Jakarta, 7 Juli
Kehamilan Liana sudah memasuki tri semester ketiga, berbagai cara untuk menggugurkan janin di rahimnya pun kerapkali ia lakukan. Tapi Tuhan berkehendak lain, bayi itu masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia bahkan berulang kali mencoba minum obat penggugur kandungan. Namun selalu berhasil digagalkan oleh suami dan Bi Tina.
Tidak hanya sampai di situ, pada kehamilan tri semester pertama Liana sengaja memakai korset karena tidak ingin diketahui oleh rekan satu kantornya bahwa Ia tengah hamil. Selain itu juga, agar bisa membuat bayinya tersiksa dan mengalami keguguran. Namun, nyatanya Tuhan mempunyai cara yang indah untuk hambaNya. Bayi itu tetap tumbuh kuat dalam rahimnya.
Liana sangat frustrasi dengan kehamilannya, ia benar-benar tidak ingin anak yang berada di rahimnya lahir ke dunia. Begitulah awal kebencian itu tercipta, darah dagingnya sendiri yang sudah disiksa sejak di dalam kandungan.
“Bi, tolong selalu awasi Nyonya, ya. Kehamilannya sudah mendekati hari persalinan, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Nyonya dan kandungannya. Jadi, Bi Tina harus selalu siaga di sisi Nyonya dan segera beri kabar jika terjadi sesuatu,” perintah Gion seraya beranjak dari tempat duduknya, Ia telah selesai sarapan dan akan berangkat ke kantor.
“Baik, Tuan,” jawab Bi Tina seraya menundukkan kepala. Bi Tina adalah orang yang sangat bisa diandalkan, wanita yang usianya terpaut jauh dari majikannya itu. Sangat menjaga amanah yang diberikan kepadanya, sikap tulus dan jujur itulah yang membuat Gion dan Liana memercayakan semua urusan rumah tangga kepadanya.
Pria berbadan tegap tinggi itu berjalan keluar menuju mobilnya yang sudah terparkir rapi di halaman depan rumahnya.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, setiap hari rumah besar keluarga Atmaja itu selalu sepi karena Vino dan Kinara sudah pergi ke sekolah. Rutinitas setiap hari mereka pergi ke sekolah diantar Sopir dan babysitter-nya.
Liana yang sudah dipaksa cuti oleh Gion terpaksa harus berdiam diri di rumah karena tanggal persalinan yang sudah ditentukan Dokter tinggal menghitung hari saja. Sebenarnya Liana bersikeras untuk tidak cuti terlebih dulu, tetapi sang suami tetap memaksanya untuk mengajukan cuti lebih awal.
Selama mengambil cuti, Liana hanya mengurung diri di kamarnya. Masih kerap terlintas di pikirannya untuk menggugurkan kandungannya.
“Kamu sudah menjadi penghalang karierku, aku bahkan tak pernah menginginkan kehadiranmu di rahimku,” desis Liana sambil menunduk menatap perutnya yang sudah tampak membulat sempurna. Gurat kebencian sangat terlihat jelas di wajah cantiknya.
🍁🍁🍁
Pyaaaaar
Bi Tina terjingkat saat mendengar suara gaduh di kamar majikannya. Ia yang sedang sibuk dengan pekerjaannya di ruang sebelah kamar Liana, bergegas menuju kamar wanita yang tengah hamil tua itu.
Vino dan Kinara juga sempat mendengar suara benda jatuh yang beradu dengan lantai. Namun, babysitter mereka dengan sigap menenangkan mereka dan ajaibnya kedua kakak beradik itu seolah tidak terpengaruh akan suara bising tersebut.
Bi Tina segera berlari kecil menuju ke kamar Liana dan betapa terkejutnya wanita itu saat mendapati majikannya sudah terduduk di lantai dengan air yang menggenang.
“NYONYA!” teriak Bi Tina seraya berlari mendekat ke arah Liana.
“Nyonya, sepertinya air ketuban Nyonya sudah pecah. Saya akan segera menelepon Tuan.” Bi Tina segera bangkit dan hendak melangkah keluar. Namun, langkah kakinya terhenti karena mendengar ucapan Liana.
“Tunggu Bi ... tidak usah telepon suamiku. Biarkan saja, lagipula aku tidak ingin melahirkan anak ini,” ketus Liana sambil menahan sakit.
“Nyonya, apa yang sudah anda katakan. Saya mohon, Nyonya jangan bicara seperti itu,” pungkas Bi Tina, kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Bi Tina merasa sangat iba dengan anak yang berada dalam rahim majikannya itu, sungguh ia adalah anak yang tidak berdosa. Ia bahkan harus menerima kebencian sejak ia belum lahir ke dunia.
Wanita itu memilih tidak mengindahkan ucapan majikannya, ia segera berlalu meninggalkan Liana dan berlari ke arah telepon yang berada di ruang tengah.
Bi Tina segera menekan nomor telepon Tuannya, lalu meletakkan ganggang telepon di telinga kirinya.
“Halo, Tuan. Air ketuban Nyonya sudah pecah. Saya harus bagaimana, Tuan?” tanya Bi Tina panik.
Wanita yang berusia tiga puluh delapan tahun itu merasa bingung dan panik karena selama pernikahannya ia belum dikaruniai seorang anak.
“Aku akan segera panggilkan taksi, segera bersiaplah dan ambil tas yang ada di lemari ya, Bi,” perintah Gion yang segera diiyakan oleh wanita itu.
“Baik, Tuan!”
🍁🍁🍁
Beberapa menit kemudian, taksi sudah sampai di depan kediaman Gion dan Liana.
Babysitter Vino dan Kinara sebelumnya sudah diberitahu terlebih dahulu oleh Bi Tina untuk mengajak mereka masuk ke dalam kamar, supaya tidak panik dengan maminya yang akan melahirkan.
Bi Tina memapah Liana yang mulai lemah. Ia dibantu dengan sopir taksi mendudukkan tubuh Liana ke dalam kursi belakang mobil. Liana yang mulai berkeringat dingin tampak menyandarkan kepalanya di kursi mobil dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Sopir taksi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Bi Tina yang sudah cemas dengan keadaan majikannya itu, menyuruh sopir tersebut untuk melajukan mobilnya lebih cepat lagi.
“Pak, lebih cepet sedikit ya. Ini Nyonya saya sudah mau melahirkan.” Kalimat Bi Tina sontak membuat sopir itu ikut panik dan menambah kecepatan kendaraannya.
“Baik, Bu!”
“Kenapa rasanya lebih sakit dari sebelumnya ya, Bi? Sangat berbeda saat aku hamil Vino dan Kinara, ini rasanya sepuluh kali lipat lebih menyiksaku, Bi. Anak ini sungguh sangat menyusahkanku!” rintih Liana sambil menahan sakit bercampur kesal.
“Sabar ya, Nyonya, Anda akan segera melahirkan. Nyonya bayangkan saja wajah mungil yang akan anda lahirkan nanti, pasti rasa sakitnya akan berangsur menghilang,” ucap Bi Tina mencoba menenangkan Liana yang masih tetap menyalahkan bayi dalam kandungannya.
“Ck .... ” Wanita itu hanya berdecak kesal menanggapi ucapan Bi Tina.
Mobil telah sampai di rumah sakit, sopir taksi itu segera memanggil perawat. Beberapa perawat datang dengan membawa ranjang dorong. Liana dipapah ke atas ranjang dorong tersebut dan segera dibawa masuk ke dalam ruang persalinan.
Beberapa menit kemudian Gion sudah sampai di rumah sakit. Dokter yang menangani Liana segera menghampiri Bi Tina dan Gion.
“Pasien terlalu lemah untuk melakukan persalinan normal, saya minta persetujuan bapak untuk melakukan tindakan SC (operasi caesar),” terang Dokter kandungan yang bernama Dokter Reza. Pria yang berprofesi Dokter kandungan itu mengangsurkan beberapa lembar kertas yang berisi persetujuan untuk tindakan operasi.
Gion yang tidak berpikir panjang segera meraih kertas itu dan menanda tanganinya, lalu menyerahkan kembali kepada Dokter Reza.
“Baiklah, terima kasih, Tuan!” ucap Dokter Reza
seraya menerima kertas tersebut dan segera berlalu untuk melakukan tindakan operasi caesar.
Kurang lebih empat puluh lima menit proses operasi itu berlangsung, Dokter Reza keluar dan memberikan ucapan selamat kepada Gion.
“Selamat atas kelahiran putri Anda,” ucap dokter yang masih mengenakan baju operasi seraya mengulurkan tangan kepada Gion. Pria yang kini resmi memiliki tiga putra putri itu menyambut uluran tangan Dokter Reza dengan perasaan lega.
“Bayi saya sehat, 'kan, Dok? Bagaimana kondisinya?” tanya Gion. Ia memastikan bayinya terlahir dalam keadaan sehat karena mengingat semasa Liana mengandung bayinya, istrinya itu sudah melakukan segala cara untuk mengugurkan kandungannya. Bisa jadi bayi yang malang itu terlahir tidak sempurna.
"Bayi anda terlahir sehat tak kurang satu apapun dan dia sangat cantik, Tuan,” jawab Dokter Reza seraya mengulas senyum.
Gion dan Bi Tina akhirnya bisa bernapas dengan lega mendengar ucapan Dokter Reza.
“Pasien belum sadar, nyonya Liana masih di bawah pengaruh obat bius. Jika anda ingin melihat bayi anda, silahkan masuk ke ruangan dan belok kiri. Saya permisi dulu, Tuan,” jelas Dokter Reza seraya berlalu meninggalkan Gion dan Bi Tina.
“Terima kasih banyak, Dokter!”
Dokter Reza menganggukkan kepala, Ia kemudian berjalan meninggalkan Gion dan Bi Tina.
“Tunggu disini sebentar ya, Bi. Aku mau masuk melihat putriku dulu,” pamit Gion. Bi Tina mengangguk mengiyakan.
Pria yang usianya sudah menginjak angka tiga itu melangkah masuk ke ruangan bayi, Ia melihat tiga bayi mungil yang berada di ranjang masing-masing. Setiap ranjang bayi diberi nama dengan nama ibu mereka, dan saat kedua maniknya terpusat pada nama bayi nyonya Liana tidak terasa air matanya mengalir perlahan membasahi pipinya. Ia melihat seorang bayi sedang tertidur pulas, bayi yang sangat cantik sekali. Bibirnya mungil, hidung kecil dengan kedua pipi yang merona. Sangat kontras dengan kulit putih bersihnya. Bayi itu terlihat sangat menggemaskan sekali.
“Kamu akan senang melihat bayi kita, sayang. Dia sangat cantik, persis seperti dirimu dan Kinara. Kedua kakakmu akan senang dengan kehadiranmu, my baby girl,” gumam Gion seraya mengusap pipinya secara bergantian. Senyum seolah tidak surut dari wajahnya.
Bi Tina dan Gion masih menunggu di depan ruang bersalin, dan tidak lama tampak seorang perawat menghampiri mereka."Tuan, Nyonya Liana sudah sadar. Sekarang akan dipindahkan ke kamar, mari ikuti saya," jelas perawat tersebut seraya membalikkan badan dan berjalan mendahului Gion dan Bi Tina.“Baik, terima kasih,” jawab Gion sambil mengekor di belakang perawat tersebut.Dua perawat yang sudah bersiap di sisi kanan dan kiri mengangguk saat mereka mendapat isyarat untuk mendorong ranjang Liana keluar dari kamar, wanita itu terlihat masih lemas akibat pengaruh obat bius. Gion menyunggingkan sebuah senyuman saat pertama kali masuk ke dalam ruangan tersebut, Ia merasa sangat lega karena istri dan bayinya baik-baik saja. Ia pun segera mengikuti para perawat-perawat itu, tanpa mengucap sepatah kata.Sebuah
Satu bulan pasca melahirkan, Liana masih saja enggan untuk menggendong atau bahkan sekedar melihat bayi kecilnya. Ia terus menolak untuk berdekatan dengan putri ketiganya.Kebencian Liana benar-benar tidak bisa dinalar, bagaimanapun bayi malang itu adalah anak kandungnya, darah dagingnya sendiri. Tidak sepatutnya ia membenci tanpa alasan seperti itu, begitulah pikir kebanyakan orang yang melihat langsung bagaimana penolakan Liana terhadap keberadaan putrinya.Satu Bulan yang laluTiga hari setelah melahirkan Liana sudah boleh pulang. Ia dipapah sang suami untuk istirahat di kamarnya, rasa sakit yang masih Ia rasakan pasca operasi membuat tubuhnya tidak nyaman. “Bayi itu, benar-benar sudah menyusahkanku saja, Mas. Andai saja a
Lima tahun kemudian, Rani tumbuh dengan sangat baik. Meskipun Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Namun, peran Bi Tina dalam mengasuh Rani sangatlah berpengaruh. Gadis kecil itu, tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik hati.Rani mewarisi kecantikan Liana, ibunya. Kulit putih, rambut lurus berwarna hitam pekat, mata lebar dikelilingi bulu mata lentik, serta hidung mungil dan mulut tipis berwarna pink alami. Sangat persis dengan foto waktu kecil Liana. Namun sayang, wanita yang sudah melahirkannya itu sama sekali tidak menganggap dirinya.“Bibi, sedang apa? Rani bantu, ya?” suara imut Rani membuat aktivitas Bi Tina terhenti. Wanita itu menoleh pada gadis berkucir dua, sungguh sangat menggemaskan sekali.Bi Tina menekuk ke
Tujuh belas tahun kemudian, Rani telah beranjak remaja. Kini Rani sudah duduk di bangku SMA. Ia tumbuh menjadi gadis yang pintar dan cantik, tetapi itu semua sama sekali tidak berpengaruh untuk Maminya. Kebencian Liana yang tidak beralasan kepadanya masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, saat ia hadir dalam rahim Maminya.Wanita itu masih belum menerima kehadiran anak kandungnya sendiri, sikap tidak acuhnya pun seperti sudah menjadi makanan sehari-hari untuk putri bungsunya.Bibi Tina dengan tulus selalu mengingatkan Rani untuk selalu patuh dan tidak membantah kepada kedua orang tuanya, Bi Tina juga selalu mendukung setiap aktifitas yang dilakukannya. Meskipun Rani besar tanpa kasih sayang dari ibu kandungnya, tetapi ia bisa tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar. Walaupun sedikit tertutup, tapi hatinya se
“Bi ... Bibi ...,” panggil Liana yang sekarang sudah berada di dapur.Rani yang memang kamarnya berada tidak jauh dari dapur, segera keluar untuk menemui maminya.Liana tampak kaget karena Rani yang datang, Ia hanya melirik pada anak bungsunya. Raut wajah wanita itu terlihat tidak senang Rani mendekatinya.“Bi Tina sedang belanja, Mi!” terang Rani seraya menundukkan kepala tidak berani menatap wajah orang yang telah melahirkannya, sedangkan maminya hanya mendengkus pelan. Ia bahkan lupa telah menyuruh Bi Tina untuk pergi berbelanja ke pasar siang itu.Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu segera melangkah keluar dapur tanpa berniat m
“Lega rasanya, bisa melewati hari senin di jam pertama dan jam kedua,” gumam Mita seraya menyandarkan tubuhnya di kursi stainless-nya. “Bu Diana hari ini benar-benar killer, ya. Itu si Romi sampe ampun-ampun karena hukuman yang diberikan kepadanya,” celetuk Mita dengan kekehan khasnya. Namun, yang diajak bicara malah melamun tak mengindahkan ucapannya.“Ran, kok malah bengong. Denger aku ngomong nggak, sih?!” protes Mita kesal karena sahabatnya tidak memedulikannya.“Eh ... Maaf, Mit. Kamu tadi ngomong apa?” Rani yang tersadar begitu gelagapan dan tersenyum simpul.“Tuh, bener kamu nglamun. Kamu lagi ada masalah?” tanya Mita seraya memegang tangannya.“Enggak ... Nggak ada masalah kok, Mit,” kilah Rani yang mencoba kembali ceria. “Kamu tadi ngomong apa, cob
Suasana makan malam di keluarga Atmaja beberapa hari ini sedikit berbeda karena kehadiran Vino, kakak pertama Rani yang sedang libur semester itu mampu mencairkan suasana yang setiap malam terkesan dingin dan canggung.“Ran, kenapa makannya dikit banget?” tanya Vino heran. Ia kemudian mengambil sop ayam yang dicampur dengan beberapa sayur menyehatkan dan ikan salmon yang dipanggang untuk diletakkan di piring Rani.“Kak, ini terlalu banyak!” protes Rani dengan mata membulat.“Kamu sedang masa pertumbuhan, Ran. Jadi, kamu harus makan yang banyak!” balas Vino seraya tersenyum, lalu kembali fokus pada makanan di piringnya.Gion yang melihat kedekatan kedua putra putrinya mengulas senyum bahagia, sungguh pemandangan yang sangat langka. Mengingat keluarga mereka yang tidak bisa seharmonis dulu karena sik
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh lima menit, Vino dan Rani akhirnya sampai di Mall terbesar di kota mereka. Pusat perbelanjaan yang memiliki lantai enam itu tampak ramai oleh hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja atau sekedar ber-malam minggu, menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, sahabat atau kekasih.“Kita ke lantai empat dulu, ya!” ajak Vino seraya melingkarkan tangannya di pundak Rani.Adik kakak yang sama-sama memiliki paras menawan itu, rupanya sedikit menyita perhatian pengunjung yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Bagi orang yang tak tahu apa hubungan mereka, tentu menyebut mereka sebagai sepasang kekasih yang serasi.Vino yang memiliki tinggi 183 sentimeter, dengan postur tubuh tegap dan kekar yang saat ini mengenakan kaus hitam panjang yang sengaja digulung sampai siku. Wajah yang ru