Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.
“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.
“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.
“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.
Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru
Nyonya Aksan mengajaknya masuk ke dalam toko baju branded internasional, wanita yang memiliki satu putra itu bahkan memperlakukannya seperti putrinya sendiri.“Tante senang sekali ditemani belanja sama kamu, Ran,” Nyonya Aksan membuka percakapan dengan senyum terulas.“Rani juga senang bisa temani, Tante,” balasnya dengan ikut tersenyum.Mereka berdua berjalan mendekati deretan display gaun yang sudah dipastikan harganya tidak murah. Toko yang di desain dengan gaya modern itu memang menyasar konsumen menengah ke atas, tak heran jika produk yang dipajang terlihat berkelas dan elegan.“Selama ini, tante ingin sekali memiliki putri. Biar bisa diajak shopping bareng. Seperti kita sekarang ini!” Nyonya Aksan melanjutkan kalimatnya.Jujur, Ia bingung bagaimana h
Sudah pukul sebelas malam, tapi Rani belum juga bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengingat pada kalimat yang diucap tante Aksan.“Maaf ya, Ran. Tante nggak bermaksud membuatmu terkejut, tapi itu semua sebenarnya adalah do'a tante selama ini. Agar Baska mendapatkan gadis seperti kamu dan tante akan sangat bahagia sekali, jika kalian berjodoh.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, Ia menggeleng untuk mengusir suara tante Aksan yang melekat dalam ingatannya. Namun, tetap saja Ia tak bisa. Gadis tujuh belas tahun itu memilih berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman agar pikirannya bisa lebih tenang.Baru beberapa langkah Ia keluar dari kamarnya, Ia mendengar samar suara seseorang yang sedang mengobrol. Gadis berparas cantik itu menoleh ke arah meja makan yang berada tak jauh dari dapur. Ia melihat
Senyum terlukis jelas di wajah cantik gadis yang saat ini tengah memandang serius layar ponselnya, ia membaca pesan yang dikirim papinya.“Ran, hari ini Papi yang jemput kamu. Kebetulan Papi baru saja selesai bertemu klien di sekitar sekolahmu.”“Baik, Pi!”Rani dengan cepat mengetik balasan pesan untuk papinya, ia begitu semangat saat orang tua laki-lakinya yang akan menjemputnya kali ini.“Kita pulang yuk!” ajak Mita seraya duduk di bangku kosong tepat di depan Rani.“Ayuk!” Rani membereskan bukunya, lalu berdiri sambil menenteng tas punggungnya.Mita melingkarkan tangan di lengannya, mereka berdua berjalan melewati lima kelas sebelum akhirnya
Seperti rutinitas Rani di malam sebelum-sebelumnya, setelah selesai makan malam Rani selalu membantu Bi Tina untuk membereskan sisa makan malam. Rani yang masih fokus membilas piring yang sudah penuh dengan sabun itu langsung mendongak saat suara maminya memanggil namanya.“Rani! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap mami Liana dengan menatapnya tajam.“Baik, Mi!” Rani mengalihkan perhatiannya menatap bi Tina yang sedang mengelap piring basah.Wanita paruh baya itu seolah mengerti arti tatapan matanya. “Biar bibi saja yang melanjutkan, Non!”“Terima kasih, Bi.”Rani mengangguk setelah itu berjalan mengekor di belakang Liana, melangkah masuk ke dalam ruang kerja maminya yang sangat asing baginya karena selama ini Liana tak pernah membiarkannya bebas keluar masuk ruangan yang terlihat begitu rapi dan bersih itu.Kedua mata Rani tampak mencuri pandang pada bing
“Baik karena pelajaran telah usai, untuk pertemuan minggu depan kalian siapkan artikel tentang 'Mengenal Pola-Pola Hereditas'. Minggu depan kita diskusi tentang Hereditas,” ucap Bu Yani seraya bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelas.“Baik,Bu!” seru teman sekelas Rani sembari membereskan buku dan memasukkannya dalam tas.Semua murid di kelas Rani tampak riuh karena senang telah terbebas dari guru killer yang baru saja mengajar di kelas mereka. Satu per satu siswa mulai meninggalkan kelas, hingga sekarang hanya tersisa Rani dan Mita.Saat kedua gadis itu sedang bercengkerama tiba-tiba datang seorang pemuda berwajah tampan menghampiri mereka berdua.“Rani ... Gue baru dapat kabar dari anak-anak, kalau hari pertama kita bimbingan intensif bertempat di rumah Pak Dani. Gimana kalau gue jemput elo? Karena rencananya kita berangkat bareng-bareng, gitu Ran!” terang Andra seraya menggeser kursi dan d
Jakarta, 23 OktoberLiana tampak berlari untuk menemui suaminya yang sedang berdiri di ruang tengah, wanita itu merasa sangat senang karena akhirnya ia dipromosikan menjadi manager di perusahaannya.“Sayang, akhirnya aku sekarang naik jabatan,” ucapnya seraya mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah.Gion yang merupakan suami Liana, segera merentangkan tangan dan mendekap tubuh sang istri. “Selamat ya, sayang. Akhirnya impian yang selama ini kamu idam-idamkan sekarang menjadi kenyataan.” Sebuah kecupan mendarat di kening Liana.“Aku bangga padamu,” imbuh Gion dengan mengembangkan senyum. Liana membalas pelukan sang suami, ia melingkarkan kedua tangannya di punggung suaminya.Kerja kerasku akhirnya membuahkan hasil, aku mendapatkan posisi yang
Sesampainya di rumah Gion segera mengantar Liana masuk ke dalam kamar.“Papi ... Mami nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanya Vino sambil berlari menuju pada kedua orang tuanya. Gion hanya menganggukkan kepala ke arah Vino, tanda bahwa nanti saja dilanjutkan bicaranya. Vino yang memang termasuk anak cerdas langsung mengerti isyarat yang diberikan Papinya.Anak kecil itu mengangguk seraya memutar tubuhnya dan berjalan lesu ke tempat semula. Vino anak lima tahun yang dipaksa untuk mengerti kondisi orang dewasa, anak seusianya yang masih butuh kasih sayang lebih dari kedua orang tuanya. Harus belajar untuk tidak bergantung pada Mami Papinya. Apalagi dia seorang anak laki-laki. Ya, begitulah cara Gion mendidik anak sulungnya, penuh dengan ketegasan dan sangat disiplin🍁🍁🍁Liana ya