''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''
''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.
''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''
''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.
''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''
Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
''Kenapa kau menginkan rumah itu?''
''Tidak ada. Hanya saja dulu harusnya rumah itu adalah milikku, tapi Fatimah malah mengambilnya. Apakah salah jika aku mengambilnya kembali?''
Miliknya katanya? Kapan pula rumah itu menjadi miliknya? Sejak aku lahir sampai sekarang aku selalu tinggal di rumah itu bersama ayah dan ibu. Kalaupun yang dikatakanya itu benar, kenapa baru sekarang setelah orang tuaku itu tiada?
''Aku tidak akan memberikannya padamu.''
''Aku sudah tau kamu pasti akan mengatakan seperti itu, makanya untuk jaga-jaga aku sudah punya rencana cadangan agar kamu mau memberikan rumah tersebut, atau mungkin malah harus memberikannya padaku.''
Rencana? Apa lagi yang akan di lakukan wanita ini? Aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang dia lakukan. Bagaimana mungkin dia menginginkan rumah yag menjadi harta sau-satunya yang ditinggalkan ibu hanya untuk memuaskan hatinya tanpa alasan yang jelas. Parahnya lagi dia mengatakan hal itu di depan pusara ibu yang baru beberapa saat lalu di makamkan.
Apakah dia masih ingin balas dendam karna perbuatanku pada anaknya itu. Tapi apakah harus sampai seperti ini? Belum cukupkah baginya apa yang sudah dia lakukan padaku dengan sudah membuat ibu jadi seperti ini?
Padahal tadinya aku mengira Tante Mia sudah berubah, saat kulihat dia juga ikut mengantarkan ibu ke rumah sakit, dan mungkin karna ada keperluan mendadak jadi dia tidak bisa menemani sampai selesai. Ternyata semua perkiraan itu salah. Orang seperti Tante Mia ini tidak akan mungkin berubah secepat itu hanya karna melihat kakaknya pingsan. Bahkan setelah ibu tiada pun, itu masih belum cukup untuk membuatnya sadar dan berubah.
''Aku tidak peduli dengan rencana kotormu, karna aku tidak akan pernah memberikan rumah itu.''
''Apakah kamu yakin? Apakah kamu tidak ingin mendengarkan dulu apa yang sudah kurencanakan sebelum memberikan keputusan seperti itu?''
Aku hanya diam saja tidak mau mau menanggapi lagi apa yang wanita itu bicarakan. Aku berdiri dan pergi meninggalkannya sendirian di pusara ibu. Padahal tadi aku sudah berniat untuk menemani ibu sebentar lagi, tapi karna wanita ini tiba-tiba datang dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, membuat moodku berubah dan ingin segera pergi saja.
Aku berjalan sendirian meninggalkan tempat pemakaman umum yang merupakan rumah tempat tinggal ibu sekarang. Hari sudah mulai gelap, di atas sana cerahnya langit sudah mulai terhalang oleh selimut kelabu yang berisi tetesan hujan. Sepertinya apa yang dikatakan wanita licik itu benar, hujan akan turun.
''Hei! Apa yang sedang kalian lakukan?!'' Aku berteriak dan langsung berlari saat melihat ada beberapa orang laki-laki preman sedang mengeluarkan barang-barangku dari dalam rumahku sendiri.
Aku memunguti barang-barang yang sudah berserakan di tanah dan ingin membawanya masuk kembali ke dalam rumah, Namun salah seorang dari preman itu menghalangiku untuk masuk, apa yang orang ini lakukan? Inikan rumahku, kenapa dia malah melarangku memasuki rumah sendiri?
''Minggirlah, apa yang kau lakukan?'' Aku berusaha untuk mendorong tubuh besar preman untuk masuk kedalam rumah. Namun sia-sia, tubuhku yang jauh lebih kecil tidak sanggup untuk melakukannya.
''Kalian ini siapa? Kenapa seenaknya saja mengeluarkan barangku dari rumahku sendiri? Apa yang kalian inginkan!'' Aku berteriak keras menatap tajam satu per satu preman yang hanya di balas dengan ekspresi datar tanpa kata oleh mereka.
''Cepat bicara! Apa kalian semua bisu!'' teriakku kembali, tapi para preman ini lagi-lagi hanya diam tidak mau menjelaskan maksud dari perbuatan yang sudah mereka lakukan.
Sebuah mobil sedan hitam tiba-tiba berhenti di depan kami, aku sangat mengenal siapa pemilik kendaraan itu. Sepertinya sekarang aku sudah bisa menebak siapa yang patut di mintai pertanggungjawaban dari ini semua.
Seorang wanita berdandan menor menggunakan heels yang sangat tinggi keluar dari mobil itu. apa tadi dia juga menggunakan sepatu seperti itu saat di pemakaman? Dia berjalan mendekatiku, terlihat dari tadi senyuman selalu menghiasi wajahnya. Bagaimana mungkin dia terlihat begitu bahagia saat kakak kandungnya baru saja dimasukkan ke dalam tanah? Dia sungguh tidak waras.
''Hey Zahra, harusnya tadi kamu jangan main pergi begitu saja agar Tante bisa mengantarkanmu pulang ke rumahmu. Eh, tapi sekarang rumah ini sudah menjadi milik Tante, ya'' ucapnya saat sudah berada di hadapanku.
''Kenapa kau tiba-tiba menyuruh orang=orang ini untuk mengeluarkan barang-barangku dari rumahku sendiri?''
''Eh, tiba-tiba bagaimana? Tadi, kan sudah bilang, apa kamu tidak ingat?'' Wanita itu memegang daguku sehingga aku terpaksa melihat wajah busuknya itu.
''Kau benar-benar tidak waras!'' Aku beteriak di hadapannya sebelum menepis pegangan tangan kotornya dari daguku.
''Jadi hanya ini rencana kotormu itu? Aku tidak akan gentar dan semudah itu memberikan rumah ini begitu saja!''
''Aku sudah tau kamu tidak akan mudah menyerah, makanya aku sudah susun banyak sekali rencana cadangan,'' Wanita itu tersenyum sinis padaku menampakkan dengan jelas begitu licik dirinya.
Tante Mia mengambil sebuah benda pipih dari tas yang berada di pergelangan tangganya, lalu sibuk sendiri dengan benda itu. Beberapa saat kemudian tampak keluar seorang pria dari mobil sedan hitam tadi , dengan pakaian rapi di lengkapi dengan jas hitam. Orang itu berjalan ke arah kami sambil membawa sebuah map coklat di tangan, lalu menyerahkan pada wanita licik itu.
''Di dalam sini terdapat rencanaku yang terakhir, aku yakin kamu tidak akan punya pilihan lain selain menyerahkan rumah ini padaku. Namun rasanya aku sangat salut dengan kegigihanmu itu, jadi aku memutuskan untuk menggunakan semua rencana yang kupunya, sayang jika langsung menggunakan rencana andalan. Aku sudah capek memikirkan, tapi tidak dilaksanakan.'' Ucapnya sambil mengibaskan map itu di wajahku.
''Aku sama sekali tidak takut dengan apapun rencana kotormu.''
''Tidak apa, aku tidak menyuruhmu untuk takut pada rencanaku. Tapi yang kuinginkan kamu takut pada konsekuensi yang akan terjadi, jika masih saja tidak mau menyerah.''
''Aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini dan pindah kemanapun, kau tidak usah bermimpi!''
''Bagaimana kalau kamu diharuskan untuk meninggalkannya, karna harus pindah ke penjara?''
''Pe~penjara?''
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
''Zahra! Apa yang sudah kamu lakukan pada Rian!''Aku menoleh ke arah sumber suara, tampak seorang wanita berbadan gemuk dengan dandanan menor sedang berdiri di depan pintu kamar ini. Dia terlihat sangat panik saat melihat apa yang telah terjadi kepada putra kesayangannya, seketika air mata mulai mengalir menghapus riasan tebal yang mulai tidak beraturan.''Dasar gadis gila! Gadis tidak tau diri! Apa kamu mau membunuh anakku?'' Kembali wanita itu berteriak sambil menangis dan mncoba merangkul tubuh anaknya yang sudah bersimbah darah.''Anakmu itu belum mati, dia hanya pingsan. Cepat bawa dia ke rumah sakit, atau kau mau dia mati sekarat di tempat ini?'' ucapku santai smbil berjalan ke arah pintu, lalu melemparkan gunting yang tadi kugunakan untuk menyerang laki-laki breng*k yang sesaat lalu sudah berani mecoba berbuat yang tidak pantas padaku.''Kau mau kemana? Kau h
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt