Satu bulan pasca melahirkan, Liana masih saja enggan untuk menggendong atau bahkan sekedar melihat bayi kecilnya. Ia terus menolak untuk berdekatan dengan putri ketiganya.
Kebencian Liana benar-benar tidak bisa dinalar, bagaimanapun bayi malang itu adalah anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Tidak sepatutnya ia membenci tanpa alasan seperti itu, begitulah pikir kebanyakan orang yang melihat langsung bagaimana penolakan Liana terhadap keberadaan putrinya.
Satu Bulan yang lalu
Tiga hari setelah melahirkan Liana sudah boleh pulang. Ia dipapah sang suami untuk istirahat di kamarnya, rasa sakit yang masih Ia rasakan pasca operasi membuat tubuhnya tidak nyaman. “Bayi itu, benar-benar sudah menyusahkanku saja, Mas. Andai saja aku tidak hamil, pasti saat ini aku sudah terbang ke Dubai untuk mewakili perusahaan bertemu langsung dengan Pangeran Mahkota,” gerutu Liana dengan menunjukkan wajah kesal.
Gion yang masih berdiri di sisi Liana hanya menghela napas samar. “Istirahatlah, kamu butuh banyak istirahat, sayang!” ucapnya tanpa berniat menanggapi gerutuan istrinya barusan.
Liana merebahkan tubuhnya perlahan, Ia lalu memejamkan matanya mencoba untuk tidur. Namun, tiba-tiba suara tangisan bayinya yang saat itu sedang di ruang tengah memecah keheningan. Ia kembali bersungut marah. “Mas, berisik sekali. Suruh dia diam!” ketusnya.
“Sayang, dia mungkin haus. Apa tidak sebaiknya kamu beri ASI?” tanya Gion dengan sangat hati-hati.
Liana dengan cepat menoleh ke arah suaminya, tatapan tajam dan alis yang bertaut tergambar di wajahnya. “Jangan berharap lebih, Mas. Aku mau melahirkannya saja, itu lebih dari cukup!” sungut Liana.
Lagi-lagi Gion tidak bisa menyanggah kalimat istrinya, Ia hanya bisa mengalah agar semua berjalan semestinya.
Bayi berusia tiga hari itu masih terus menangis, Bi Tina sudah mencoba menenangkan dengan menimang dan memberikan susu formula tapi tetap saja, hasilnya nihil. Ia merasa kebingungan, Ia memilih untuk membawa bayi Liana bertemu dengan kedua orang tuanya yang saat ini masih berada di dalam kamar.
“Tuan, bayinya sudah saya coba kasih susu tapi tetap saja masih menangis. Saya harus bagaimana, Tuan,” jelas Bi Tina kebingungan di depan pintu kamar Gion dan Liana yang terbuka lebar.
Liana yang merasa terganggu dengan tangisan bayinya segera berteriak kepada Bi Tina, “Bawa bayi itu pergi dari sini, Bi. Suaranya sangat menggangguku! Berisik sekali!”
Ia menatap tajam ke arah Bi Tina. Namun yang terjadi tangisan bayinya semakin kencang. Gion menatap istrinya dengan pandangan nanar. Pria itu tampak tidak tega dengan bayinya, ia segera menyuruh Bi Tina untuk mendekatinya.
“Sini Bi, biar aku gendong!” seru Gion, sambil mengayunkan tangannya agar Bi Tina masuk ke dalam kamar untuk menyerahkan bayinya.
Bi Tina menurut perintah Gion dan segera melangkah masuk ke dalam kamar tersebut. Sesampainya dalam kamar, bayi itu tiba-tiba berhenti menangis. Bi Tina merasa heran begitupun dengan Gion, berbeda dengan Liana yang tidak acuh akan kedatangan bayinya.
“Mungkin dia ingin di gendong olehmu, sayang!” seru Gion. Senyum tampak mengembang di bibirnya.
“Jangan aneh-aneh deh kamu, dari awal aku 'kan udah nggak suka dengan kehadirannya. Jangan bikin aku semakin benci dengan bayi itu!” sahutnya tanpa menoleh pada suaminya.
Pria berhidung mancung itu, lagi-lagi hanya bisa menarik napas panjang.
“Sayang ... kamu adalah ibunya. Kamu yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Kamu tak boleh bicara seperti itu, kumohon jangan seperti ini ya!” ucap Gion lirih, pria itu sangat berhati-hati sekali dalam berucap.
“Sekali lagi aku katakan kepada kalian, aku tak menginginkan bayi itu. Kamu boleh membawanya ke panti asuhan jika kamu, Mas!” suara Liana begitu datar, seolah memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan bayi yang baru saja ia lahirkan.
Gion sudah benar-benar tidak tahan dengan sikap istrinya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah sikap Liana. Pria itu terlalu mencintai istrinya, dia bahkan sudah berjanji tidak akan membuat Liana bersedih. Tapi untuk sekarang bagaimana dengan nasib bayinya, pikiran Gion benar-benar terpecah.
“Bicara apa kamu? Bagaimana kamu tega berkata demikian. Dia putri kita, lihatlah betapa miripnya dia dengan dirimu,” ucap Gion dengan suara bergetar.
“Dari awal kehamilan 'kan, sudah kubilang. Aku tak ingin memiliki anak lagi, kamu saja yang masih memaksaku. Aku ingatkan kepada kalian sekali lagi, jangan memaksaku untuk menerima anak ini. Dia memang bayi yang aku lahirkan, tapi aku sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Dia sudah menghambat karier yang selama ini kuimpikan!” sentak Liana dengan mata menyorot tajam secara bergantian pada suami dan pembantunya.
Bi Tina merasa sedikit ketakutan dengan pertengkaran suami istri itu, tetapi ia tidak mungkin membiarkan bayi mungil ini dibawa ke panti asuhan. Wanita itu menatap majikan prianya, ia seolah memahami apa yang dirasakan oleh tuannya saat ini.
“Tuan, maaf saya menyela. Jika saya diperbolehkan, biarkan saya saja yang merawat bayi ini. Saya berjanji akan merawat nona kecil ini seperti anak saya sendiri. Saya mohon jangan bawa bayi ini ke panti asuhan, Tuan!” pinta Bi Tina dengan mata berkaca-kaca, kedua matanya sudah menggenang cairan bening yang siap jatuh kapanpun.
Gion bernapas dalam, matanya menatap lekat Liana. Bertanya dalam hati Benarkah kamu tak menginginkan bayi ini? Gion sangat tersiksa dalam lamunannya.
Pria itu terdiam sesaat, menimang baik buruknya dengan ide yang disampaikan Bi Tina. Kedua maniknya kembali melihat sang istri yang saat ini memalingkan wajah darinya.
“Baiklah, suatu ide konyol jika bayiku ini harus diasuh di panti asuhan. Bagaimanapun, dia adalah darah dagingku. Putri ketigaku, adik Vino dan Kinara. Aku lebih tenang jika Bi Tina yang merawat bayi ini. Tapi aku mohon kepada Bibi, walaupun Bibi merawatnya seperti anak Bibi sendiri tapi selalu ingatkan bahwa aku dan Liana adalah orang tua kandungnya dan aku tak akan biarkan Bibi membawa anakku keluar dari rumah ini! Apa bibi mengerti?” tanya Gion dengan suara berat.
Bi Tina sangat senang mendengar pernyataan Gion, ia dengan penuh semangat mengangguk seraya berkata, “Ba-baik, Tuan. Saya mengerti, terima kasih banyak atas kepercayaan yang anda berikan kepada saya Tuan.”
Ia sangat menyayangi bayi ini sejak dalam kandungan Liana. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga bayi ini ketika lahir, dan keinginannya hari ini telah tercapai. Akhirnya ia benar-benar merasakan menjadi seorang ibu yang sesungguhnya.
“Terima kasih, Tuan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk merawat nona kecil ini dan saya juga tahu posisi saya, nona kecil ini adalah majikan saya,” ucap Bi Tina sesengukan, Ia merasa sangat terharu.
Sementara itu Liana hanya menatap kosong ke arah jendela kamarnya, entah apa yang sudah dipikirkan oleh wanita itu. Namun, air mukanya sama sekali tidak menunjukkan kesedihan atau penyesalan.
🍁🍁🍁
Bi Tina merawat bayi yang bernama Rani Atmaja dengan penuh kasih sayang. Nama Rani Atmaja diberikan oleh Gion, Papa Rani
.
Nama Rani sendiri memiliki arti Ratu dalam bahasa Sansekerta, Gion mempunyai harapan agar kelak anak bungsunya itu dapat menjadi ratu dalam kehidupannya yang akan datang. Selalu berani dalam segala hal, walaupun kenyataannya dia tidak mendapat kasih sayang oleh ibu kandungnya sendiri.
Namun Gion masih berusaha keras untuk meluluhkan hati Liana yang begitu keras, bagai batu karang. Pria itu selalu berharap istrinya akan mengesampingkan egonya dan membuka hati untuk anak ketiganya.
Vino anak pertama Gion sangatlah menyayangi adik bungsunya, hampir setiap hari Ia habiskan waktu dengan Rani. Berbeda dengan Kinara yang lebih terkesan masa bodoh dan tidak terlalu peduli dengan adiknya.
🍁🍁🍁
Liana sudah kembali ke aktivitasnya, kerja dan kerja. Sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa menghalanginya, ia semakin menunjukkan loyalitasnya kepada perusahaan tempatnya bekerja saat ini.
Liana adalah seorang wanita yang ambisius, Ia tidak pernah puas dengan apa yang telah diraihnya, ia berambisi untuk mendapat jabatan yang lebih tinggi lagi dalam karirnya. Wanita itu juga selalu menerapkan sikap kerja keras dan mandiri kepada kedua anaknya, Vino dan Kinara.
Bahkan Vino dituntut agar bisa mandiri sedari dia masih umur dua tahun, semua untuk kebaikannya. Kata itulah yang selalu terlontar dari mulut Liana ketika suaminya protes kepadanya.
Sejak Vino lebih sibuk bermain dengan Rani adik bungsunya, sejak saat itu pula Kinara lebih dekat dengan maminya. Sepulang kerja Kinara selalu merengek untuk ditemani sang mami, Liana tidak bisa berbuat banyak. Wanita itu memang cenderung lebih menyayangi Kinara karena sifat anak keduanya itu yang memang sangat mirip dengannya. Membuat Liana merasa lebih nyaman ketika dekat dengan Kinara.
Liana bahkan sangat memanjakan Kinara, putri keduanya itu selalu terpenuhi keinginannya. Suaminyalah yang selalu protes ketika sang istri terlalu memanjakan Kinara, Ia selalu mengingatkan bahwa putrinya bukan hanya Kinara. Tapi masih ada Rani anak bungsu mereka. Namun, Liana selalu bisa menyanggah ucapan suaminya.
Lima tahun kemudian, Rani tumbuh dengan sangat baik. Meskipun Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Namun, peran Bi Tina dalam mengasuh Rani sangatlah berpengaruh. Gadis kecil itu, tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati.Rani mewarisi kecantikan Liana, ibunya. Kulit putih, rambut lurus berwarna hitam pekat, mata lebar dikelilingi bulu mata lentik, serta hidung mungil dan mulut tipis berwarna pink alami. Sangat persis dengan foto waktu kecil Liana. Namun sayang, wanita yang sudah melahirkannya itu sama sekali tidak menganggap dirinya.“Bibi, sedang apa? Rani bantu, ya?” suara imut Rani membuat aktivitas Bi Tina terhenti. Wanita itu menoleh pada gadis berkucir dua, sungguh sangat menggemaskan sekali.Bi Tina menekuk ke
Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya se
“Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m
“Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob
Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru
Nyonya Aksan mengajaknya masuk ke dalam toko baju branded internasional, wanita yang memiliki satu putra itu bahkan memperlakukannya seperti putrinya sendiri.“Tante senang sekali ditemani belanja sama kamu, Ran,” Nyonya Aksan membuka percakapan dengan senyum terulas.“Rani juga senang bisa temani, Tante,” balasnya dengan ikut tersenyum.Mereka berdua berjalan mendekati deretan display gaun yang sudah dipastikan harganya tidak murah. Toko yang di desain dengan gaya modern itu memang menyasar konsumen menengah ke atas, tak heran jika produk yang dipajang terlihat berkelas dan elegan.“Selama ini, tante ingin sekali memiliki putri. Biar bisa diajak shopping bareng. Seperti kita sekarang ini!” Nyonya Aksan melanjutkan kalimatnya.Jujur, Ia bingung bagaimana h
Sudah pukul sebelas malam, tapi Rani belum juga bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengingat pada kalimat yang diucap tante Aksan.“Maaf ya, Ran. Tante nggak bermaksud membuatmu terkejut, tapi itu semua sebenarnya adalah do'a tante selama ini. Agar Baska mendapatkan gadis seperti kamu dan tante akan sangat bahagia sekali, jika kalian berjodoh.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, Ia menggeleng untuk mengusir suara tante Aksan yang melekat dalam ingatannya. Namun, tetap saja Ia tak bisa. Gadis tujuh belas tahun itu memilih berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman agar pikirannya bisa lebih tenang.Baru beberapa langkah Ia keluar dari kamarnya, Ia mendengar samar suara seseorang yang sedang mengobrol. Gadis berparas cantik itu menoleh ke arah meja makan yang berada tak jauh dari dapur. Ia melihat