Lima tahun kemudian, Rani tumbuh dengan sangat baik. Meskipun Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Namun, peran Bi Tina dalam mengasuh Rani sangatlah berpengaruh. Gadis kecil itu, tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati.
Rani mewarisi kecantikan Liana, ibunya. Kulit putih, rambut lurus berwarna hitam pekat, mata lebar dikelilingi bulu mata lentik, serta hidung mungil dan mulut tipis berwarna pink alami. Sangat persis dengan foto waktu kecil Liana. Namun sayang, wanita yang sudah melahirkannya itu sama sekali tidak menganggap dirinya.
“Bibi, sedang apa? Rani bantu, ya?” suara imut Rani membuat aktivitas Bi Tina terhenti. Wanita itu menoleh pada gadis berkucir dua, sungguh sangat menggemaskan sekali.
Bi Tina menekuk kedua lututnya, agar Ia bisa menyejajarkan pandangannya dengan Rani. “Nona Rani duduk di sini saja, ya. Bibi sedang buat lemon hangat untuk Nyonya.”
“Aku bantu ya, Bi. Nanti aku yang antar ke Mami, biar Mami senang,” ucap Rani, wajahnya berbinar senang dengan senyum yang terukir di bibir mungilnya.
Wanita yang sudah mengasuhnya sejak bayi itu hanya bisa tersenyum tipis. Bi Tina merasa sedih ketika Rani kecil melakukan segala cara agar ibunya mau memperhatikannya, hatinya terluka karena anak kecil sepertinya sudah harus merasakan kegetiran hidup.
“Bi ... Bibi kok melamun?” Rani menggoyang tangannya, membuyarkan pikirannya yang sempat menerawang.
“Eh ... Maaf, Non. Bibi lupa kalau setelah ini harus belanja. Non Rani, mau ikut?” Ia mengalihkan perhatian gadis lima tahun itu, Ia tidak mungkin tega melihat Rani membawa nampan berisi lemon hangat yang diminta maminya.
“Mau, mau banget, Bi!” jawabnya dengan mata membulat senang. Ia langsung melupakan misinya untuk menarik perhatian sang mami.
“Ya sudah kalau begitu, Nona Rani tunggu di sini sebentar ya. Bibi, siapkan minuman untuk mami dulu. Setelah itu kita pergi belanja,” bujuk Bi Tina seraya mengulas senyum.
“Baik, Bi. Aku tunggu sini, ya!” ucapnya sambil mendudukkan tubuhnya di kursi dekat lemari es.
Bi Tina mengangguk, kemudian berdiri dan melanjutkan aktivitasnya.
🍁🍁🍁
Mereka berdua sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah, seperti biasa Rani selalu excited ketika pergi ke tempat umum. Ia yang terbiasa di rumah, merasa sangat senang saat bertemu dengan banyak orang.
“Kita kesana dulu ya, Non.” Bi Tina menunjuk display tepung yang berada di sebelah minyak goreng.
“Iya, Bi!” sahut gadis kecil berponi itu. Ia tampak antusias dengan hal baru yang Ia temui.
Saat Bi Tina tengah sibuk memilih tepung terigu yang dilanjut dengan minyak goreng sayur, saat itu juga Rani terlepas dari genggaman Bi Tina. Wanita itu mengira Rani masih mengekor di belakangnya. Namun, nyatanya Rani malah tertarik dengan beberapa ekor ikan gurami yang sedang berenang di dalam akuarium berukuran besar, yang terletak tidak jauh dari rak tepung.
Matanya membulat dengan senyum yang mengembang sempurna. “Cantik sekali,” gumamnya seraya berjalan mendekat.
Lama Rani mengamati ikan tersebut dan melupakan keberadaan bibinya hingga seorang anak kecil sebayanya bergabung dengan dirinya untuk menikmati tontonan ikan gratis.
“Kamu suka ikan?” tanyanya yang menyadari kehadiran gadis kecil itu.
“Iya, aku suka. Aku suka melihat ikan berenang,” balas gadis kecil itu seraya tersenyum menatapnya.
“Aku juga, aku suka saat melihat ikan berenang.” Ia mengulangi kalimat gadis berkepang satu dengan mengenakan jepit mutiara di bagian poninya itu.
“Mita!” seruan seorang wanita menghentikan percakapan mereka. Wanita yang merupakan ibu gadis kecil itu menghampiri mereka berdua dengan wajah khawatir.
“Sayang ... Rupanya kamu di sini, mama cariin kamu kemana-mana!” ucap wanita cantik yang usianya sekitar 30-an. “Ayo, kita pulang! Mama sudah selesai belanja,” ajak wanita berhijab putih itu.
Gadis kecil itu mengangguk. “Mita sedang lihat ikan, Ma,” jawab gadis lima tahun itu seraya menunjuk ikan yang berada di dalam akuarium.
“Iya, sayang. Sekarang kita pulang, yuk!” ajak wanita itu sekali lagi sembari mengulurkan tangannya untuk menggandeng putrinya.
“Sebentar, Ma!” gadis kecil yang bernama Mita itu menatap Rani yang sedari tadi melihat ke arahnya.
“Aku pulang dulu ya, sampai jumpa lagi,” pamit Mita kepadanya. Ia mengangguk dan tersenyum tulus kepada Mita.
Menyadari putrinya tidak seorang diri di depan counter ikan tersebut, wanita itu mengalihkan perhatiannya menatap Rani. “Di mana orang tuamu, sayang?” tanya ibu Mita seraya mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok orang tua Rani yang mungkin berada tidak jauh dari tempat tersebut.
Rani hanya menggeleng, pertanyaan wanita itu membuatnya terdiam. Sampai akhirnya Bi Tina datang mencarinya dengan wajah yang penuh khawatir. “Non Rani!” seru Bi Tina.
Kedua gadis kecil dan wanita itu mengalihkan perhatian mereka menatap Bi Tina yang setengah berlari ke arah mereka.
“Non Rani rupanya di sini, Bibi cariin kemana-mana tadi, Non!” sebuah kalimat yang sama dengan ibu Mita kembali diucapkan Bi Tina. Bi Tina mengusap kepala Rani dengan perasaan lega.
“Syukurlah kalau sudah ketemu, tadi anak saya juga bikin saya panik karena tiba-tiba terlepas dari pantauan saya,” ungkap ibu Mita yang masih berdiri di samping Bi Tina dan Rani.
“Iya, bu. Saya juga tidak sadar kalau Non Rani tiba-tiba menghilang, saya benar-benar khawatir sekali,” tutur Bi Tina seraya mengelus dadanya.
“Iya, Bu. Syukurlah kalau begitu, anak seusia mereka memang sedang aktif-aktifnya ingin tahu segala macam hal. Jadi, kita sebagai orang tua. Harus lebih ekstra mengawasi mereka, agar mereka tidak terlepas dari pantauan kita,” jelas wanita berhijab itu.
Bi Tina mengangguk setuju, mengiyakan pernyataannya. “Iya, anda benar sekali, Bu!”
Saat wanita berhijab putih itu tengah membagikan ilmu tentang Pola Asuh Anak kepada Bi Tina. Seorang pria tampak menghampiri mereka.
“Ma, sudahan belanjanya? Kita pulang yuk, Papa sudah ditunggu klien!” ajak pria tersebut.
“Oh iya, Pa. Mama keasyikan ngobrol jadi lupa,” ucap wanita itu dengan tertawa kecil.
“Kami pergi dulu, ya!” pamitnya kepada Bi Tina dan Rani.
“Iya, Bu. Monggo! Kami juga sudah selesai belanjanya,” jawab Bi Tina seraya mengulas senyum.
Gadis kecil bernama Mita itu tersenyum menatap Rani, begitu juga dengan Rani. Mereka saling lempar senyum hingga Mita berlalu pergi.
🍁🍁🍁
Bi Tina dan Rani saat ini sudah berada di atas becak, alat transportasi roda tiga itu merupakan langganan Bi Tina yang selalu mengantarnya kemana saja.
Rani yang tampak murung setelah pulang dari pusat belanja membuat Bi Tina kebingungan. “Non Rani, kenapa? Dari tadi, Bibi perhatikan Nona kok sedih?” tanyanya seraya mengelus rambut Rani.
Gadis kecil itu mendongak menatap wanita yang sudah merawatnya sejak kecil dengan tersenyum tipis, wajahnya tidak seceria saat berangkat tadi.
“Cerita sama Bibi, Nona Rani kenapa?” desak Bi Tina.
Rani terdiam beberapa saat, gadis berumur lima tahun itu seolah sedang merangkai kata untuk disampaikan kepada Bibinya. “Bi, mami membenciku, ya?” pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibir mungilnya.
Bi Tina tersentak, pertanyaan anak kecil itu membuat hatinya menangis. “Non Rani, kenapa bertanya begitu?”
“Semua orang pergi bersama mamanya, tapi aku tidak pernah sekalipun diajak pergi Mami, Bi,” jawabnya dengan kepala menunduk.
Lagi-lagi hati Bi Tina menjerit, Ia merasakan yang dirasakan Rani. Ia menjadi saksi hidup bagaimana Liana sangat membencinya. Namun, Ia tidak akan pernah mengatakan yang sesungguhnya kepada gadis lima tahun itu. Ia berjanji akan menutup rapat kejadian lima tahun silam sejak Liana hamil sampai melahirkannya.
Bi Tina meraih jemari mungilnya, mengelus dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Non Rani, nggak boleh mikir yang aneh-aneh ya. Mami sayang kok sama, Non. Hanya saja sekarang Mami masih sangat sibuk.”
Gadis kecil berwajah polos itu mendongak kembali deraya menarik kedua sudut bibirnya. “Benarkah begitu, Bi?” matanya membulat senang.
“Benar, Non!” balas Bi Tina dengan mengangguk meyakinkan.
Senyum ceria yang sempat sirna, perlahan menghias lagi di wajah imutnya. Bi Tina merasa bersalah karena berbohong kepadanya, tetapi ini semua untuk kebaikannya.
Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya se
“Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m
“Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob
Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru
Nyonya Aksan mengajaknya masuk ke dalam toko baju branded internasional, wanita yang memiliki satu putra itu bahkan memperlakukannya seperti putrinya sendiri.“Tante senang sekali ditemani belanja sama kamu, Ran,” Nyonya Aksan membuka percakapan dengan senyum terulas.“Rani juga senang bisa temani, Tante,” balasnya dengan ikut tersenyum.Mereka berdua berjalan mendekati deretan display gaun yang sudah dipastikan harganya tidak murah. Toko yang di desain dengan gaya modern itu memang menyasar konsumen menengah ke atas, tak heran jika produk yang dipajang terlihat berkelas dan elegan.“Selama ini, tante ingin sekali memiliki putri. Biar bisa diajak shopping bareng. Seperti kita sekarang ini!” Nyonya Aksan melanjutkan kalimatnya.Jujur, Ia bingung bagaimana h
Sudah pukul sebelas malam, tapi Rani belum juga bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengingat pada kalimat yang diucap tante Aksan.“Maaf ya, Ran. Tante nggak bermaksud membuatmu terkejut, tapi itu semua sebenarnya adalah do'a tante selama ini. Agar Baska mendapatkan gadis seperti kamu dan tante akan sangat bahagia sekali, jika kalian berjodoh.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, Ia menggeleng untuk mengusir suara tante Aksan yang melekat dalam ingatannya. Namun, tetap saja Ia tak bisa. Gadis tujuh belas tahun itu memilih berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman agar pikirannya bisa lebih tenang.Baru beberapa langkah Ia keluar dari kamarnya, Ia mendengar samar suara seseorang yang sedang mengobrol. Gadis berparas cantik itu menoleh ke arah meja makan yang berada tak jauh dari dapur. Ia melihat
Senyum terlukis jelas di wajah cantik gadis yang saat ini tengah memandang serius layar ponselnya, ia membaca pesan yang dikirim papinya.“Ran, hari ini Papi yang jemput kamu. Kebetulan Papi baru saja selesai bertemu klien di sekitar sekolahmu.”“Baik, Pi!”Rani dengan cepat mengetik balasan pesan untuk papinya, ia begitu semangat saat orang tua laki-lakinya yang akan menjemputnya kali ini.“Kita pulang yuk!” ajak Mita seraya duduk di bangku kosong tepat di depan Rani.“Ayuk!” Rani membereskan bukunya, lalu berdiri sambil menenteng tas punggungnya.Mita melingkarkan tangan di lengannya, mereka berdua berjalan melewati lima kelas sebelum akhirnya