Melihat Ibu Mertuanya keluar dari mobil membuat Ayas sempat mematung, karena walaupun kedua orang tua Tira sudah menyetujui pernikahan mereka.
Tetap saja dalam hati dan pikiran Atas masih ada rasa khawatir dan tidak nyaman.
“Ternyata benar kalau kalian ada di sini,” ucap Sisca, pada Ayas dan Tira.
“Mamah mencari kami?” tanya Tira.
Saat itu Ayas benar-benar terlihat kaku seolah-olah seperti sebuah patung hidup, sampai akhirnya Tira menyadarkan dirinya.
“Mi, sadar Mi!” bisik Tira, pelan. Setelah beberapa kali Tira menyenggol Ayas, akhirnya Ayas pun kembali tersadar.
“Eh, Mamih! Eee ...,” ucap Ayas terhenti melihat ke arah langit karena ragu sudah siang atau masih pagi.
“Selamat siang!” balas Mamah Tira, lebih dahulu. Sontak Ayas pun terlihat semakin kikuk di hadapan Ibu Mertuanya.
“I-iya, Mah. Selamat siang,” ucap Ayas, gugup. Seolah tidak berani menatap mata
Mamahnya Gita terus memandangi Gita dan Yoga yang masih berdiri di depan pintu, “Git, ini serius?” tanyanya, bingung. Gita pun tampak bingung harus menjelaskan semuanya mulai dari mana dan tiba-tiba saja Yoga menyelak, “Iya, Tante! Benar sekali, rencananya bulan depan kami akan segera menikah!” sahut Yoga, menyeringai. “Gita, kamu gak hamil, kan?” tanya Mamah Gita, panik. Sontak saja Gita pun juga ikut panik dan langsung mengajak Mamahnya untuk masuk ke dalam rumah, Yoga pun sebagai calon suami Gita juga ikut masuk ke dalam bersama mereka. Lalu Gita dan Mamahnya duduk di sofa yang sama, sementara Yoga duduk di sofa yang ada di seberang meja. Saat itu terdengar langkah kaki sedang menuju ke arah ruang tamu, dan langkah kaki tersebut ternyata berasal dari kaki Papah Gita. “Gita! Kamu kok gak bilang mau main ke sini?” tegur Papah Gita, yang kurang lebih sama dengan Istrinya barusan. Gita memang sudah lama tidak pulang karena peker
Jika diingat-ingat Ayas hanya memiliki kenangan buruk di tempat tersebut, “Sepertinya tempat ini sama sekali tidak berubah?” tanya Ayas.“Jadi kamu masih ingat, ya?” balas TiraAyas melihat ada banyak sekali penjaga di tempat tersebut, karena tempat yang saat ini Ayas datangi adalah rumah yang dulu Tira gunakan untuk menyekap Ayas.Dari mulai gerbang depan hingga rumah utama yang Ayas lewati, para penjaga berdiri dengan menggunakan pakaian serba hitam. “Pi, apa penjaga sebanyak itu masih diperlukan?” tanya Ayas.“Tentu saja perlu, tugas mereka agar keamanan di rumah ini terjamin,” jawab Tira.Ayas mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menoleh ke arah Tira yang sedang mengemudi, “Tapi aku kan, ga akan kabur, Pi!” ucap Ayas.Hahaha!Tira pun langsung tertawa mendengar perkataan Ayas barusan, “Aku tau kalo kamu ga akan kabur, sayang!” balas Tira, menyeringai.&l
Tira keluar bersama dengan Ayas dari dalam kamar hendak menemui Sisca, “Mamah ini kebiasaan deh, ganggu aja!” gerutu Tira.“Papih! Gak boleh gitu sama orang tua!” tegur Ayas, tegas.Ayas sebenarnya juga tidak nyaman dengan kedatangan Sisca— Mamah Tira, tetapi Ayas mencoba untuk bersikap baik dan biasa saja.Tira menggandeng tangan Ayas yang dingin jadi Tira tahu betul perasaan sebenarnya Ayas, “Sayang, kamu sebenarnya—“ ucap Tira, terhenti.Ayas menoleh dan menatap Tira yang tiba-tiba saja berhenti, “Ada apa, Pi?” tanya Ayas, datar.“Ah, gak. Bukan apa-apa!” jawab Tira.Lalu Tira kembali mengajak Ayas untuk menemui Mamahnya yang susah menunggu sejak tadi.Dan saat ini Ayas dan Tira sudah melihat sosok wanita paruh baya dengan dandanan yang glamour, wanita itu tidak lain adalah Sisca— Mamah Tira.“Eum, Mamah kebetulan lewat sini tadi,” ucap
Rumah Tira dan Ayas di Solo terletak di sebuah kawasan elit yang tentu saja tidak sembarangan orang bisa masuk.Dua orang pria dengan jarak agak jauh sedang memerhatikan rumah itu dari kejauhan dengan sebuah perangkat di telinga, “Sepertinya itu memang rumahnya,” ucap pria itu, berbisik.“Iya, ayo kita pergi dan laporkan pada, Bos. Tempat ini dijaga sangat ketat!” balas pria satunya.Mereka pun pergi meninggalkan area sekitar rumah Tira dan Ayas, yang ternyata mereka tidak hanya berdua saja.Sementara itu di dalam rumah Papah dan Mamah Ayas sedang menunggu Vano.Hingga akhirnya Vano pun langsung berlari saat melihat Opa dan Omanya datang, “OPA! OMA!” teriak Vano, berlari menghampiri Opa dan Omanya.Opa dan Oma Vano pun langsung menyambut Vano dengan pelukan yang hangat, “Cucu Oma yang ganteng dari mana?” tanya Sri, memeluk Vano.“Aku habis dari taman main sama Mbak, Oma!” jaw
