“Jav, lo denger gua gak, sih?”
Javier terhentak saat suara Jordy meninggi. Ia buru-buru menggeleng, mengeluarkan fokusnya dari lamunan.
Di hadapannya, Jodry menyerit curiga. Tak biasanya manusia yang selalu perfectionist seperti Javier melamun di saat seperti ini. Pasalnya, mereka tengah membahas perencanaan yang cukup penting untuk pembukaan perusahaan rintisan mereka yang akan di berlangsungkan dalam kurun waktu kurang dari seminggu lagi. Perasaan Jordy begitu menggebu-gebu, dan Javierpun harusnya seperti itu.
Perusahaan yang akan Jordy dan Javier dirikan ini, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, saat mereka menyandang status sarjana. Namun karena tidak mendapat izin dari Kala –Ayah Javier- mereka memutuskan melanjutkan pendidikan alih-alih memulai. Walaupun begitu, mereka menyicil beberapa aspek yang bisa mereka lakukan selagi berkuliah. Tak jarang mereka kewalahan, tidak tidur, juga merugi karena mencoba-coba banyak hal. Dengan kata lain Jodry dan Javier telah menginvestasikan banyak waktu, uang, dan tenaga untuk sampai ke titik ini.
Dan semua bayangan itu hilang dari kepala Javier, karena kabar kehamilan Aletta.
“Sorry, Jo. Lo bilang apa tadi?” tanya Javier, seraya melirik proposal di tangannya.
Di kursinya Jordy mengembuskan nafasnya kasar. “Kertas di tangan lo kebalik,” kata Jordy.
“Oh iya,” gumam Javier, memutar kertas di tangannya. Lelaki itu mencoba membaca deretan kata yang tertera di sana. Tapi tak hampir semenit di posisi itu, Javier justru menyimpan kertas itu ke meja. Otaknya menolak diajak kerja sama.
Jordy yang masih melayangkan sorot tanya, kini berhasil menarik perhatian Javier. “Ada masalah apa? Ayah lo?” tebak Jordy. Lelaki bertubuh tegap itu ikut menyimpan kertas di tangannya, untuk fokus mendengarkan Javier. Wajah kusut lelaki itu, sangat menganggu fokus Jordy.
“Gua gapapa,” aku Javier, berbohong. Jordy menaikan satu alisnya, seakan mengisyaratkan bahwa ia tidak percaya.
Membohongi orang terdekat itu seperti menulis di atas air. Javier hanya akan terlihat seperti orang bodoh di mata Jordy, jika ia melanjutkan kebohongannya. Karena itu, Javier pada akhirnya mendecih. “Kentara banget?” tanya Javier. Jordy mengangguk. “Tapi gua gak yakin buat nyeritain ini ke lo sekarang. Maksud gua, kita lagi sibuk,” sambung Javier.
“Terus lebih baik lo pendem sendiri gitu?” balas Jordy.
“Mungkin?” Javier mengangkat bahu.
“Kalau lo gak fokus, gua juga ikut gak fokus, Jav. Emang masalahnya fatal banget sampe bikin lo bengong gitu? jarang-jarang lo kayak gini,” papar Jordy.
“Janu ngehamilin pacarnya,” celetuk Javier tiba tiba.
Mata Jordy membulat, ekspresi andalannya ketika terkejut. “Nyata, nih? si Janu?” seru Jordy, tidak percaya. Javier mengangguk lemah, meyakinkan. “Gila tuh anak kecil,” maki Jordy.
Dengan begitu Javier dan Jordy memutuskan untuk menutup rapat mereka hari ini. Meja mereka bersihkan, tumpukan kertas kembali mereka susun serapih mungkin. Barulah setelahnya, mereka pindah ke tempat yang lebih nyaman untuk berbincang.
Bermula dengan kekecewaan Javier pada Janu. Tentu saja, seorang kakak seperti Javier di dunia ini pasti akan merasakan hal yang sama. Janu itu, bagaimana malaikat bagi Javier. Lucu, kecil, polos, dan ceroboh, sehingga Javier selalu ingin melindunginya. Karena itu, kekecewaan Javier perlahan berubah menjadi rasa bersalah.
Mungkin ini salah Javier karena telah meninggalkan adiknya itu sendirian di rumah. Javier jadi kurang di perhatikan, lelaki itu jadi mencari kehangatan pada Aletta. Mengingat, Ayahnya yang dingin dan selalu keras dalam mendidik. Juga, Ibunya yang terlalu sibuk mengekor pada sang suami. Hal itu pula yang menjadi alasan Javier ingin lepas dari keluarganya. Karena rumah itu tidak membuatnya nyaman. Rumah yang harusnya menjadi tempat Javier pulang, justru membuatnya ingin melakukan hal yang sebaliknya. Yaitu, melarikan diri.
Cerita Javier berakhir dengan keputusan yang mungkin ia ambil, dan terbaik bagi masalah ini. Namun, Jordy menentang akan keputusan itu. “Lo yang bener aja, Jav?” kata Jordy, terkekeh sinis.
Javier mengembuskan nafasnya kasar. Ia juga sebenarnya merasa keputusan ini berlebihan. Namun, kasih sayangnya pada Janu melebihi apapun di dunia ini. “Gua gabisa diem aja, Jo. Janu bahkan belum lulus sekolah, dia pasti bingung banget sekarang. Isi pikiran dia sekarang, pasti dia bakal mati di tangan Ayah. Lo tau kan, Ayah gua gimana?” keluh Javier panjang lebar.
Jordy mengangguk, mengiyakan. “Gak semua harus lo yang selesain, Jav. Janu harus tanggung jawab atas apa yang udah dia perbuat—“
“Gak bisa,” sergah Javier cepat, lelaki itu tampak tegas akan keputusannya.
“Terus Felly?” tanya Jordy, membuat mimik wajah Javier menegang seketika. “Kalau lo gantiin Janu buat nikahin Aletta, lo mau jelasin gimana ke Felly? Dan lo yakin alesan lo bakal dia terima dengan mudah? lo sama dia udah pacaran empat tahun, Jav.” Jordy geleng-geleng, tak habis pikir dengan Javier.
Felly. Javier bahkan belum sempat mengabari gadis itu bahwa ia telah sampai ke rumah dengan selamat. Gadis itu memang selalu penuh pengertian. Berbanding dengan wanita biasanya yang sering Jordy ceritakan. Felly jarang mengeluh, jika Javier tidak mengabari berhari-hari. Gadis itu juga tidak mudah curiga atau cemburu. Pembawaannya selalu tenang dan manis. Ia juga mandiri, pintar, juga penyayang.
Atau singkatnya, Felly itu wanita sempurna. Javier selalu bersyukur dan bangga karena Felly adalah gadisnya.
“Lo berantem sama dia aja jarang, Jav. Masa tiba-tiba lo bilang pengen nikahin cewek lain? Sinting kali lo,” maki Jordy, kesal. Terlebih mengingat, kalau Jordy termasuk orang penting dalam hubungan keduanya.
“Jo, lo bikin gua makin pusing,” balas Javier, memijit pelipisnya dengan tubuh menyandar pada kursi.
“Udah tugas gua sebagai sahabat lo buat ngeutarain hal yang benar, Jav. Gua tau, kok, lo sayang banget sama Janu. Semua yang lo lakuin bahkan selalu didasarin buat kebaikan dia di masa depan. Cuma, gak gini juga lah, Jav. Lo harus inget sama perusahaan kita, sama Felly, sama mimpi-mimpi lo,” serang Jordy bertubi-tubi.
Javier membenarkan ucapan Jordy dengan hanya diam di tempatnya. Kini, isi kepalanya seperti sedang bertengkar. Menimbulkan rasa pening, dan mual dalam waktu bersamaan. Hingga sebuah notifikasi dari ponselnya memecah lamunan lelaki itu.
Ternyata dari Janu.
Janu : Bang, dimana? Janu minta maaf, Janu sayang abang.
“Jav?” panggil Jordy, pada Javier yang kini mematung dengan sorot berkaca-kaca. Lelaki itu tidak melepas fokusnya pada layar ponsel untuk beberapa saat. “Janu?” tanya Jordy memastikan.
Javier mengangguk lemah, lelaki itu kini menatap Jordy. Ia menggeleng, “Gua gabisa, Jo,” katanya, hampir berbisik.
“Hah?” Jordy menaikan satu alisnya, tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Gua gabisa biarin idup Janu ancur,” jelas Javier, sekali lagi memandang layar ponselnya dengan nanar.
“Jav, dengerin gua—“
Belum sempat Jordy menyelesaikan ucapannya, Javier buru-buru bangkit. Lelaki itu mengambil barang-barangnya untuk di masukan ke dalam tas. Tak lupa meraih jas hitam yang ia taruh di kursi kerjanya. Untuk beberapa detik, ia terhenti.
Matanya mengedar, untuk melihat pemandangan kantornya yang belum terisi penuh. Hanya ada beberapa meja dan kursi yang masih terbungkus rapih, serta sofa yang salah satunya di duduki Jordy. Di sana, Jordy menutup matanya.
Percuma, jika sudah seperti ini tidak akan ada yang bisa menghentikan Javier. Lelaki itu selalu teguh akan hal yang ia yakini. “Javier,” panggil Jordy tepat saat Javier hendak berlalu pergi.
“Sorry, Jo. Janu Cuma punya gua,” sahut Javier, terdengar begitu yakin.
“Seenggaknya, lo harus jujur sama Felly. Yakinin dia kalau ini bukan salah dia, dan perasaan lo ke dia selama itu nyata,” saran Jordy, yang langsung di iyakan Javier dengan anggukan.
Detik kemudian, Javier melangkah pergi. Meninggalkan Jordy dengan perasaan resahnya yang kini mendominasi. Bagaimana jika keputusan Javier menghancurkan fokus lelaki itu? Peresmian perusahaan hanya tinggal menghitung hari. Respon sang Ayah, respon keluarga Aletta, dan juga Felly.
Bagaimana Javier akan mengatasi semua itu dalam waktu bersamaan?
Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Aletta akan menjadi Istri Javier. Tubuhnya sudah terbalut gaun putih dengan potongan simple, namun elegant. Di percantik dengan riasan tipis, Aletta tampak jauh lebih dewasa dari umurnya. Acara pernikahan keduanya diadakan secara sederhana dan tertutup di sebuah hotel ternama. Aletta kini sedang menunggu gilirannya untuk keluar. Selama bersiap, para perias juga beberapa keluarga terdekat Javier banyak mengatakan bahwa Aletta beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Javier. Mereka juga berkata, Aletta pasti sangat gugup. Padahal hanya dari mimik datarnya saja, mereka seharusnya bisa menebak kalau Aletta tidak menginginkan pernikahan ini. Ia terpaksa, marah, juga malas harus mengikuti rentetan acara yang telah di susun.  
Kedua kelopak mata Javier terbuka secara perlahan. Ia berbalik, alisnya terangkat menyadari Aletta sudah tidak ada disana. Mereka memang tidur di ranjang yang sama tadi malam. Javier maupun Aletta sama-sama lelah, karena itu mereka yakin tidak akan ada yang terjadi. Javier baru sadar, tubuhnya masih terbalut tuxedo hitam yang sama seperti kemarin. Buru-buru ia bangkit, bergerak ke arah kamar mandi dengan handuk putih yang ia ambil dari koper. Setelah selesai, pemandangan Aletta yang sedang memakan roti di sofa menyambut kedatangannya. Lelaki itu memasang senyun, mencoba menyapa gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dengan ramah. Namun Aletta hanya melirik Javier sekilas tanpa minat, kemudia b
Aletta menempelkan telinganya ke pintu. Memastikan apakah Javier sudah berangkat kerja atau justru diam di sofa tadi. Di dalam lubuk hatinya, Aletta tau perilakunya ini keterlaluan. Mengurus segalanya sendirian, terlebih Javier bekerja, rasanya akan mustahil. Suaminya itu pasti keteteran. Namun, gejolak aneh yang timbul kemarin membuat Aletta merasa, harus menjaga jarak dengan Javier. Aletta itu hanya gadis biasa, tidak dapat dipungkiri perasaannya bisa saja berubah jika terbiasa. Terlebih, mengingat Javier bukanlah lelaki yang sulit untuk membuat wanita jatuh hati padanya. Lelaki itu terlalu sempurna. Kulitnya putih susu, dengan dua lesung di masing-masing pipinya. Rambut yang lembut, wangi, berbadan tegap, jug
Di sebuah gedung bertingkat dua, dengan cat abu-abu gelap, dan furnitur yang senada. Lantai satunya tampak begitu ramai. Semua dari orang-orang itu menggunakan pakaian formal khas orang kantoran. Ada beberapa dari mereka yang duduk melingkar dengan satu meja besar di tengah. Ada juga yang berdiri, sibuk mengobrol atau hanya melihat-lihat. Hingga akhirnya acara penghujung membuat mereka berdiri serentak, menghadap ke podium kecil di bagian paling depan. Javier baru saja hendak memotong pita di tangannya, dengan Jordy di samping, dan puluhan orang yang menyaksikan. Namun, suara dering ponselnya menghentikan Javier sesaat. Masih dengan senyum lebar, Javier melirik layar ponselnya seklias. Detik selanjutnya lengkungan itu perlahan memudar. Untungnya, Jordy buru-buru menyenggol Javier, menyadarkann
Javier mungkin seharusnya mengirim pesan terlebih dahulu pada Aletta sebelum mendatangi rumahnya. Dengan begitu, dia tak akan terjebak dalam keadaan canggung saat menemukan Aletta sedang menonton film dengan Hanan, Fatan, Abin sedangkan dirinya membawa sebucket mawar mereah. Dengan cengiran yang di paksakan, Javier melangkah masuk ke dalam karena Abin mempersilahkannya. Wajah sang pemilik rumah tampak tak setuju dengan itu, namun tetap membiarkan Javier hingga mereka duduk di sofa yang sama. Di sebrang keduanya, Fatan dan Hanan tak bisa melepaskan perhatian mereka dari bucket yang Javier pegang. Entah apa yang mereka sedang pikirkan yang jelas itu bukan sesuatu yang baik. Mengabaikan itu, Javier menoleh ke arah Aletta yang mengabaikannya dengan sengaja. “Ta, saya beli ini buat kamu.” Javier mengulurkan bucket tersebut pada Aletta.Untuk beberapa saat, Aletta memandang Javier dengan bunganya secara bergantian. Mulutnya sibuk mengunyah popcorn dengan sorot
Javier mengambil mengambil nafas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu yang sedari tadi dia pegang. Ada sedikit perasaan kesal terhadap Jordy, yang belum pergi dari hatinya. Adapun begitu, Javier tetap harus profesional. Pertengkaran seperti ini merupakan resiko yang harus dia terima karena bekerja dengan seseorang yang sudah begitu mengenalnya. Cekcok, bukan sesuatu yang harus dianggap baru. Terlebih masalah kemarin memang didasari dengan kesalahannya sendiri. Pemandangan Jordy yang tengah membaca kertas di kursi kerjanya, menyambut kedatangan Javier. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun, selain lirikan mata tak minat. Mungkin, Jordy juga masih tenggelam dari kekecewaanya mengenai gagalnya proyek mereka. Hilangnya investor besar, akan mengharuskan mereka memutar kembali otak untuk merombak segala susunan rencana. Pun, tak lupa dengan harapan besar yang mereka sudah taruh. Javier sadar betul, mereka tidak bisa bekerja jika em
Pagi harinya, Aletta tidak menemukan Javier di manapun. Lelaki itu menepati ucapannya, yang justru membuat Aletta merasa sedih. Dia tak bisa berbohong, kalau ada sedikit di bagian hatinya yang berharap Javier berusaha sedikit lagi. Walaupun jawabannya akan tetap sama, Aletta ingin egonya sedikit dipenuhi. Masih dengan wajah bantalnya, Aletta mendekati sofa dimana Javier tertidur semalam. Disana, selimut yang Aletta berikan sudah terlipat rapih di atas bantal. Aletta juga tidak melihat gelas berisikan teh hangat yang tadi malam ia hidangkan. Javier pasti telah mencucinya sebelum lelaki itu pergi. Bertanggung jawab, memang akan selalu menjadi sifat khas lelaki yang masih berstatus suaminya tersebut. Dengan satu tarikan nafas panjang, Aletta kini menyimpulkan bahwa mereka telah selesai. Tidak akan ada lagi kejadian manis yang memang tak seharusnya terjadi diantara mereka. Entah dalam bentuk perhatian kecil atau sekedar Javier yang menemanin
Untuk kedua kalinya, Aletta dikejutkan oleh pemandangan Javier yang mabuk berat. Kali ini, lelaki itu datang ke rumahnya dengan taxi. Lelaki itu berjongkok, menyembunyikan wajahnya di kedua tangan yang ia lipat di atas kaki. Sembari itu, Aletta membayar taxi terlebih dahulu. Baru setelahnya, Aletta ikut terduduk di samping Javier. Dia bingung. Tidak seperti saat itu, Aletta tidak mau membawa Javier masuk kali ini. Ini bukan rumah Javier, tak seharusnya Aletta membawa masuk orang asing terlebih banyak bayangan Janu di dalamnya. Aletta hanya akan merasa seperti ia sedang berselingkuh, di saat ayah dari bayinya entah dimana. Sudah sepuluh menit berlalu, belum juga ada pergerakan apapun dari posisi Javier. Hanya sesekali, tubuh Javier bergetar karena dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya. Lelaki itu hanya dibaluti kemeja tipis. Jasnya ia pegang hingga bagian bawahnya terkena tanah. Rambut Javier berantakan, seakan sesuatu telah menimpanya. Entah itu p
Terhitung, sudah tiga hari sejak hari dimana Javier pergi begitu saja setelah mendengar permohonan Aletta. Lelaki itu tidak berbalilk, ketika Aletta meminta jawabannya. Aletta hendak mengejar, namun rasa sakit di perutnya menghentikan gadis itu.Javier tidak menghubungi Aletta dan Aletta tak peduli akan itu. Hari kemarin, membuat Aletta berfikir bahwa memang dirinya ditakdirkan untuk sendiri. Mungkin, memang ini jalan yang terbaik untuk Aletta juga Javier. Demi membatasi perasaan mereka, agar Aletta bisa tetap menunggu Janu tanpa merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang janggal tanpa disengaja. Kini, dengan sang jabang bayi Aletta dengan santai menikmati sarapannya seperti biasa. Dengan tontotan pagi kesukaannya, juga sebuah buku kecil berisikan beberapa tulisan asal. Disana, Aletta menuliskan beberapa kemungkinan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Hal itu Aletta dapatkan dengan bantuan Abin, Fatan, juga Hanan dengan banyak pertimbangan. Tabungan Ale
Me : Maaf malam ini saya tidak akan pulang [ read] Javier mnyeritkan alis, saat menyadari pesannya tidak Aletta balas. Masih dengan posisi tertidur di sofa, dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Kemarin, Javier pergi ke rumah Felly untuk berbincang. Tidak hanya dirinya, ia juga mengajak Jordy. Felly yang mengundang Javier. Gadis itu ingin menunjukan pada Javier bahwa bukan tidak mungkin untuk mereka berteman. Even, setelah empat tahun mereka dan juga apa yang Javier perbuat. Justru menurut Felly, akan disayangkan rasanya jika mereka saling menjauh hanya karena kata putus. Hubungan mereka lebih dari itu. Masih banyak hal yang bisa jadi alasan mereka bertemu atau berbincang selain asmara. Mereka bertiga berbincang banyak. Walaupun Jordy tampak asing dan banyak diam, karena merasa tak nyaman dengan suasana yang menariknya ke masa lalu itu. Bagi lelaki itu, melihat Felly dan Javier berbincang selayknya teman adalah sesuatu yang t
Jam sudah meunjukan angka tujuh malam. Aletta masih di rumah sakit dengan Abin, Fatan dan Hanan. Mereka yang membawa Aletta ke rumah sakit. Sayangnya hingga kini, Aletta maupun Abin sama sekali belum menerima panggilan dari Javier. Abin sempat ingin menghubungi Javier terlebih dahulu. Namun, Aletta melarangnya. Menurut gadis itu, Javier seharusnya merasa bersalah dan menghubunginya terlebih dahulu bukan sebaliknya. Aletta juga mengira Javier belum pulang ke rumah dan menyadari ketidakhadiran Aletta disana. Atau setidaknya, lelaki itu bisa mendapati darah yang berceceran di lantai hingga pintu rumah. Hanan dan Fatan berkali-kali menanyakan hal yang sama. Haruskah mereka menghubungi Javier, karena fakta Aletta yang harus dirawat inap untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jawaban Aletta masih sama. Bisa jadi Javier kini sedang sibuk karena panggilan mendadak dari kantor. “Kalau mau pulang, pulang aja lu berdua. Aletta biar sama gue.” Abin meliri
Javier memang berniat untuk pergi ke gym, seperti hari libur biasanya. Mobilnya sudah sampai di parkiran, bersamaan dengan kedatangan mobil yang ia hafal betul pemiliknya. Javier lupa, ia mendaftar ke gym terebut karena seseorang. Felly. Dengan pakaian olahraganya yang bewarna abu senada, terpaku melihat Javier dari kursi pemudinya. Walau canggung, Javier tersenyum seraya melambaikan tangan. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Javier maupun Felly tidak ada yang memulai percakapan setelah hari itu. Mereka sama-sama diam karena memikirkan posisi Aletta. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan cara tak terduga hari ini. Seketika, Javier jadi lupa masalahnya dengan Aletta. Pikirannya kini penuh akan basa-basi yang harus ia lontarkan ke Felly. Javier berdiri tegak, menunggu Felly turun dari mobilnya. Gadis itu balas melontar senyum yang tak kalah canggung. Setelah memastikan saling beriringan, keduanya mulai melangkah masuk Bersama.
Aletta tidak berbohong, alasannya menggunting tirai di kamarnya itu memang karena ia ingin melihat pemandangan kota tanpa harus membuka tirai. Jendela kamarnya terlalu besar, Aletta kadang merasa takut. Akan tetapi lama mengurung diri seperti itu, membuatnya terasa sesak. Dia seperti seperti di sangkar burung yang di kunci dengan sengaja oleh pemiliknya. Oleh karena itu, dengan merobeh bagian bawahnya saja Aletta bisa memandang keluar seraya tertidur di kasurnya. Dia merasa sanggup berlama-lama di kamar jika matanya dapat melihat keluar sepanjang malam tanpa harus merasa takut. Karena perdebatan tadi, Javier pergi keluar rumah dengan pakain gymnya. Aletta tidak mengatakan apapun, dengan acuh ia menyantap rotinya di meja makan seraya menyaksikan Javier berjalan keluar. Aletta bahkan tidak peduli, jika itu adalah kesempatan terakhirnya melihat lelaki yanng menyandang status sebagai suami sekaligus ayah dari anaknya secara hukum. Aletta tidak peduli lagi j