Sesampainya di rumah Gion segera mengantar Liana masuk ke dalam kamar.
“Papi ... Mami nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanya Vino sambil berlari menuju pada kedua orang tuanya. Gion hanya menganggukkan kepala ke arah Vino, tanda bahwa nanti saja dilanjutkan bicaranya. Vino yang memang termasuk anak cerdas langsung mengerti isyarat yang diberikan Papinya.
Anak kecil itu mengangguk seraya memutar tubuhnya dan berjalan lesu ke tempat semula. Vino anak lima tahun yang dipaksa untuk mengerti kondisi orang dewasa, anak seusianya yang masih butuh kasih sayang lebih dari kedua orang tuanya. Harus belajar untuk tidak bergantung pada Mami Papinya. Apalagi dia seorang anak laki-laki. Ya, begitulah cara Gion mendidik anak sulungnya, penuh dengan ketegasan dan sangat disiplin
🍁🍁🍁
Liana yang saat ini sudah duduk di sudut tempat tidurnya, tiba-tiba berteriak histeris.
“KENAPA AKU HARUS HAMIL? IMPIAN YANG DARI DULU SUDAH AKU DAMBAKAN HARUS TERGANGGU KARENA ANAK SIALAN INI.” Liana terus memukul perutnya berulang kali, Gion yang masih menuang segelas air putih untuknya, terpaksa menghentikan aktivitasnya dan berlari ke arahnya. Gion segera meraih tangannya dan mencoba menenangkannya.
“Hentikan sayang, kamu akan menyakiti dirimu sendiri dan anak kita,” cegah Gion yang mulai mengerti alasan kenapa Liana tidak senang dengan kehamilannya kali ini.
“Kamu nggak ngerti bagaimana posisi ini sudah kudambakan dari dulu, sekarang aku sudah mendapatkan kesempatan ini. Tapi kenapa aku harus hamil?! AKU SAMA SEKALI TIDAK MENGINGINKAN ANAK INI HADIR DALAM PERUTKU,” ucap Liana dengan emosi yang meluap. Matanya menyorot tajam ke sembarang arah, dadanya naik turun akibat napasnya yang memburu.
“Sayang, ini adalah anugerah. Kita harus bersyukur, bisa jadi ini adalah hadiah dari Tuhan atas posisi yang kamu dapatkan saat ini.” Gion mengelus bahu Liana, ia terus berusaha untuk mencoba menenangkan istrinya.
Andai kamu tahu yang sesungguhnya, apa kamu masih menerima bayi ini, Mas? batin Liana kesal.
“TIDAK! Bayi ini justru akan menghambat pekerjaanku. Kamu tidak dengar kata Dokter tadi?! Karena bayi ini aku diharuskan untuk istirahat total!” kilah Liana penuh emosi. Wanita itu tampak terdiam sesaat dan tidak lama kemudian, air mukanya berubah, Ia seperti mendapat ide.
“Bagaimana kalau aku gugurkan saja kandungan ini?” celetuk Liana menatap Gion dengan penuh keyakinan. Kedua sudut bibirnya mengembang dan matanya berbinar, seolah rencananya ini adalah solusi yang terbaik.
“KAMU SUDAH GILA, SAYANG! Aku tidak mau membunuh darah dagingku sendiri. Aku tidak setuju dengan ide konyolmu itu,” sahut Gion yang tampak meradang dengan ide sang istri.
“Kamu memang nggak pernah mengerti bagaimana perasaanku.” Liana mulai terisak. Ia menunduk sambil menatap nanar perutnya yang masih rata.
“Sayang ... Ini tidak seburuk yang kamu bayangkan, aku akan selalu ada di sisimu untuk membantumu. Jadi, enyahkan semua pikiran negatifmu, ya. Anak ini adalah anugerah,” ucap Gion lirih. Namun, terdengar jelas di telinga Liana.
"TIDAK! Sampai kapanpun aku tak akan pernah menerima bayi ini. Bayi ini membawa sial untukku. Aku tak rela jika tubuhku harus mengandung selama sembilan bulan dan melahirkannya. Itu waktu yang cukup lama dan bagaimana bisa aku bekerja dengan profesional jika ada bayi di tubuhku ini. Cukup Vino dan Kinara saja anakku, kamu ingat itu, Mas!” tandas Liana penuh kesal.
“Sayang, kumohon tenangkan dirimu. Saat ini kamu hanya terbawa emosi. Kamu istirahat dulu, ya. Aku akan menyuruh Bi Tina membuatkan minuman hangat untukmu.” Gion merebahkan tubuh Liana, wanita berparas cantik itu hanya menurut tanpa berniat membantah ucapan suaminya. Ia merasa lelah sekali.
“Sampai kapanpun, aku akan membenci anak ini!” pungkasnya seraya mengalihkan pandangannya dari Gion.
Pria yang memiliki nama lengkap Gion Atmaja itu hanya mengembus napas kasar, Ia berharap dengan istirahat pikiran istrinya akan lebih terbuka dan bisa menerima kehamilan anak ketiga mereka.
🍁🍁🍁
Setelah memastikan bahwa istrinya sudah terlelap, Gion memilih untuk meninggalkan kamar dan beralih ke ruang kerjanya. Ia berdiri menghadap kaca besar yang menampilkan pemandangan malam yang gelap gulita.
Pikirannya menerawang mengingat tentang penolakan istrinya akan kabar kehamilan bayi ketiga mereka. Ia masih tidak habis pikir kenapa istrinya bisa sebegitu bencinya, memang benar posisi yang diterima oleh sang istri adalah impian yang sejak lama sudah wanita itu idam-idamkan sejak awal pernikahan mereka. Tetapi, bukankah terlalu berlebihan kemarahannya kali ini.
Bayi dalam kandungannya bahkan tidak bersalah sama sekali. Lalu, kenapa Liana sangat bersikeras untuk menggugurkannya. Semakin Gion berpikir, semakin pusing kepalanya.
“Kenapa dia sangat membenci kehamilannya? Padahal bayi yang Ia kandung adalah darah dagingnya sendiri, kenapa Ia begitu tega mengatakan hal itu. Semoga setelah Ia bangun dari istirahatnya, pikirannya pun bisa terbuka lebar dan menerima kehamilannya,” gumam Gion mengembus napas berat seraya memijit pelipisnya.
Gion mengalihkan perhatiannya, pandangannya langsung tertuju pada bingkai foto yang berada di atas meja kerjanya. Ia mengambil benda tersebut, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi kayu yang penuh dengan ukiran.
Kenangan enam tahun yang lalu mulai membawanya mengingat momen sakral dalam hidupnya. Ya, foto itu merupakan foto pernikahannya dengan Liana. Gadis cantik yang selalu semangat dalam bekerja itu telah membuatnya jatuh hati, proses penjajakan selama satu tahun membuatnya yakin bahwa Liana memang gadis yang tepat untuk menjadi ibu dari anak-anaknya.
Sejak saat itu, Ia ingin selalu membahagiakan wanita yang merupakan belahan jiwanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, Ia tidak akan membuat Liana bersedih bahkan menangis. Namun, hari ini. Semua tampak sangat sulit baginya, kabar kehamilan yang membuatnya bahagia. Nyatanya tidak demikian untuk istrinya.
Rasa dilema mulai mendera batinnya, Ia tidak ingin melihat Liana bersedih yang jelas sangat bertentangan dengan janjinya. Namun, di sisi lain. Ia juga tidak mungkin menyetujui keinginan istrinya untuk menggugurkan kandungannya, kedua matanya memanas. Cairan bening yang mulai menggenang, perlahan mulai menetes membasahi pipinya.
Gion menyeka dengan punggung tangannya, lalu salah satu tangannya mengusap foto itu dengan perlahan. Senyuman tulus yang tercipta dari bibir Liana di foto itu, seolah memberi jawaban untuknya.
“Inilah kamu yang sesungguhnya, aku yakin saat ini kamu hanya meluapkan kekesalanmu saja karena kabar yang mengejutkan ini. Liana yang aku kenal adalah Liana yang selalu mencintai orang di sekelilingnya, begitu juga anak yang kamu kandung saat ini. Aku yakin jauh di dalam lubuk hatimu pasti juga bahagia mendengar kabar bahagia ini.” Gion menjeda kalimatnya. Perasaan yang tadi terasa kalut, perlahan mulai terganti dengan perasaan lega.
“Aku sangat mencintaimu, sayang,” imbuh Gion seraya meletakkan kembali bingkai tersebut ke tempat semula.
Setelah perasaannya membaik, Ia kembali ke kamarnya. Saat ini yang ingin Ia lakukan adalah mencurahkan rasa cintanya kepada sang istri, memberikan dukungan penuh terhadap wanita yang sudah Ia nikahi selama enam tahun itu.
“Kamu adalah istri terbaik di dunia ini, sayang,” ucap Gion seraya mengusap lembut kepala sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi.
“Aku harap, saat kamu bangun nanti. Kamu bisa menerima kehamilanmu ini dengan bahagia, aku yakin kamu pasti bisa melewati semua ini dengan lancar karena aku akan selalu di sisimu untuk menjagamu dan anak-anak kita.”
Gion kembali menitikkan air mata, entah kenapa hari ini perasaannya begitu melow. Rentetan kejadian hari ini membuatnya sadar, bahwa Tuhan sangat baik kepadanya dan keluarganya. Sejenak Ia menundukkan kepala dan mulai merapalkan kalimat pujian syukur atas karunia yang Ia dapat.
Jakarta, 7 JuliKehamilan Liana sudah memasuki tri semester ketiga, berbagai cara untuk menggugurkan janin di rahimnya pun kerapkali ia lakukan. Tapi Tuhan berkehendak lain, bayi itu masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia bahkan berulang kali mencoba minum obat penggugur kandungan. Namun selalu berhasil digagalkan oleh suami dan Bi Tina.Tidak hanya sampai di situ, pada kehamilan tri semester pertama Liana sengaja memakai korset karena tidak ingin diketahui oleh rekan satu kantornya bahwa Ia tengah hamil. Selain itu juga, agar bisa membuat bayinya tersiksa dan mengalami keguguran. Namun, nyatanya Tuhan mempunyai cara yang indah untuk hambaNya. Bayi itu tetap tumbuh kuat dalam rahimnya.Liana sangat frustrasi dengan kehamilannya, ia benar-benar tidak ingin anak yang berada di rahimnya lahir ke dunia. Begitulah awal k
Bi Tina dan Gion masih menunggu di depan ruang bersalin, dan tidak lama tampak seorang perawat menghampiri mereka."Tuan, Nyonya Liana sudah sadar. Sekarang akan dipindahkan ke kamar, mari ikuti saya," jelas perawat tersebut seraya membalikkan badan dan berjalan mendahului Gion dan Bi Tina.“Baik, terima kasih,” jawab Gion sambil mengekor di belakang perawat tersebut.Dua perawat yang sudah bersiap di sisi kanan dan kiri mengangguk saat mereka mendapat isyarat untuk mendorong ranjang Liana keluar dari kamar, wanita itu terlihat masih lemas akibat pengaruh obat bius. Gion menyunggingkan sebuah senyuman saat pertama kali masuk ke dalam ruangan tersebut, Ia merasa sangat lega karena istri dan bayinya baik-baik saja. Ia pun segera mengikuti para perawat-perawat itu, tanpa mengucap sepatah kata.Sebuah
Satu bulan pasca melahirkan, Liana masih saja enggan untuk menggendong atau bahkan sekedar melihat bayi kecilnya. Ia terus menolak untuk berdekatan dengan putri ketiganya.Kebencian Liana benar-benar tidak bisa dinalar, bagaimanapun bayi malang itu adalah anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Tidak sepatutnya ia membenci tanpa alasan seperti itu, begitulah pikir kebanyakan orang yang melihat langsung bagaimana penolakan Liana terhadap keberadaan putrinya.Satu Bulan yang laluTiga hari setelah melahirkan Liana sudah boleh pulang. Ia dipapah sang suami untuk istirahat di kamarnya, rasa sakit yang masih Ia rasakan pasca operasi membuat tubuhnya tidak nyaman. “Bayi itu, benar-benar sudah menyusahkanku saja, Mas. Andai saja a
Lima tahun kemudian, Rani tumbuh dengan sangat baik. Meskipun Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Namun, peran Bi Tina dalam mengasuh Rani sangatlah berpengaruh. Gadis kecil itu, tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati.Rani mewarisi kecantikan Liana, ibunya. Kulit putih, rambut lurus berwarna hitam pekat, mata lebar dikelilingi bulu mata lentik, serta hidung mungil dan mulut tipis berwarna pink alami. Sangat persis dengan foto waktu kecil Liana. Namun sayang, wanita yang sudah melahirkannya itu sama sekali tidak menganggap dirinya.“Bibi, sedang apa? Rani bantu, ya?” suara imut Rani membuat aktivitas Bi Tina terhenti. Wanita itu menoleh pada gadis berkucir dua, sungguh sangat menggemaskan sekali.Bi Tina menekuk ke
Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya se
“Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m
“Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob
Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik