''Ibu!' Aku menghampiri dan coba menggoyangkan tubuhnya. Tapi ibu tidak merespon, matanya yang sembab itu tertutup, ibu hanya diam.
''Zahra, apakah ibumu pernah pingsan seperti ini sebelumnya?'' tanya Pak RT melihatku.
''Setahu saya tidak, Pak. Tapi, akhir-akhir ibu memang sering terlihat minum obat, katanya itu hanya obat sakit kepala biasa. Jadi saya tidak terlalu khawatir,''
''Ibumu itu menderita kanker darah,'' sahut Tante Mia tiba-tiba.
''A`apa! Ka~kanker? Itu tidak mungkin, karna ibu tidak pernah menceritakan kalau dia sedang sakit padaku.''
Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tante Mia, wanita itu pasti mengarang cerita lagi, tidak mungkin ibu sakit. Ibu tidak mungkin menyembunyikan hal seperti ini padaku, ibu juga terlihat baik-baik saja sebelum aku pindah.
''Ibumu memang sengaja merahasiakan tentang penyakit yang diderita. Aku juga baru tahu saat melihat hidung Fatimah mengeluarkan darah ketika pemakaman ayahmu dua bulan lalu. Saat itu dia menceritakan semuanya, dia juga berpesan agar tidak ada satu orang pun yang mengetahui tentang penyakitnya. Terutama kamu, dia takut kamu bertambah sedih,'' ucap Tante Mia.
''Aku tidak percaya dengan semua yang kau katakan! Kau pasti berbohong! Ini tidak mungkin, ibu tidak mungkin sakit!'' Aku berteriak memeluk tubuh lemah ibu. ''Ibu bangunlah, buka matamu, katakan pada wanita itu bahwa ibu tidak sakit, ibu sehat, dan ibu baik-baik saja,''
'Zahra, tenangkan dirimu. Ayo kita bawa Bu Fatimah ke rumah sakit, di sana kita semua akan tahu yang sebenarnya,'' Pak RT menepuk pelan bahuku berusaha menenangkan, lalu menyuruh para warga yang sudah mengerumuni kami semenjak ibu jatuh pingsan membantu.
Kami semua membawa ibu ke rumah sakit, termasuk Tante Mia. Aku juga melihat Sang preman yang tadi berusaha mencelakaiku juga ikut bersama kami, bahkan dia juga ikut menolong mengangkat tubuh ibu bersama warga. Ternyata di balik tampilan kasar dengan tato dan otot besarnya itu, dia memiliki hati yang lembut dan baik.
''Bu Fatimah, apa yang sudah terjadi? Kenapa Beliau sampai seperti ini?'' tanya seorang Dokter wanita yang melihat ibu saat kami baru saja sampai di rumah sakit.
Kenapa Dokter ini tahu nama ibu? apa Beliau teman ibu? Tapi, setahuku ibu tidak punya teman seorang Dokter. Ah, sudahlah nanti saja aku tanyakan kalau ibu sadar, ibu pasti sadar, kan? aku masih yakin apa yang dikatakn Tante Mia itu pasti bohong.
Ibu langsung dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat, Dokter wanita tadi langsung memeriksa keadaan ibu. Namun tiba-tiba saja dia langsung menyuruh Para Perawat untuk segera menyiapkan ruangan yang ntah apa namanya, aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, yang jelas saat ini rasa takut sudah mulai datang membayangiku. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa sampai sekarang ibu belum bangun juga.
Beberapa menit kemudian Para Perawat yang tadi kembali datang, atas instruksi yang di berikan Dokter wanita itu mereka langsung membawa ibu yang masih belum sadar. Aku mengikuti mereka yang mendorong tempat tidur ibu. Saat ini aku hanya mampu mengikuti kemanapun ibu mereka bawa, dan menyerahkan kondisi ibu kepada mereka. Aku hanya ingin ibu kembali sadar dan sehat.
''Maaf, Dik. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Untuk Bu Fatimah, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menolongnya, kamu jangan khawatir,'' ucap Dokter wanita itu saat melihatku juga akan mengikutinya masuk ke kamar yang betuliskan ruang ICU ini.
''Tapi, saya hanya ingin menemani ibu,''
''Zahra, kita tunggu di sini saja, ya. Biarkan Bu Dokter menolong ibumu, mereka pasti tahu apa yang akan dilakukan,'' ucap Pak RT kembali berusaha menenangkanku.
Ya, Pak RT dari tadi selalu bersamaku. Sedangkan Tante Mia sudah tak terlihat semenjak ibu di pindahkan ke ruangan ini, Abang preman tadi juga sudah pergi ntah kemana. Mungkin mereka berdua sudah pulang.
***
Sudah dua jam ibu di dalam ruangan itu, aku tidak tau bagaimana keadaan ibu sekarang. Perawat yang sesekali keluar hanya mengatakan agar bersabar dan menunggu saat kutanyakan bagaimana keadaan ibu. Sebenarnya ibu kenapa? Apakah yang dikatakan Tante Mia itu benar?
''Apakah kamu Zahra? Anaknya Bu Fatimah?'' tanya Bu Dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu melihatku.
''Iya, Dok. Apa ibu saya sudah sadar? Bagaimana keadaannya? Ibu baik-baik saja, kan? apakah sekarang aku boleh masuk dan melihatnya?''
''Bu Fatimah sudah sadar, dan dia mengatakan ingin bertemu denganmu,''
''Syukurlah, aku sudah yakin ibu pasti akan sadar dan baik-baik saja. Ibu tidak mungkin sakit seperti yang dikatakan Tante Mia, wanita itu memang hobi sekali berbohong.'' Aku melihat Dokter itu dengan tatapan berbinar, rasa takut yang tadi sempat datang sudah pergi saat mendengar ibu sudah sadar. Itu berarti ibu baik-baik saja, kan?
''Silahkan masuk,'' ucap Dokter itu membukakan pintu untukku.
Akhirnya aku bisa juga menemui ibu, kenapa tidak dari tadi saja aku di biarkan masuk. Toh, ibu juga akhirnya ingin menemuiku. Akan aku sampaikan keluhanku ini pada ibu, dan sekaligus aku akan pura-pura ngambek padanya karna sudah membuatku sangat khawatir seperti ini.
''I~ibu, apa yang sudah dilakukan Dokter itu padamu? Kenapa tubuhmu dipasangi banyak benda aneh seperti ini?'' tanyaku heran.
''Zahra, maafkan Ibu.'' ucap ibu pelan.
''Loh, Ibu sudah tau kalau aku mau ngambek karna sudah membuatku khawatir dan menunggu lama?''
''Iya, Ibu minta maaf. Lain kali Ibu tidak akan membuat Zahra khawatir lagi,'' jawab ibu masih dengan suara pelan. Mungkin itu karna terhalang oleh alat aneh yang ada di mulutnya.''Zahra, apakah kamu mau berjanji beberapa hal kepada ibu?''
''Eh, ber~berjanji?''
''Iya, Ibu mau Zahra berjanji untuk selalu jaga kesehatan, kurangi makanan manis terutama coklat, kurangi makan gorengan, cobalah untuk memperbanyak makan sayuran, jangan tidur terlampau malam.'' Suara ibu bergetar, kulihat buliran bening mengalir dari sudut matanya.
''Jangan menyimpan dendam dan cobalah memaafkan kesalahan orang lain terutama Tante Mia, jangan larut dalam kesedihan apapun yang terjadi, jangan tinggalkan sholat di manapun Zahra nanti berada, dan nanti kalau Zahra mau menikah pilihlah laki-laki yang selalu mengingat Sang Mahakuasa, karena dia pasti bisa membimbing dan menjaga Zahra.''
''I~ibu kenapa? Kenapa berkata seperti itu dan ingin aku berjanji segala? Bukankah kita akan selalu bersama?''
''Zahra, Ibu akan pulang,'' jawab ibu lirih.
''Tentu saja kita akan pulang, bukankah ibu sekarang sudah baik-baik saja? Kita akan pulang bersama.'' Aku menggengam tangan ibu dan memintanya untuk kembali tersenyum.
Aku berusaha untuk tetap tenang, walaupun sebenarnya ucapan Tante Mia kembali mengganggu pikiranku.
Apakah salah jika aku masih berfikir kalau ucapan wanita itu adalah suatu kebohongan setelah melihat kondisi ibu sekarang? Apakah aku salah jika hanya mencoba untuk berfikir positif dan selalu berharap semua akan baik-baik saja?
Aku memang hanyalah seorang bodoh yang berusaha untuk berpaling dari kenyataan, berusaha untuk bersembunyi karna takut akan kebenaran yang sudah jelas. Aku hanya terlampau takut, aku takut jika ibu benar-benar menderita penyakit itu, aku takut penyakit itu sampai membuat aku kehilangan ibu.
''Zahra, Ibu menyayangimu,''
''Aku juga sangat menyayangi Ibu.''
Aku memeluk tubuh ibu, ini selalu kulakukan jika hati sedang tidak tenang atau takut. Biasanya ibu akan selalu mengatakan bahwa aku tidak usah khawatir, karena dia akan selalu ada menjagaku.
''Ibu?'' Aku memanggil ibu saat tangannya yang tadi berada di punngungku tiba-tiba terjatuh.
''Ibu? kenapa diam saja?'' ucapku melepaskan pelukan dan beralih menggengam tangannya.
''Ibu? apa yang …''
Aku berlari keluar untuk menemui Dokter, untunglah Beliau masih berada di sana bersama beberapa orang Perawat Pak RT. ''Dok, ibu …''
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Aku menoleh, tampak Haziq sudah kembali dengan membawa nampan berisi semangkuk mie rebus dan tiga gelas teh hangat, tapi aku tidak melihat ada nasi goreng pesanan kami. Apa dia mau makan satu mangkok mie rebus itu bertiga? Kalau itu yang dia inginkan, aku lebih baik tidak usah makan.Haziq meletakkan nampan di atas meja lalu membagikan satu per satu teh itu pada kami. Aku hanya diam memandangi apa yang dikerjakannya. Setelah sekian lama menunggu dan berharap perut akan terisi nasi goreng, ternyata malah berganti dengan segelas teh yang tidak akan membuat kenyang. Harusnya tadi biar aku saja yang pergi mengambil makanan itu.''Kak, mana nasi gorengnya? Kenapa hanya ada satu mangkok mie rebus dan teh?'' tanya Aisyah mewakili apa yang ingin kutanyakan.Pria berkulit putih itu diam saja tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia membuka kancing tas yang dari tadi disandang lalu mengeluarkan satu kantong plastik transparan meletakkannya di atas meja.''Nih, membawanya susah, jadi minta d
Aku memutuskan untuk tetap sarapan di warung makan yang tadi disarankan oleh Pak RT, rasanya aku sudah sangat lapar. Kalau diingat lagi ternyata sudah semenjak kemarin aku tidak makan, bukan karna tidak merasa lapar, tapi semua yang terjadi membuatku bahkan lupa akan tubuhku sendiri.Apa-apaan ini? Aku terkejut saat melihat warung makan ini sudah dipenuhi oleh banyak sekali pengunjung, bahkan sudah tidak terlihat ada kursi kosong yang bisa kutempati. Darimana orang-orang ini datang? Padahal aku tidak melihat banyak kendaraan terparkir di luar, apalagi ini masih sangat pagi. Harusnya mereka tidur saja dulu di rumah dan membiarkan orang sepertiku untuk mengisi perut dengan tenang.''Aduh!'' Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku dari belakang dan membuat tubuh yang belum sempat terisi sarapan ini terjatuh. Untung saja tas besar yang kubawa bisa menolong wajahku agar tidak mencium lantai.Beberapa orang langsung mendekat dan menolong, yang lainnya kulihat hanya melirik sebenar la
Pagi setelah sholat subuh aku sudah siap dengan sebuah tas besar yang berisi berbagai perlengkapan yang kubutuhkan selama perjalanan ke Jakarta. Ada berbagai macam perasaan yang saat ini kurasakan, mulai dari rasa khawatir, takut, bahkan rasa tidak ingin pergi juga masih sempat datang menghampiri.Rasa sedih yang hadir di sebabkan oleh hati yang belum siap untuk jauh dari rumah ini. Ibu baru saja pergi, dan sekarang aku yang malah pergi meninggalkan rumah yang selama ini sangat ibu jaga. Aku masih ingin di sini, rumah ini membuatku tetap merasa bahwa kami satu keluarga pernah utuh dan hidup di bawah atap yang sama.Rasa takut juga sempat datang menghampiri, tapi itu mungkin rasa yang wajar, mengingat aku tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Bahkan perjalanan yang dekat saja aku tidak pernah melakukan, lalu tiba-tiba sekarang diharuskan menempuh perjalanan panjang sendirian a
Setelah menyampaikan rasa belasungkawa, Bu Dokter pamit untuk kembali ke rumah sakit untuk kembali berugas. Namun beberapa ssat kemudian Beliau datang kembali dengan membawa sebuah kotak merah, lalu memberikannya padaku. Katanya kotak itu adalah barang yang dititipkan ibu untukku, yang akan diberikan jika nanti terjadi sesuatu padanya.Segera kubuka kotak merah yang dihiasi sebuah pita kecil lucu di atasnya itu, terdapat sebuah jilbab khimar panjang, sebuah amplop dan sepucuk surat di dalamnya.Assalamualaikum, Nak.Ibu berharap saat membaca surat ini kamu dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sulit, dan semuanya baik-baik saja.Zahra pasti marah karna ibu tidak memberitahukan tentang penyakit ini. Ibu hanya tidak mau Zahra bertambah sedih, apalagi semenjak ayah pergi Zahra telihat sangat tertekan.Ibu menulis sur
