Saat Tira baru saja keluar dari kamar mandi dan bertanya padanya, Ayas tampak cemberut dan menekuk wajahnya.
Tentu saja hal tersebut membuat Tira khawatir dengan keadaan Vano, karena sebelumnya Tira tahu kalau perasaan Ayas sedang tidak tenang secara tiba-tiba.
“Ini gara-gara kamu, Pi!” ketus Ayas, sembari menekuk wajahnya.
“Ada apa, Mi? Apa yang terjadi dengan Vano? Dia ga apa-apa, kan?” Sontak saja Tira panik bukan main, ia merasa jika apa yang terjadi pada Vano adalah kesalahannya.
“Vano nagih minta Ade terus, tuh!” jawab Ayas, ketus.
“Hah? Jadi karena itu kamu cemberut? Hahaha!” Dengan santainya Tira malah menertawakan Ayas.
Tentu saja hal tersebut membuat Ayas semakin manyun, “Kok ketawa sih, Pi? Nyebelin, ih!” marah Ayas.
“Lagian kamu itu lucu, sih!” balas Tira, tersenyum.
“Lucu gimana sih?” tanya Ayas, tidak terima.
“Ya kan V
“Aduh! Gimana nih?” gumam Gita, panik. Sambil terus mundur sejak tadi.Ting! Nong!“Hah?” Gita sontak terperanjat saat mendengar suara bel apartemen tempat ia tinggal berbunyi.“Waduh! Jangan-jangan itu—“ Gita masih berharap orang yang berada di depan pintu apartemennya bukanlah Yoga, karena ia benar-benar belum siap kalau harus menerima kedatangan Yoga untuk saat ini.Gita pun berjalan menuju ke arah pintu untuk melihat siapa orang yang ada di depan pintu, setelah itu ia memicingkan mata untuk mengintip melalui lubang khusus yang sudah tersedia.“Huuhhh! Syukurlah, bukan Mas Yoga,” lirih Gita, lega. Karena orang yang ada di depan pintu ternyata adalah seorang pegawai apartemen yang ingin memberikan sebuah amplop pada Gita.“Saya permisi ya, Bu!” pamit pegawai apartemen.“Iya, Mas. Makasih ya!” balas Gita, senyum.Gita pun penasaran dengan isi dari su
Melihat Ibu Mertuanya keluar dari mobil membuat Ayas sempat mematung, karena walaupun kedua orang tua Tira sudah menyetujui pernikahan mereka.Tetap saja dalam hati dan pikiran Atas masih ada rasa khawatir dan tidak nyaman.“Ternyata benar kalau kalian ada di sini,” ucap Sisca, pada Ayas dan Tira.“Mamah mencari kami?” tanya Tira.Saat itu Ayas benar-benar terlihat kaku seolah-olah seperti sebuah patung hidup, sampai akhirnya Tira menyadarkan dirinya.“Mi, sadar Mi!” bisik Tira, pelan. Setelah beberapa kali Tira menyenggol Ayas, akhirnya Ayas pun kembali tersadar.“Eh, Mamih! Eee ...,” ucap Ayas terhenti melihat ke arah langit karena ragu sudah siang atau masih pagi.“Selamat siang!” balas Mamah Tira, lebih dahulu. Sontak Ayas pun terlihat semakin kikuk di hadapan Ibu Mertuanya.“I-iya, Mah. Selamat siang,” ucap Ayas, gugup. Seolah tidak berani menatap mata
Mamahnya Gita terus memandangi Gita dan Yoga yang masih berdiri di depan pintu, “Git, ini serius?” tanyanya, bingung. Gita pun tampak bingung harus menjelaskan semuanya mulai dari mana dan tiba-tiba saja Yoga menyelak, “Iya, Tante! Benar sekali, rencananya bulan depan kami akan segera menikah!” sahut Yoga, menyeringai. “Gita, kamu gak hamil, kan?” tanya Mamah Gita, panik. Sontak saja Gita pun juga ikut panik dan langsung mengajak Mamahnya untuk masuk ke dalam rumah, Yoga pun sebagai calon suami Gita juga ikut masuk ke dalam bersama mereka. Lalu Gita dan Mamahnya duduk di sofa yang sama, sementara Yoga duduk di sofa yang ada di seberang meja. Saat itu terdengar langkah kaki sedang menuju ke arah ruang tamu, dan langkah kaki tersebut ternyata berasal dari kaki Papah Gita. “Gita! Kamu kok gak bilang mau main ke sini?” tegur Papah Gita, yang kurang lebih sama dengan Istrinya barusan. Gita memang sudah lama tidak pulang karena peker
Jika diingat-ingat Ayas hanya memiliki kenangan buruk di tempat tersebut, “Sepertinya tempat ini sama sekali tidak berubah?” tanya Ayas.“Jadi kamu masih ingat, ya?” balas TiraAyas melihat ada banyak sekali penjaga di tempat tersebut, karena tempat yang saat ini Ayas datangi adalah rumah yang dulu Tira gunakan untuk menyekap Ayas.Dari mulai gerbang depan hingga rumah utama yang Ayas lewati, para penjaga berdiri dengan menggunakan pakaian serba hitam. “Pi, apa penjaga sebanyak itu masih diperlukan?” tanya Ayas.“Tentu saja perlu, tugas mereka agar keamanan di rumah ini terjamin,” jawab Tira.Ayas mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menoleh ke arah Tira yang sedang mengemudi, “Tapi aku kan, ga akan kabur, Pi!” ucap Ayas.Hahaha!Tira pun langsung tertawa mendengar perkataan Ayas barusan, “Aku tau kalo kamu ga akan kabur, sayang!” balas Tira, menyeringai.&l
Tira keluar bersama dengan Ayas dari dalam kamar hendak menemui Sisca, “Mamah ini kebiasaan deh, ganggu aja!” gerutu Tira.“Papih! Gak boleh gitu sama orang tua!” tegur Ayas, tegas.Ayas sebenarnya juga tidak nyaman dengan kedatangan Sisca— Mamah Tira, tetapi Ayas mencoba untuk bersikap baik dan biasa saja.Tira menggandeng tangan Ayas yang dingin jadi Tira tahu betul perasaan sebenarnya Ayas, “Sayang, kamu sebenarnya—“ ucap Tira, terhenti.Ayas menoleh dan menatap Tira yang tiba-tiba saja berhenti, “Ada apa, Pi?” tanya Ayas, datar.“Ah, gak. Bukan apa-apa!” jawab Tira.Lalu Tira kembali mengajak Ayas untuk menemui Mamahnya yang susah menunggu sejak tadi.Dan saat ini Ayas dan Tira sudah melihat sosok wanita paruh baya dengan dandanan yang glamour, wanita itu tidak lain adalah Sisca— Mamah Tira.“Eum, Mamah kebetulan lewat sini tadi,” ucap
Rumah Tira dan Ayas di Solo terletak di sebuah kawasan elit yang tentu saja tidak sembarangan orang bisa masuk.Dua orang pria dengan jarak agak jauh sedang memerhatikan rumah itu dari kejauhan dengan sebuah perangkat di telinga, “Sepertinya itu memang rumahnya,” ucap pria itu, berbisik.“Iya, ayo kita pergi dan laporkan pada, Bos. Tempat ini dijaga sangat ketat!” balas pria satunya.Mereka pun pergi meninggalkan area sekitar rumah Tira dan Ayas, yang ternyata mereka tidak hanya berdua saja.Sementara itu di dalam rumah Papah dan Mamah Ayas sedang menunggu Vano.Hingga akhirnya Vano pun langsung berlari saat melihat Opa dan Omanya datang, “OPA! OMA!” teriak Vano, berlari menghampiri Opa dan Omanya.Opa dan Oma Vano pun langsung menyambut Vano dengan pelukan yang hangat, “Cucu Oma yang ganteng dari mana?” tanya Sri, memeluk Vano.“Aku habis dari taman main sama Mbak, Oma!” jaw
Mobil yang dikemudikan oleh Tira sudah sampai di depan sebuah gerbang yang sangat besar berwarna hitam.“Ini rumah Mamah kamu, Pi?” tanya Ayas, sambil menatap ke atas mencari ujung dari gerbang besar tersebut.Titt!Gerbang besar itu terbuka secara otomatis, lalu Tira pun memacu mobil yang ia kendarai melewati gerbang besar tersebut.Butuh waktu beberapa menit untuk mencapai bagian rumah utama, walaupun mirip dengan rumah mereka yang di Solo.Tapi rumah Mamah Tira jauh lebih besar dan luas, sampai-sampai Ayas saja tidak henti-hentinya merasa kagum pada tempat tersebut.“Wah ... besar sekali,” gumam Ayas, kagum. Matanya terlihat berbinar-binar.“Punyaku?” sahut Tira, nakal.“Papi apa, sih? Nakal, deh!” balas Ayas, ketua.“Emang punya Papi gak besar?” tanya Tira, memancing Ayas.Ayas yang awalnya terlihat berbinar-binar menjadi cemberut, pipinya mengembang
Saat Ayas dan Tira pergi menjauh dari rumah, kepala pelayan masuk ke dalam rumah.Tuk! Tuk! Tuk!Seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri kepala pelayan, “Apa mereka sudah pulang?” tanya wanita itu, pada kepala pelayan.“Sudah, Nyonya!” jawab kepala pelayan, sambil menunduk.Wanita paruh baya itu memang tidak lain adalah Sisca— Mamah Tira, ia sudah mengetahui kedatangan Putra dan Menantunya.Maklum saja di rumah tersebut banyak sekali kamera pengawas dan penjaga, Sisca menerima laporan jika Tira datang berkunjung. Jadi dia langsung bersembunyi dan meminta kepala pelayan menyambut mereka.Ayas saat ini sedang berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Tira, “Kesepian?” tanya Ayas, sambil mengernyitkan alis.Tira mengangguk tanpa memandang Ayas yang ada di sampingnya, Tira tahu betul bagaimana rasanya kesepian seperti apa yang ia alami selama 4 tahun ini.Melihat Tira seperti itu me
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di
Di tempat Vano disandera yang merupakan tempat persembunyian James, seorang pria datang menemui James.“Sepertinya semua berjalan dengan lancar, Tuan James!” ucap pria itu.James tampak tersenyum tipis sambil duduk di sofa besar, “Silakan Tuan Ady, anggap saja rumah sendiri,” sahut James.Pria yang baru saja datang itu tidak lain adalah Ady, ia tampak sangat puas dengan kinerja James. “Profesional memang selalu bisa diandalkan,” puji Ady.“Anda terlalu memuji Tuan, aku hanya melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana saja,” ucap James.Ady tampak tersenyum tipis, ia lalu menghampiri Vano yang saat ini sedang berada di sebuah kamar.Ceklek!Saat melihat ada orang yang datang dan membuka pintu kamar, Vano sempat berpikir kalau itu adalah Papi atau Maminya.Namun, orang yang muncul ternyata tidak seperti yang Vano harapkan.“Haloo, adik kecil,” sapa Ady, sambil te
Tira kaget bukan main saat tiba-tiba saja Mamahnya menelepon, ia tidak menyangka kalau Mamahnya akan tahu dan akan memarahinya karena Vano hilang.“Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, Mamah Tira terus memarahi Tira.“Kalau kamu gak bisa jagain Vano, harusnya kamu bilang! Jangan diem aja!” Mamah Tira terus saja mengomel, sampai-sampai Tira saja tidak diberi kesempatan untuk berbicara.“Sekarang juga, kamu datang ke sini! Biar semua mamah dan papah yang urus!” ucap Mamah Tira dengan sangat tegas.“Tapi, Mah—“ Belum selesai Tira berbicara, mamahnya sudah mengakhiri panggilan tersebut.Panggilan terputus.Ayas yang melihat Tira tampak kebingungan langsung menghampiri, “Pi, ada apa?” tanyanya.“Ini, Mi. Mamah aku marah-marah,” sahut Tira.Sontak Ayas pun tercekat, “Hah? Marah-marah? Emangnya kenapa?” tanya Ayas.&ldqu
“Kamu yakin?” tanya Tira pada Panji.“Iya, Tuan. Saya sangat yakin, karena mereka benar-benar meninggalkan jejak mereka di CCTV yang ada di rumah. Seolah-olah mereka memang sengaja dan memang ingin menantang kita,” jawab Panji. Ia berani berkata seperti itu karena memang hal tersebut sangat tidak masuk akal.Dan satu-satunya kemungkinan yang terjadi mereka memang benar-benar sengaja, semua sudah dapat Panji tebak dengan baik.“Jadi siapa mereka?” tanya Tira. Ia sudah tidak sabar mengetahui siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarganya.Akhirnya Panji pun memberi tahu siapa orang yang sudah membawa Vano pergi, ia adalah seorang pembunuh bayaran yang bernama James.“James?” tanya Tira.“Iya, Tuan. James S adalah seorang pembunuh bayaran, ia tidak segan membunuh targetnya dengan sadis. Dan itu semua tergantung dari permintaan kliennya,” ujar Panji.“Yang paling pe