Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.
Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.
Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Aletta akan menjadi Istri Javier. Tubuhnya sudah terbalut gaun putih dengan potongan simple, namun elegant. Di percantik dengan riasan tipis, Aletta tampak jauh lebih dewasa dari umurnya. Acara pernikahan keduanya diadakan secara sederhana dan tertutup di sebuah hotel ternama. Aletta kini sedang menunggu gilirannya untuk keluar. Selama bersiap, para perias juga beberapa keluarga terdekat Javier banyak mengatakan bahwa Aletta beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Javier. Mereka juga berkata, Aletta pasti sangat gugup. Padahal hanya dari mimik datarnya saja, mereka seharusnya bisa menebak kalau Aletta tidak menginginkan pernikahan ini. Ia terpaksa, marah, juga malas harus mengikuti rentetan acara yang telah di susun.  
Kedua kelopak mata Javier terbuka secara perlahan. Ia berbalik, alisnya terangkat menyadari Aletta sudah tidak ada disana. Mereka memang tidur di ranjang yang sama tadi malam. Javier maupun Aletta sama-sama lelah, karena itu mereka yakin tidak akan ada yang terjadi. Javier baru sadar, tubuhnya masih terbalut tuxedo hitam yang sama seperti kemarin. Buru-buru ia bangkit, bergerak ke arah kamar mandi dengan handuk putih yang ia ambil dari koper. Setelah selesai, pemandangan Aletta yang sedang memakan roti di sofa menyambut kedatangannya. Lelaki itu memasang senyun, mencoba menyapa gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dengan ramah. Namun Aletta hanya melirik Javier sekilas tanpa minat, kemudia b
Aletta menempelkan telinganya ke pintu. Memastikan apakah Javier sudah berangkat kerja atau justru diam di sofa tadi. Di dalam lubuk hatinya, Aletta tau perilakunya ini keterlaluan. Mengurus segalanya sendirian, terlebih Javier bekerja, rasanya akan mustahil. Suaminya itu pasti keteteran. Namun, gejolak aneh yang timbul kemarin membuat Aletta merasa, harus menjaga jarak dengan Javier. Aletta itu hanya gadis biasa, tidak dapat dipungkiri perasaannya bisa saja berubah jika terbiasa. Terlebih, mengingat Javier bukanlah lelaki yang sulit untuk membuat wanita jatuh hati padanya. Lelaki itu terlalu sempurna. Kulitnya putih susu, dengan dua lesung di masing-masing pipinya. Rambut yang lembut, wangi, berbadan tegap, jug
Di sebuah gedung bertingkat dua, dengan cat abu-abu gelap, dan furnitur yang senada. Lantai satunya tampak begitu ramai. Semua dari orang-orang itu menggunakan pakaian formal khas orang kantoran. Ada beberapa dari mereka yang duduk melingkar dengan satu meja besar di tengah. Ada juga yang berdiri, sibuk mengobrol atau hanya melihat-lihat. Hingga akhirnya acara penghujung membuat mereka berdiri serentak, menghadap ke podium kecil di bagian paling depan. Javier baru saja hendak memotong pita di tangannya, dengan Jordy di samping, dan puluhan orang yang menyaksikan. Namun, suara dering ponselnya menghentikan Javier sesaat. Masih dengan senyum lebar, Javier melirik layar ponselnya seklias. Detik selanjutnya lengkungan itu perlahan memudar. Untungnya, Jordy buru-buru menyenggol Javier, menyadarkann
Paginya, Aletta menghilang. Javier mencari ke sagala sudut rumah, namun gadis itu tidak ada dimana pun. Ponselnya juga mati. Javier masuk ke kamar Aletta takut-takut gadis itu membawa semua barangnya. Untungnya, ketakutan Javier itu tidak terjadi. Barang Aletta masih rapih di dalam lemari, termasuk sebuah kotak hijau yang menarik perhatian Javier. Alis Javier terangkat satu saat ia membuka kotak tersebut. Kalung dengan merek ternama itu tampak tidak asing. Detik selanjutnya, Javier berjalan ke arah kamar untuk meraih ponselnya. Melihat rincian dari tagihan kartu kredit yang kemarin tidak sempat ia buka. “Aletta ngidam?” celetuk Javier, menerka-nerka. Namun, rasanya agak janggal jika alasan Aletta membeli kalung ini karena ngidam. Ini terlalu ekstrim. Lagipula, Aletta bukan tipe gadis yang s
Selesainya masalah kalung, Javier jadi bisa kembali fokus pada pekerjaannya. Lima tumpukan kertas di mejanya, sudah menunggu untuk dibuka. Dengan kepalanya yang dingin, Javier menyidak semua satu persatu kertas itu dengan teliti. Di posisinya, yang bersebelahan dengan meja Jordy. Ia merasa diperhatikan. Tapi ia memilih acuh, menenggelamkan seluruh fokusnya pada deretan kalimat di kertas yang ia pegang dengan kedua tangannya. Hingga tiba waktu istirahat, Jordy menarik Javier secara paksa untuk mengisi perut di sebuah restoran depan kantor. “Simpen dulu kali kertasnya, semangat ama lu,” ejek Jordy, karea Javier menyuap tanpa mengalihkan sorotnya dari kertas yang ia bawa.
Javier mungkin seharusnya mengirim pesan terlebih dahulu pada Aletta sebelum mendatangi rumahnya. Dengan begitu, dia tak akan terjebak dalam keadaan canggung saat menemukan Aletta sedang menonton film dengan Hanan, Fatan, Abin sedangkan dirinya membawa sebucket mawar mereah. Dengan cengiran yang di paksakan, Javier melangkah masuk ke dalam karena Abin mempersilahkannya. Wajah sang pemilik rumah tampak tak setuju dengan itu, namun tetap membiarkan Javier hingga mereka duduk di sofa yang sama. Di sebrang keduanya, Fatan dan Hanan tak bisa melepaskan perhatian mereka dari bucket yang Javier pegang. Entah apa yang mereka sedang pikirkan yang jelas itu bukan sesuatu yang baik. Mengabaikan itu, Javier menoleh ke arah Aletta yang mengabaikannya dengan sengaja. “Ta, saya beli ini buat kamu.” Javier mengulurkan bucket tersebut pada Aletta.Untuk beberapa saat, Aletta memandang Javier dengan bunganya secara bergantian. Mulutnya sibuk mengunyah popcorn dengan sorot
Javier mengambil mengambil nafas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu yang sedari tadi dia pegang. Ada sedikit perasaan kesal terhadap Jordy, yang belum pergi dari hatinya. Adapun begitu, Javier tetap harus profesional. Pertengkaran seperti ini merupakan resiko yang harus dia terima karena bekerja dengan seseorang yang sudah begitu mengenalnya. Cekcok, bukan sesuatu yang harus dianggap baru. Terlebih masalah kemarin memang didasari dengan kesalahannya sendiri. Pemandangan Jordy yang tengah membaca kertas di kursi kerjanya, menyambut kedatangan Javier. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun, selain lirikan mata tak minat. Mungkin, Jordy juga masih tenggelam dari kekecewaanya mengenai gagalnya proyek mereka. Hilangnya investor besar, akan mengharuskan mereka memutar kembali otak untuk merombak segala susunan rencana. Pun, tak lupa dengan harapan besar yang mereka sudah taruh. Javier sadar betul, mereka tidak bisa bekerja jika em
Pagi harinya, Aletta tidak menemukan Javier di manapun. Lelaki itu menepati ucapannya, yang justru membuat Aletta merasa sedih. Dia tak bisa berbohong, kalau ada sedikit di bagian hatinya yang berharap Javier berusaha sedikit lagi. Walaupun jawabannya akan tetap sama, Aletta ingin egonya sedikit dipenuhi. Masih dengan wajah bantalnya, Aletta mendekati sofa dimana Javier tertidur semalam. Disana, selimut yang Aletta berikan sudah terlipat rapih di atas bantal. Aletta juga tidak melihat gelas berisikan teh hangat yang tadi malam ia hidangkan. Javier pasti telah mencucinya sebelum lelaki itu pergi. Bertanggung jawab, memang akan selalu menjadi sifat khas lelaki yang masih berstatus suaminya tersebut. Dengan satu tarikan nafas panjang, Aletta kini menyimpulkan bahwa mereka telah selesai. Tidak akan ada lagi kejadian manis yang memang tak seharusnya terjadi diantara mereka. Entah dalam bentuk perhatian kecil atau sekedar Javier yang menemanin
Untuk kedua kalinya, Aletta dikejutkan oleh pemandangan Javier yang mabuk berat. Kali ini, lelaki itu datang ke rumahnya dengan taxi. Lelaki itu berjongkok, menyembunyikan wajahnya di kedua tangan yang ia lipat di atas kaki. Sembari itu, Aletta membayar taxi terlebih dahulu. Baru setelahnya, Aletta ikut terduduk di samping Javier. Dia bingung. Tidak seperti saat itu, Aletta tidak mau membawa Javier masuk kali ini. Ini bukan rumah Javier, tak seharusnya Aletta membawa masuk orang asing terlebih banyak bayangan Janu di dalamnya. Aletta hanya akan merasa seperti ia sedang berselingkuh, di saat ayah dari bayinya entah dimana. Sudah sepuluh menit berlalu, belum juga ada pergerakan apapun dari posisi Javier. Hanya sesekali, tubuh Javier bergetar karena dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya. Lelaki itu hanya dibaluti kemeja tipis. Jasnya ia pegang hingga bagian bawahnya terkena tanah. Rambut Javier berantakan, seakan sesuatu telah menimpanya. Entah itu p
Terhitung, sudah tiga hari sejak hari dimana Javier pergi begitu saja setelah mendengar permohonan Aletta. Lelaki itu tidak berbalilk, ketika Aletta meminta jawabannya. Aletta hendak mengejar, namun rasa sakit di perutnya menghentikan gadis itu.Javier tidak menghubungi Aletta dan Aletta tak peduli akan itu. Hari kemarin, membuat Aletta berfikir bahwa memang dirinya ditakdirkan untuk sendiri. Mungkin, memang ini jalan yang terbaik untuk Aletta juga Javier. Demi membatasi perasaan mereka, agar Aletta bisa tetap menunggu Janu tanpa merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang janggal tanpa disengaja. Kini, dengan sang jabang bayi Aletta dengan santai menikmati sarapannya seperti biasa. Dengan tontotan pagi kesukaannya, juga sebuah buku kecil berisikan beberapa tulisan asal. Disana, Aletta menuliskan beberapa kemungkinan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Hal itu Aletta dapatkan dengan bantuan Abin, Fatan, juga Hanan dengan banyak pertimbangan. Tabungan Ale
Me : Maaf malam ini saya tidak akan pulang [ read] Javier mnyeritkan alis, saat menyadari pesannya tidak Aletta balas. Masih dengan posisi tertidur di sofa, dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Kemarin, Javier pergi ke rumah Felly untuk berbincang. Tidak hanya dirinya, ia juga mengajak Jordy. Felly yang mengundang Javier. Gadis itu ingin menunjukan pada Javier bahwa bukan tidak mungkin untuk mereka berteman. Even, setelah empat tahun mereka dan juga apa yang Javier perbuat. Justru menurut Felly, akan disayangkan rasanya jika mereka saling menjauh hanya karena kata putus. Hubungan mereka lebih dari itu. Masih banyak hal yang bisa jadi alasan mereka bertemu atau berbincang selain asmara. Mereka bertiga berbincang banyak. Walaupun Jordy tampak asing dan banyak diam, karena merasa tak nyaman dengan suasana yang menariknya ke masa lalu itu. Bagi lelaki itu, melihat Felly dan Javier berbincang selayknya teman adalah sesuatu yang t
Jam sudah meunjukan angka tujuh malam. Aletta masih di rumah sakit dengan Abin, Fatan dan Hanan. Mereka yang membawa Aletta ke rumah sakit. Sayangnya hingga kini, Aletta maupun Abin sama sekali belum menerima panggilan dari Javier. Abin sempat ingin menghubungi Javier terlebih dahulu. Namun, Aletta melarangnya. Menurut gadis itu, Javier seharusnya merasa bersalah dan menghubunginya terlebih dahulu bukan sebaliknya. Aletta juga mengira Javier belum pulang ke rumah dan menyadari ketidakhadiran Aletta disana. Atau setidaknya, lelaki itu bisa mendapati darah yang berceceran di lantai hingga pintu rumah. Hanan dan Fatan berkali-kali menanyakan hal yang sama. Haruskah mereka menghubungi Javier, karena fakta Aletta yang harus dirawat inap untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jawaban Aletta masih sama. Bisa jadi Javier kini sedang sibuk karena panggilan mendadak dari kantor. “Kalau mau pulang, pulang aja lu berdua. Aletta biar sama gue.” Abin meliri
Javier memang berniat untuk pergi ke gym, seperti hari libur biasanya. Mobilnya sudah sampai di parkiran, bersamaan dengan kedatangan mobil yang ia hafal betul pemiliknya. Javier lupa, ia mendaftar ke gym terebut karena seseorang. Felly. Dengan pakaian olahraganya yang bewarna abu senada, terpaku melihat Javier dari kursi pemudinya. Walau canggung, Javier tersenyum seraya melambaikan tangan. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Javier maupun Felly tidak ada yang memulai percakapan setelah hari itu. Mereka sama-sama diam karena memikirkan posisi Aletta. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan cara tak terduga hari ini. Seketika, Javier jadi lupa masalahnya dengan Aletta. Pikirannya kini penuh akan basa-basi yang harus ia lontarkan ke Felly. Javier berdiri tegak, menunggu Felly turun dari mobilnya. Gadis itu balas melontar senyum yang tak kalah canggung. Setelah memastikan saling beriringan, keduanya mulai melangkah masuk Bersama.
Aletta tidak berbohong, alasannya menggunting tirai di kamarnya itu memang karena ia ingin melihat pemandangan kota tanpa harus membuka tirai. Jendela kamarnya terlalu besar, Aletta kadang merasa takut. Akan tetapi lama mengurung diri seperti itu, membuatnya terasa sesak. Dia seperti seperti di sangkar burung yang di kunci dengan sengaja oleh pemiliknya. Oleh karena itu, dengan merobeh bagian bawahnya saja Aletta bisa memandang keluar seraya tertidur di kasurnya. Dia merasa sanggup berlama-lama di kamar jika matanya dapat melihat keluar sepanjang malam tanpa harus merasa takut. Karena perdebatan tadi, Javier pergi keluar rumah dengan pakain gymnya. Aletta tidak mengatakan apapun, dengan acuh ia menyantap rotinya di meja makan seraya menyaksikan Javier berjalan keluar. Aletta bahkan tidak peduli, jika itu adalah kesempatan terakhirnya melihat lelaki yanng menyandang status sebagai suami sekaligus ayah dari anaknya secara hukum. Aletta tidak peduli lagi j