''Terimakasih karna Bapak selalu datang untuk menolong saya.''''Tidak masalah Nak Zahra, Bapak senang bisa membantu. Lagipula kita memang harus saling tolong, kan?'' jawab Pak RT tersenyum ramah.''Hm … Pak, apakah di dalam penjara itu enak?''''A~apa!?'' Pak RT terlihat terkejut dengan pertanyaanku sampai-sampai minuman yang baru saja diteguk hampir membuat laki-laki baik itu tersedak. ''Kenapa kamu bertanya seperti itu?''''Tante Mia mengatakan akan memasukkanku ke sana.''''Kenapa?''Aku menceritakan semua yang telah kualami selama satu bulan tinggal di rumah Tante Mia. Mulai dari semua perlakuan buruk wanita itu, janji palsunya untuk menguliahkanku, sampai dengan aksiku yang hampir membunuh Rian untuk membela diri dari perbuatan tidak pantas laki-laki brengs*k itu.Tidak ada satu bagian pun yang terlewat kuceritakan. Bah
CHAPTER 12''Kenapa kamu malah berbicara seperti itu kepada Tantemu sendiri?'' Suara wanita itu bergetar, kulihat wanita mengusap mata seolah menagis. Aku yakin itu adalah air mata palsu yang merupakan bagian dari rencana busuknya. Bisa-bisanya dia menjual air mata kebohongan hanya untuk menarik perhatian orang lain.''Zahra sungguh keterlaluan, kenapa dia bisa bersikap kasar begitu terhadap Tantenya sendiri?''''Sepertinya gadis itu mulai kelangan akal, karna kepergian ibunya.''''Sepertinya berita itu benar, gadis itu sudah gila''Kalimat-kalimat seperti itulah yang jelas kudengar dari mulut para tetangga yang hanya berperan sebagai penontotn itu. Kenapa seenaknya saja mereka langsung menghakimi hanya karna melihat satu kejadian yang belum tentu adalah sebuah kebenaran? Bahkan diantara mereka, dulu begitu ramah p
''Pe~penjara?'' Aku berusaha untuk terlihat tenang, walaupun sebenarnya sempat terdapat rasa takut di dalam hati mendengar kata itu. Memangnya siapa di dunia ini yang mau tinggal dan terkurung di sana?''Kenapa? Apakah kamu mulai takut?'' tanya Tante Mia diiringi senyum sinis melihatku.''Kau tidak akan bisa memenjarakanku hanya karna tidak mau pergi dari rumah sendiri,'' Jawabku santai.''Tentu saja bukan karna hal itu, Keponakanku sayang. Apa kamu tidak ingat apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Ternyata kejadian itu sekarang malah menguntungkan, aku harus berterimakasih padamu karna sudah mempermudah jalan untuk membalaskan dendamku selama ini.''Sekarang apa yang wanita licik ini katakan? Lagi-lagi dia mengatasnamakan dendam. Dendam apa? Dendam kepada ibu? Apakah belum cukup baginya dengan semua yang telah terjadi pada ibu? Ibu sudah tiada, dan semua itu terjadi juga tidak
''Tidak usah basa-basi, cepat katakan apa yang kau inginkan,''''Hahaha, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, ya.'' Wanita itu tertawa lebar, sepertinya dia benar-benar sudah tidak waras, bagaimana mungikin dia bisa tertawa seperti itu di tempat ini.''Hm … baiklah kalau begitu, langsung saja. Aku menginginkan rumahmu.''''Apa?!'' Aku terkejut dan sontak langsung kembali melihat wajah menor yang dihiasi senyum liciknya itu.''Loh? Kenapa sampai terkejut begitu? Tadi katanya aku harus langsung saja tidak usah basa-basi, tapi sekarang setelah kusampaikan apa yang kuinginkan reaksimu malah malah seperti itu.''Wanita ini benar tidak tahu diri, tidak tahu malu, terbuat dari apa hatinya? atau mungkin dia sudah tidak punya hati? Bagaimana mungkin dia menginginkn rumahku dan ibu. bukankah dia sudah punya rumah? Bahkan jauh lebih bagus dari rumah kami.
Dokter kembali menyuruhku menunggu di luar saat kusampaikan keadaan ibu, sedangkan dia dan Para Perawat segera masuk dan kembali menutup pintu. Lagi-lagi aku diminta untuk menunggu.Aku berjalan mondar-mondir di depan ruangan ibu sambil sesekali berusaha mengintip ke dalam lewat kaca pintu. Terlihat dokter sedang menggosokkan dua buah alat seperti setrika kecil lalu meletakkanya di dada ibu. Alat itu membuat ibu seperti terkena kejut listrik, tapi kulihat ibu belum mau membuka mata. Apa yang terjadi?''Pak, ibu pasti baik-baik saja, kan?'' Kuajukan pertanyaan pada Pak RT untuk berusaha menghalau prasangka buruk yang sudah mulai menjalar di pikiran.Pak RT hanya diam tidak menjawab, wajahnya terlihat berbeda. Terlihat dengan jelas raut kekhawatiran di sana, berbeda dengan saat sebelum aku masuk ke dalam menemui ibu yang lebih terlihat tenang. Apa yang tadi sudah di bicarakannya dengan Bu Dokt