''Dasar kau gadis gila! Hei, cepat kau habisi dia. aku sudah tidak tahan melihat wajahnya.'' Laki-laki preman tadi kembali mendekatiku yang masih terduduk di lantai, lalu mengambil gunning yang tadi dilempar Tante Mia.
''Hentikan! Aku percaya pada Zahra. Anakku ini tidak mungkin melakukan hal itu sembarangan tanpa alasan yang kuat.'' Ibu berteriak sambil memelukku lagi.
Laki-laki preman itu menarik kasar tubuhku dari pelukan ibu, dia menyeretku ke hadapan Tante Mia. Tampak wanita tersenyum lebar saat aku terjatuh dan hampir mencium kaki busuknya. Kurasa dia lebih pantas dipanggil wanita gila saat ini.
''Apa yang sudah terjadi?!'' Terdengar seseorang berteriak di depan pintu yang sedang terbuka. Itu adalah Pak Ketua RT. Beliau datang bersama beberapa warga lain di belakangnya
Syukurlah Pak RT akhirnya datang juga, aku tidak tahu apa yang akan di lakukan Tante Mia dan preman itu padaku dan ibu. Aku tidak masalah jika Tante Mia mau menyiksaku lagi, itu sudah biasa dilakukan saat aku di rumahnya.
Aku hanya khawatir terhadap ibu. Bukan tidak mungkin Tante Mia juga akan menyakitinya, aku takut nanti tidak bisa menolong ibu.
''Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini? Teriakan kalian sampai terdengar oleh para tetangga, sehingga mereka datang kepadaku. Bu Fatimah, tolong jelaskan ada apa ini?'' Pak RT mulai membuka pembicaraan saat Aku, Ibu, Tante Mia, dan Preman itu didudukkan bersama. Terlihat beberapa warga yang tadi juga datang memilih menunggu di depan pintu sambil melihat kami.
''Saya tidak tahu, Pak. Tadi tiba-tiba saja Mia datang ke sini dan langsung ingin mencelakai anakku,'' jawab Ibu.
''Hoy, aku hanya ingin membalaskan apa yang sudah dilakukan gadis gila itu pada anakku,'' sahut tante Mia meninggikan suara. Dia juga mulai bangkit dari tempat duduk, sepertinya dia akan kembali menyerangku.
''Maaf, Bu. Saya minta Anda untuk tenang dulu, kita akan selesaikan permasalahan ini dengan kepala dingin,'' ucap Pak RT berusaha menenangkan Tante Mia yang mulai kelihatan tidak waras.
Hah, apakah wanita tua itu tidak bisa melihat situasi? Perang otot tadi sudah usai, sekarang saatnya kita duduk bersama mendengar penjelasan masing-masing. Lagipula, apa yang bisa dia lakukan padaku? Dari tadi dia hanya menyuruh preman itu untuk bertindak, dia hanya sibuk berteriak tidak jelas saja.
''Aku tidak bisa tenang. Gadis gila itu harus menerima balasan yang setimpal!'' Teriak Tante Mia lagi.
''Sekali lagi saya minta kepada Ibu untuk tenang, kalau tidak saya terpaksa mengusir ibu dari tempat ini sekarang. Karna sepertinya Ibu memang tidak bisa untuk diajak bermusyawarah!'' Kali ini Pak RT yang mulai meninggikan suaranya. Mungkin saja beliau sudah habis kesabaran melihat sikap Tante Mia.
''Saya tidak bisa tenang! Bagaimana mungkin saya bisa! gadis gila itu sudah hampir membunuh anakku!''
''Membunuh? Apa maksud Anda?'' tanya Pak RT.
''Ya, sebelum ini gadis gila itu tinggal di rumahku. Aku kasihan pada ibunya yang hanya seorang penjual kue keliling, apalagi ayahnya baru saja meninggal. Jadi kuputuskan untuk merawat dan juga berniat akan menguliahkannya. Tapi apa balasan yang kudapat? Gadis gila itu malah hampir membunuh anakku, sekarang anakku itu terbaring koma di rumah sakit. Disaat aku ingin membalaskan apa yang sudah pembunuh itu lakukan, Anda malah menyuruhku untuk tenang! Apakah Anda waras?'' Tante Mia bereriak keras sambil mengacungkan gunting di hadapan kami semua.
''Zahra, apakah yang semua yang dikatakan ibu ini benar?'' tanya Pak RT melihatku.
''Tidak semuanya,'' jawabku singkat.
''Maksudmu ibu ini berbohong, begitu?''
''Tidak,''
''Jadi semua yang dikatakan ibu itu benar?''
''Tidak semuanya,''
''Zahra, tolong jelaskan kepada Bapak apa yang tidak semuanya? Kamu membuat saya bingung,'' ucap Pak RT memegang dahinya.
''Apa yang dikatakan Tante Mia itu …''
''Sudahlah, gadis gila itu tidak akan mau mejelaskan apapun. Karna memang dialah yang bersalah, dia hampir membunuh anakku dengan gunting ini!'' sahut Tante Mia memotong ucapanku.
Ada apa sebenarnya dengan wanita tua itu, kenapa dia malah memotong ucapanku? Dan kenapa dia seenaknya mengatakan kalau aku yang bersalah. Apa dia takut jika nanti aku menceritakan alasan aku menusuk anaknya kepada Pak RT?
Lagipula, hanya satu kalimat saja dari ucapannya itu yang benar. Dia berkata ingin menolongku? akan menguliahkanku? Kasihan padaku? Hahaha, lucu sekali. Selama satu bulan aku di rumahnya dia memperlakukanku seperti babu pribadi, bahkan dia tidak mengijinkanku untuk mendaftar kuliah dimanapun. Lalu sekarang dia malah mengarang cerita agar seolah di sini akulah penjahatnya.
''Zahra, apakah kamu melakukan hal itu? tolong jelaskan pada Bapak, karna rasanya masih kurang percaya kamu mampu melakukannya,'' tanya Pak RT memastikan kembali.
''Iya, saya melakukannya,'' jawabku santai tanpa merasa bersalah.
''A~apa? Zahra, tolong jangan bercanda. Ini bukanlah masalah yang ringan,'' Pak RT menatapku serius. Sepertinya Beliau masih tidak percaya dengan apa yang kukatakan.
''Apa Anda tidak mendengar apa yang diucapkannya barusan? Gadis gila itu sudah mengakui bahwa dia sudah hampir membunuh anakku, bukti apalagi yang Anda butuhkan agar bisa percaya?'' sahut Tante Mia.
Aku bisa melihat wanita itu tersenyum lebar. Ntah apa yang dia senyumkan, apa dia merasa sudah menang dengan pengakuanku barusan? Sungguh dia tidak tahu malu. Bisa-bisanya dia merasa begitu setelah memutar balikkan fakta. Sikapnya itu membuatkuku benar-benar merasa muak.
''Zahra, apakah kamu sadar dengan apa yang sudah kamu lakukan? Kamu bisa di penjara,'' Pak RT menatapku dengan mata berkaca-kaca, suaranya juga mulai terdengar berat.
Aku tahu Pak RT memang orang yang baik, selama ini Beliaulah yang selalu menolong keluargaku yang serba kekurangan. Apalagi semenjak ayah tiada, bantuannya menjadi harapan besar bagiku dan ibu.
''Ya,''
''Tapi kenapa?''
''Laki-laki brengs*k itu pantas menerima hukuman, karna dia sudah berani mencoba berlaku tidak pantas padaku. Aku hanya membela diri dengan menusuknya, lagipula dia belum mati,''
''Itu tidak benar! Gadis gila itu berbohong! Anakku tidak mungkin melakukan hal seperti itu,'' bantah Tante Mia.
''Tidak mungkin katamu? Dia sudah mencoba melakukannya berulang kali saat kau tidak di rumah. Saat itu dia sudah melampaui batas. Satu kali tusukan di pinggangnya itu menurutku belum cukup untuk membalas perbuatan buruk yang berulang kali dia coba lakukan. Harusnya kau bersyukur, aku tidak menusuk dada atau kepalanya hingga mati,''
''Bohong! Dia sudah mengarang cerita! Gadis gila itu yang tidak tau diri, tidak tau rasa syukur dan terimakasih. Padahal aku sudah berbaik hati menolong dan membiarkannya tinggal di rumahku.'' Tante Mia berteriak lagi sambil berdiri mengacungkan telunjuknya padaku.
''Mengarang cerita katamu? Justru kaulah yang dari tadi melakukan hal itu. Tadi kau mengatakan aku tidak tau terimakasih dan harus bersyukur? Hahaha, apa yang patut aku syukurkan? Bersyukur karna kau menjadikan aku babu di rumahmu, begitu? atau berterimakasih karna anakmu itu hampir menodaiku? Apa itu yang kau ingin harus aku lakukan? Dari tadi kaulah yang mengarang cerita berlagak seperti malaikat penolong, nyatanya kau dan anakmu itu tidak lebih dari iblis,''
Tante Mia terdiam saat mendengar ucapanku, senyuman yang tadi sempat terukir di wajah menornya sudah tidak terlihat. Sekarang hanya wajah ketakutan yang sanggup dia tampilkan.
Mungkin wanita itu terkejut aku bisa mengatakan itu semua, karna selama ini yang dia tahu aku hanyalah gadis lemah yang selalu diam saat diperlakukan seenaknya. Memang selama aku tinggal di rumah itu aku selalu mengikuti yang dia perintahkan, tidak ada perlawanan sama sekali, karna berharap dia menepati janji untuk menguliahkanku. Tapi ternyata itu semua hanya alibi agar bisa menjadikanku sebagai babu gratis. Huh! Aku tidak akan diam saja kali ini.
''Mia! Kamu keterlaluan! Berarti janjimu yang akan menguliahkan Zahra itu bohong, begitu?'' Ibu berdiri menatap Tante Mia menuntut penjelasan. Tapi, wanita itu hanya diam tanpa berkata apa-apa.
''Mia! jawab pertanyaanku! Kenapa kamu begitu tega kepada keponakan sendiri? Aku sungguh tidak meyangka ternyata sikap baik yang kamu tunjukkan padaku selama ini semuanya palsu!'' Air mata ibu kembali tumpah saat mengetahui kebenaran tentang adik yang selama ini begitu dia percaya.
''Mia, kenapa ka …'' Belum sempat Ibu menyelesaikan ucapan tubuhnya tiba-tiba terjatuh kembali terduduk di kursi. Ibu pingsan?
''Ibu!' Aku menghampiri dan coba menggoyangkan tubuhnya. Tapi ibu tidak merespon, matanya yang sembab itu tertutup, ibu hanya diam.''Zahra, apakah ibumu pernah pingsan seperti ini sebelumnya?'' tanya Pak RT melihatku.''Setahu saya tidak, Pak. Tapi, akhir-akhir ibu memang sering terlihat minum obat, katanya itu hanya obat sakit kepala biasa. Jadi saya tidak terlalu khawatir,''''Ibumu itu menderita kanker darah,'' sahut Tante Mia tiba-tiba.''A`apa! Ka~kanker? Itu tidak mungkin, karna ibu tidak pernah menceritakan kalau dia sedang sakit padaku.''Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tante Mia, wanita itu pasti mengarang cerita lagi, tidak mungkin ibu sakit. Ibu tidak mungkin menyembunyikan hal seperti ini padaku, ibu juga terlihat baik-baik saja sebelum aku pindah.''Ibumu memang sengaja merahasiakan tentang penyakit
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt