CHAPTER 12
''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.
''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''
''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''
''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''
Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah padaku dan ibu.
Lagipula apakah para tetangga ini tidak bisa menilai apa yang sudah terjadi? Aku hanya mendorong wanita itu sedikit menjauh, karna aku tidak tahan berlama-lama berada didekapan wania licik itu. Apakah mereka tidak lihat barang-barangku masih berserakan di tanah disebabkan perbuatan orang yang mereka sangka malaikat.
Memangnya berita apa yang sudah mereka terima? Kenapa mereka bisa langsung termakan akting payah orang itu? Bahakan menurutku tadi itu adalah akting paling buruk yang pernah kulihat, atau apakah wanita licik itu juga sudah mengahasut para tetangga dan menyebarkan berita yang tidak baik. Astaga … manusia seperti apa yang sekarang ini kuhadapi.
''Ada apa ini! Dan apa yang terjadi? Kenapa barang-barang Bu Fatimah berserakan di luar seperti ini?''
Kami semua sontak langsung menoleh ke arah sumber suara, itu Pak RT. Sebuah senyuman langsung tercetak di wajahku, tapi tidak dengan Tante Mia, wajahnya yang tadi seperti minta dikasihani sekarang tiba-tiba berubah.
Rasanya seperti dejavu. Pak RT selalu datang menolong saat aku mulai kesusahan, walaupun beliau salalu datang sedikit terlambat. Lagipula seorang pahlawan memang datang terakhir, kan?
''Hei kalian! Cepat masukkan kembali barang-barang itu ke dalam rumah. Apa kalian tidak tahu bahwa rumah ini masih dalam suasana duka? Harusnya kalian datang melayat, bukannya malah melakukan hal seperti ini'' ucap pak RT menatap serius kepada semua preman itu..
Tapi ternyata preman itu tidak mau memenuhi apa yang di perintahkan. Mereka hanya diam dan malah melihat Tante Mia, mungkin mereka hanya mau di perintah oleh Bosnya saja.
''Hei! Apa kalian tidak mendengar apa yang tadi saya perintahkan? Hari sudah mulai hujan, cepat masukkan barang-barang itu sekarang atau saya akan …''
''Masukkan kembali barang barang itu,'' sahut Tante Mia memotong ucapan Pak RT. Eh, apa yang terjadi? Kenapa wanita itu menurut begitu saja? Apa dia takut dengan ancaman yang akan di sampaikan Pak RT?
Setelah mendengar perintah tante mia semua preman itu seketika langsung bergerak dan memberesakan semua barang yang berserakan. amereka ibarat robot yang dirancang khusus untuk patuh pada Sang majikan, lalu kemudian kembali keluar dari rumah setelah semua pekejaan selesai.
Tanpa berkata apa-apa lagi Tante Mia diikuti oleh rombongannnya itu langsung pergi. Pak RT juga memerintahkan para tetangga yang tadi menonton tragedi ini untuk bubar. Sekarang hanya tersisa kami berdua.
Aku menawarkan pak RT untuk masuk ke dalam rumah, ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Walaupun Beliau tergolong orang luar dalam masalah keluarga ini, tapi akhir-akhir ini Beliau sudah seperti keluarga bagiku dan ibu. Mungkin saja ibu pernah cerita sesuatu yang tidak kuketahui, lagipula saat ini aku hanya bisa minta tolong padanya aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
''Zahra! Apa yang sudah kamu lakukan pada Rian!''Aku menoleh ke arah sumber suara, tampak seorang wanita berbadan gemuk dengan dandanan menor sedang berdiri di depan pintu kamar ini. Dia terlihat sangat panik saat melihat apa yang telah terjadi kepada putra kesayangannya, seketika air mata mulai mengalir menghapus riasan tebal yang mulai tidak beraturan.''Dasar gadis gila! Gadis tidak tau diri! Apa kamu mau membunuh anakku?'' Kembali wanita itu berteriak sambil menangis dan mncoba merangkul tubuh anaknya yang sudah bersimbah darah.''Anakmu itu belum mati, dia hanya pingsan. Cepat bawa dia ke rumah sakit, atau kau mau dia mati sekarat di tempat ini?'' ucapku santai smbil berjalan ke arah pintu, lalu melemparkan gunting yang tadi kugunakan untuk menyerang laki-laki breng*k yang sesaat lalu sudah berani mecoba berbuat yang tidak pantas padaku.''Kau mau kemana? Kau h
''Dasar kau gadis gila! Hei, cepat kau habisi dia. aku sudah tidak tahan melihat wajahnya.'' Laki-laki preman tadi kembali mendekatiku yang masih terduduk di lantai, lalu mengambil gunning yang tadi dilempar Tante Mia.''Hentikan! Aku percaya pada Zahra. Anakku ini tidak mungkin melakukan hal itu sembarangan tanpa alasan yang kuat.'' Ibu berteriak sambil memelukku lagi.Laki-laki preman itu menarik kasar tubuhku dari pelukan ibu, dia menyeretku ke hadapan Tante Mia. Tampak wanita tersenyum lebar saat aku terjatuh dan hampir mencium kaki busuknya. Kurasa dia lebih pantas dipanggil wanita gila saat ini.''Apa yang sudah terjadi?!'' Terdengar seseorang berteriak di depan pintu yang sedang terbuka. Itu adalah Pak Ketua RT. Beliau datang bersama beberapa warga lain di belakangnyaSyukurlah Pak RT akhirnya datang juga, aku tidak tahu apa yang akan di lakukan Tante Mia dan preman itu pad
''Ibu!' Aku menghampiri dan coba menggoyangkan tubuhnya. Tapi ibu tidak merespon, matanya yang sembab itu tertutup, ibu hanya diam.''Zahra, apakah ibumu pernah pingsan seperti ini sebelumnya?'' tanya Pak RT melihatku.''Setahu saya tidak, Pak. Tapi, akhir-akhir ibu memang sering terlihat minum obat, katanya itu hanya obat sakit kepala biasa. Jadi saya tidak terlalu khawatir,''''Ibumu itu menderita kanker darah,'' sahut Tante Mia tiba-tiba.''A`apa! Ka~kanker? Itu tidak mungkin, karna ibu tidak pernah menceritakan kalau dia sedang sakit padaku.''Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tante Mia, wanita itu pasti mengarang cerita lagi, tidak mungkin ibu sakit. Ibu tidak mungkin menyembunyikan hal seperti ini padaku, ibu juga terlihat baik-baik saja sebelum aku pindah.''Ibumu memang sengaja merahasiakan tentang penyakit
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt