“Pi, tetep aja lho ... rasanya tuh ga enak banget deh, ada apa ya?” Ayas sejak tadi memang merasa gelisah walaupun ia tidak tahu kenapa bisa seperti itu.
“Mungkin hanya perasaan kamu saja,” ucap Tira, mencoba menenangkan Ayas yang sedang gelisah.
Walaupun saat ini kekhawatiran Ayas memang tidak mendasar dan terkesan tidak mungkin, Namun sebagai seorang Ibu nalurinya sangat kuat dan tidak bisa dianggap remeh.
“Kok tiba-tiba aku jadi kangen Vano, ya Pi?” gumam Ayas.
“Ya sudah, kamu telepon saja Vano!” sahut Tira.
“Ya kali aku telepon Vano kaya gini,” ucap Ayas, agak menyentak.
Wajar saja Ayas menolak, karena saat ini Ayas dan Tira masih belum berpakaian.
“Oh, iya juga ya. Aku sampe lupa, hehehe!” balas Tira.
“Ayo kita mandi dulu, Pi!” ajak Ayas.
“Boleh nambah lagi gak?” goda Tira.
“Yang tadi masih kurang, Pi?”
Saat Tira baru saja keluar dari kamar mandi dan bertanya padanya, Ayas tampak cemberut dan menekuk wajahnya.Tentu saja hal tersebut membuat Tira khawatir dengan keadaan Vano, karena sebelumnya Tira tahu kalau perasaan Ayas sedang tidak tenang secara tiba-tiba.“Ini gara-gara kamu, Pi!” ketus Ayas, sembari menekuk wajahnya.“Ada apa, Mi? Apa yang terjadi dengan Vano? Dia ga apa-apa, kan?” Sontak saja Tira panik bukan main, ia merasa jika apa yang terjadi pada Vano adalah kesalahannya.“Vano nagih minta Ade terus, tuh!” jawab Ayas, ketus.“Hah? Jadi karena itu kamu cemberut? Hahaha!” Dengan santainya Tira malah menertawakan Ayas.Tentu saja hal tersebut membuat Ayas semakin manyun, “Kok ketawa sih, Pi? Nyebelin, ih!” marah Ayas.“Lagian kamu itu lucu, sih!” balas Tira, tersenyum.“Lucu gimana sih?” tanya Ayas, tidak terima.“Ya kan V
“Aduh! Gimana nih?” gumam Gita, panik. Sambil terus mundur sejak tadi.Ting! Nong!“Hah?” Gita sontak terperanjat saat mendengar suara bel apartemen tempat ia tinggal berbunyi.“Waduh! Jangan-jangan itu—“ Gita masih berharap orang yang berada di depan pintu apartemennya bukanlah Yoga, karena ia benar-benar belum siap kalau harus menerima kedatangan Yoga untuk saat ini.Gita pun berjalan menuju ke arah pintu untuk melihat siapa orang yang ada di depan pintu, setelah itu ia memicingkan mata untuk mengintip melalui lubang khusus yang sudah tersedia.“Huuhhh! Syukurlah, bukan Mas Yoga,” lirih Gita, lega. Karena orang yang ada di depan pintu ternyata adalah seorang pegawai apartemen yang ingin memberikan sebuah amplop pada Gita.“Saya permisi ya, Bu!” pamit pegawai apartemen.“Iya, Mas. Makasih ya!” balas Gita, senyum.Gita pun penasaran dengan isi dari su
Melihat Ibu Mertuanya keluar dari mobil membuat Ayas sempat mematung, karena walaupun kedua orang tua Tira sudah menyetujui pernikahan mereka.Tetap saja dalam hati dan pikiran Atas masih ada rasa khawatir dan tidak nyaman.“Ternyata benar kalau kalian ada di sini,” ucap Sisca, pada Ayas dan Tira.“Mamah mencari kami?” tanya Tira.Saat itu Ayas benar-benar terlihat kaku seolah-olah seperti sebuah patung hidup, sampai akhirnya Tira menyadarkan dirinya.“Mi, sadar Mi!” bisik Tira, pelan. Setelah beberapa kali Tira menyenggol Ayas, akhirnya Ayas pun kembali tersadar.“Eh, Mamih! Eee ...,” ucap Ayas terhenti melihat ke arah langit karena ragu sudah siang atau masih pagi.“Selamat siang!” balas Mamah Tira, lebih dahulu. Sontak Ayas pun terlihat semakin kikuk di hadapan Ibu Mertuanya.“I-iya, Mah. Selamat siang,” ucap Ayas, gugup. Seolah tidak berani menatap mata
Mamahnya Gita terus memandangi Gita dan Yoga yang masih berdiri di depan pintu, “Git, ini serius?” tanyanya, bingung. Gita pun tampak bingung harus menjelaskan semuanya mulai dari mana dan tiba-tiba saja Yoga menyelak, “Iya, Tante! Benar sekali, rencananya bulan depan kami akan segera menikah!” sahut Yoga, menyeringai. “Gita, kamu gak hamil, kan?” tanya Mamah Gita, panik. Sontak saja Gita pun juga ikut panik dan langsung mengajak Mamahnya untuk masuk ke dalam rumah, Yoga pun sebagai calon suami Gita juga ikut masuk ke dalam bersama mereka. Lalu Gita dan Mamahnya duduk di sofa yang sama, sementara Yoga duduk di sofa yang ada di seberang meja. Saat itu terdengar langkah kaki sedang menuju ke arah ruang tamu, dan langkah kaki tersebut ternyata berasal dari kaki Papah Gita. “Gita! Kamu kok gak bilang mau main ke sini?” tegur Papah Gita, yang kurang lebih sama dengan Istrinya barusan. Gita memang sudah lama tidak pulang karena peker
Jika diingat-ingat Ayas hanya memiliki kenangan buruk di tempat tersebut, “Sepertinya tempat ini sama sekali tidak berubah?” tanya Ayas.“Jadi kamu masih ingat, ya?” balas TiraAyas melihat ada banyak sekali penjaga di tempat tersebut, karena tempat yang saat ini Ayas datangi adalah rumah yang dulu Tira gunakan untuk menyekap Ayas.Dari mulai gerbang depan hingga rumah utama yang Ayas lewati, para penjaga berdiri dengan menggunakan pakaian serba hitam. “Pi, apa penjaga sebanyak itu masih diperlukan?” tanya Ayas.“Tentu saja perlu, tugas mereka agar keamanan di rumah ini terjamin,” jawab Tira.Ayas mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menoleh ke arah Tira yang sedang mengemudi, “Tapi aku kan, ga akan kabur, Pi!” ucap Ayas.Hahaha!Tira pun langsung tertawa mendengar perkataan Ayas barusan, “Aku tau kalo kamu ga akan kabur, sayang!” balas Tira, menyeringai.&l
Tira keluar bersama dengan Ayas dari dalam kamar hendak menemui Sisca, “Mamah ini kebiasaan deh, ganggu aja!” gerutu Tira.“Papih! Gak boleh gitu sama orang tua!” tegur Ayas, tegas.Ayas sebenarnya juga tidak nyaman dengan kedatangan Sisca— Mamah Tira, tetapi Ayas mencoba untuk bersikap baik dan biasa saja.Tira menggandeng tangan Ayas yang dingin jadi Tira tahu betul perasaan sebenarnya Ayas, “Sayang, kamu sebenarnya—“ ucap Tira, terhenti.Ayas menoleh dan menatap Tira yang tiba-tiba saja berhenti, “Ada apa, Pi?” tanya Ayas, datar.“Ah, gak. Bukan apa-apa!” jawab Tira.Lalu Tira kembali mengajak Ayas untuk menemui Mamahnya yang susah menunggu sejak tadi.Dan saat ini Ayas dan Tira sudah melihat sosok wanita paruh baya dengan dandanan yang glamour, wanita itu tidak lain adalah Sisca— Mamah Tira.“Eum, Mamah kebetulan lewat sini tadi,” ucap
Rumah Tira dan Ayas di Solo terletak di sebuah kawasan elit yang tentu saja tidak sembarangan orang bisa masuk.Dua orang pria dengan jarak agak jauh sedang memerhatikan rumah itu dari kejauhan dengan sebuah perangkat di telinga, “Sepertinya itu memang rumahnya,” ucap pria itu, berbisik.“Iya, ayo kita pergi dan laporkan pada, Bos. Tempat ini dijaga sangat ketat!” balas pria satunya.Mereka pun pergi meninggalkan area sekitar rumah Tira dan Ayas, yang ternyata mereka tidak hanya berdua saja.Sementara itu di dalam rumah Papah dan Mamah Ayas sedang menunggu Vano.Hingga akhirnya Vano pun langsung berlari saat melihat Opa dan Omanya datang, “OPA! OMA!” teriak Vano, berlari menghampiri Opa dan Omanya.Opa dan Oma Vano pun langsung menyambut Vano dengan pelukan yang hangat, “Cucu Oma yang ganteng dari mana?” tanya Sri, memeluk Vano.“Aku habis dari taman main sama Mbak, Oma!” jaw
Mobil yang dikemudikan oleh Tira sudah sampai di depan sebuah gerbang yang sangat besar berwarna hitam.“Ini rumah Mamah kamu, Pi?” tanya Ayas, sambil menatap ke atas mencari ujung dari gerbang besar tersebut.Titt!Gerbang besar itu terbuka secara otomatis, lalu Tira pun memacu mobil yang ia kendarai melewati gerbang besar tersebut.Butuh waktu beberapa menit untuk mencapai bagian rumah utama, walaupun mirip dengan rumah mereka yang di Solo.Tapi rumah Mamah Tira jauh lebih besar dan luas, sampai-sampai Ayas saja tidak henti-hentinya merasa kagum pada tempat tersebut.“Wah ... besar sekali,” gumam Ayas, kagum. Matanya terlihat berbinar-binar.“Punyaku?” sahut Tira, nakal.“Papi apa, sih? Nakal, deh!” balas Ayas, ketua.“Emang punya Papi gak besar?” tanya Tira, memancing Ayas.Ayas yang awalnya terlihat berbinar-binar menjadi cemberut, pipinya mengembang