Brak!!!
Revan menendang pintu kamar rumah megahnya, karena mendengar suara rintihan dan erangan yang sangat mengganggu telinga.
"Asti!!!" Teriaknya dengan penuh emosi saat melihat istrinya berada di atas ranjang tanpa busana sehelai pun dan dalam dekapan seorang lelaki yang tidak dia kenal. Mereka berdua sama-sama telanjang bermandikan keringat dan sama terkejutnya dengan Revan.
"Re... Revan! Ke-kenapa kau sudah pulang?!" Asti tampak sangat terkejut sambil dengan buru-buru mengambil selimut yang teronggok di tepi ranjang untuk menutupi tubuh polosnya.
Revan memandang istrinya dengan tatapan jijik. Memang pernikahan mereka berdua dulu tanpa rasa cinta, bahkan sampai sekarang mereka tak saling cinta, namun bukan berarti Asti bisa seenaknya mengkhianatinya seperti ini.
Revan tak dapat berkata-kata, dadanya naik turun menahan emosi. Harga dirinya sebagai lelaki sungguh telah di injak-injak oleh Asti -istrinya sendiri-.
Berusaha mencoba menahan amarah yang ingin meledak di kepalanya bagaikan gunung berapi yang hampir meletus, Revan pergi meninggalkan Asti. Berlalu menuju lantai satu rumahnya dan terus berjalan menuju mobil nya yang masih terparkir di halaman depan.
"Revan! Revan! Tunggu!" Asti mencoba mengejar Revan.
Revan hanya diam di dalam mobilnya, menatap lurus ke depan tanpa menoleh pada Asti yang mencoba membuka pintu mobil.
"Kamu mau kemana? kita bisa bicara dulu!"
Revan menarik napasnya sebelum mulai berbicara, "aku tahu kita menikah tanpa cinta. Dan aku tak keberatan jika kita bercerai, secepatnya!"
"Nggak! Nggak boleh! Bisa-bisa aku di coret dari daftar pewaris Papa kalau aku bercerai denganmu. Please Rev, jangan lakukan itu."
"Lalu kau mau aku bagaimana! Jadi lelaki idiot yang diam saja melihat istrinya berselingkuh!" Revan memukul stir mobilnya.
"Aku nggak peduli dengan urusan keluargamu! yang pasti kita akan bercerai!" Revan menginjak pedal gas dan mobilnya pun langsung melaju meninggalkan Asti yang masih diam mematung.
Revan melirik Asti dari kaca spion mobilnya, tak tampak sama sekali penyesalan di wajah cantik itu, dia malah terlihat sangat marah, mungkin karena takut kehilangan kekayaan yang akan di berikan oleh orang tuanya kelak.
Revan mendengus sambil tersenyum sinis, dia merasa hidupnya dua tahun ini sangat sia-sia dan terbuang percuma.
Revan Wirabrata, adalah seorang lelaki paruh baya berwajah tampan dengan hidung yang mancung dan tatapan mata yang tajam, tingginya 178 cm dan sangat atletis. Dia adalah lelaki yang sangat fokus dengan pekerjaannya bahkan sangat jarang meluangkan waktu untuk berkencan dan mencari kekasih. Hingga akhirnya saat kedua orang tuanya menjodohkan dirinya dengan Asti Prameswari Wijaya, anak dari kolega kedua orang tuanya, Revan dengan berat hati menerimanya. Dia hanya tidak mau mengecewakan kedua orang tua yang sangat dia hormati, apalagi Ibu nya sangat menginginkan melihat dirinya menikah. Revan makin tak sampai hati untuk menolak, toh dia tak punya kekasih.Kedua orang tua Revan adalah pasangan guru yang sangat bijaksana dan sederhana. berbeda dengan orang tua Asti yang merupakan orang kaya dan terpandang di kotanya.
Pernikahan Revan dan Asti memang tanpa di dasari cinta, namun Revan adalah lelaki yang memegang janji. Karena dia menerima perjodohan ini, dia berjanji akan menjadi suami yang baik bagi Asti.
Bagaimanapun Revan adalah anak yang sangat menghormati kedua orang tuanya, dia tak pernah mengecewakan mereka berdua.
Berbeda dengan Revan, Asti adalah wanita yang bebas, hidupnya selalu bergelimang harta, senang berkumpul dengan teman-temannya dan paling tak suka di kekang. Dia menyetujui pernikahan ini pun hanya karena dia ingin bebas dari segala tetek bengek peraturan ketat kedua orang tuanya.
Akhirnya pernikahan Revan dan Asti pun terlaksana. Pesta yang sangat meriah di adakan di sebuah ballroom hotel bintang 5, dan itu terjadi 2 tahun yang lalu.
Revan, walau tak menyukai sifat Asti, dia masih berusaha menerima Asti apa adanya. Berusaha menjadi suami yang baik dan berusaha mencukupi kebutuhan Asti yang sangat hedon.
Revan tahu, dia hanya seorang manager di sebuah perusahaan distributor obat di Bandung, pendapatannya memang tak seberapa jika di bandingkan dengan uang saku yang di berikan mertuanya kepada Asti sebelum mereka menikah. Revan pun berusaha bekerja sebaik mungkin untuk menjadi suami yang layak untuk Asti dan membuatnya senang, namun usahanya tetap sia-sia, Asti memang hidup di dunia yang berbeda dengan dirinya, mau berusaha sekuat apapun, Revan tak bisa mengubah sifat alami Asti yang menginginkan kebebasan dan suka berhura-hura.
Namun kesabaran Revan selama dua tahun ini, dibayar dengan perselingkuhan oleh Asti. Dia tak bisa menerimanya.
Harga dirinya sebagai seorang lelaki tak bisa menerima perbuatan Asti.
Revan melajukan sedan hitamnya menuju sebuah hotel, dia ingin tidur, kepalanya masih berdenyut-denyut karena melihat kejadian menjijikan barusan.
Hari ini dia membatalkan meeting dan semua jadwal pekerjaannya karena memang merasa sedikit tak enak badan, namun saat pulang untuk istirahat, dia malah melihat kejadian tak senonoh itu hingga membuat kepalanya makin berdenyut-denyut tak karuan.
Dia akan tinggal di hotel untuk beberapa hari, dan memikirkan rencana hidupnya selanjutnya. Dia tak Sudi kembali ke rumah itu lagi. Dia akan pergi, ya, dia memilih untuk pergi.
***
Kota Solo.
Seorang wanita berparas cantik dan berpenampilan sederhana sedang duduk termenung sambil memandangi kalender duduk yang bertengger di meja kerjanya. Entah sudah berapa kali dia menghela napas sambil memandangi angka-angka yang berjejer di sana."Satu... Dua... Tiga... Huft...." Desahnya.
"Li, kamu belum mau pulang?"Sapaan rekan kerjanya membuyarkan lamunan. Wanita berparas cantik tadi langsung melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan terkejut karena ternyata sudah jam lima sore, waktunya pulang.Buru-buru dia merapihkan meja kerjanya lalu menyambar tas kerjanya dan beranjak dari tempatnya duduk sedari tadi.
Dia harus cepat-cepat pulang dan mampir ke supermarket untuk membeli susu dan pempers.
"Assalamualaikum, Bu Lia pulang...""Walaikumsallam, Amalia? Kamu sudah pulang nak?" Seorang wanita tua, berambut putih dan bertubuh kurus, melirik ke arah pintu untuk melihat putrinya yang baru saja pulang bekerja."Iya Bu, maaf Lia terlambat, mampir ke supermarket dulu tadi," Amalia tersenyum sambil menunjukkan kantong kresek belanjaannya.
"Ibu minta ganti pempers nya nak, sudah penuh," pinta ibunya lirih.
"Iya Bu, ini Lia sudah beli kok." Buru-buru Amelia meletakkan tas kerjanya di sembarang tempat lalu menuju dapur dan menuangkan air panas dari termos ke dalam baskom kemudian mencampurnya dengan sedikit air dingin agar menjadi hangat-hangat kuku.
Tanpa melepas baju kerjanya yang sudah bau kecut, dengan telaten Amalia menyeka tubuh kurus ibunya yang terbaring di atas ranjang lalu mengganti pempers yang memang sudah penuh dan hampir bocor.
Seperti inilah kehidupan seorang Amalia Hapsari, wanita berparas ayu yang sebentar lagi akan berumur 30 tahun namun belum juga memiliki pasangan hidup.
Jangankan untuk memikirkan lelaki, setiap harinya yang selalu dia pikirkan hanyalah kesehatan ibunya. Sudah hampir 3 tahun, Ibunya menderita stroke dan mengalami kelumpuhan. Beliau tak bisa bergerak, tubuh bagian kanannya mati, tak bisa di gerakkan. Amalia lah yang setiap hari merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Amalia adalah anak terakhir dari 3 bersaudara. Kedua Kakak laki-lakinya telah menikah dan hidup dengan keluarganya masing-masing. Mereka berdua terlalu sibuk hingga lupa jika memiliki seorang ibu yang sakit dan adik perempuan yang masih lajang dan di juluki perawan tua. Tapi Amalia tak pernah merisaukan hal itu, dia tak peduli! Dia juga tak ingin berkeluarga jika nantinya suaminya membuatnya melupakan Ibu apalagi jika suaminya nanti enggan membantu dirinya merawat sang Ibu.
Amalia tak ingin ibunya merasa kesepian, biarlah dia jadi perawan tua, tak mengapa. Dia sudah ikhlas dengan kehidupan cintanya yang sudah terlanjur tandus bagaikan gurun pasir yang tak pernah disiram air hujan.
Prioritas nya hanyalah Ibu. Titik.
Setelah selesai menyeka tubuh kurus Ibunya, Amalia dengan segera menyuapinya untuk makan lalu meminumkan beberapa obat yang telah di resepkan oleh dokter.Saat melihat Ibunya telah bersih dan merasa nyaman, barulah Amalia berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang sudah lengket karena keringat.
Setelah merasa segar, dia langsung duduk di sofa yang ada di dekat ranjang sang Ibu, memasang headset dan mulai menonton drama Korea favoritnya. Ya, hanya drama Korea lah pelarian Lia agar merasa bahagia dan terbebas dari rasa kesepian dan kesedihan.
Dia sudah cukup bahagia.
Tlililit.. tlililit...Amalia meraba-raba kasur busa tipisnya, mencari ponsel yang sejak tadi terus-terusan berbunyi. Saat berhasil menemukannya, dia langsung mematikan alarm yang sengaja dia setel di ponselnya.Sudah jam 5 pagi, saatnya dia untuk bangun dan mulai beraktivitas. Amalia harus membersihkan rumah, memasak, menyeka ibunya dan menyuapinya sarapan sebelum dia berangkat bekerja.Buru-buru Amalia bangkit dan mulai berkutat dengan tugas-tugas hariannya di rumah.Hari ini Amalia akan memasak sup ayam dan perkedel kentang, makanan kesukaan Ibu. Amalia berharap hari ini Ibunya akan makan dengan lahap karena beberapa hari ini beliau tampak tak napsu makan.Setelah selesai memasak, dengan cekatan Amalia mengambilkan makanan untuk sang Ibu. Dan mulai menyuapinya."Bu, Lia sudah buatkan sup ayam dan perkedel kentang kesukaan Ibu," ucap Amalia sambil duduk di
"Ntar pulang kerja, kita karaoke yuk!” Ajak Novi pada beberapa staf yang sedang bersiap menyiapkan makan siang. Mereka memang suka membawa bekal dan makan bersama di kantor saat jam istirahat.Berbeda dengan Lia, dia harus buru-buru pulang. Ibunya pasti sudah lapar. Dia harus makan di rumah sambil menyuapi ibunya makan siang dan mengganti pempersnya.Sebenarnya Lia sedikit kewalahan, karena jarak kantor ke rumah lumayan jauh, tapi semua ini harus di lakukan. Lia pernah mencoba memakai jasa perawat, tapi biayanya sangat mahal. Sedangkan dia juga harus rutin membeli obat tiap bulannya belum lagi pempers orang tua harganya tidak murah. Dalam sebulan dia bisa beli 5 kali di tambah obat-obatan. Gajinya sebagai staf admin sangat pas-pasan untuk semua itu, sudah tak ada lebihan sama sekali untuk membayar perawat.
‘Terima kasih.’07.57.“Huft…” Lia menghela napas lega. Lagi-lagi dia baru sampai di kantor pas sudah mepet waktu masuk.“Nggak apa lah, yang penting nggak terlambat,” ucapnya lirih.“Masuk jam segini namanya terlambat Lia!”Amalia melonjak kaget saat mendengar suara baritone yang begitu dekat di telinganya. Secara reflek dia membalikkan badan dan wajahnya menubruk dada bidang lelaki yang berdiri tepat di belakangnya.“Ma.. maaf Pak Revan…”Revan mendengus kesal, “kamu itu harusnya sudah standby minimal pukul 07.45. Lima belas menit sebelum jam kerja!”“I.. iya Pak. Maaf…” Amalia membungkuk berulang kali sambil berjalan pelan menjauhi Revan menuju ruang kerja nya.‘Terima kasih.’Amalia langsung berbali
"Jadi saya menempati rumah ini?” Tanya Revan pada salah satu staf keuangan yang tadi memanggilnya. “Iya Pak, jadi semua Branch Manager yang bertugas, di sewakan rumah oleh perusahaan. Semua akomodasi di biayai oleh perusahaan termasuk mobil inventaris.” “Saya sudah ada mobil sendiri.” “Kalau ada mobil sendiri, berarti nanti perhitungannya perusahaan akan membayar sewa tiap bulannya untuk mobil yang Pak Revan kendarai.” “Oh begitu, oke terimakasih. Nanti malam saya akan mulai pindah ke rumah ini.” “Baik Pak, ini kunci rumah beserta alamat rumah Pak Revan.” Revan menerima kunci rumah barunya. Memang Revan berniat mencari rumah untuk di sewa karena dia masih baru di kota ini dan tak punya tempat tinggal. Selama hampir seminggu dia menginap di hotel yang dekat dengan kantor. “Kamu itu sebenernya butuh uang terus buat apa sih? Be
"Hallo Jamal? Ada apaan?" Revan yang tengah sibuk berbenah di rumah sewaan inventaris kantornya, sedikit kesal sebenarnya mendapatkan telpon dari anak buahnya di luar jam kerja. "Pak Revan di mana? Kita lagi bikin pesta penyambutan buat Pak Revan," ucap Jamal dari seberang. "Pesta?" "Iya, semua sales dan staff admin sudah kumpul semua Pak, Pak Revan bisa datang kan?" "Di mana?" Revan menatap isi rumahnya yang tak terlalu berantakan, ya dia kan hanya membawa satu koper berisi pakaian saja karena semua perabot sudah tersedia dengan lengkap. Revan berpikir sejenak, apakah dia akan datang ke acara itu atau tidak. Sebenarnya dia tak suka keramaian, dia selalu menjauhi pesta-pesta atau ke klub saat di ajak Asti dulu. Mungkin bagi Asti, Revan adalah suami yang membosankan, makanya dia mencari hiburan dengan lelaki lain. "Sial!" Umpat Revan, kesal
Amalia menatap ponselnya yang sudah mati sambil tersenyum.Dia senang karena Pak Revan menelpon dan menyuruhnya datang walaupun ya, dia tak akan mungkin datang.Dia tak pernah datang ke acara kantor yang dilaksanakan setelah jam kerja karena dia tak bisa meninggalkan Ibu lebih lama. Dia tak mau Ibu merasa kesepian, karena orang yang sedang sakit ditambah merasa kesepian itu pasti merasa sangat sedih.Dan jika Ibu nya merasa sedih, akan sulit bagi Amalia untuk menghiburnya nanti.Tak bisa di pungkiri, dalam hati Lia, dia ingin sekali datang ke acara itu. Dia ingin bertemu dengan Pak Revan yang ganteng, walaupun mungkin Pak Revan nggak akan melirik dirinya, si perawan tua.Amalia tersenyum sendiri.
"Rita, pulang kerja nanti temani aku ke mall yuk," Novi mendekati temannya, Rita, admin penjualan yang bertugas mencetak nota penjualan tiap harinya.Rita yang masih tampak sibuk, enggan mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Printer yang ada di sampingnya terus berbunyi dan mengeluarkan nota-nota yang berhasil dia buat."Rita!!" Novi kesal karena dicuekin, dia pun memukul meja kerja Rita."Iyalah cerewet! Aku lagi sibuk ini!" Balas Rita tanpa memandangi temannya."Ngapain sih ke mall?! Pulang kerja bukannya pulang ke rumah ketemu anak, malah mau jalan-jalan!"Rita dan Novi memang berteman sangat dekat, hingga Novi tak pernah marah saat Rita bicara ketus padanya."Anakku juga butuh ayah baru kan? Ini Ibunya lagi usaha…" Novi tersenyum riang sambil kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di depan meja kerja Rita.Rita hanya menggelengkan kepala
"Nggak boleh! Ada orang minta tolong, aku harus bantu!" Dengan membulatkan tekad, Lia melaju menerobos gang gelap itu. Lampu motornya dia tunjukkan ke arah suara minta tolong, dan benar saja ada dua orang lelaki yang tampak mabuk sedang mengganggu seorang wanita. Dan Lia mengenal wanita itu, itu teman kantornya. Walaupun beda divisi tapi Lia tahu dia. Dengan mengumpulkan keberanian, Lia menjalankan motornya dengan kencang dan menyerempet salah seorang pemabuk hingga jatuh, "ayo cepat naik!" Teriaknya. Si wanita yang minta tolong tadi, dengan tergesa-gesa menaiki motor Lia, lalu setelah itu Lia memacu motornya dengan cepat dan meninggalkan gang gelap itu. "Makasih banget ya…" si wanita yang ditolong Lia terus
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd