaminya untuk menikah dengan wanita lain, hah??”
“Kami menginginkan harta ibumu, Yohan. Kau pikir karena apa lagi?”
“SINTING!!”
Pak Darius mencoba merengkuh lengan anaknya, “Papa bisa jelaskan, kita bicara baik-baik, ya.”
“Tidak!” lagi-lagi Yohan melepaskan tangan ayahnya itu. “Aku tidak ingin mendengar apapun lagi! Lebih baik papa usir selingkuhan papa ini keluar dari rumah sekarang juga!”
“Kau bilang apa, Yohan? Selingkuhan papa?”
Yohan begitu terkejut mendengar suara itu, ia buru-buru menengok dan lututnya terasa begitu lemas. “Mama?”
Bu Stefani berdiri di sana, menatap ke arah mereka semua dengan pandangan yang shock, wajahnya pucat serta tangannya gemetar. Seolah tidak mempercayai apa yang sudah dia dengar barusan.
“MAMA!!” Yohan berlari terseok saat wanita itu tiba-tiba terkulai jatuh ke lantai.
***
Bu Stefani memang memiliki kondisi jantung yang lemah, sehingga tidak bisa jika mendengar sesuatu yang mengejutkan. Karena kejadian itu Bu Stefani harus dirawat di rumah sakit.
“Maaf, tuan. Tapi tidak bisa, semua aksesnya ditolak.”
Yohan meraih kembali semua kartunya itu dengan kasar, ia tidak bisa menggunakan apapun padahal ia butuh sejumlah uang untuk membayar rumah sakit Bu Stefani. Asuransi milik ibunya itu juga tidak bisa dipakai.
Bukan hanya itu, Yohan juga kehilangan atas semua fasilitas yang sudah dimilikinya selama ini, Pak Darius menarik kembali apapun yang sudah diberikan padanya termasuk uang kuliah.
“Perusahaan, mobil, dan rumah ini semua sudah atas namaku!” ujar Bu Fiona bersedekap tangan angkuh. “Kau dan ibumu tidak berhak untuk tinggal. Kalian harus angkat kaki!”
Yohan merasakan dunianya runtuh dalam sekejab, ia tidak ingin mempercayai Bu Fiona, namun faktanya selalu lebih mengejutkan. Pak Darius menikahi Bu Fiona karena harta saja.
Kelahiran Yohan sama sekali bukan rencana mereka. Bu Fiona benar, Yohan adalah anak yang tidak diharapkan oleh Pak Darius.
“Yohan!!” suara itu cukup keras sehingga membuat semuanya menengok. Terlihat Daniel berlari menghampiri Yohan dengan wajah yang panik.
“Ada apa?”
“Kau harus …, ikut aku ke rumah sakit. Ini tentang ibumu!” ujar Daniel yang seketika membuat raut wajah dari Yohan berubah. “Ada apa dengan mama?”
Daniel menggeleng, “Kita harus cepat!” lelaki itu kemudian segera berbalik dan mendahului pergi. Tentu saja Yohan tidak ingin membuang waktu dan berlari menyusul Daniel.
***
Tubuh Yohan seakan melemas, jantungnya berdetak dengan begitu kencang melihat sosok tubuh yang sangat ia cintai itu tertutup dengan kain putih, diam tanpa pergerakan apapun.
“Apa yang terjadi? Kenapa kalian ingin membawa mama?” tanya Yohan menatap Pak Darius, Bu Fiona dan orang lain di sana. Yohan tentu saja sudah tahu jawabannya, namun ia menolak untuk percaya.
Pak Darius kemudian mendekat, “Yohan, mama sudah pergi dengan tenang. Papa harap kau ikhlas, ya. Mama sudah tidak merasakan sakit lagi.”
Dengan cepat Yohan menangkis tangan ayahnya, “DIAM!! Aku tidak akan me-,” ucapan Yohan terhenti saat melihat kertas di tangan Bu Fiona, ia buru-buru merebutnya.
Dan amarah lelaki itu mendidih seketika, “Papa ingin menceraikan mama setelah menguras habis harta mama?” serunya. “Kalian membunuh mama!! Kalian pembunuh!”
“Yohan, papa bisa jelaskan. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“LEPASKAN!” Yohan berontak, air matanya mulai mengalir. “KALIAN PEMBUNUH!! KEMBALIKAN IBUKU!!” bentaknya mendorong tubuh ayahnya dengan kasar.
Lelaki itu kemudian berhambur ke tempat Bu Stefani terbaring dan membuka kembali kain pembunuhnya, “Tidak!! Mama aku mohon buka matamu!! Mama!!”
“Nak Yohan, sabar, ya. Ibu anda mengalami serangan jantung yang fatal sehingga tidak bisa tertolong lagi.” Dokter mencoba menjelaskan.
“TIDAK!! MEREKA MEMBUNUH MAMA!! AKU TAHU ITU!”
Bu Fiona geram. “Berhentilah merengek dan kita harus cepat mengkremasi tubuh ibumu itu!”
“MAMA TIDAK AKAN PERGI KE MANAPUN! AKU TIDAK MENGIZINKAN KALIAN MEMBAWA MAMA!!!”
Yohan memeluk Bu Stefani dengan air mata yang mengalir sangat deras. Ia tidak akan rela melihat tubuh orang yang ia sayangi dikremasi. Tidak akan pernah.
“Yohan, papa mohon, jangan begini terus!” Pak Darius berulang kali mencoba untuk membujuk. “Kau bukan anak kecil lagi, kasihan mama jika terus-terusan kau tahan seperti ini!”Duka Yohan sangatlah mendalam, ia benar-benar tidak mengizinkan ibunya untuk diproses pemakaman. Yohan akan mengamuk dan menyalahkan semua orang.“PERGI!! Ini semua karena selingkuhan papa! Dia membunuh mama!!” seru Yohan menangkis tangan Pak Darius dan kembali memeluk tubuh ibunya yang telah kaku itu.“Yohan, jika kau tetap seperti ini! Papa tidak akan terus menunggu. Kita harus memulai kremasi pada mama!” tegas Pak Darius.Lagi-lagi Yohan menggelengkan kepala, “Mama tidak akan pergi ke manapun! Dia akan tetap di sini bersamaku!” ujarnya berkeras.Yohan hendak memegang tangan wanita itu saat dirinya menangkap sesuatu yang tergenggam di jemari tangan ibunya yang sudah kaku. “Oh?” Dengan perlahan Yohan menariknya.Jantung lelaki itu berdetak dengan sangat kencang saat melihat apa yang tertera pada kertas itu.“Su
Tahun mungkin sudah silih berganti, orang juga banyak berubah. Akan tetapi pemuda yang berdiri dengan pakaian rapi berwibawa ini masih memberikan kesan yang sama seperti delapan tahun yang lalu.“Ini Kak Yohan, dokter dan juga rekan kerja Kak Alvin di rumah sakit,” kata Diana memperkenalkan.Pak Darius merasakan kakinya lemas tak bertulang, jantung berdetak dengan sangat cepat. Ini bukan mimpi, Yohan ini benar-benar Yohan yang telah menghilang delapan tahun yang lalu.“Bagaimana bisa …,” Bu Fiona pun tak kalah kaget, matanya terbelalak lebih pada menyiratkan kebencian yang begitu mendalam. Rasa senang yang beberapa saat lalu ia rasakan kini hilang entah ke mana.“Saya Yohan, rekan kerja Dokter Alvin di departemen yang sama. Senang sekali bisa berkunjung!” sapa Yohan dengan senyum tersungging seolah kemenangan telah berhasil ia raih.Entah bagaimana dia bisa mengatur dirinya untuk tetap setenang itu. “Tidak heran Dokter Alvin begitu cakap, dia memiliki orang tua sehebat kalian. Pasti m
Delapan tahun lalu saat kremasi Bu Stefani selesai dilaksanakan, Pak Darius menyimpan guci itu ke dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian menaruh sebuah karangan bunga kecil di sampingnya. Berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian menutup tempat itu.“Sudah selesai? Kita pulang sekarang, ada beberapa perobotan rumah yang harus kita beli sekarang juga,” Bu Fiona menggandeng tangan Pak Darius tidak sabar.Daniel yang melihat itu lagi-lagi harus menahan rasa marahnya, Bu Stefani baru saja dikremasi, Yohan tidak tahu di mana, lalu wanita ini dengan santainya mengajak berbelanja?“Aku harus mencari Yohan dulu,” ucap Pak Darius. “Setelah itu baru kita berbelanja.”“Anak itu akan pulang sendiri. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi,” Bu Fiona mulai kesal jika pembicaraan tentang Yohan terjadi.Sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri, Daniel segera angkat bicara, “Yohan bukan seseorang yang akan berpikir realistis saat sedang marah, apakah anda tidak cemas terjadi sesuatu dengannya?”“Ap
“Jadi, anak itu tidak akan kembali?” Bu Fiona bersedekap tangan sembari mendekati Pak Darius yang duduk di ruang tengah. Sejak kehadiran Daniel yang cukup singkat tadi membuat Pak Darius banyak terdiam.“Sudahlah, lebih baik seperti ini. Kau tidak akan mencarinya, kan?”Pak Darius menggeleng, “Dia sudah tidak menganggap aku ayahnya,” ujar lelaki paruh baya itu datar.“Ya sudah, kau masih memiliki dua anak yang lebih baik dari dia, jangan pikirkan Yohan lagi!! Sudah cukup semua tentang dia dan ibunya.”“Kau dulu pernah berkata, apapun yang akan terjadi aku tetap boleh mengurus Yohan dengan baik. Tapi apa ternyata?”Bu Fiona mendekati Pak Darius kemudian merengkuh bahunya, “Dengar, ini tujuan kita dari awal, jangan pernah lupa dan jangan goyah. Kita udah sampai di tahap yang kita inginkan sejak awal! Jangan memikirkan mereka lagi!”Pak Darius terdiam.“Yohan sudah bukan anakmu lagi. Ingat, kau sebenarnya juga tidak pernah menginginkan anak itu dari awal!” tegas Bu Fiona.“Mama!! Kakak
“Sepertinya itu memang benar ayahmu!”Yohan meletakkan roti yang ada di tangannya dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Daniel.Seorang lelaki lima puluh tahunan awal nampak sedang berbelanja di sebuah outlet pakaian di Mall itu. Yohan bisa mengenali sang ayah dengan mudah.“Wah, sedang berbelanja untuk ulang tahun pernikahan mungkin?” sahut Ayu seraya tersenyum.Namun Yohan tidak bereaksi apapun, ia masih melihat ke arah sana dengan jantung yang berdebar aneh. Apalagi saat seorang wanita menghampiri ayahnya dan menggandeng lengan lelaki itu.Wanita yang bukan ibu dari Yohan tentu saja, Yohan tidak mengenali dia, bukan sekretaris Pak Darius, sang ayah, maupun saudaranya. Dan hal yang membuat Yohan bertambah kaget adalah saat Pak Darius mencium pipi wanita itu.Yohan berdiri tanpa sadar, tidak menghiraukn teman-temannya yang bertanya ia segera berjalan lurus menuju ke tempat itu. Ia hanya berpikir untuk menemui ayahnya dan meminta penjelasan.“Papa?” tegur Yohan yang sebenarnya ia be
“Aku tidak pernah mengajari anakku untuk berkata tidak sopan seperti itu apalagi terhadap seorang wanita!” Pak Darius menatap Yohan dengan tajam sementara Bu Fiona bersedekap tangan puas.“Jika semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik saja kenapa harus memancing keributan seperti ini? Anak kurang ajar!”Yohan tertegun dan meraba pipinya yang terasa begitu perih dan panas, ini bertama kalinya Pak Darius memukulnya dan mengatakan hal yang begitu menyakitkan.“Jadi, papa lebih membela wanita itu daripada aku?” tanyanya menatap Pak Darius tidak percaya. “Bukankah aku anak papa?”“Sudahlah!” Bu Fiona menyela. “Mungkin memang sudah saatnya kau tahu, daripada kami menyembunyikan ini terus. Akan lebih baik juga jika kau yang menjelaskan pada ibumu nanti.”Entah kenapa setiap kali wanita itu bicara emosi Yohan selalu tersurut. “Jika kau berani memberitahu mama, aku tidak segan untuk melakukan sesuatu! Sebaliknya, aku berikan waktu pada kalian untuk mengakhiri hubungan terkutuk itu!!”“Kau ti
“Jadi, anak itu tidak akan kembali?” Bu Fiona bersedekap tangan sembari mendekati Pak Darius yang duduk di ruang tengah. Sejak kehadiran Daniel yang cukup singkat tadi membuat Pak Darius banyak terdiam.“Sudahlah, lebih baik seperti ini. Kau tidak akan mencarinya, kan?”Pak Darius menggeleng, “Dia sudah tidak menganggap aku ayahnya,” ujar lelaki paruh baya itu datar.“Ya sudah, kau masih memiliki dua anak yang lebih baik dari dia, jangan pikirkan Yohan lagi!! Sudah cukup semua tentang dia dan ibunya.”“Kau dulu pernah berkata, apapun yang akan terjadi aku tetap boleh mengurus Yohan dengan baik. Tapi apa ternyata?”Bu Fiona mendekati Pak Darius kemudian merengkuh bahunya, “Dengar, ini tujuan kita dari awal, jangan pernah lupa dan jangan goyah. Kita udah sampai di tahap yang kita inginkan sejak awal! Jangan memikirkan mereka lagi!”Pak Darius terdiam.“Yohan sudah bukan anakmu lagi. Ingat, kau sebenarnya juga tidak pernah menginginkan anak itu dari awal!” tegas Bu Fiona.“Mama!! Kakak
Delapan tahun lalu saat kremasi Bu Stefani selesai dilaksanakan, Pak Darius menyimpan guci itu ke dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian menaruh sebuah karangan bunga kecil di sampingnya. Berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian menutup tempat itu.“Sudah selesai? Kita pulang sekarang, ada beberapa perobotan rumah yang harus kita beli sekarang juga,” Bu Fiona menggandeng tangan Pak Darius tidak sabar.Daniel yang melihat itu lagi-lagi harus menahan rasa marahnya, Bu Stefani baru saja dikremasi, Yohan tidak tahu di mana, lalu wanita ini dengan santainya mengajak berbelanja?“Aku harus mencari Yohan dulu,” ucap Pak Darius. “Setelah itu baru kita berbelanja.”“Anak itu akan pulang sendiri. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi,” Bu Fiona mulai kesal jika pembicaraan tentang Yohan terjadi.Sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri, Daniel segera angkat bicara, “Yohan bukan seseorang yang akan berpikir realistis saat sedang marah, apakah anda tidak cemas terjadi sesuatu dengannya?”“Ap
Tahun mungkin sudah silih berganti, orang juga banyak berubah. Akan tetapi pemuda yang berdiri dengan pakaian rapi berwibawa ini masih memberikan kesan yang sama seperti delapan tahun yang lalu.“Ini Kak Yohan, dokter dan juga rekan kerja Kak Alvin di rumah sakit,” kata Diana memperkenalkan.Pak Darius merasakan kakinya lemas tak bertulang, jantung berdetak dengan sangat cepat. Ini bukan mimpi, Yohan ini benar-benar Yohan yang telah menghilang delapan tahun yang lalu.“Bagaimana bisa …,” Bu Fiona pun tak kalah kaget, matanya terbelalak lebih pada menyiratkan kebencian yang begitu mendalam. Rasa senang yang beberapa saat lalu ia rasakan kini hilang entah ke mana.“Saya Yohan, rekan kerja Dokter Alvin di departemen yang sama. Senang sekali bisa berkunjung!” sapa Yohan dengan senyum tersungging seolah kemenangan telah berhasil ia raih.Entah bagaimana dia bisa mengatur dirinya untuk tetap setenang itu. “Tidak heran Dokter Alvin begitu cakap, dia memiliki orang tua sehebat kalian. Pasti m
“Yohan, papa mohon, jangan begini terus!” Pak Darius berulang kali mencoba untuk membujuk. “Kau bukan anak kecil lagi, kasihan mama jika terus-terusan kau tahan seperti ini!”Duka Yohan sangatlah mendalam, ia benar-benar tidak mengizinkan ibunya untuk diproses pemakaman. Yohan akan mengamuk dan menyalahkan semua orang.“PERGI!! Ini semua karena selingkuhan papa! Dia membunuh mama!!” seru Yohan menangkis tangan Pak Darius dan kembali memeluk tubuh ibunya yang telah kaku itu.“Yohan, jika kau tetap seperti ini! Papa tidak akan terus menunggu. Kita harus memulai kremasi pada mama!” tegas Pak Darius.Lagi-lagi Yohan menggelengkan kepala, “Mama tidak akan pergi ke manapun! Dia akan tetap di sini bersamaku!” ujarnya berkeras.Yohan hendak memegang tangan wanita itu saat dirinya menangkap sesuatu yang tergenggam di jemari tangan ibunya yang sudah kaku. “Oh?” Dengan perlahan Yohan menariknya.Jantung lelaki itu berdetak dengan sangat kencang saat melihat apa yang tertera pada kertas itu.“Su
Daniel berjalan menyusuri koridor rumah sakit dan mencari nomor kamar tempat Yohan dirawat. Lelaki itu membawa satu paperbag berisi makanan dan juga kebutuhan untuk sahabatnya itu.Yohan yang berbaring di tempat tidur berusaha bangkit. Kakinya mendapatkan beberapa jahitan serta tangan kiri harus digips untuk beberapa waktu.“Bubur dan juga jus, makanlah.” Daniel mengeluarkan isi paperbag yang ia bawa. “Berhentilah bertengkar dengan ayahmu, dia mencabut semua uangmu dan kau terancam tidak bisa ikut ujian.”“Dia memang membenciku, mungkin aku bukan anaknya.”Daniel menarik nafas panjang, satu yang tidak suka dari Yohan adalah anak ini selain pemarah juga sering menyalahkan dirinya sendiri, susah menerima masukan dari orang lain juga.***Yohan berada di rumah sakit sekitar lima hari saja, ibunya tidak mengizinkan untuk kembali ke apartemen, Yohan harus pulang ke rumah sampai keadaannya benar-benar pulih.Sebenarnya Yohan malas sekali harus pulang dan bertemu dengan Pak Darius setiap har
“Aku tidak pernah mengajari anakku untuk berkata tidak sopan seperti itu apalagi terhadap seorang wanita!” Pak Darius menatap Yohan dengan tajam sementara Bu Fiona bersedekap tangan puas.“Jika semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik saja kenapa harus memancing keributan seperti ini? Anak kurang ajar!”Yohan tertegun dan meraba pipinya yang terasa begitu perih dan panas, ini bertama kalinya Pak Darius memukulnya dan mengatakan hal yang begitu menyakitkan.“Jadi, papa lebih membela wanita itu daripada aku?” tanyanya menatap Pak Darius tidak percaya. “Bukankah aku anak papa?”“Sudahlah!” Bu Fiona menyela. “Mungkin memang sudah saatnya kau tahu, daripada kami menyembunyikan ini terus. Akan lebih baik juga jika kau yang menjelaskan pada ibumu nanti.”Entah kenapa setiap kali wanita itu bicara emosi Yohan selalu tersurut. “Jika kau berani memberitahu mama, aku tidak segan untuk melakukan sesuatu! Sebaliknya, aku berikan waktu pada kalian untuk mengakhiri hubungan terkutuk itu!!”“Kau ti
“Sepertinya itu memang benar ayahmu!”Yohan meletakkan roti yang ada di tangannya dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Daniel.Seorang lelaki lima puluh tahunan awal nampak sedang berbelanja di sebuah outlet pakaian di Mall itu. Yohan bisa mengenali sang ayah dengan mudah.“Wah, sedang berbelanja untuk ulang tahun pernikahan mungkin?” sahut Ayu seraya tersenyum.Namun Yohan tidak bereaksi apapun, ia masih melihat ke arah sana dengan jantung yang berdebar aneh. Apalagi saat seorang wanita menghampiri ayahnya dan menggandeng lengan lelaki itu.Wanita yang bukan ibu dari Yohan tentu saja, Yohan tidak mengenali dia, bukan sekretaris Pak Darius, sang ayah, maupun saudaranya. Dan hal yang membuat Yohan bertambah kaget adalah saat Pak Darius mencium pipi wanita itu.Yohan berdiri tanpa sadar, tidak menghiraukn teman-temannya yang bertanya ia segera berjalan lurus menuju ke tempat itu. Ia hanya berpikir untuk menemui ayahnya dan meminta penjelasan.“Papa?” tegur Yohan yang sebenarnya ia be