Tlililit.. tlililit...
Amalia meraba-raba kasur busa tipisnya, mencari ponsel yang sejak tadi terus-terusan berbunyi. Saat berhasil menemukannya, dia langsung mematikan alarm yang sengaja dia setel di ponselnya.
Sudah jam 5 pagi, saatnya dia untuk bangun dan mulai beraktivitas. Amalia harus membersihkan rumah, memasak, menyeka ibunya dan menyuapinya sarapan sebelum dia berangkat bekerja.
Buru-buru Amalia bangkit dan mulai berkutat dengan tugas-tugas hariannya di rumah.
Hari ini Amalia akan memasak sup ayam dan perkedel kentang, makanan kesukaan Ibu. Amalia berharap hari ini Ibunya akan makan dengan lahap karena beberapa hari ini beliau tampak tak napsu makan.
Setelah selesai memasak, dengan cekatan Amalia mengambilkan makanan untuk sang Ibu. Dan mulai menyuapinya.
"Bu, Lia sudah buatkan sup ayam dan perkedel kentang kesukaan Ibu," ucap Amalia sambil duduk di sisi ranjang Ibu.
Ibu tersenyum sambil mulai membuka mulutnya untuk menerima suapan makanan dari Lia.
"Maafkan Ibu ya nak, kamu jadi repot karena harus merawat Ibu."
"Ibu ini bicara apa? Lia nggak repot sama sekali kok," Lia memaksakan senyum cerah untuk menghibur sang Ibu.
"Kapan Sandy dan Toni datang menjenguk Ibu? Apa mereka nggak kangen ya sama Ibu?"
"Mas Sandy dan Mas Toni pasti sedang sibuk Bu. Nanti Lia telpon mereka ya supaya mereka datang "
"Nggak usah! Biarkan saja, jangan di paksa."
Ibu tampak berusaha tegar, tapi Lia tahu jika sang Ibu sangat merindukan kedua kakak laki-lakinya.
Kadang Lia jadi merasa kesal kepada mereka berdua! Memangnya kalau sudah menikah dan memiliki anak dan istri, Ibu bisa di lupakan begitu saja?!
Lia bertekad akan menelpon dan memarahi mereka siang nanti.
"Bu, Lia berangkat dulu ya, sudah jam setengah delapan. Nanti siang saat istirahat, Lia pulang lagi. Ibu baik-baik di rumah ya." Ucap Lia sambil membersihkan beberapa nasi yang terjatuh di kasur.
"Iya, hati-hati."
Amalia mengangguk dan langsung berlari menuju dapur, melahap dua buah perkedel secepat kilat lalu langsung menyambar tas kerjanya dan bergegas berangkat bekerja.
Dia tak akan sempat sarapan, bisa-bisa terlambat nanti.
***
Dengan berlari secepat kilat, Lia meninggalkan motor maticnya di parkiran kantor menuju ruang absen.
'Terima kasih.'
"Huft..." Amalia bernapas lega saat melihat jam digital di mesin absensi menunjukkan pukul 07.59.
Super mepet memang tapi lebih baik kan dari pada terlambat.
Saat akan berbalik menuju ruang kerjanya, tiba-tiba 'bug!' Amalia bertubrukan dengan seorang lelaki bertubuh tinggi dan sangat atletis. Rambutnya tersisir rapih ke belakang, mengenakan kemeja lengan panjang warna biru tua, sangat kontras dengan kulitnya yang putih dan bersih.
"Maaf..." Ucap Amalia lirih.
Lelaki itu hanya memandangnya sekilas lalu buru-buru menempelkan ibu jarinya di mesin absensi.
"Siapa dia?" batin Amalia. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan pria tampan itu. "Sepertinya karyawan baru, tapi berani benar orang baru malah datang terlambat," rutuk Amalia dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya menuju ruang kerjanya.
Baru saja Amalia akan menempelkan bokongnya di kursi, Pak Budi sang manager cabang masuk ke dalam ruang kerjanya dan mengundang seluruh staf administrasi untuk berkumpul di ruang meeting.
"Ada apa ya?" bisik Novi, teman kerja Amalia yang duduk persis di sebelahnya.
Amalia hanya membalas dengan senyum dan mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu.
Semua karyawan, baik staf administrasi, staf gudang bahkan para salesman dan colector sudah berkumpul di ruang meeting. Termasuk lelaki tampan yang berpapasan dengan Amalia di ruang absensi barusan.
Amalia langsung berpikir, pasti semua karyawan di kumpulkan untuk di kenalkan dengan orang baru itu. Tapi dia di bagian apa? Bukankah tidak ada tempat kosong di perusahaan ini?
"Selamat pagi semuanya," ucap Pak Budi dengan lantang agar semua staf nya dapat mendengar dengan jelas. Maklumlah dia tak memakai mikrofon saat bicara.
"Kita berkumpul pagi ini di sini, selain untuk breaving pagi, saya juga ingin mengenalkan karyawan baru di kantor ini. Namanya Pak Revan Wirabrata, beliau ini akan menggantikan posisi saya sebagai branch manager karena saya akan di pindah tugaskan ke kota lain.
"Yaaahh... Kok mendadak sekali Pak?" Tanya salah seorang salesman.
"Ini keputusan dari pusat ya, saya si nurut aja. Saya harap kalian semua dapat bekerja sama dengan baik, buat para salesman di mohon jangan bikin Pak Revan pusing! Supaya beliau ini betah kerja sama dengan kalian yang susah di atur!" Pak Budi mulai wanti-wanti.
Seketika ruang meeting ramai dengan suara tawa para salesman.
Setelah para salesman berhenti tertawa, barulah si manager baru itu bicara dan mulai memperkenalkan diri.
"Selamat pagi semuanya, Saya Revan Wirabrata sebelumnya Saya bekerja di kantor pusat dan mulai hari ini, Saya akan bekerja di kantor cabang Solo. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."
"Boleh tanya nggak Pak?" tiba-tiba Novi mengangkat tangan kanannya dan berceletuk.
"Silahkan," Revan menganggukkan kepala sambil menatap Novi.
"Pak Revan sudah menikah belum?"
"Huuuu!!" Seluruh karyawan di ruang meeting kompak berseru. Walaupun mungkin beberapa karyawan cewek juga penasaran termasuk Amalia.
Namun Revan sendiri tampak enggan menjawab pertanyaan dari Novi.
"Di lingkungan kerja, harap tanyakan masalah pekerjaan saja ya," jawabnya akhirnya.
"Sudah! Ayo kembali bekerja semuanya!" Pak Budi berusaha menenangkan karyawannya yang mulai riuh.
"Kan penasaran aku tuh..." Celetuk Novi lagi, dia tampak masih sangat penasaran dengan status manager barunya yang sangat tampan.
Maklumlah Novi memang sedang mencari pasangan, dia sudah menjanda selama dua tahun dan harus menghidupi satu anak di usia 27 tahun.
"Andi mau di kemana-in woi!" Seru Jamal, salah seorang salesman.
"Tanya doang masa nggak boleh," ucap Novi lagi sambil tersenyum. Matanya terus menatap wajah tampan Revan dan enggan berpaling.
Revan tampak kurang nyaman dan berusaha memalingkan wajahnya pada Pak Budi dan mengajaknya berbicara.
Setelah selesai breafing, semua karyawan kembali ke aktivitas nya, termasuk Lia. Dia dan teman-temannya berjalan menuju ruang kerjanya dan duduk di kursinya masing-masing.
Berbeda dengan Novi, dia masih saja asyik berdiri di ambang pintu sambil sesekali melongok ke ruang manager. Dia masih ingin menikmati wajah tampan manager barunya.
"Kerja! Kerja! Jangan ngelamunin si manager baru mulu!" Gerutu Jamal sambil memasuki ruang administrasi.
"Rese banget sih! Suka-suka aku dong!" Ketus Novi.
"Kerja dulu! Mana ini tagihan ku! Nanti kalau kerjaan sudah beres baru lanjutin sonoh! Keburu siang tau!" Jamal makin kesal. Hari sudah semakin siang, dia harus buru-buru keliling ke beberapa toko tapi tagihannya belum juga selesai di buat oleh Novi.
"CK! Orang mau cari gebetan aja susah banget! Emangnya kamu mau tanggung jawab kalau aku jadi perawan tua dan nggak laku-laku gara-gara nggak juga dapat gebetan baru!" Novi kesal sambil lalu menghempaskan bokongnya di kursi dan mulai berkutat dengan komputernya untuk membuat tagihan yang akan di bawa Jamal.
Deg! Jantung Lia serasa berhenti berdetak sekejap. Ucapan Novi seperti di tujukan kepada dirinya, tapi dengan segera Lia mencoba menghilangkan perasaan yang mengganggunya itu.
"Perawan tua? Sudah punya anak satu, perawan dari mana?!" Jamal terkekeh.
"Aku itu udah janda 2 tahun! Sudah rapet lagi ini kaya perawan tau!" Novi menjawab sambil terkekeh walaupun matanya masih tetap fokus ke monitor komputernya.
Amalia berusaha lebih berkonsentrasi pada pekerjaannya tanpa memperdulikan ucapan Novi. Mungkin dia yang terlalu sensitive. Amalia memang perawan tua, bahkan dua hari lagi umurnya genap 30 tahun dan dia belum juga menikah. Jangankan menikah, pacar saja belum punya sampai sekarang.
"Lia, tagihan ku sudah jadi?" tiba-tiba Rohman dengan sopan mendekati Lia dan bertanya, dia adalah salah satu salesman yang bertugas membawa tagihan dari Lia.
"Oh, sudah Mas." Lia menyerahkan segepok nota dan tagihan yang akan di bawa Rohman.
"Tolong kalau ketemu Mas Guntur di ruang salles, suruh kemari ya. Tagihannya belum di ambil nih."
"Siap!" Jawabnya sambil berlalu.
Amalia memang termasuk staf admin Inkaso yang gesit. Semua tagihan sales yang di bawakan hari ini pasti sudah dia selesaikan kemarin sore, agar para sales nya nggak keteteran dan bisa langsung berangkat bekerja pagi-pagi. Sangat berbanding terbalik dengan Novi yang sangat santai.
Banyak sales yang memuji betapa cekatan dan rajinnya Lia, dan itu membuat Novi sedikit kesal. Dia menganggap Lia hanya cari muka di hadapan semua orang. Makanya Novi sering menyindir ketidakmampuan Lia dalam mendapatkan pasangan.
Tapi Lia sudah kebal. Umurnya hampir 30 tahun dan dia sudah cukup dewasa untuk bisa menahan emosi pada partner yang sudah bekerja kurang lebih 3 tahun bersama dirinya.
Mungki perasaan Lia sudah mati rasa, mungkin saja.
"Ntar pulang kerja, kita karaoke yuk!” Ajak Novi pada beberapa staf yang sedang bersiap menyiapkan makan siang. Mereka memang suka membawa bekal dan makan bersama di kantor saat jam istirahat.Berbeda dengan Lia, dia harus buru-buru pulang. Ibunya pasti sudah lapar. Dia harus makan di rumah sambil menyuapi ibunya makan siang dan mengganti pempersnya.Sebenarnya Lia sedikit kewalahan, karena jarak kantor ke rumah lumayan jauh, tapi semua ini harus di lakukan. Lia pernah mencoba memakai jasa perawat, tapi biayanya sangat mahal. Sedangkan dia juga harus rutin membeli obat tiap bulannya belum lagi pempers orang tua harganya tidak murah. Dalam sebulan dia bisa beli 5 kali di tambah obat-obatan. Gajinya sebagai staf admin sangat pas-pasan untuk semua itu, sudah tak ada lebihan sama sekali untuk membayar perawat.
‘Terima kasih.’07.57.“Huft…” Lia menghela napas lega. Lagi-lagi dia baru sampai di kantor pas sudah mepet waktu masuk.“Nggak apa lah, yang penting nggak terlambat,” ucapnya lirih.“Masuk jam segini namanya terlambat Lia!”Amalia melonjak kaget saat mendengar suara baritone yang begitu dekat di telinganya. Secara reflek dia membalikkan badan dan wajahnya menubruk dada bidang lelaki yang berdiri tepat di belakangnya.“Ma.. maaf Pak Revan…”Revan mendengus kesal, “kamu itu harusnya sudah standby minimal pukul 07.45. Lima belas menit sebelum jam kerja!”“I.. iya Pak. Maaf…” Amalia membungkuk berulang kali sambil berjalan pelan menjauhi Revan menuju ruang kerja nya.‘Terima kasih.’Amalia langsung berbali
"Jadi saya menempati rumah ini?” Tanya Revan pada salah satu staf keuangan yang tadi memanggilnya. “Iya Pak, jadi semua Branch Manager yang bertugas, di sewakan rumah oleh perusahaan. Semua akomodasi di biayai oleh perusahaan termasuk mobil inventaris.” “Saya sudah ada mobil sendiri.” “Kalau ada mobil sendiri, berarti nanti perhitungannya perusahaan akan membayar sewa tiap bulannya untuk mobil yang Pak Revan kendarai.” “Oh begitu, oke terimakasih. Nanti malam saya akan mulai pindah ke rumah ini.” “Baik Pak, ini kunci rumah beserta alamat rumah Pak Revan.” Revan menerima kunci rumah barunya. Memang Revan berniat mencari rumah untuk di sewa karena dia masih baru di kota ini dan tak punya tempat tinggal. Selama hampir seminggu dia menginap di hotel yang dekat dengan kantor. “Kamu itu sebenernya butuh uang terus buat apa sih? Be
"Hallo Jamal? Ada apaan?" Revan yang tengah sibuk berbenah di rumah sewaan inventaris kantornya, sedikit kesal sebenarnya mendapatkan telpon dari anak buahnya di luar jam kerja. "Pak Revan di mana? Kita lagi bikin pesta penyambutan buat Pak Revan," ucap Jamal dari seberang. "Pesta?" "Iya, semua sales dan staff admin sudah kumpul semua Pak, Pak Revan bisa datang kan?" "Di mana?" Revan menatap isi rumahnya yang tak terlalu berantakan, ya dia kan hanya membawa satu koper berisi pakaian saja karena semua perabot sudah tersedia dengan lengkap. Revan berpikir sejenak, apakah dia akan datang ke acara itu atau tidak. Sebenarnya dia tak suka keramaian, dia selalu menjauhi pesta-pesta atau ke klub saat di ajak Asti dulu. Mungkin bagi Asti, Revan adalah suami yang membosankan, makanya dia mencari hiburan dengan lelaki lain. "Sial!" Umpat Revan, kesal
Amalia menatap ponselnya yang sudah mati sambil tersenyum.Dia senang karena Pak Revan menelpon dan menyuruhnya datang walaupun ya, dia tak akan mungkin datang.Dia tak pernah datang ke acara kantor yang dilaksanakan setelah jam kerja karena dia tak bisa meninggalkan Ibu lebih lama. Dia tak mau Ibu merasa kesepian, karena orang yang sedang sakit ditambah merasa kesepian itu pasti merasa sangat sedih.Dan jika Ibu nya merasa sedih, akan sulit bagi Amalia untuk menghiburnya nanti.Tak bisa di pungkiri, dalam hati Lia, dia ingin sekali datang ke acara itu. Dia ingin bertemu dengan Pak Revan yang ganteng, walaupun mungkin Pak Revan nggak akan melirik dirinya, si perawan tua.Amalia tersenyum sendiri.
"Rita, pulang kerja nanti temani aku ke mall yuk," Novi mendekati temannya, Rita, admin penjualan yang bertugas mencetak nota penjualan tiap harinya.Rita yang masih tampak sibuk, enggan mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Printer yang ada di sampingnya terus berbunyi dan mengeluarkan nota-nota yang berhasil dia buat."Rita!!" Novi kesal karena dicuekin, dia pun memukul meja kerja Rita."Iyalah cerewet! Aku lagi sibuk ini!" Balas Rita tanpa memandangi temannya."Ngapain sih ke mall?! Pulang kerja bukannya pulang ke rumah ketemu anak, malah mau jalan-jalan!"Rita dan Novi memang berteman sangat dekat, hingga Novi tak pernah marah saat Rita bicara ketus padanya."Anakku juga butuh ayah baru kan? Ini Ibunya lagi usaha…" Novi tersenyum riang sambil kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di depan meja kerja Rita.Rita hanya menggelengkan kepala
"Nggak boleh! Ada orang minta tolong, aku harus bantu!" Dengan membulatkan tekad, Lia melaju menerobos gang gelap itu. Lampu motornya dia tunjukkan ke arah suara minta tolong, dan benar saja ada dua orang lelaki yang tampak mabuk sedang mengganggu seorang wanita. Dan Lia mengenal wanita itu, itu teman kantornya. Walaupun beda divisi tapi Lia tahu dia. Dengan mengumpulkan keberanian, Lia menjalankan motornya dengan kencang dan menyerempet salah seorang pemabuk hingga jatuh, "ayo cepat naik!" Teriaknya. Si wanita yang minta tolong tadi, dengan tergesa-gesa menaiki motor Lia, lalu setelah itu Lia memacu motornya dengan cepat dan meninggalkan gang gelap itu. "Makasih banget ya…" si wanita yang ditolong Lia terus
“Permisi...” Anita masuk ke ruang admin di jam istirahat di hari berikutnya. “Hari ini kamu juga pulang Lia?” tanyanya saat melihat Lia masih sibuk di meja kerjanya. “Iya Nit, jam berapa ini? Kok kamu udah mau istirahat aja.” Lia masih sibuk mengetik tanpa memperhatikan jam. Hari ini Novi berangkat meeting ke Semarang bersama Pak Revan, dan tagihannya belum beres sama sekali. Padahal Pak Revan sudah wanti-wanti agar dia menyelesaikan pekerjaannya, tapi Novi memang nggak bisa bekerja dengan cepat, orangnya terlalu santai. Akhirnya semua beban kerja nya diambil alih oleh Lia selama dua hari ini. “Aku kan meeting juga demi gantiin kamu, jadi pekerjaan ini juga kamu harus bantuin kan. Itu baru adil namanya,” uca
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd