Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.
Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?
''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.
Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokter?
Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, Dokter yang tadi masuk memeriksa keadaan ibu sudah keluar. Aku dan Pak RT menghampirinya dan langsung menanyakan bagaimana keadaan ibu.
''Maaf Pak, Zahra, Bu Fatimah tidak bisa kami selamatkan. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menolongnya, tapi Sang Mahakuasa ternyata punya rencana lain yang lebih baik,''
Jawaban Dokter itu bagaikan petir yang menyambar dengan keras di telingaku, pikiran positif yang dari tadi berusaha kubangun tiba-tiba roboh seketika. Tubuhku terasa lemas, dunia serasa berputar. Kalimat yang paling kutakutkan sekarang terdengar jelas.
Aku terdiam, air mata yang dari tadi berusaha kujaga agar tidak tumpah, sekarang sudah mulai mengalir deras dari tempatnya. Ternyata sebuah keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja memang tidak akan mampu menahan takdir yang sudah di gariskan.
''Aku ingin menemui ibu,''
''Silahkan,''
Aku berlari masuk ke dalam ruangan itu, Terlihat tubuh ibu baru saja ditutup dengan selimut putih oleh salah seorang Perawat.
''A~apa yang kalian lakukan pada ibuku? Ke~kenapa kain itu sampai menutupi wajahnya? ibu tidak suka tidur dengan wajah tertutup, katanya itu bisa membuat ibu kesulitan bernafas,'' ucapku menurunkan kain itu sampai ke dada ibu.
''Ya, begini baru benar. Kalau begini ibu tidak akan kesulitan ber …'' Aku melihat wajah ibu yang begitu pucat, matanya sudah tertutup. Aku masih tidak percaya dengan semua yang kulihat, ini tidak mungkin terjadi, ibu pasti hanya tertidur sebentar.
''Zahra, cobalah untuk mengikhlaskan ibumu, biarkan dia pergi dengan tenang,'' Pak RT menepuk pelan bahuku.
''Pergi kemana? Ibu akan selalu bersamaku. Tadi dia sendiri yang mengatakan akan pulang bersama,' jawabku memeluk tubuh ibu.
''Zahra, tenanglah. Sikapmu ini malah akan membuat Bu Fatimah tidak tenang,''
''Tapi a~aku …''
Ntah apa yang saat ini kurasakan, rasa takut, sedih, khawatir, serta amarah juga mulai datang. Tapi yang jelas rasanya saat ini aku belum siap untuk kehilangan ibu. Aku baru saja pulang setelah satu bulan tinggal bersama Tante Mia, kami belum sempat bertukar cerita, Ibu juga belum memasakkan telur gulung favoritku. Dan sekarang tiba-tiba ibu pergi begitu saja?
Ini semua salah Tante Mia! Wanita itulah yang harus bertanggung jawab sekarang, karena semua ini tidak akan terjadi jika dia tidak datang ke rumah. Semua baik-baik saja sebelum dia mengamuk tidak jelas menuntut balas atas kesalahan anaknya sendiri dan mengarang kebohongan-kebohongan yang membuat ibu shock dan jatuh pingsan.
***
Aku masih duduk sambil melihat dua buah pusara yang masing-masing betuliskan nama dua orang yang paling kusayangi. Air mata sudah enggan untuk keluar, atau bahkan mungkin sudah habis kugunakan seluruhnya semenjak orang-orang yang biasa menahannya untuk rumpah tidak ada lagi.
''Zahra, kamu masih di sini?''
Aku menoleh sekilas ke arah sumber suara, tapi setelah mengetahui orang yang tadi bicara segera kupalingkan wajah kembali melihat nisan ibu.
''Zahra, ayo pulang. Sudah satu jam kamu di sini,'' ajak orang itu.
Aku hanya diam tidak menanggapi apa yang dia katakan, bahkan tidak peduli sama sekali.
''Zahra, ayo pulang. Hari sudah mulai gelap, sepertinya akan turun hujan, nanti kamu bisa sakit.''
''Tidak usah berpura-pura peduli padaku, itu membuatku muak,'' ucapku tanpa melihatnya.
''Kenapa malah berbicara seperti itu? Padahal aku adalah satu-satunya keluarga yang kau miliki sekarang, harusnya kau bisa bersikap sedikit lebih ramah. Apalagi tadi aku sudah berusaha untuk bersikap layaknya seorang Tante yang baik.''
Tante yang baik katanya? Orang ini sungguh lucu, setelah semua yang dia lakukan padaku dan ibu? Apakah dia tidak sadar apa yang sudah dia lakukan, bahkan sekarang dia masih berdiri di hadapan pusara ibu yang masih basah.
Dia juga mengatakan aku harus bersikap ramah kepadanya yang merupakan satu-satunya keluarga, begitu? Aku lebih memiih tidak memiliki keluarga daripada harus mengakui orang ini sebagai Tante. Lagipula aku tidak suka berpura-pura seperti yang dia lakukan.
''Menurutku sekarang kita sudah impas, dendamku sudah terbalaskan. Jadi sekarang aku datang untuk mencoba mengajakmu untuk berdamai, kita lupakan masa lalu, mari kita mulai lembaran baru antara seorang Tane dan keponakannya.'' Tante Mia menepuk pelan bahuku, namun segera kutepis tangannya. Rasanya aku tidak sudi disentuh oleh orang ini.
Orang ini sungguh tidak tahu malu, apakah sekarang dia sedang menguji kesabaranku? Kalau saja aku tidak ingat akan janji pada ibu untuk bisa memaafkannya, mungkin sekarang wanita ini sudah bersama dengan anak brengs*knya itu terbaring koma di rumah sakit.
''Kau sudah membunuh ibuku, dan sekarang malah mengatakan ingin berdamai? Bahkan jika kau kubunuh sekarang tidak akan bisa menyeimbangkan perbuatan yang kau lakukan.'' Aku menatap tajam padanya.
''Kamu tidak tahu apa yang sudah di lakukan Fatimah padaku di masa lampau. Tapi … sudahlah. Padahal aku sudah berusaha untuk bersikap baik, tapi sepertinya kamu tidak menginginkannya. Lagipula apa yang sudah kulakukan? Tidak ada. Bahkan seharusnya kamu berterimakasih padaku, karna sudah memberitahukan penyakit Fatimah padamu, dan mengabaikan janjiku untuk tidak memberitahumu. Malah seharusnya aku yang harus marah, anakku sekarang masih di rumah sakit. Ingat, kan?''
Bagaimana mungkin orang ini bisa berbicara seperti itu? Di sini, di depan pusara adiknya sendiri. Astaga … rasanya kesabaranku sudah mulai habis. Memangnya kejahatan apa yang bisa dilakukan wanita sebaik ibu padanya? Selama ini yang kulihat justru ibu sangat baik pada adiknya itu. Ntah kebohongan apalagi yang sekarang direncanakan wanita tidak tahu diri itu.
''Sekarang apa yang kau inginkan dariku?''
''Aku hanya ingin kita berdamai, itu saja. Cobalah menerima kenyataan, aku saja bisa melakukannya,'' Wanita itu tersenyum lebar padaku. Tapi bagiku senyumannya itu justru malah terlihat seperti seringai aneh yang menambah kebencianku padanya.
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt