Beranda / Romansa / Air Mata Rani / Hari Persalinan

Share

Hari Persalinan

Penulis: Nafasal
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-17 21:01:54

Jakarta, 7 Juli

Kehamilan Liana sudah memasuki tri semester ketiga, berbagai cara untuk menggugurkan janin di rahimnya pun kerapkali ia lakukan. Tapi Tuhan berkehendak lain, bayi itu masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia bahkan berulang kali mencoba minum obat penggugur kandungan. Namun selalu berhasil digagalkan oleh suami dan Bi Tina.

Tidak hanya sampai di situ, pada kehamilan tri semester pertama Liana sengaja memakai korset karena tidak ingin diketahui oleh rekan satu kantornya bahwa Ia tengah hamil. Selain itu juga, agar bisa membuat bayinya tersiksa dan mengalami keguguran. Namun, nyatanya Tuhan mempunyai cara yang indah untuk hambaNya. Bayi itu tetap tumbuh kuat dalam rahimnya. 

Liana sangat frustrasi dengan kehamilannya, ia benar-benar tidak ingin anak yang berada di rahimnya lahir ke dunia. Begitulah awal kebencian itu tercipta, darah dagingnya sendiri yang sudah disiksa sejak di dalam kandungan. 

“Bi, tolong selalu awasi Nyonya, ya. Kehamilannya sudah mendekati hari persalinan, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Nyonya dan kandungannya. Jadi, Bi Tina harus selalu siaga di sisi Nyonya dan segera beri kabar jika terjadi sesuatu,” perintah Gion seraya beranjak dari tempat duduknya, Ia telah selesai sarapan dan akan berangkat ke kantor.

“Baik, Tuan,” jawab Bi Tina seraya menundukkan kepala. Bi Tina adalah orang yang sangat bisa diandalkan, wanita yang usianya terpaut jauh dari majikannya itu. Sangat menjaga amanah yang diberikan kepadanya, sikap tulus dan jujur itulah yang membuat Gion dan Liana memercayakan semua urusan rumah tangga kepadanya.

Pria berbadan tegap tinggi itu berjalan keluar menuju mobilnya yang sudah terparkir rapi di halaman depan rumahnya.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, setiap hari rumah besar keluarga Atmaja itu selalu sepi karena Vino dan Kinara sudah pergi ke sekolah. Rutinitas setiap hari mereka pergi ke sekolah diantar Sopir dan babysitter-nya.

Liana yang sudah dipaksa cuti oleh Gion terpaksa harus berdiam diri di rumah karena tanggal persalinan yang sudah ditentukan Dokter tinggal menghitung hari saja. Sebenarnya Liana bersikeras untuk tidak cuti terlebih dulu, tetapi sang suami tetap memaksanya untuk mengajukan cuti lebih awal.

Selama mengambil cuti, Liana hanya mengurung diri di kamarnya. Masih kerap terlintas di pikirannya untuk menggugurkan kandungannya.

“Kamu sudah menjadi penghalang karierku, aku bahkan tak pernah menginginkan kehadiranmu di rahimku,” desis Liana sambil menunduk menatap perutnya yang sudah tampak membulat sempurna. Gurat kebencian sangat terlihat jelas di wajah cantiknya.

🍁🍁🍁

Pyaaaaar 

Bi Tina terjingkat saat mendengar suara gaduh di kamar majikannya. Ia yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di ruang sebelah kamar Liana, bergegas menuju kamar wanita yang tengah hamil tua itu.

Vino dan Kinara juga sempat mendengar suara benda jatuh yang beradu dengan lantai. Namun, babysitter mereka dengan sigap menenangkan mereka dan ajaibnya kedua kakak beradik itu seolah tidak terpengaruh akan suara bising tersebut.

Bi Tina segera berlari kecil menuju ke kamar Liana dan betapa terkejutnya wanita itu saat mendapati majikannya sudah terduduk di lantai dengan air yang menggenang.

“NYONYA!” teriak Bi Tina seraya berlari mendekat ke arah Liana.

“Nyonya, sepertinya air ketuban Nyonya sudah pecah. Saya akan segera menelepon Tuan.” Bi Tina segera bangkit dan hendak melangkah keluar. Namun, langkah kakinya terhenti karena mendengar ucapan Liana.

“Tunggu Bi ... tidak usah telepon suamiku. Biarkan saja, lagipula aku tidak ingin melahirkan anak ini,” ketus Liana sambil menahan sakit.

“Nyonya, apa yang sudah anda katakan. Saya mohon, Nyonya jangan bicara seperti itu,” pungkas Bi Tina, kedua matanya tampak berkaca-kaca.

Bi Tina merasa sangat iba dengan anak yang berada dalam rahim majikannya itu, sungguh ia adalah anak yang tidak berdosa. Ia bahkan harus menerima kebencian sejak ia belum lahir ke dunia.

Wanita itu memilih tidak mengindahkan ucapan majikannya, ia segera berlalu meninggalkan Liana dan berlari ke arah telepon yang berada di ruang tengah.

Bi Tina segera menekan nomor telepon Tuannya, lalu meletakkan ganggang telepon di telinga kirinya.

“Halo, Tuan. Air ketuban Nyonya sudah pecah. Saya harus bagaimana, Tuan?” tanya Bi Tina panik.

Wanita yang berusia tiga puluh delapan tahun itu merasa bingung dan panik karena selama pernikahannya ia belum dikaruniai seorang anak.

“Aku akan segera panggilkan taksi, segera bersiaplah dan ambil tas yang ada di lemari ya, Bi,” perintah Gion yang segera diiyakan oleh wanita itu.

“Baik, Tuan!”

🍁🍁🍁

Beberapa menit kemudian, taksi sudah sampai di depan kediaman Gion dan Liana.

Babysitter Vino dan Kinara sebelumnya sudah diberitahu terlebih dahulu oleh Bi Tina untuk mengajak mereka masuk ke dalam kamar, supaya tidak panik dengan maminya yang akan melahirkan.

Bi Tina memapah Liana yang mulai lemah. Ia dibantu dengan sopir taksi mendudukkan tubuh Liana ke dalam kursi belakang mobil. Liana yang mulai berkeringat dingin tampak menyandarkan kepalanya di kursi mobil dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Sopir taksi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Bi Tina yang sudah cemas dengan keadaan majikannya itu, menyuruh sopir tersebut untuk melajukan mobilnya lebih cepat lagi.

“Pak, lebih cepet sedikit ya. Ini Nyonya saya sudah mau melahirkan.” Kalimat Bi Tina sontak membuat sopir itu ikut panik dan menambah kecepatan kendaraannya.

“Baik, Bu!”

“Kenapa rasanya lebih sakit dari sebelumnya ya, Bi? Sangat berbeda saat aku hamil Vino dan Kinara, ini rasanya sepuluh kali lipat lebih menyiksaku, Bi. Anak ini sungguh sangat menyusahkanku!” rintih Liana sambil menahan sakit bercampur kesal.

“Sabar ya, Nyonya, Anda akan segera melahirkan. Nyonya bayangkan saja wajah mungil yang akan anda lahirkan nanti, pasti rasa sakitnya akan berangsur menghilang,” ucap Bi Tina mencoba menenangkan Liana yang masih tetap menyalahkan bayi dalam kandungannya.

Ck .... ” Wanita itu hanya berdecak kesal menanggapi ucapan Bi Tina.

Mobil telah sampai di rumah sakit, sopir taksi itu segera memanggil perawat. Beberapa perawat datang dengan membawa ranjang dorong. Liana dipapah ke atas ranjang dorong tersebut dan segera dibawa masuk ke dalam ruang persalinan.

Beberapa menit kemudian Gion sudah sampai di rumah sakit. Dokter yang menangani Liana segera menghampiri Bi Tina dan Gion.

“Pasien terlalu lemah untuk melakukan persalinan normal, saya minta persetujuan bapak untuk melakukan tindakan SC (operasi caesar),” terang Dokter kandungan yang bernama Dokter Reza. Pria yang berprofesi Dokter kandungan itu mengangsurkan beberapa lembar kertas yang berisi persetujuan untuk tindakan operasi.

Gion yang tidak berpikir panjang segera meraih kertas itu dan menanda tanganinya, lalu menyerahkan kembali kepada Dokter Reza.

“Baiklah, terima kasih, Tuan!” ucap Dokter Reza

seraya menerima kertas tersebut dan segera berlalu untuk melakukan tindakan operasi caesar.

Kurang lebih empat puluh lima menit proses operasi itu berlangsung, Dokter Reza keluar dan memberikan ucapan selamat kepada Gion.

“Selamat atas kelahiran putri Anda,” ucap dokter yang masih mengenakan baju operasi seraya mengulurkan tangan kepada Gion. Pria yang kini resmi memiliki tiga putra putri itu menyambut uluran tangan Dokter Reza dengan perasaan lega.

“Bayi saya sehat, 'kan, Dok? Bagaimana kondisinya?” tanya Gion. Ia memastikan bayinya terlahir dalam keadaan sehat karena mengingat semasa Liana mengandung bayinya, istrinya itu sudah melakukan segala cara untuk mengugurkan kandungannya. Bisa jadi bayi yang malang itu terlahir tidak sempurna.

"Bayi anda terlahir sehat tak kurang satu apapun dan dia sangat cantik, Tuan,” jawab Dokter Reza seraya mengulas senyum.

Gion dan Bi Tina akhirnya bisa bernapas dengan lega mendengar ucapan Dokter Reza.

“Pasien belum sadar, nyonya Liana masih di bawah pengaruh obat bius. Jika anda ingin melihat bayi anda, silahkan masuk ke ruangan dan belok kiri. Saya permisi dulu, Tuan,” jelas Dokter Reza seraya berlalu meninggalkan Gion dan Bi Tina.

“Terima kasih banyak, Dokter!”

Dokter Reza menganggukkan kepala, Ia kemudian berjalan meninggalkan Gion dan Bi Tina.

“Tunggu disini sebentar ya, Bi. Aku mau masuk melihat putriku dulu,” pamit Gion. Bi Tina mengangguk mengiyakan.

Pria yang usianya sudah menginjak angka tiga itu melangkah masuk ke ruangan bayi, Ia melihat tiga bayi mungil yang berada di ranjang masing-masing. Setiap ranjang bayi diberi nama dengan nama ibu mereka, dan saat kedua maniknya terpusat pada nama bayi nyonya Liana tidak terasa air matanya mengalir perlahan membasahi pipinya. Ia melihat seorang bayi sedang tertidur pulas, bayi yang sangat cantik sekali. Bibirnya mungil, hidung kecil dengan kedua pipi yang merona. Sangat kontras dengan kulit putih bersihnya. Bayi itu terlihat sangat menggemaskan sekali.

“Kamu akan senang melihat bayi kita, sayang. Dia sangat cantik, persis seperti dirimu dan Kinara. Kedua kakakmu akan senang dengan kehadiranmu, my baby girl,” gumam Gion seraya mengusap pipinya secara bergantian. Senyum seolah tidak surut dari wajahnya. 

Bab terkait

  • Air Mata Rani   Bayi Mungil

    Bi Tina dan Gion masih menunggu di depan ruang bersalin, dan tidak lama tampak seorang perawat menghampiri mereka."Tuan, Nyonya Liana sudah sadar. Sekarang akan dipindahkan ke kamar, mari ikuti saya," jelas perawat tersebut seraya membalikkan badan dan berjalan mendahului Gion dan Bi Tina.“Baik, terima kasih,” jawab Gion sambil mengekor di belakang perawat tersebut.Dua perawat yang sudah bersiap di sisi kanan dan kiri mengangguk saat mereka mendapat isyarat untuk mendorong ranjang Liana keluar dari kamar, wanita itu terlihat masih lemas akibat pengaruh obat bius. Gion menyunggingkan sebuah senyuman saat pertama kali masuk ke dalam ruangan tersebut, Ia merasa sangat lega karena istri dan bayinya baik-baik saja. Ia pun segera mengikuti para perawat-perawat itu, tanpa mengucap sepatah kata.Sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-17
  • Air Mata Rani   Rani Atmaja

    Satu bulan pasca melahirkan, Liana masih saja enggan untuk menggendong atau bahkan sekedar melihat bayi kecilnya. Ia terus menolak untuk berdekatan dengan putri ketiganya.Kebencian Liana benar-benar tidak bisa dinalar, bagaimanapun bayi malang itu adalah anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Tidak sepatutnya ia membenci tanpa alasan seperti itu, begitulah pikir kebanyakan orang yang melihat langsung bagaimana penolakan Liana terhadap keberadaan putrinya.Satu Bulan yang laluTiga hari setelah melahirkan Liana sudah boleh pulang. Ia dipapah sang suami untuk istirahat di kamarnya, rasa sakit yang masih Ia rasakan pasca operasi membuat tubuhnya tidak nyaman. “Bayi itu, benar-benar sudah menyusahkanku saja, Mas. Andai saja a

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-18
  • Air Mata Rani   Teman Baru

    Lima tahun kemudian, Rani tumbuh dengan sangat baik. Meskipun Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Namun, peran Bi Tina dalam mengasuh Rani sangatlah berpengaruh. Gadis kecil itu, tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati.Rani mewarisi kecantikan Liana, ibunya. Kulit putih, rambut lurus berwarna hitam pekat, mata lebar dikelilingi bulu mata lentik, serta hidung mungil dan mulut tipis berwarna pink alami. Sangat persis dengan foto waktu kecil Liana. Namun sayang, wanita yang sudah melahirkannya itu sama sekali tidak menganggap dirinya.“Bibi, sedang apa? Rani bantu, ya?” suara imut Rani membuat aktivitas Bi Tina terhenti. Wanita itu menoleh pada gadis berkucir dua, sungguh sangat menggemaskan sekali.Bi Tina menekuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Air Mata Rani   Kenangan Rani

    Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya se

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Air Mata Rani   Aki Tidak Apa-Apa

    “Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • Air Mata Rani   Persiapan Olimpiade

    “Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-20
  • Air Mata Rani   Air Mata Rani

    Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-21
  • Air Mata Rani   Kado Ulang Tahun

    Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-24

Bab terbaru

  • Air Mata Rani   Bernasib Sama

    “Baik karena pelajaran telah usai, untuk pertemuan minggu depan kalian siapkan artikel tentang 'Mengenal Pola-Pola Hereditas'. Minggu depan kita diskusi tentang Hereditas,” ucap Bu Yani seraya bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelas.“Baik,Bu!” seru teman sekelas Rani sembari membereskan buku dan memasukkannya dalam tas.Semua murid di kelas Rani tampak riuh karena senang telah terbebas dari guru killer yang baru saja mengajar di kelas mereka. Satu per satu siswa mulai meninggalkan kelas, hingga sekarang hanya tersisa Rani dan Mita.Saat kedua gadis itu sedang bercengkerama tiba-tiba datang seorang pemuda berwajah tampan menghampiri mereka berdua.“Rani ... Gue baru dapat kabar dari anak-anak, kalau hari pertama kita bimbingan intensif bertempat di rumah Pak Dani. Gimana kalau gue jemput elo? Karena rencananya kita berangkat bareng-bareng, gitu Ran!” terang Andra seraya menggeser kursi dan d

  • Air Mata Rani   Perasaan Lega

    Seperti rutinitas Rani di malam sebelum-sebelumnya, setelah selesai makan malam Rani selalu membantu Bi Tina untuk membereskan sisa makan malam. Rani yang masih fokus membilas piring yang sudah penuh dengan sabun itu langsung mendongak saat suara maminya memanggil namanya.“Rani! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap mami Liana dengan menatapnya tajam.“Baik, Mi!” Rani mengalihkan perhatiannya menatap bi Tina yang sedang mengelap piring basah.Wanita paruh baya itu seolah mengerti arti tatapan matanya. “Biar bibi saja yang melanjutkan, Non!”“Terima kasih, Bi.”Rani mengangguk setelah itu berjalan mengekor di belakang Liana, melangkah masuk ke dalam ruang kerja maminya yang sangat asing baginya karena selama ini Liana tak pernah membiarkannya bebas keluar masuk ruangan yang terlihat begitu rapi dan bersih itu.Kedua mata Rani tampak mencuri pandang pada bing

  • Air Mata Rani   Makan Siang

    Senyum terlukis jelas di wajah cantik gadis yang saat ini tengah memandang serius layar ponselnya, ia membaca pesan yang dikirim papinya.“Ran, hari ini Papi yang jemput kamu. Kebetulan Papi baru saja selesai bertemu klien di sekitar sekolahmu.”“Baik, Pi!”Rani dengan cepat mengetik balasan pesan untuk papinya, ia begitu semangat saat orang tua laki-lakinya yang akan menjemputnya kali ini.“Kita pulang yuk!” ajak Mita seraya duduk di bangku kosong tepat di depan Rani.“Ayuk!” Rani membereskan bukunya, lalu berdiri sambil menenteng tas punggungnya.Mita melingkarkan tangan di lengannya, mereka berdua berjalan melewati lima kelas sebelum akhirnya

  • Air Mata Rani   Tidak Diberi Izin

    Sudah pukul sebelas malam, tapi Rani belum juga bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengingat pada kalimat yang diucap tante Aksan.“Maaf ya, Ran. Tante nggak bermaksud membuatmu terkejut, tapi itu semua sebenarnya adalah do'a tante selama ini. Agar Baska mendapatkan gadis seperti kamu dan tante akan sangat bahagia sekali, jika kalian berjodoh.”Kalimat itu terus berputar di kepalanya, Ia menggeleng untuk mengusir suara tante Aksan yang melekat dalam ingatannya. Namun, tetap saja Ia tak bisa. Gadis tujuh belas tahun itu memilih berdiri dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman agar pikirannya bisa lebih tenang.Baru beberapa langkah Ia keluar dari kamarnya, Ia mendengar samar suara seseorang yang sedang mengobrol. Gadis berparas cantik itu menoleh ke arah meja makan yang berada tak jauh dari dapur. Ia melihat

  • Air Mata Rani   Semoga Berjodoh

    Nyonya Aksan mengajaknya masuk ke dalam toko baju branded internasional, wanita yang memiliki satu putra itu bahkan memperlakukannya seperti putrinya sendiri.“Tante senang sekali ditemani belanja sama kamu, Ran,” Nyonya Aksan membuka percakapan dengan senyum terulas.“Rani juga senang bisa temani, Tante,” balasnya dengan ikut tersenyum.Mereka berdua berjalan mendekati deretan display gaun yang sudah dipastikan harganya tidak murah. Toko yang di desain dengan gaya modern itu memang menyasar konsumen menengah ke atas, tak heran jika produk yang dipajang terlihat berkelas dan elegan.“Selama ini, tante ingin sekali memiliki putri. Biar bisa diajak shopping bareng. Seperti kita sekarang ini!” Nyonya Aksan melanjutkan kalimatnya.Jujur, Ia bingung bagaimana h

  • Air Mata Rani   Kado Ulang Tahun

    Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru

  • Air Mata Rani   Air Mata Rani

    Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik

  • Air Mata Rani   Persiapan Olimpiade

    “Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob

  • Air Mata Rani   Aki Tidak Apa-Apa

    “Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status