Tanpa menunggu lagi, Javier langsung mengiyakan ajakan Aletta detik itu juga. Sepanjang perjalanan menuju sebuah kafe yang Aletta usulkan. Isi kepala Javier tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan Aletta bersangkut pautan dengan masalah yang sedang Janu hadapi. Terlebih fakta bahwa Aletta kini mengajaknya bertemu di hari sekolah.
Hanya butuh tujuh menit dari sepuluh menit yang seharusnya Javier tempuh untuk sampai ke tempat tersebut. Dengan buru buru, Javier turun dari mobilnya. Matanya celingkungan menatap beberapa meja yang ada di ruangan bernuansa kayu tersebut.
“Kak!” sapa seorang gadis dengan seragam sekolah yang ia tutupi dengan sebuah jaket hitam yang tanpa gadis itu ketahui, bahwa itu jaket itu milik Javier yang tertinggal. Bahkan saat baru sampai di rumah, Javier sempat mencari keberadaannya.
Javier langsung mengambil tempat di hadapan Aletta. Gadis yang pertama kali ia temui itu, terlihat sangat berbeda dari beberapa foto yang Janu pernah kirimkan. Aletta di hadapannya, lebih pucat. Matanya hitam, dan rambut gadis itu di cepol asal asalan. Berbeda dengan Aletta di foto, yang terlihat begitu cantik dengan make up tipis serta rambut panjang yang berkilau. Walaupun mereka sering berbincang di whatsup, pertemuan ini tetap terasa canggung.
“Em… Sebelumnya kenalin Kak, aku Aletta. Kita baru pertama kali ketemu, kan?” kata Aletta, mengulurkan tangannya ke arah Javier. Gadis itu tampak gugup.
“Javier,” sahut Javier, menyambut uluran tangan Aletta. Ia sempat terkejut merasakan dinginnya tangan gadis tersebut.
“Kakak, mau pesen dulu-“
“Saya orang sibuk,” sergah Javier memotong ucapan Aletta, enggan berbasa basi. “Bisa langsung ke intinya?” pinta Javier, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Selain karena Javier memang memiliki janji temu lain, ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Alih alih menjawab, Aletta justru melirik ponselnya dengan cemas. Seakan gadis itu tidak yakin untuk menyampaikannya kepada Javier. Aletta bahkan menghindari tatapan Javier secara terang-terangan. Tidak berhenti di situ, gadis itu bahkan izin untuk ke toilet seraya memanggil seseorang di ponselnya.
Javier yakin, Aletta menelfon adiknya, Janu. Hal itu membuat rasanya penasaran Javier semakin besar. Seberapa besar masalah mereka, hingga Aletta memanggilnya tanpa izin Janu? Apa mereka bertengkar? Atau justru, masalah yang sebenarnya hanyalah sebatas mereka putus? Mungkin Janu selingkuh, hingga Aletta menghubungi Javier untuk mengadu? Iya, Javier harap masalahnya hanya sebatas itu.
Namun, semakin besar keinginan Javier percaya bahwa ini hanya masalah kecil. Fakta Janu yang tiba tiba muncul dari arah pintu, membuat harapan Javier itu musnah. Lelaki itu sontak bangkit, menarik perhatian Janu yang sedari tadi celingukan. Lelaki dengan seragam lengkap itu sontak mendekat.
Detik kemudian, sesuatu yang aneh dan sulit di percaya terjadi. Dunia Javier seakan melambat. Langkah demi langkah, semakin dekat Janu, semakin Javier bisa melihat keresahan di sorot matanya. Javier bahkan dapat melihat secara jelas, keringat di pelipis Janu menetes hingga ke leher.
“Abang, ngapain disini?” tanya Janu, mengembalikan dunia Javier seperti semula.
Alisnya terangkat, begitu menyadari mata lawan bicaranya tampak panik seraya mengedar ke sekitar. “Aletta nyuruh Abang kesini,” jawab Javier, jujur.
Mata Janu seketika membulat. “Bang, Abang gak percaya kan sama omongan Aletta? Abang tau kan Janu kayak gimana? Janu gamungkin kayak gitu, bang.” erang Janu, terdengar begitu frustasi. Javier semakin di buat bingung mendengar perkataan Janu. Adiknya itu tampak begitu gusar, “Bang, Janu jelasin di rumah. Kita pulang aja, Aletta biar naik taxi.” tambah Janu, mencoba menarik Javier keluar yang langsung Javier tangkis.
“Lo kenapa, sih?” tanya Javier, karena Janu kini berkeringat hebat, “Aletta lagi ke WC, dia bahkan belum ngomong apapun ke gue!” sambungnya.
Janu mematung di tempat. Seakan mengisyaratkan, bahwa ia telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak Javier dengar.
“Kayak gitu yang lo maksud itu apa?” ujar Javier. Namun Janu masih tidak berkutik. Hingga akhirnya Aletta datang, berdiri tepat di hadapan Janu.
Untuk beberapa saat, Aletta hanya diam seraya menatap Janu tepat di maniknya. Memberikan sorot frustasi, yang menggambarkan perasaannya saat ini. Jika saja lelaki itu mengirim pesan atau menelfon Aletta. Walaupun hanya sekali, walaupun hanya semenit. Janu tiba tiba menggeleng lemah, ikut memohon pada Aletta lewat matanya yang mulai berkaca kaca.
“Kalian kenapa?” intrupsi Javier, semakin kebingungan. Dengan sigap, Janu meraih tangan Aletta yang hendak membuka suara. Genggaman itu terlihat begitu kuat, “Janu?!” tegur Javier, sekaligus memperingati adiknya untuk tidak mengintimidasi Aletta.
Janu menjambak rambut bagian belakangnya. Lelaki itu mengambil nafas dalam dalam, meredam gejolak emosinya yang hampir meledak. “Bang, Janu harus sama Aletta harus sekolah. Kita ngobrol lain kali aja-“
“Engga,” sergah Javir, dengan tegas. Lelaki itu kini mulai menyimpulkan satu kemungkinan yang besar benar terjadinya di antara Janu dan Aletta. “Abang, mau kita ngobrol sekarang,” tandas Javier.
Janu menggeleng cepat, “Gabisa, bang. Kita ada ujian,” decak Janu, “Abang mau Janu nilanya jelek? atau Janu ketinggalan pelajaran? Ayah bisa ngamuk, bang, kalau sampe dia denger Janu bolos,” papar Janu. Di sampingnya, Aletta menunduk. Menggigit bibir bawahnya, menahan sakit karena genggaman Janu yang terlalu erat.
“Lo bisa bohongin semua orang, tapi gue engga, Januar,” timpal Javier, menekan nama adiknya di akhir kalimat. Janu hendak bersuara, namun Javier lebih cepat, “Lo hamilin Aletta?” celetuk Javier.
Janu maupun Aletta sama sama terkejut akan pertanyaan Javier yang tiba tiba. Bahkan lelaki itu sendiri, ikut terkejut karena perubahan wajah kedua lawan bicaranya. “Beneran?” tanya Javier, hampir tersedak.
“B-bang, Janu-“
Selanjutnya, tidak ada yang bicara. Javier menjatuhkan pantatnya ke kursi, karena tak kuasa menahan kakinya yang mendadak terasa lemas. Hanya dengan gelagat Janu, pernyataan Javier sudah di pastikan tepat sasaran. Janu sendiri juga sudah enggan berkelit. Seperti yang di katakan lelaki itu, Janu tidak bisa berbohong di hadapan Javier.
Janu melepaskan genggaman pada Aletta, untuk mengusap wajahnya kasar. Lalu, ia menarik Aletta yang masih menunduk untuk duduk. “Maaf,” gumam Janu, di balas anggukan lemah oleh Aletta.
“S-siapa aja yang tau masalah ini?” tanya Javier dengan suara tersendat. Kepalanya mendadak beku, seakan menolak untuk mencerna kenyataan yang baru saja ia ketahui.
“Aletta, Janu, Fatan, Hanan, terus… ,” Janu menelan ludahnya susah payah, “ … sama Abin, bang,” sambungnya.
Mata Javier spontan terpejam. Selamat lah Janu, karena mereka sedang berada di tempat umum. Jika tidak, mungkin Javier sudah melayangkan bogeman tangannya yang kini sudah terkepal kuat. Di barengi dengan makian yang Javier tahan kuat-kuat untuk tetap berada di kepala. Ia tidak peduli tentang Hanan dan Fatan, mereka sahabat Janu, Javier yakin masalah ini akan aman di tangan mereka.
Tapi, Abin? gadis baik, dan penurut itu pasti akan dengan mudah mengatakan segalanya jika di tanya oleh Ayahnya, atau Ayah dari Janu dan Javier. Mengingat gadis itu penakut. Tidak suka membantah, dan ekspresinya mudah di tebak seperti Janu. Gadis itu pembohong yang payah.
Dengan kata lain, Javier harus membereskan masalah ini sebelum Ayahnya mencium gelagat aneh dari Janu. Kira-kira apa yang akan Javier lakukan?
“Jav, lo denger gua gak, sih?”Javier terhentak saat suara Jordy meninggi. Ia buru-buru menggeleng, mengeluarkan fokusnya dari lamunan.Di hadapannya, Jodry menyerit curiga. Tak biasanya manusia yang selalu perfectionist seperti Javier melamun di saat seperti ini. Pasalnya, mereka tengah membahas perencanaan yang cukup penting untuk pembukaan perusahaan rintisan mereka yang akan di berlangsungkan dalam kurun waktu kurang dari seminggu lagi. Perasaan Jordy begitu menggebu-gebu, dan Javierpun harusnya seperti itu.Perusahaan yang akan Jordy dan Javier dirikan ini, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, saat mereka menyandang status sarjana. Namun karena tidak mendapat izin dari Kala –Ayah Javier- mereka memutuskan melanjutkan pendidikan alih-alih memulai. Walaupun begitu, mereka menyicil beberapa aspek yang bisa mereka lakukan selagi berkuliah. Tak jarang mereka kewalahan, tidak tidur, juga merugi karena mencoba-coba b
Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Aletta akan menjadi Istri Javier. Tubuhnya sudah terbalut gaun putih dengan potongan simple, namun elegant. Di percantik dengan riasan tipis, Aletta tampak jauh lebih dewasa dari umurnya. Acara pernikahan keduanya diadakan secara sederhana dan tertutup di sebuah hotel ternama. Aletta kini sedang menunggu gilirannya untuk keluar. Selama bersiap, para perias juga beberapa keluarga terdekat Javier banyak mengatakan bahwa Aletta beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Javier. Mereka juga berkata, Aletta pasti sangat gugup. Padahal hanya dari mimik datarnya saja, mereka seharusnya bisa menebak kalau Aletta tidak menginginkan pernikahan ini. Ia terpaksa, marah, juga malas harus mengikuti rentetan acara yang telah di susun.  
Kedua kelopak mata Javier terbuka secara perlahan. Ia berbalik, alisnya terangkat menyadari Aletta sudah tidak ada disana. Mereka memang tidur di ranjang yang sama tadi malam. Javier maupun Aletta sama-sama lelah, karena itu mereka yakin tidak akan ada yang terjadi. Javier baru sadar, tubuhnya masih terbalut tuxedo hitam yang sama seperti kemarin. Buru-buru ia bangkit, bergerak ke arah kamar mandi dengan handuk putih yang ia ambil dari koper. Setelah selesai, pemandangan Aletta yang sedang memakan roti di sofa menyambut kedatangannya. Lelaki itu memasang senyun, mencoba menyapa gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dengan ramah. Namun Aletta hanya melirik Javier sekilas tanpa minat, kemudia b
Aletta menempelkan telinganya ke pintu. Memastikan apakah Javier sudah berangkat kerja atau justru diam di sofa tadi. Di dalam lubuk hatinya, Aletta tau perilakunya ini keterlaluan. Mengurus segalanya sendirian, terlebih Javier bekerja, rasanya akan mustahil. Suaminya itu pasti keteteran. Namun, gejolak aneh yang timbul kemarin membuat Aletta merasa, harus menjaga jarak dengan Javier. Aletta itu hanya gadis biasa, tidak dapat dipungkiri perasaannya bisa saja berubah jika terbiasa. Terlebih, mengingat Javier bukanlah lelaki yang sulit untuk membuat wanita jatuh hati padanya. Lelaki itu terlalu sempurna. Kulitnya putih susu, dengan dua lesung di masing-masing pipinya. Rambut yang lembut, wangi, berbadan tegap, jug
Javier mungkin seharusnya mengirim pesan terlebih dahulu pada Aletta sebelum mendatangi rumahnya. Dengan begitu, dia tak akan terjebak dalam keadaan canggung saat menemukan Aletta sedang menonton film dengan Hanan, Fatan, Abin sedangkan dirinya membawa sebucket mawar mereah. Dengan cengiran yang di paksakan, Javier melangkah masuk ke dalam karena Abin mempersilahkannya. Wajah sang pemilik rumah tampak tak setuju dengan itu, namun tetap membiarkan Javier hingga mereka duduk di sofa yang sama. Di sebrang keduanya, Fatan dan Hanan tak bisa melepaskan perhatian mereka dari bucket yang Javier pegang. Entah apa yang mereka sedang pikirkan yang jelas itu bukan sesuatu yang baik. Mengabaikan itu, Javier menoleh ke arah Aletta yang mengabaikannya dengan sengaja. “Ta, saya beli ini buat kamu.” Javier mengulurkan bucket tersebut pada Aletta.Untuk beberapa saat, Aletta memandang Javier dengan bunganya secara bergantian. Mulutnya sibuk mengunyah popcorn dengan sorot
Javier mengambil mengambil nafas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu yang sedari tadi dia pegang. Ada sedikit perasaan kesal terhadap Jordy, yang belum pergi dari hatinya. Adapun begitu, Javier tetap harus profesional. Pertengkaran seperti ini merupakan resiko yang harus dia terima karena bekerja dengan seseorang yang sudah begitu mengenalnya. Cekcok, bukan sesuatu yang harus dianggap baru. Terlebih masalah kemarin memang didasari dengan kesalahannya sendiri. Pemandangan Jordy yang tengah membaca kertas di kursi kerjanya, menyambut kedatangan Javier. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun, selain lirikan mata tak minat. Mungkin, Jordy juga masih tenggelam dari kekecewaanya mengenai gagalnya proyek mereka. Hilangnya investor besar, akan mengharuskan mereka memutar kembali otak untuk merombak segala susunan rencana. Pun, tak lupa dengan harapan besar yang mereka sudah taruh. Javier sadar betul, mereka tidak bisa bekerja jika em
Pagi harinya, Aletta tidak menemukan Javier di manapun. Lelaki itu menepati ucapannya, yang justru membuat Aletta merasa sedih. Dia tak bisa berbohong, kalau ada sedikit di bagian hatinya yang berharap Javier berusaha sedikit lagi. Walaupun jawabannya akan tetap sama, Aletta ingin egonya sedikit dipenuhi. Masih dengan wajah bantalnya, Aletta mendekati sofa dimana Javier tertidur semalam. Disana, selimut yang Aletta berikan sudah terlipat rapih di atas bantal. Aletta juga tidak melihat gelas berisikan teh hangat yang tadi malam ia hidangkan. Javier pasti telah mencucinya sebelum lelaki itu pergi. Bertanggung jawab, memang akan selalu menjadi sifat khas lelaki yang masih berstatus suaminya tersebut. Dengan satu tarikan nafas panjang, Aletta kini menyimpulkan bahwa mereka telah selesai. Tidak akan ada lagi kejadian manis yang memang tak seharusnya terjadi diantara mereka. Entah dalam bentuk perhatian kecil atau sekedar Javier yang menemanin
Untuk kedua kalinya, Aletta dikejutkan oleh pemandangan Javier yang mabuk berat. Kali ini, lelaki itu datang ke rumahnya dengan taxi. Lelaki itu berjongkok, menyembunyikan wajahnya di kedua tangan yang ia lipat di atas kaki. Sembari itu, Aletta membayar taxi terlebih dahulu. Baru setelahnya, Aletta ikut terduduk di samping Javier. Dia bingung. Tidak seperti saat itu, Aletta tidak mau membawa Javier masuk kali ini. Ini bukan rumah Javier, tak seharusnya Aletta membawa masuk orang asing terlebih banyak bayangan Janu di dalamnya. Aletta hanya akan merasa seperti ia sedang berselingkuh, di saat ayah dari bayinya entah dimana. Sudah sepuluh menit berlalu, belum juga ada pergerakan apapun dari posisi Javier. Hanya sesekali, tubuh Javier bergetar karena dinginnya angin malam yang menerpa tubuhnya. Lelaki itu hanya dibaluti kemeja tipis. Jasnya ia pegang hingga bagian bawahnya terkena tanah. Rambut Javier berantakan, seakan sesuatu telah menimpanya. Entah itu p
Terhitung, sudah tiga hari sejak hari dimana Javier pergi begitu saja setelah mendengar permohonan Aletta. Lelaki itu tidak berbalilk, ketika Aletta meminta jawabannya. Aletta hendak mengejar, namun rasa sakit di perutnya menghentikan gadis itu.Javier tidak menghubungi Aletta dan Aletta tak peduli akan itu. Hari kemarin, membuat Aletta berfikir bahwa memang dirinya ditakdirkan untuk sendiri. Mungkin, memang ini jalan yang terbaik untuk Aletta juga Javier. Demi membatasi perasaan mereka, agar Aletta bisa tetap menunggu Janu tanpa merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang janggal tanpa disengaja. Kini, dengan sang jabang bayi Aletta dengan santai menikmati sarapannya seperti biasa. Dengan tontotan pagi kesukaannya, juga sebuah buku kecil berisikan beberapa tulisan asal. Disana, Aletta menuliskan beberapa kemungkinan pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Hal itu Aletta dapatkan dengan bantuan Abin, Fatan, juga Hanan dengan banyak pertimbangan. Tabungan Ale
Me : Maaf malam ini saya tidak akan pulang [ read] Javier mnyeritkan alis, saat menyadari pesannya tidak Aletta balas. Masih dengan posisi tertidur di sofa, dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya. Kemarin, Javier pergi ke rumah Felly untuk berbincang. Tidak hanya dirinya, ia juga mengajak Jordy. Felly yang mengundang Javier. Gadis itu ingin menunjukan pada Javier bahwa bukan tidak mungkin untuk mereka berteman. Even, setelah empat tahun mereka dan juga apa yang Javier perbuat. Justru menurut Felly, akan disayangkan rasanya jika mereka saling menjauh hanya karena kata putus. Hubungan mereka lebih dari itu. Masih banyak hal yang bisa jadi alasan mereka bertemu atau berbincang selain asmara. Mereka bertiga berbincang banyak. Walaupun Jordy tampak asing dan banyak diam, karena merasa tak nyaman dengan suasana yang menariknya ke masa lalu itu. Bagi lelaki itu, melihat Felly dan Javier berbincang selayknya teman adalah sesuatu yang t
Jam sudah meunjukan angka tujuh malam. Aletta masih di rumah sakit dengan Abin, Fatan dan Hanan. Mereka yang membawa Aletta ke rumah sakit. Sayangnya hingga kini, Aletta maupun Abin sama sekali belum menerima panggilan dari Javier. Abin sempat ingin menghubungi Javier terlebih dahulu. Namun, Aletta melarangnya. Menurut gadis itu, Javier seharusnya merasa bersalah dan menghubunginya terlebih dahulu bukan sebaliknya. Aletta juga mengira Javier belum pulang ke rumah dan menyadari ketidakhadiran Aletta disana. Atau setidaknya, lelaki itu bisa mendapati darah yang berceceran di lantai hingga pintu rumah. Hanan dan Fatan berkali-kali menanyakan hal yang sama. Haruskah mereka menghubungi Javier, karena fakta Aletta yang harus dirawat inap untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jawaban Aletta masih sama. Bisa jadi Javier kini sedang sibuk karena panggilan mendadak dari kantor. “Kalau mau pulang, pulang aja lu berdua. Aletta biar sama gue.” Abin meliri
Javier memang berniat untuk pergi ke gym, seperti hari libur biasanya. Mobilnya sudah sampai di parkiran, bersamaan dengan kedatangan mobil yang ia hafal betul pemiliknya. Javier lupa, ia mendaftar ke gym terebut karena seseorang. Felly. Dengan pakaian olahraganya yang bewarna abu senada, terpaku melihat Javier dari kursi pemudinya. Walau canggung, Javier tersenyum seraya melambaikan tangan. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Javier maupun Felly tidak ada yang memulai percakapan setelah hari itu. Mereka sama-sama diam karena memikirkan posisi Aletta. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan cara tak terduga hari ini. Seketika, Javier jadi lupa masalahnya dengan Aletta. Pikirannya kini penuh akan basa-basi yang harus ia lontarkan ke Felly. Javier berdiri tegak, menunggu Felly turun dari mobilnya. Gadis itu balas melontar senyum yang tak kalah canggung. Setelah memastikan saling beriringan, keduanya mulai melangkah masuk Bersama.
Aletta tidak berbohong, alasannya menggunting tirai di kamarnya itu memang karena ia ingin melihat pemandangan kota tanpa harus membuka tirai. Jendela kamarnya terlalu besar, Aletta kadang merasa takut. Akan tetapi lama mengurung diri seperti itu, membuatnya terasa sesak. Dia seperti seperti di sangkar burung yang di kunci dengan sengaja oleh pemiliknya. Oleh karena itu, dengan merobeh bagian bawahnya saja Aletta bisa memandang keluar seraya tertidur di kasurnya. Dia merasa sanggup berlama-lama di kamar jika matanya dapat melihat keluar sepanjang malam tanpa harus merasa takut. Karena perdebatan tadi, Javier pergi keluar rumah dengan pakain gymnya. Aletta tidak mengatakan apapun, dengan acuh ia menyantap rotinya di meja makan seraya menyaksikan Javier berjalan keluar. Aletta bahkan tidak peduli, jika itu adalah kesempatan terakhirnya melihat lelaki yanng menyandang status sebagai suami sekaligus ayah dari anaknya secara hukum. Aletta tidak peduli lagi j