Mobil yang dikemudikan oleh Tira sudah sampai di depan sebuah gerbang yang sangat besar berwarna hitam.“Ini rumah Mamah kamu, Pi?” tanya Ayas, sambil menatap ke atas mencari ujung dari gerbang besar tersebut.Titt!Gerbang besar itu terbuka secara otomatis, lalu Tira pun memacu mobil yang ia kendarai melewati gerbang besar tersebut.Butuh waktu beberapa menit untuk mencapai bagian rumah utama, walaupun mirip dengan rumah mereka yang di Solo.Tapi rumah Mamah Tira jauh lebih besar dan luas, sampai-sampai Ayas saja tidak henti-hentinya merasa kagum pada tempat tersebut.“Wah ... besar sekali,” gumam Ayas, kagum. Matanya terlihat berbinar-binar.“Punyaku?” sahut Tira, nakal.“Papi apa, sih? Nakal, deh!” balas Ayas, ketua.“Emang punya Papi gak besar?” tanya Tira, memancing Ayas.Ayas yang awalnya terlihat berbinar-binar menjadi cemberut, pipinya mengembang
Saat Ayas dan Tira pergi menjauh dari rumah, kepala pelayan masuk ke dalam rumah.Tuk! Tuk! Tuk!Seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri kepala pelayan, “Apa mereka sudah pulang?” tanya wanita itu, pada kepala pelayan.“Sudah, Nyonya!” jawab kepala pelayan, sambil menunduk.Wanita paruh baya itu memang tidak lain adalah Sisca— Mamah Tira, ia sudah mengetahui kedatangan Putra dan Menantunya.Maklum saja di rumah tersebut banyak sekali kamera pengawas dan penjaga, Sisca menerima laporan jika Tira datang berkunjung. Jadi dia langsung bersembunyi dan meminta kepala pelayan menyambut mereka.Ayas saat ini sedang berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Tira, “Kesepian?” tanya Ayas, sambil mengernyitkan alis.Tira mengangguk tanpa memandang Ayas yang ada di sampingnya, Tira tahu betul bagaimana rasanya kesepian seperti apa yang ia alami selama 4 tahun ini.Melihat Tira seperti itu me
Tim penyelamat segera mengeluarkan Yoga dan Gita dari dalam mobil, suasana hujan masih sangat deras dan sedikit berangin.Beruntung posisi tumbangnya pohon besar tadi tidak merusak sistem keselamatan mobil sehingga airbag pun mengembangkan, bagian yang tertimpa pohon pun hanya bagian mesin mobil yang terlihat jelas mengalami kerusakan yang parah.Yoga masih sedikit sadar dan melihat Gita sudah tidak sadarkan diri, “Gita,” panggil Yoga, lirih dengan kesadaran yang sangat sedikit.Yoga dan Gita lalu dibawa ke rumah sakit terdekat untuk menerima perawatan.“Mereka beruntung pohon itu gak menimpa bagian penumpang,” gumam petugas penyelamatan.Wiu! Wiu!Suara sirine ambulance bersahutan dengan suara hujan, hingga akhirnya ambulance tersebut sudah sampai di rumah sakit terdekat.Setelah tiba di rumah sakit Yoga dan Gita segera menerima perawatan di IGD, mereka lalu dipindahkan ke ruang rawat inap dengan ranjang yang
Malam ini di sebuah hotel yang ada di Solo, Ady sedang berada di sebuah ruangan bersama dengan beberapa orang anak buahnya.“Bos, rumah itu pengamanannya sangat ketat. Kita gak bisa masuk begitu aja,” ucap anak buah Ady.“Gitu aja gak bisa, kalian harus cari cara dong!” marah Ady, kesal pada anak buahnya yang menyerah begitu saja.“Bukan, Bos. Bukan begitu! Ini Bos, Anda bisa lihat sendiri!” balas anak buah Ady, menyerahkan beberapa foto yang ia ambil pada Ady.Setelah Ady melihat foto-foto tersebut ia tampak tersenyum tipis, “Kamu memang hebat, Tira. Membuat penjagaan yang begitu ketat hanya untuk menjaga seorang Bocah,” gumam Ady, merasa terkesan dengan pola pikir Tira yang seperti itu.Namun, dendam Ady jauh lebih besar dari apa yang Tira pikirkan. Karena semua yang ada di dunia ini tidak ada ada yang sempurna, termasuk dengan pengawalan yang Tira lakukan untuk Vano.“Jadi bagaimana, B