"Sombong sekali kamu, Rind. Di dunia ini bukan hanya kamu yang pandai memasak. Jangan besar kepala dulu."Suara Tami yang menuruni tangga membuat Arindi terkesiap. Namun hal tersebut justru membuat Naina tersenyum penuh kemenangan. Ia menyeringai. Dalam hati, ia bersorak mana tega sang mertua mendiamkan dirinya yang menyandang gelar sebagai menantu kesayangan itu.Arindi hanya memasang wajah datar. "Hidup di zaman yang semua serba modern ini tidak usah dipersulit. Banyak kan jasa yang bisa mengantarkan makanan ke rumah. Diluar juga tidak kurang-kurang yang berjualan bukan? Jadi berhenti untuk kamu sok sempurna Rind. Ingat seperti apapun kamu berdiri saat ini, ada aib di masa lalumu yang tidak akan hilang begitu saja," ucap Tami dengan tajam.Sakit? Tentu saja. Pertahanan Arindi mulai terkikis apalagi jika disangkutpautkan dengan masa lalu. Tapi Arindi tetap pada prinsipnya untuk bertahan dengan apapun cercaan yang tertuju padanya. "Tuh dengar Mbak," olok Naina. Arindi memasang waja
Naina menautkan alis. Menatap Arfaaz tak percaya. "Ada apa?" tanya Arfaaz yang kikuk saat ditatap Naina seperti itu. Namun sejurus kemudian Naina tertawa kecil. "Ada yang lucu?" tanya Arfaaz lagi. Naina menggeleng pelan. "Tidak ada yang lucu. Tetapi ada yang aneh.""Apa? ""Setiap pasangan suami istri tentu punya tujuan menikah yaitu untuk mendapatkan keturunan Mas. Tapi kamu kok justru menolak pemberian Mama. Namanya juga ikhtiar kan. Siapa tau memang berhasil. Daripada harus program bayi tabung. Habis ratusan juta itu Mas." jelas Naina.Namun entah mengapa raut wajah Arfaaz berbeda. Seolah ia memendam kekesalan. "Aku sudah bilang. Tidak perlu pakai cara seperti ini." "Apa salahnya dicoba sih Mas? Ini juga ada sertifokay MUI dan BPOM juga. Jadi tidak perlu lah kamu khawatir terlalu berlebihan," uar Naina yang terus berusaha agar Arfaaz setuju. "Aku bilang tidak ya tidak," bentak Arfaaz. Naina kaget. Begitu juga dengan Tami. Mereka tak menyangka reaksi Arfaaz akan seperti itu.
"Aku minta ma'af," ucap seseorang di telinga Naina. Wanita yang tengah melakukan perawatan kuku tersebut sejenak menoleh. Tatapannya masih saja ketus melihat siapa yang berucap."Nan, aku minta ma'af," ulang Arfaaz.Naina mendengkus pelan."Iya," jawabnya singkat. "Terimakasih Nan," ucap Arfaaz lalu beranjak pergi meninggalkan Naina.Wanita itu benar-benar meradang dengan sikap dingin sang suami. Ia menatap tajam punggung sang suami yang mulai berjalan menjauh."Hanya seperti itu Mas?" tanya Naina memastikan."Lalu aku harus bagaimana?" tanya Arfaaz masih dengan dingin tanpa berbalik badan menatap sang istri."Apa kamu tak mau juga menuruti saran dari Mama, Mas?"Arfaaz menggeleng pelan."Aku tidak setuju dengan cara itu.""Lalu apa gunanya kamu minta ma'af kalau begitu?" tanya Naina lagi dengan kesal."Aku minta ma'af bukan karena aku lantas menuruti permintaanmu Nan. Aku meminta ma'af atas sikapku. Atas bentakanku," jawab Arfaaz.Naina geram. Namun sebisa mungkin ia berusaha mengon
Arindi hanya menghela nafas pelan. Menatap trenyuh ke arah suaminya. "Naina tidak sepenuhnya bersalah Mas."Arfaaz yang tengah gusar, langsung berganti menatap Rindi dengan sorot tajam."Ya semua wanita pasti akan melakukan segala hal, segala cara agar lekas diberi momongan bukan? Apa bedanya Naina dengan aku yang dulu? Sama bukan?"Arfaaz menggeleng dengan cepat."Aku.. Aku tak sanggup. Bahkan mungkin aku tak bisa mengatakan kenyataanya Rind. Terlebih jika Mama yang mengetahui. Aku tak mau merusak kebahagiaan beliau begitu saja. Tidak. Namun di sisi lain, aku pun tidak mampu mengatakan hal sejujurnya kepada Naina, Rind. Kamu tau sendiri bagaimana kedekatannya dengan Mama bukan?" keluh Arfaaz."Ya aku tau itu. Tetapi sampai kapan? Naina dan Mama juga pasti terus berharap bukan?"Arfaaz tertunduk."Entahlah Rind. Akupun belum kuat untuk menyampaikan kebenaran itu."Arindi menghela nafas pelan."Semua keputusan ada di kamu, Mas. Tetapi aku harap apapun tindakan yang akan kamu ambil tida
"Kamu tidak bercanda kan Rind?" tanya Arfaaz di tengah paniknya juga.Namun di ujung sana, Arindi justru menangis tersedu."Rind," panggil Arfaaz lagi."Untuk apa aku bercanda Mas? Hal seperti ini tidak pantas untuk menjadi bahan candaan. Tolonglah Mas. Aku serius," rintih Arindi di seberang sana.Nafas Arfaaz naik turun. Jantungnya berdebar kencang jika menyangkut nama Keenandra."Baiklah. Kamu tenang dulu disitu. Aku akan segera kesitu," ucap Arfaaz.Arindi hanya mengangguk walaupun Arfaaz tidak mampu melihatnya saat itu. Tanpa mengulur waktu, Arfaaz segera berganti pakaian. Ia lari menuruni tangga."Selamat pagi Pak Arfaaz. Ini jadwal meeting kita hari ini dengan...""Undur saja waktunya. Kalau tidak bisa batalkan saja Wan," potong Arfaaz dengan cepat saat sang asisten pribadi menyampaikan sejumlah jadwal hari ini.Ia pun turut tercengang. Tak biasanya Arfaaz seperti ini. Arfaaz dikenal sebagai pengusaha yang profesional. Namun mengapa kali ini, ia berbeda?Apa daya Wawan yang hany
Lutut Arindi lemas kala membaca berita itu. Hampir saja pertahanannya roboh, namun dengan sigap, Arfaaz segera menahan tubuhnya agar tidak jatuh."Rind, kuat Rind. Belum tentu itu Keenan," ujar Arfaaz menenangkan.Tangis Arindi mulai luruh seketika."Bagaimana kalau Keenan, Mas? Dia adalah duniaku. Kalau memang itu Keenan, Duniaku sudah hancur," keluh Arindi.Arfaaz menghela nafas pelan."Sudah. Lebih baik sekarang kita datangi saja lokasi kejadian. Untuk memastikanya. Aku rasa Keenan tidak seceroboh itu untuk main di area seperti itu," ajak Arfaaz.Arindi mengangguk. Namun tubuhnya lemas. Hatinya tak berhenti berdebar lebih kencang."Kenapa? Kamu tidak sanggup nyetir mobil sendiri?" tanya Arfaaz.Arindi mengangguk pelan."Aku hanya takut tidak bisa konsentrasi Mas ""Ya sudah. Biar anak buahku nanti yang membawa mobilmu pulang. Sekarang ikut di mobilku saja. Kita segera kesana."Tak ada kata yang keluar satupun saat perjalanan. Hanya ketakutan yang terus menggelayuti fikiran Arindi s
Arindi semakin penasaran oleh jawaban dari Keenandra."Nanti saja deh Ma ceritanya. Keenan capek, ngantukz" keluhnya sembari berlari masuk ke kamar.Arindi mendengkus kecewa."Sabar Rind. Kamu harus mencari momen dimana Keenan bisa mood. Yang terpenting saat ini Keenan bisa ketemu dulu," ujar Arfaaz.Namun sebagai ibu Arindi merasa tidak puas."Bagaimana aku bisa tenang Mas. Aku takut jika Keenan mengulang hal yang sama," keluh Arindi."Makanya Mbak. Yang becus jaga anak. Baru anak satu loh," kata Naina yang menambahi.Arindi sekilas menatap dengan tatapan yang tidak enak."Tau apa kamu? Memangnya kamu sudah punya anak? Sok menasihati aku segala?""Ya difikir pakai logika saja Mbak. Setiap ibu pasti ingin melindungi anaknya. Tetapi kok Mbak Arindi berbeda ya," Netra Arindi kini menatap tajam ke arah sang madu."Apa maksud kamu?""Duh please deh Mbak. Kalau ada yang tidak beres dengan sang anak. Itu artinya ada yang tidak beres juga dengan pola asuh orang tuanya." kata Naina dengan be
Arindi benar-benar terkesiap."Om baik siapa Keen? Mama tidak pernah tau?" tanya Arindi selembut mungkin agar Keenandra mau menjawabnya."Itu Ma yang pakai seragam. Keenandra lupa tadi siapa ya namanya," jawabnya.Arindi sejenak diam. Ia mengingat siapa kerabatnya yang memakai saragam. Ia menggeleng. Ya dia tidak punya kerabat berseragam ataupun yang duduk di bangku sekolah."Tadi juga Keenandra dikawal orang banyak Ma,"Arindi semakin melongo mendengar penuturan sang putra."Dikawal? Siapa?"Keenandra menggeleng."Nggak tau Ma. Ya sama pakai seragam juga."Arindi mengangguk. Berarti memang orang yang memiliki kuasa tinggi. Namun siapa?"Apakah pakaianya seperti ini?" tanya Arindi sembari memperlihatkan gambar yang ada di handphonenya.Keenandra mengangguk.Tebakan Arindi semakin mengarah benar. Ia pun mencari sesuatu lagi dari handphonemya."Apa ini orangnya?"Keeenandra mengangguk cepat. "Iya Ma. Mama kenal?"Bukanya menjawab, justru Arindi mengepalkan tanganya. Untuk sejenak, gigi