Jakarta, 23 Oktober
Liana tampak berlari untuk menemui suaminya yang sedang berdiri di ruang tengah, wanita itu merasa sangat senang karena akhirnya ia dipromosikan menjadi manager di perusahaannya.
“Sayang, akhirnya aku sekarang naik jabatan,” ucapnya seraya mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah.
Gion yang merupakan suami Liana, segera merentangkan tangan dan mendekap tubuh sang istri. “Selamat ya, sayang. Akhirnya impian yang selama ini kamu idam-idamkan sekarang menjadi kenyataan.” Sebuah kecupan mendarat di kening Liana.
“Aku bangga padamu,” imbuh Gion dengan mengembangkan senyum. Liana membalas pelukan sang suami, ia melingkarkan kedua tangannya di punggung suaminya.
Kerja kerasku akhirnya membuahkan hasil, aku mendapatkan posisi yang selama ini aku inginkan. Setidaknya inilah pencapaianku untuk saat ini. Aku tak boleh berbangga hati dulu, aku harus lebih giat lagi mulai sekarang, batin Liana penuh bangga.
Saat ia merasakan euforia atas kenaikan jabatannya, tiba-tiba perutnya merasa tak nyaman. Tangan lentiknya reflek membekap mulutnya.
Huwek... huwek....
Liana merasa mual dan segera berlari ke arah wastafel yang berada di pojok ruang tengah rumahnya. Gion yang tampak cemas berjalan mengikutinya dari belakang dengan langkah sedikit dipercepat.
Pria itu mengelus punggung Liana dengan perlahan, meraih sebuah tisu yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Apa kamu sakit, sayang?” tanyanya dengan tangan masih mengelus tubuh belakang Liana dan tangan satunya menyerahkan tisu yang tadi sudah diambilnya.
“Sepertinya aku masuk angin, beberapa hari ini istirahatku kurang. Sekarang kepalaku juga rasanya pusing sekali.” Liana memegang kepalanya, ia mencoba berdiri tegak tapi tubuhnya malah sempoyongan. Beruntung dengan sigap suaminya langsung menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.
Pria yang memiliki nama lengkap Gion Atmaja itu segera membopong tubuh Liana, membawanya menuju kamar dan membaringkan Istrinya di tempat tidur. Liana hanya memejamkan mata dan menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya.
“Istritahatlah, sayang,” ucap Gion seraya mencium mesra kening istrinya.
Bibi Tina yang melihat majikannya mual-mual segera membawakan segelas teh hangat. Wanita berusia empat puluh tahun itu mengetuk pintu yang sedikit terbuka, ia terdiam beberapa saat sambil menunggu intruksi dari Tuannya.
“Masuk, Bi!” seru Gion dari dalam kamar.
Wanita itu melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju kepada Liana yang tengah terbaring di ranjangnya.
“Silahkan, Tuan.” Wanita yang merupakan asisten rumah tangga Gion dan Liana itu menyerahkan secangkir teh kepada Gion.
“Iya terima kasih, Bi!” sahut Gion seraya mengambil cangkir dari tangan Bi Tina.
“Bagaimana keadaan Nyonya saat ini, Tuan?” Bibi Tina mengalihkan perhatiannya sejenak pada sang nyonya, ada gurat kekhawatiran di wajahnya.
“Masih lemas, Bi. Semoga hanya masuk angin biasa,” jawab pria tiga puluh dua tahun itu.
Pria itu mengalihkan pandangannya, menatap sendu sang istri.
“Aku panggilkan dokter ya, sayang?” tawar Gion yang membuat Liana membuka matanya dengan perlahan.
“Tidak usah, sayang, aku hanya perlu istirahat sebentar. Nanti juga akan baikan,” tolaknya lirih.
“Baiklah, kalau begitu!” Pria berkaca mata itu mengarahkan segelas teh hangat yang ia bawa ke depan istrinya. “Minumlah teh hangat ini, mungkin bisa membuat perutmu jadi nyaman.”
Gion membantu istrinya untuk minum teh hangat buatan Bi Tina. Wanita itu hanya meminum beberapa teguk dan kembali berbaring ke tempat tidurnya.
“Aku istirahat dulu ya,” pamitnya sambil membenarkan bantalnya.
“Iya, tidurlah, sayang. Aku tinggal ke depan sebentar, ya,” ujar Gion sambil memegang lembut kepala Liana dan mencium ujung kepala istrinya.
Gion melangkah keluar dan menutup pelan pintu kamarnya. Ia berjalan menuju pada kedua anaknya yang tengah duduk manis di depan televisi.
Gion dan Liana sudah dikaruniai putra dan putri. Putra pertamanya bernama Vino, berusia lima tahun dan memiliki wajah tampan layaknya Gion. Dan putri kedua mereka adalah Kinara, seorang anak perempuan yang cantik berusia tiga tahun. Mereka berdua sudah terbiasa bermain tanpa didampingi orangtuanya, Babysitter lah yang setia menemani mereka berdua.
Gion tampak tersenyum melihat kedua anaknya. “Bi, aku mau keluar sebentar. Titip Nyonya ya, mungkin dia membutuhkan sesuatu,” pamit Gion.
“Baik, Tuan,” jawab Bibi Tina dengan mengangguk.
🍁🍁🍁
Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 07.00 malam. Gion, Vino dan Kinara saat ini sedang duduk di ruang keluarga. Mereka asyik dengan kesibukannya masing-masing.
Bibi Tina membawakan satu piring buah-buahan yang dipotong kecil-kecil. “Terimakasih, Bi,” ucap Gion seraya menerima piring dari Bi Tina.
“Njih, sama-sama Tuan,” jawab Bi Tina dengan tubuh setengah membungkuk.
“Tuan, saya baru saja dari kamar nyonya. Tapi nyonya belum bangun juga. Mohon maaf Tuan kalau saya lancang, tapi apa tidak sebaiknya nyonya di bawa ke dokter saja?” terang Bi Tina yang terlihat sangat mencemaskan keadaan majikan perempuannya itu.
“Iya, ucapan Bibi benar. Dari tadi aku juga kepikiran dengan keadaan nyonya, Bi, tapi karena dia tidak mau aku ajak ke dokter. Jadi sempat aku urungkan. Baiklah, sekarang aku akan membawanya ke dokter,” ujar Gion seraya bangkit dari tempatnya duduk.
“Mami kenapa, Pi?” Pertanyaan Vino membuat Gion mengurungkan langkahnya. Pria yang memiliki tubuh tegap tinggi itu, mengalihkan perhatian pada putra sulungnya yang saat itu duduk tidak jauh darinya.
“Mami lagi gak enak badan, Vin. Sekarang Papi mau antar Mami kamu ke Dokter dulu ya, kamu baik-baik di rumah sama mbak sama Bi Tina,” jelas Gion sambil mengelus kepala Vino.
“Iya, Pi!” jawab Vino sambil kembali ke aktifitasnya.
Gion segera berjalan menuju kamar. Sesampainya di kamar, ia mendapati istrinya sudah terjaga dari tidurnya.
"Sayang, kita ke Dokter, ya?" ajak Gion seraya mendudukkan tubuhnya di samping Liana.
"Baiklah, aku juga tak ingin sakit berlama-lama," ucapnya pasrah.
Gion tampak memapah Liana keluar kamar, mereka berdua berjalan menuju halaman depan rumahnya. Pria yang mengenakan kemeja polos biru tua itu dengan sangat hati-hati membantu istrinya naik ke dalam mobil.
Liana menggeser tubuhnya agar bisa duduk senyaman mungkin. Pria itu duduk di bawah kemudi dan menyalakan mobil sedan hitamnya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membuat mata Liana kembali terpejam. Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah sakit terdekat. Gion mencoba membangunkan Liana.
“Sayang, kita sudah sampai,” suara lirih Gion memecah keheningan yang tercipta sejak perjalanan tadi.
Liana membuka matanya, mengerjap-kerjap kelopak matanya. Membuat bulu matanya yang lentik tampak menari-nari.
“Apa perlu aku ambilkan kursi roda, sayang?” tanya Gion merasa khawatir istrinya tidak kuat untuk berjalan.
“Tidak ... tidak perlu. Aku masih kuat jalan kok,” sahut Liana lirih.
Gion membantu Liana untuk turun dari mobil, memapahnya dari samping dan berjalan beriringan.
Kebetulan pasien tidak terlalu ramai, hanya ada dua antrian sehingga Gion dan Liana tidak perlu menunggu lama.
“Bu Liana!” seru seorang perawat rumah sakit yang bertugas memanggil pasien satu per satu.
Liana dan Gion beranjak dari tempat duduknya dan segera melangkah masuk ke ruangan dokter umum.
"Silahkan Bu Liana berbaring di ranjang," ucap perawat tersebut sambil menunjuk bed yang berada di sudut ruangan.
“Terima kasih,” ucap Liana.
Setelah dokter melakukan pemeriksaan kepada Liana, dokter segera memberi tahu hasilnya kepada mereka berdua.
"Selamat ya, Tuan dan Nyonya, atas kehamilan Nyonya Liana. Pusing dan mual yang terjadi pada anda disebabkan karena terjadinya peningkatan hormon hCG (human chorionic gonadotropin) jadi untuk sementara waktu, Nyonya Liana harus istirahat total. Jangan melakukan pekerjaan berat karena bisa mempengaruhi pada kesehatan anda dan bayi anda," jelas dokter Heru.
"APA?! Saya hamil, Dok?" pekik Liana tak percaya. Bagai disambar petir di siang hari, Liana benar-benar sangat shock mendengar penjelasan Dokter Heru.
"Iya, Nyonya," sahut Dokter Heru meyakinkan.
Liana memandang wajah suaminya seolah tak percaya dengan apa yang di katakan oleh dokter tersebut.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan dan dokter memberikan resep untuk vitamin yang bisa menguatkan janin. “Ini resep untuk menguatkan bayi dalam kandungan Nyonya Liana, bisa ditebus di apotik depan ya, Tuan.” Dokter Heru mengangsurkan selembar kertas pada Gion.
“Terima kasih, Dok! Kalau begitu kami permisi dulu.” Gion dan Liana akhirnya pamit undur diri. Wanita itu melangkah keluar ruangan dengan langkah gontai, Gion yang merasa senang dengan kabar baik itu bingung dengan reaksi istrinya.
Dalam perjalanan pulang Liana hanya terdiam, menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Gion sesekali melirik ke arah Liana.
“Kenapa dia tampak tak senang? Apa dia tak suka dengan kabar kehamilan ini.”
Gion menerka-terka apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya.
Sesampainya di rumah Gion segera mengantar Liana masuk ke dalam kamar.“Papi ... Mami nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanya Vino sambil berlari menuju pada kedua orang tuanya. Gion hanya menganggukkan kepala ke arah Vino, tanda bahwa nanti saja dilanjutkan bicaranya. Vino yang memang termasuk anak cerdas langsung mengerti isyarat yang diberikan Papinya.Anak kecil itu mengangguk seraya memutar tubuhnya dan berjalan lesu ke tempat semula. Vino anak lima tahun yang dipaksa untuk mengerti kondisi orang dewasa, anak seusianya yang masih butuh kasih sayang lebih dari kedua orang tuanya. Harus belajar untuk tidak bergantung pada Mami Papinya. Apalagi dia seorang anak laki-laki. Ya, begitulah cara Gion mendidik anak sulungnya, penuh dengan ketegasan dan sangat disiplin🍁🍁🍁Liana ya
Jakarta, 7 JuliKehamilan Liana sudah memasuki tri semester ketiga, berbagai cara untuk menggugurkan janin di rahimnya pun kerapkali ia lakukan. Tapi Tuhan berkehendak lain, bayi itu masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia bahkan berulang kali mencoba minum obat penggugur kandungan. Namun selalu berhasil digagalkan oleh suami dan Bi Tina.Tidak hanya sampai di situ, pada kehamilan tri semester pertama Liana sengaja memakai korset karena tidak ingin diketahui oleh rekan satu kantornya bahwa Ia tengah hamil. Selain itu juga, agar bisa membuat bayinya tersiksa dan mengalami keguguran. Namun, nyatanya Tuhan mempunyai cara yang indah untuk hambaNya. Bayi itu tetap tumbuh kuat dalam rahimnya.Liana sangat frustrasi dengan kehamilannya, ia benar-benar tidak ingin anak yang berada di rahimnya lahir ke dunia. Begitulah awal k
Bi Tina dan Gion masih menunggu di depan ruang bersalin, dan tidak lama tampak seorang perawat menghampiri mereka."Tuan, Nyonya Liana sudah sadar. Sekarang akan dipindahkan ke kamar, mari ikuti saya," jelas perawat tersebut seraya membalikkan badan dan berjalan mendahului Gion dan Bi Tina.“Baik, terima kasih,” jawab Gion sambil mengekor di belakang perawat tersebut.Dua perawat yang sudah bersiap di sisi kanan dan kiri mengangguk saat mereka mendapat isyarat untuk mendorong ranjang Liana keluar dari kamar, wanita itu terlihat masih lemas akibat pengaruh obat bius. Gion menyunggingkan sebuah senyuman saat pertama kali masuk ke dalam ruangan tersebut, Ia merasa sangat lega karena istri dan bayinya baik-baik saja. Ia pun segera mengikuti para perawat-perawat itu, tanpa mengucap sepatah kata.Sebuah
Satu bulan pasca melahirkan, Liana masih saja enggan untuk menggendong atau bahkan sekedar melihat bayi kecilnya. Ia terus menolak untuk berdekatan dengan putri ketiganya.Kebencian Liana benar-benar tidak bisa dinalar, bagaimanapun bayi malang itu adalah anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Tidak sepatutnya ia membenci tanpa alasan seperti itu, begitulah pikir kebanyakan orang yang melihat langsung bagaimana penolakan Liana terhadap keberadaan putrinya.Satu Bulan yang laluTiga hari setelah melahirkan Liana sudah boleh pulang. Ia dipapah sang suami untuk istirahat di kamarnya, rasa sakit yang masih Ia rasakan pasca operasi membuat tubuhnya tidak nyaman. “Bayi itu, benar-benar sudah menyusahkanku saja, Mas. Andai saja a
Lima tahun kemudian, Rani tumbuh dengan sangat baik. Meskipun Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Namun, peran Bi Tina dalam mengasuh Rani sangatlah berpengaruh. Gadis kecil itu, tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati.Rani mewarisi kecantikan Liana, ibunya. Kulit putih, rambut lurus berwarna hitam pekat, mata lebar dikelilingi bulu mata lentik, serta hidung mungil dan mulut tipis berwarna pink alami. Sangat persis dengan foto waktu kecil Liana. Namun sayang, wanita yang sudah melahirkannya itu sama sekali tidak menganggap dirinya.“Bibi, sedang apa? Rani bantu, ya?” suara imut Rani membuat aktivitas Bi Tina terhenti. Wanita itu menoleh pada gadis berkucir dua, sungguh sangat menggemaskan sekali.Bi Tina menekuk ke
Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya se
“Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m
“Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob