“Aku hamil.”
Sakit. Itu yang dirasakan Aletta saat melihat seorang lelaki yang berdiri tepat di hadapannya, hanya mematung. Lelaki yang tak ia sangka akan menunjukan reaksi sekasar ini. Aletta mengingat jelas, hari dimana mereka melakukan untuk pertama kalinya. Janu berjanji, bahwa lelaki itu akan bertanggung jawab. Janu juga menambahkan, kalau hanya dengan melakukan itu hubungan mereka akan bertambah awet.
Namun, Aletta Viona Radella. Seorang gadis yang memiliki popularitas di sekolah sebagai salah satu dari deretan wania cantik itu, sepertinya terlalu naif untuk percaya pada perkataan Janu. Pada kenyatannya, lelaki itu tidak lebih dari anak remaja yang sedang berada di puncak pubertasnya. Seharusnya Aletta sadar akan hal itu sejak beberapa hari yang lalu, ketika ia memergoki Janu tengah bercumbu dengan gadis lain di toilet.
Hanya karena cinta. Hanya karena janji manis yang terbukti busuk, lelaki itu berikan padanya. Aletta menutup mata akan kesalahann besar itu. Sebaliknya, ia justru mengajak Janu untuk main ke rumahnya yang selalu kosong dan melakukannya lagi. Memberikan kembali seratus persen kepercayaannya. Kalau di ingat ingat, malam itu Janu bahkan tidak menjelaskann tentang kejadian itu secara jelas.
Janu hanya sibuk meminta maaf. Lelaki itu mengucapkannya berpuluh-puluh kali, walaupun Aletta tidak bisa merasakan adanya penyesalan dalam kata maaf tersebut. Hal seperti itu memang baru pertama kali terjadi pada hubungan keduanya yang sudah berjalan hampir satu tahun. Namun, karena perilaku Ayahnya yang suka bermain wanita sejak Aletta kecil. Perasaan kecewa itu jutru membuatnya merasa muak.
Bayangkan betapa hebatnya Janu menghipnotis Aletta dengan banyak ungkapan manis, sehingga gadis itu bisa memaafkan Janu. Aletta bahkan tidak bisa memaafkan Ayahnya sendiri, tapi Janu bisa membuat Aletta memberi pengampunan dengan mudah. Bayangkan juga betapa hancurnya Aletta saat ini, karena di hadapi dengan fakta bahwa yang Janu ucapkan kemarin hanyalah sebuah bayaran receh untuk Aletta agar ia mau memberi izin Janu untuk menggunakan tubuhnya. Fakta bahwa, memaafkan Janu adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan.
Kini, Aletta merasa tidak ada alat ukur apapun yang sanggup untuk menghitung seberapa besar penyesalannya. Juga seberapa ia benci pada Janu dan dirinya sendiri. Serta bayi di perutnya, yang kehadirannya tidak Aletta inginkan.
“J?” panggil Aletta dengan nada frustasi. “Ngomong dong, jangan diem aja,” lanjut gadis itu, parau. Matanya yang sembab menunjukan kalau air matanya sudah habis karena terus menangis beberapa hari belakangan ini.
“Kamu bercanda, kan?” tanya Janu, menatap Aletta dengan sorot penuh harap.
Sayangnya, Aletta menggeleng. Gadis itu mengeluarkan beberapa alat penguji dari saku jaket yang pagi ini ia gunakan. Hendak menunjukan pada Janu, bahwa ucapannya sudah Aletta buktikan sendiri berkali kali di rumah.
Melihat gerak gerik pacarnya, Janu sontak melirik ke sekitar dengan was was. Keduanya sedang berada di sebuah warung belakang sekolah yang kini keadaannya bisa terbilang cukup ramai. “Lo gila?!” tanya Janu, setengah memekik. Dengan kasar tanganya meraih alat tersebut dari tangan Aletta, yang lalu ia masukan ke saku jaketnya. “Kita obrolin ini pulang sekolah, oke? Nanti aku ke rumah kamu,” kata Janu dengan volume suara yang hampir seperti berbisik.
“Engga,” tolak Aletta, membuat mata sang lawan bicara memutar. “Aku gak bisa duduk tenang sampai nanti sore, J. Jawab aku sekarang, aku harus gimana?!” lanjut Aletta.
“Pelanin suara lo, Aletta. Orang orang bisa denger!” sentak Janu, melirik sekitar. Kali ini, Janu mengambil satu langkah mendekat. Kemudian, ia meraih kedua bahu Aletta. Memaksa gadis itu untuk saling mengunci tatapan dengan miliknya. “Pokoknya, sekarang kamu ke kelas. Kita selesain nanti di rumah, Oke? Nurut ya?” tutur Janu berusaha se tenang mungkin.
“Enggak mau,” tolak Aletta masih sama. “Aku mau kamu jawab sekarang,” kekeuhnya. Aletta tidak bisa menahan rasa resah di dadanya, lagi. Bayi itu akan tumbuh setiap harinya, perutnya akan semakin membuncit. Terlebih badannya yang tinggi dan kurus, akan membuat perubahan kecil pada tubuhnya terlihat dalam waktu yang lebih singkat dari seharusnya.
Mendengar itu, Janu menghentakan kakinya kesal. “Kita gamungkin omongin itu disini, Aletta!” sungut Janu, kesal.
“MUNGKIN!” teriak Aletta, menjadi alasan perhatian pengunjung lain terfokus pada keduanya.
Menyadari itu, Janu mengusap wajahnya dengan kasar. “Shit.” umpat Janu.
Lelaki itu lupa bahwa Aletta adalah gadis dengan sifat keras kepala yang tinggi. Sulit baginya untuk meyakinkan sesuatu yang berkebalikan dengan apa yang gadis itu inginkan atau sesuatu yang Aletta percayai.
Sama halnya dengan Aletta. Janu juga memiliki sifat keras yang tidak kalah tinggi. Terbukti dengan rahang Janu yang kini mengeras karena Aletta tidak mau mendengarkannya. “Jangan bikin aku marah, Ta,” Janu memperingati, tatapannya perlahan terasa semakin menusuk.
“Aku Cuma kamu mau denger kamu bilang, kamu bakal tanggung jawab, J. Udah itu doang!” desak Aletta, gemas sendiri.
Alih alih menjawab, Janu justru berkelit. “Iya, kita obrolin nanti di rumah-“
“Iya apa?” serang Aletta, memotong ucapan Janu. Di hadapannya, Janu kembali membeku di tempat. “Ayo ngomong! Iya apa?!” tanya Aletta, dengan penuh penekanan. “Ko diem? Tinggal ngomong, J. Kamu tadi udah dengerkan mau aku apa? Kalau kamu ngomong, aku bisa tenang. Aku bisa nunggu sampe kita pulang! Semudah itu-“
“Aku gabisa,” sela Janu, membuat tubuh Aletta melemas seketika. “Aku gabisa tanggung jawab, Ta,” jelas lelaki itu melanjutkan.
Aletta, terkekeh sinis. “Kamu gila?” tanyanya, hampir tak percaya.
“Engga,” sahut Janu. “Kamu yang gila, Ta. Kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu gak cari obat atau lakuin hal yang bisa bikin janin di perut kamu mati?!”
Mendengar itu, Aletta hampir saja ambruk ke lantai jika saja tangannya tidak bertumpu pada tembok. Mati? Janu yang katanya mencintai Aletta, dan akan melakukan apapun untuk hubungan mereka agar terus bertahan hingga mereka dewasa nanti. Ingin Aletta membunuh calon bayinya sendiri? Calon bayi mereka? Hasil dari buah cinta mereka sendiri?
Dari pada menangis, Aletta memilih untuk tertawa saat ini. Menertawakan bagaimana semesta lagi lagi menempatkannya di situasi yang di rasa sulit untuk ia lewati. Ia sudah tidak memiliki Ibu. Ayah kandungnya bahkan menikah lagi, dan hanya mengirim uang setiap bulan untuk Aletta yang hidup sendiri.
Dan kini, satu satunya sumber kebahagiaan Aletta. Satu satunya tempat Aletta bersadar dan menjadi salah satu alasan untuk Aletta bertahan hidup, juga harus mematahkan hatinya?
“Kalau gitu, kenapa kamu gak bunuh aja aku?” tuntut Aletta, dengan sebuah kekehan yang terdengar di tengah basahnya pipis gadis itu. “Atau, kamu mau liat aku bunuh diri aku sendiri? Itu yang kamu mau?”
Akan seperti apa jawaban Janu? Dan apa yang lelaki itu lakukan, ketika melihat Aletta bergerak cepat mengambil sebuah gunting yang tergeletak tak jauh dari posisinya?
Janu harus berterimakasih pada Abin. Atau lengkapnya, Bintang. Gadis dengan kacamata bulat yang mendapat predikat sebagai murid terbaik di satu angkatan.Abin, adalah satu satunya teman yang Aletta punya. Walaupun dari luar penampilan mereka tidaklah cocok. Faktanya, hanya Abin-lah yang berhasil menarik gadis itu untuk pulang alih alih terus menekan Janu untuk menjawabnya.Mengenai kehamilan Aletta, tentu saja Abin tau. Hal itu benar benar terlihat jelas untuk Abin, bahkan sebelum Aleta memeriksanya secara resmi. Mudah saja. Aletta yang biasa selalu menggerai rambutnya, akhir akhir ini sering di cepol asal asalan. Pipi Aletta yang biasa merah merona karena make up tipis yang selalu gadis itu gunakan sehari hari, tiba tiba tampak pucat. Aletta bahkan tidak menggunakan pensil alis. Dan yang paling mencolok, akhir akhir ini Aletta suka sekali memakai jaket kebesaran yang sebagian besar itu milik Janu.Abin yakin selain dirinya, banyak teman sekelasnya yang juga mer
Untung perama kalinya, Aletta terkejut akan harapannya yang menjadi kenyataan. Yaitu, Abin benar. Tak lama dari Aletta sampai di rumah, Janu tiba tiba datang dengan sorot penuh penyesalan. Tanpa basa basi, lelaki itu membawa Aletta ke dalam pelukannya. Ia menangis. Hatinya teriris melihat betapa berantakannya Aletta, dengan mata sembabnya. Belum lagi karena rasa sesal yang menghantui pikirannya.Di saat bersamaan, tangis Aletta ikut meledak. Dalam hatinya, ia bersyukur karena Janu benar-benar datang. Hampir lima belas menit pelukan itu bertahan. Kedua kini duduk berhadapan di sofa. Dengan jemari Aletta yang lelaki itu bungkus dengan kedua tangannya.“Maafin aku, maafin kata-kata aku,” kata Janu, hampir terdengar seperti berbisik. Kepala lelaki itu menunduk, tak kuasa menatap Aletta di hadapannya.Untuk pertama kalinya, Aletta bisa merasakan penyesalan dalam ucapan maaf Janu. Buru buru ia mengangguk. Tangan kirinya yang terbebas, ia gunakan untuk meny
05.11Fokus Aletta tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Bahkan ketika cahaya mulai menyelinap masuk melalui sela sela gorden di kamarnya. Gadis itu masih setia menunggu Janu untuk melakukan usaha, sekecil apapun bentuknya.Sepeninggalnya Janu tadi malam, Aletta sedikit melunak. Ia ingin menghubungi Janu namun rasanya enggan. Entah atas dasar apa hingga ia sengaja menjadi bodoh, untuk terus berharap pada lelaki seperti Janu. Setelah dua kali lelaki itu mengecewakannya. Setelah dua kali lelaki itu berkata bahwa ia tidak bisa menjanjikan apapun pada Aletta.Iya, bodoh dan juga naif. Hal ini juga bisa saja menjadi alasan mengapa Janu tidak berbuat banyak. Karena lelaki itu tau, Aletta akan selalu menerimanya. Aletta akan rela mempertaruhkan kewarasannya demi Janu walau lelaki itu bertingkah seenaknya. Walau lelaki itu tidak menjanjikan apapun atau bahkan jika lelaki itu lari dari jangkauan Aletta.Pada akhirnya, Aletta akan tetap kekeuh akan perannya sebaga
Tanpa menunggu lagi, Javier langsung mengiyakan ajakan Aletta detik itu juga. Sepanjang perjalanan menuju sebuah kafe yang Aletta usulkan. Isi kepala Javier tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan Aletta bersangkut pautan dengan masalah yang sedang Janu hadapi. Terlebih fakta bahwa Aletta kini mengajaknya bertemu di hari sekolah. Hanya butuh tujuh menit dari sepuluh menit yang seharusnya Javier tempuh untuk sampai ke tempat tersebut. Dengan buru buru, Javier turun dari mobilnya. Matanya celingkungan menatap beberapa meja yang ada di ruangan bernuansa kayu tersebut. “Kak!” sapa seorang gadis dengan seragam sekolah yang ia tutupi dengan sebuah jaket hitam yang tanpa gadis itu ketahui, bahwa itu jaket itu milik Javier yang tertinggal. Bahkan saat baru sampai di rumah, Javier sempat mencari keberadaannya.
“Jav, lo denger gua gak, sih?”Javier terhentak saat suara Jordy meninggi. Ia buru-buru menggeleng, mengeluarkan fokusnya dari lamunan.Di hadapannya, Jodry menyerit curiga. Tak biasanya manusia yang selalu perfectionist seperti Javier melamun di saat seperti ini. Pasalnya, mereka tengah membahas perencanaan yang cukup penting untuk pembukaan perusahaan rintisan mereka yang akan di berlangsungkan dalam kurun waktu kurang dari seminggu lagi. Perasaan Jordy begitu menggebu-gebu, dan Javierpun harusnya seperti itu.Perusahaan yang akan Jordy dan Javier dirikan ini, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, saat mereka menyandang status sarjana. Namun karena tidak mendapat izin dari Kala –Ayah Javier- mereka memutuskan melanjutkan pendidikan alih-alih memulai. Walaupun begitu, mereka menyicil beberapa aspek yang bisa mereka lakukan selagi berkuliah. Tak jarang mereka kewalahan, tidak tidur, juga merugi karena mencoba-coba b
Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Javier mungkin seharusnya mengirim pesan terlebih dahulu pada Aletta sebelum mendatangi rumahnya. Dengan begitu, dia tak akan terjebak dalam keadaan canggung saat menemukan Aletta sedang menonton film dengan Hanan, Fatan, Abin sedangkan dirinya membawa sebucket mawar mereah. Dengan cengiran yang di paksakan, Javier melangkah masuk ke dalam karena Abin mempersilahkannya. Wajah sang pemilik rumah tampak tak setuju dengan itu, namun tetap membiarkan Javier hingga mereka duduk di sofa yang sama. Di sebrang keduanya, Fatan dan Hanan tak bisa melepaskan perhatian mereka dari bucket yang Javier pegang. Entah apa yang mereka sedang pikirkan yang jelas itu bukan sesuatu yang baik. Mengabaikan itu, Javier menoleh ke arah Aletta yang mengabaikannya dengan sengaja. “Ta, saya beli ini buat kamu.” Javier mengulurkan bucket tersebut pada Aletta.Untuk beberapa saat, Aletta memandang Javier dengan bunganya secara bergantian. Mulutnya sibuk mengunyah popcorn dengan sorot
Javier mengambil mengambil nafas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu yang sedari tadi dia pegang. Ada sedikit perasaan kesal terhadap Jordy, yang belum pergi dari hatinya. Adapun begitu, Javier tetap harus profesional. Pertengkaran seperti ini merupakan resiko yang harus dia terima karena bekerja dengan seseorang yang sudah begitu mengenalnya. Cekcok, bukan sesuatu yang harus dianggap baru. Terlebih masalah kemarin memang didasari dengan kesalahannya sendiri. Pemandangan Jordy yang tengah membaca kertas di kursi kerjanya, menyambut kedatangan Javier. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun, selain lirikan mata tak minat. Mungkin, Jordy juga masih tenggelam dari kekecewaanya mengenai gagalnya proyek mereka. Hilangnya investor besar, akan mengharuskan mereka memutar kembali otak untuk merombak segala susunan rencana. Pun, tak lupa dengan harapan besar yang mereka sudah taruh. Javier sadar betul, mereka tidak bisa bekerja jika em
Pagi harinya, Aletta tidak menemukan Javier di manapun. Lelaki itu menepati ucapannya, yang justru membuat Aletta merasa sedih. Dia tak bisa berbohong, kalau ada sedikit di bagian hatinya yang berharap Javier berusaha sedikit lagi. Walaupun jawabannya akan tetap sama, Aletta ingin egonya sedikit dipenuhi. Masih dengan wajah bantalnya, Aletta mendekati sofa dimana Javier tertidur semalam. Disana, selimut yang Aletta berikan sudah terlipat rapih di atas bantal. Aletta juga tidak melihat gelas berisikan teh hangat yang tadi malam ia hidangkan. Javier pasti telah mencucinya sebelum lelaki itu pergi. Bertanggung jawab, memang akan selalu menjadi sifat khas lelaki yang masih berstatus suaminya tersebut. Dengan satu tarikan nafas panjang, Aletta kini menyimpulkan bahwa mereka telah selesai. Tidak akan ada lagi kejadian manis yang memang tak seharusnya terjadi diantara mereka. Entah dalam bentuk perhatian kecil atau sekedar Javier yang menemanin
Untuk kedua kalinya, Aletta dikejutkan oleh pemandangan Javier yang mabuk berat. Kali ini, lelaki itu datang ke rumahnya dengan taxi. Lelaki itu berjongkok, menyembunyikan wajahnya di kedua tangan yang ia lipat di atas kaki. Sembari itu, Aletta membayar taxi terlebih dahulu. Baru setelahnya, Aletta ikut terduduk di samping Javier. Dia bingung. Tidak seperti saat itu, Aletta tidak mau membawa Javier masuk kali ini. Ini bukan rumah Javier, tak seharusnya Aletta membawa masuk orang asing terlebih banyak bayangan Janu di dalamnya. Aletta hanya akan merasa seperti ia sedang berselingkuh, di saat ayah dari bayinya entah dimana. Sudah sepuluh menit berlalu, belum juga ada pergerakan apapun dari posisi Javier. Hanya sesekali, tubuh Javier bergetar karena dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya. Lelaki itu hanya dibaluti kemeja tipis. Jasnya ia pegang hingga bagian bawahnya terkena tanah. Rambut Javier berantakan, seakan sesuatu telah menimpanya. Entah itu p
Terhitung, sudah tiga hari sejak hari dimana Javier pergi begitu saja setelah mendengar permohonan Aletta. Lelaki itu tidak berbalilk, ketika Aletta meminta jawabannya. Aletta hendak mengejar, namun rasa sakit di perutnya menghentikan gadis itu.Javier tidak menghubungi Aletta dan Aletta tak peduli akan itu. Hari kemarin, membuat Aletta berfikir bahwa memang dirinya ditakdirkan untuk sendiri. Mungkin, memang ini jalan yang terbaik untuk Aletta juga Javier. Demi membatasi perasaan mereka, agar Aletta bisa tetap menunggu Janu tanpa merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang janggal tanpa disengaja. Kini, dengan sang jabang bayi Aletta dengan santai menikmati sarapannya seperti biasa. Dengan tontotan pagi kesukaannya, juga sebuah buku kecil berisikan beberapa tulisan asal. Disana, Aletta menuliskan beberapa kemungkinan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Hal itu Aletta dapatkan dengan bantuan Abin, Fatan, juga Hanan dengan banyak pertimbangan. Tabungan Ale
Me : Maaf malam ini saya tidak akan pulang [ read] Javier mnyeritkan alis, saat menyadari pesannya tidak Aletta balas. Masih dengan posisi tertidur di sofa, dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Kemarin, Javier pergi ke rumah Felly untuk berbincang. Tidak hanya dirinya, ia juga mengajak Jordy. Felly yang mengundang Javier. Gadis itu ingin menunjukan pada Javier bahwa bukan tidak mungkin untuk mereka berteman. Even, setelah empat tahun mereka dan juga apa yang Javier perbuat. Justru menurut Felly, akan disayangkan rasanya jika mereka saling menjauh hanya karena kata putus. Hubungan mereka lebih dari itu. Masih banyak hal yang bisa jadi alasan mereka bertemu atau berbincang selain asmara. Mereka bertiga berbincang banyak. Walaupun Jordy tampak asing dan banyak diam, karena merasa tak nyaman dengan suasana yang menariknya ke masa lalu itu. Bagi lelaki itu, melihat Felly dan Javier berbincang selayknya teman adalah sesuatu yang t
Jam sudah meunjukan angka tujuh malam. Aletta masih di rumah sakit dengan Abin, Fatan dan Hanan. Mereka yang membawa Aletta ke rumah sakit. Sayangnya hingga kini, Aletta maupun Abin sama sekali belum menerima panggilan dari Javier. Abin sempat ingin menghubungi Javier terlebih dahulu. Namun, Aletta melarangnya. Menurut gadis itu, Javier seharusnya merasa bersalah dan menghubunginya terlebih dahulu bukan sebaliknya. Aletta juga mengira Javier belum pulang ke rumah dan menyadari ketidakhadiran Aletta disana. Atau setidaknya, lelaki itu bisa mendapati darah yang berceceran di lantai hingga pintu rumah. Hanan dan Fatan berkali-kali menanyakan hal yang sama. Haruskah mereka menghubungi Javier, karena fakta Aletta yang harus dirawat inap untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jawaban Aletta masih sama. Bisa jadi Javier kini sedang sibuk karena panggilan mendadak dari kantor. “Kalau mau pulang, pulang aja lu berdua. Aletta biar sama gue.” Abin meliri
Javier memang berniat untuk pergi ke gym, seperti hari libur biasanya. Mobilnya sudah sampai di parkiran, bersamaan dengan kedatangan mobil yang ia hafal betul pemiliknya. Javier lupa, ia mendaftar ke gym terebut karena seseorang. Felly. Dengan pakaian olahraganya yang bewarna abu senada, terpaku melihat Javier dari kursi pemudinya. Walau canggung, Javier tersenyum seraya melambaikan tangan. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Javier maupun Felly tidak ada yang memulai percakapan setelah hari itu. Mereka sama-sama diam karena memikirkan posisi Aletta. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan cara tak terduga hari ini. Seketika, Javier jadi lupa masalahnya dengan Aletta. Pikirannya kini penuh akan basa-basi yang harus ia lontarkan ke Felly. Javier berdiri tegak, menunggu Felly turun dari mobilnya. Gadis itu balas melontar senyum yang tak kalah canggung. Setelah memastikan saling beriringan, keduanya mulai melangkah masuk Bersama.
Aletta tidak berbohong, alasannya menggunting tirai di kamarnya itu memang karena ia ingin melihat pemandangan kota tanpa harus membuka tirai. Jendela kamarnya terlalu besar, Aletta kadang merasa takut. Akan tetapi lama mengurung diri seperti itu, membuatnya terasa sesak. Dia seperti seperti di sangkar burung yang di kunci dengan sengaja oleh pemiliknya. Oleh karena itu, dengan merobeh bagian bawahnya saja Aletta bisa memandang keluar seraya tertidur di kasurnya. Dia merasa sanggup berlama-lama di kamar jika matanya dapat melihat keluar sepanjang malam tanpa harus merasa takut. Karena perdebatan tadi, Javier pergi keluar rumah dengan pakain gymnya. Aletta tidak mengatakan apapun, dengan acuh ia menyantap rotinya di meja makan seraya menyaksikan Javier berjalan keluar. Aletta bahkan tidak peduli, jika itu adalah kesempatan terakhirnya melihat lelaki yanng menyandang status sebagai suami sekaligus ayah dari anaknya secara hukum. Aletta tidak peduli lagi j