Pertanyaan itu membuat keduanya terkejut. Mereka kompak membulatkan mata saat melihat Daffa sudah berada di dekat meja mereka. Lelaki itu datang dengan beberapa mahasiswa yang tergabung dalam BEM. Tentu saja mereka kenal karena mereka juga anggota BEM. “Kebetulan, nih. Boleh kita gabung?” tanya Gara. Zahra mengenalnya karena Rino adalah sahabat baik Daffa sekaligus wakil. “Maaf-maaf nih, kak. Kita cuma mau girl time. Jadi, lebih baik kakak cari tempat duduk yang lain,” sahut Putri sambil memperlihatkan cengirannys. “Yah … padahal kita cocok loh kalau triple dates,” seru Tama sambil mengedipkan sebelah matanya. Dia memang terkenal paling jahil dan playboy. Tidak sulit baginya untuk menjerat perempuan. Putri yang melihatnya langsung pura-pura muntah. “Najis kalau punya pasangan kayak Lo, kak.” “Awas hati-hati, entar kemakan omongan sendiri, Loh.” Percakapan singkat itu terhenti saat Daffa mengatakan kedua sahabatnya ke meja yang sudah dipesan sebelumnya. Sementara itu, tiga cewek-c
Zahra tidak tahu kesalahannya apa hingga Gibran berubah sangat drastis. Lelaki itu terkesan jauh lebih dingin dan jahat, dibandingkan sebelumnya. Terlebih, kedatangan Aurelia yang membuat Zahra merasa dinomor duakan. Setelah kejadian cap bibir di baju dan siluet orang di mall, kini Gibran menolak dirinya saat memerlukan bantuan karena ban mobilnya bocor di tengah jalan. Dengan jahatnya, Gibran mengatakan tidak bisa. Dia ada rapat dengan Aurelia dan sangat penting, tidak bisa diwakilkan. Apakah wanita itu lebih penting daripada dirinya? “Kamu kenapa, Mas?” tanya Zahra yang tengah menunggu di halte dekat lokasi ban mobilnya mogok. “Apa yang salah dari aku?” Zahra menundukkan kepala dengan telepon menyala. Terlihat nama Gibran di layar itu. Terhitung sudah dua puluh menit dia meratapi perlakuan Gibran yang menyesakkan dada. Dia memang bukan tipe wanita yang menyek-menyek. Akan tetapi, yang namanya istri akan tetap merasakan sakit saat mendapatkan penolakan dan perlakuan buruk suami.
Kebahagiaan selalu beriringan dengan kesedihan, keduanya memiliki peran masing-masing dan saling melengkapi. Zahra tahu akan hal itu. Hanya saja, terkadang Zahra merasa Tuhan tidak adil dalam hidupnya. Dia memiliki kasih dan saling mencintai, itu awalnya. Namun, Tuhan menghadirkan rasa cinta tak semestinya untuk sang kakak ipar. Setelah itu, Tuhan seperti menghukumnya dengan sakitnya kakak kembarnya. Tidak berhenti sampai di sana, dia diminta sebagai pengganti Ibu sekaligus istri. Bahagia, jujur saja iya. Akan tetapi, kebahagiaan itu terasa semu saat Gibran menganggap dirinya sebagai pengasuh. Ya, hanya pengasuh. Mengenaskan bukan nasibnya saat ini? Dia seorang istri, tapi hanya dianggap sebagai pengasuh. “Hayo, lagi mikirin apa?” Zahra langsung mengerjapkan mata. Detak jantungnya tak menentu untuk sesaat. Kepalanya langsung mendongak. Dia sudah ingin memaki siapapun itu, tetapi ia urungkan saat melihat Daffa. Laki-laki itu lagi. “Kamu mau bikin jantungku breakdance sampai keluar
Plak! Tamparan keras langsung Zahra layangkan pada Gibran. Tangannya bergetar, dadanya bergemuruh, serta kedua matanya merembang. Zahra sama sekali tidak menyangka kata-kata jahat itu keluar dari mulut suaminya. “Jahat kamu, Mas!” Air mata Zahra mengalir begitu deras. Sementara itu Gibran terdiam dengan kepala yang masih menoleh ke kanan. Dia terkejut karena menerima tamparan begitu keras. Ini kali pertama dia mendapatkannya. “Bisa-bisanya kamu berpikir picik seperti ini!” Zahra menghapus air matanya dengan cepat —meski kembali menetes—. Dia menatap begitu lekat sang suami. Mengapa sakit sekali mencintai suaminya sendiri? “Aku selama ini diam dengan perlakuan kamu.” Zahra kembali menyeka air matanya. “Aku diam saat kamu hanya anggap sebagai pengasuh. Aku diam saat kamu bermain tangan saat kita baru menikah.” Gibran tetap terdiam di tempatnya. Akan tetapi, kali ini dia menatap lekat sang istri. Ada getar rasa bersalah yang ia rasakan. Sungguh, dia tidak ingin berbicara seperti it
Gibran langsung melarikan tatapannya ke segala arah. Dia begitu risau saat mengetahui Zahra meninggalkan rumahnya. Wanita itu bahkan hanya meninggalkan kertas tanpa berpamitan pada dirinya atau orang rumah. Bahkan, wanita itu mampu meninggalkan Nazira yang selama ini menjadi alasan pernikahan mereka. “Den, bagaimana?” Bi Jum akhirnya membuka mulut setelah sekian lama diam. Dia juga ikut panik karena tidak menjumpai Zahra di sekeliling rumah. “Khem. Zah—zahra pasti ke rumah orang tuanya, Bi. Bibi nggak perlu khawatir,” ujar Gibran pada Bi Jum. Tanpa orang tahu, Gibran tengah menguatkan hatinya sendiri. Dia tengah meyakinkan diri bahwa Zahra tidak mungkin pergi. “Oh … Bi Jum jadi lega kalau begitu.” Wanita paruh baya itu terdengar polos, meski ada sedikit ragu. “Saya boleh minta tolong untuk menemani Nazira dulu, Bi?” Gibran menatap Bi Jum dengan lekat. “Bisa, Den.” Wanita itu mengambil alih Nazira yang sudah lebih tenang. “Sama bibi dulu ya cantik. Buna Zahra pulang sebentar ke rum
Berulang kali mulut bisa mengatakan ikhlas dan merelakan. Hanya saja, hati tidak bisa berbohong. Daffa, dia mengakui bahwa Zahra masih bertahta di hatinya sampai saat ini. Maka dari itu, mendengar Zahra pergi dari rumah membuatnya khawatir. Tanpa memedulikan luka di sudut bibirnya, Daffa bergegas memasuki kamar dan berganti pakaian santai. Hari ini, dia akan mencari keberadaan Zahra. Bohong jika dia bahagia mendengar kabar kepergian mantan kekasihnya. Justru, saat ini Daffa tengah menduga-duga sesakit apa hatinya sehingga memutuskan untuk meninggalkan rumah, beserta anak dan suaminya. “Mau ke mana kamu, Daf?” tanya Bunda Lina saat melihat anaknya sudah kembali rapi, padahal baru saja kembali. “Loh, ini kenapa wajah kamu?” Mata Bunda Lina membulat sempurna saat melihat wajah Daffa dipenuhi lebam. “Kamu berantem sama siapa, Nak?” Daffa mengulas senyum saat melihat kekhawatiran sang Bunda. “Tadi ada preman yang mau begal Daffa, Bun. Mau tidak mau, Daffa berkelahi untuk mempertahankan
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?”Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu.“Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda.“Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur.Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran.“Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain.“Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri.“Zahra tidak bis
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Bi, Gibran ke mana?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Mama Puspa sesaat setelah tiba di rumah anaknya. Raut kelelahan terlihat jelas di wajah yang mulai memunculkan keriput. Namun, di sisi lain dia sangat senang dan bersyukur karena pada akhirnya Nazira diperbolehkan keluar dari rumah sakit.“Saya lihat mobilnya tidak ada,” lanjutnya sambil berjalan menaiki tangga menuju kamar Nazira.“Anu … itu Nyonya,” ucap Bibi dengan terbata. Merasa ada yang aneh, Mama Puspa menghentikan langkahnya. Ia lalu menoleh ke belakang, lalu berkata, “Bicara yang jelas Bi Jum. Gibran ke mana?”“Tadi … Den Gibran pergi setelah ada tamu.”“Tamu?” tanyanya dengan kening mengerut. “Siapa tamunya?” tanya Mama Puspa dengan intonasi tidak sukanya. Bagaimana bisa anaknya itu pergi padahal Nazira baru saja pulang dari rumah sakit.“Sama Mbak Liya, Nyah.”Mata Mama Puspa beberapa kali mengedip. *Maksud kamu Aurelia?” Wanita paruh baya itu kembali mengangguk. “Iya, Nyah.”Jujur saja, mendengar jawaban
“Apa maksud kamu, Nak?” Pertanyaan itu Mama Nadira utarakan setelah beberapa detik terdiam. Jujur saja, dia begitu terkejut dengan perkataan Zahra. Ada apa dengan pernikahan anaknya? Apa yang terjadi hingga Zahra mengatakan hal itu. “Jangan bercanda, Nak. Pernikahan itu bukan untuk mainan.” Mama Nadira mencoba menampiknya. Pasti pernikahan anaknya bauk-baik saja, pasti. Zahra pasti hanya tengah bercanda. “Mama nggak suka ah kamu bicara seperti itu.” Mama Nadira memilih untuk beranjak. Dia menaruh piring kotor di dapur. Sementara itu, Zahra yang ditinggal berdua dengan sang Papa masih belum sanggup menatap papanya. Dia tidak takut. Hanya saja, dia takut membuang ayahnya kecewa dan merasa bersalah. Bagaimanapun, Papa Bagaskara yang menikahkan dirinya dengan Gibran. “Pah …,” panggil Zahra pada akhirnya setelah sekian lama diam. Kepalanya terus menunduk dengan tangan saling bermain. “Ada apa, Nak?” tanya Papa Bagaskara dengan tegas, tapi tersimpan kekhawatiran tersendiri. “Zahra tid
“Sayang, tumben kamu masak banyak banget.”Seruan itu membuat Mama Nadira yang tengah menggoreng ayam lengkuas langsung menoleh. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ke atas saat melihat tubuh tegap milik Bagaskara bersandar di dinding.“Iya, dong. Tadi Zahra bilang kalau mau pulang.”Kening Bagaskara langsung mengernyit mendengarnya. “Kapan bilang sama kamu, Mah?” Lelaki itu mendekat ke arah sang istri dan mengambil potongan kecil ayam yang sudah matang. “Enak, seperti biasa,” pujinya sambil memberikan satu kecupan di pipi Mama Nadira.“Ih … Papa apa-apaan, sih. Main cium-cium sembarangan. Nanti kalau ada yang lihat gimana?” gerutu Mama Nadira sambil menatap protes. Namun, kedua pipinya yang memerah tidak bisa menyembunyikan bahwa dirinya tengah salting.Mendengar itu Bagaskara hanya bisa menggelengkan kepala. Dia biarkan saja istrinya kembali melanjutkan kegiatan memasak. Kebahagiaan tersendiri melihat Nadira tersenyum benar-benar lepas setelah kepergian Humaira.Dua bulan setelah
“Yakin hari ini Lo mau masuk kampus?” Pertanyaan itu membuat Zahra yang mengaplikasikan sunscreen menoleh. Wanita itu menghela nafas. Ini pertanyaan ketiga setelah dia mengatakan akan masuk kampus setelah lima hari menjalani kelas secara online.“Yakin. Lo nggak usah khawatir, Put. Gue baik-baik saja.”Selesai bersiap, mereka akhirnya pergi ke kampus. Di sela perjalanan, mereka bercerita tentang hal-hal kecil. Zahra beberapa kali dibuat tertawa oleh Adel.Meskipun begitu, ada rasa hampa di sudut hatinya. Dia berulang kali bertanya, bagaimana kabar Nazira? Apakah anaknya itu baik-baik saja? Zahra tidak bisa abai pada amanah yang sudah dititipkan pada dirinya.“Lo … nggak mau pulang, Ra”“Pulang ke rumah Mama?” Zahra membuka galeri, lalu menatap foto dirinya dan Nazira. Tanpa bisa dicegah, tangannya bergerak untuk memberikan usapan. “Terlalu jauh sam—”“Lo tau yang gue maksud, Ra,” sela Adel sambil menoleh ke arah kiri. “Gue tanya, kapan Lo pulang ke rumah suami? Lo punya tanggung jawab
“Mama nggak mau tau ya, Gib. Kamu harus cari Zahra sampai ketemu! Mama nggak mau lihat Nazira sakit!!” Mama Puspa menatap tajam Gibran yang kini duduk di ruang rawat Nazira. Lelaki itu mengurut hidungnya. Kepalanya semakin pening mendengar Omelan sang Mama. Awalnya, dia sengaja menyembunyikan kepergian Zahra karena tahu reaksi mamanya akan seperti ini. Namun, sebaik apa pun dia menyembunyikannya, Mamanya mengetahui juga. Jangan lupakan wanita yang melahirkannya ini mempunyai banyak mata. “Iya, Ma. Gibran juga masih berusaha mencari Zahra.” Mama Puspa menghela nafas panjang. “Apa yang kamu perbuat hingga Zahra meninggalkan rumah, ha?” Puspa menatap tajam anaknya. “Kamu ini mikirnya gimana sih, Gib?” tatapan itu berubah menjadi sendu. “Zahra itu sudah mengorbankan masa depannya untuk masa depan kamu dan Nazira!” Puspa memalingkan muka, sambil mengusap air matanya. “Dia melakukan itu tanpa banyak protes. Tapi kamu, kamu justru tidak tahu diri. Kamu menyakitinya hingga Zahra memutuska
Pyarr. “Astaghfirullah,” teriak Mama Nadia. Wanita setengah baya itu menatap pigura foto pernikahan Zahra dan Gibran yang ada di dekat televisi terjatuh. Matanya menatap cukup lama bingkai itu. Ia mulai merasa ada hal yang terjadi antara anak dan menantunya. “Ada apa, Ma?” tanya papa Bagas saat mendengar teriakan Mama Nadia. Lelaki itu mendekati Mama Nadia yang masih memaku di tempat sambil memegang album foto. Bagas melihat istrinya menatap ke lantai, lebih tepatnya ke arah foto pernikahan Zahra dan Gibran yang kini pecah. “Astaghfirullah, kok bisa pecah?” tanya Papa Bagas sambil bergegas merapikan itu. “Ah … ini masih bisa diperbaiki, Ma. Nggak kenapa-napa,” ujar Papa Bagas menenangkan istrinya. “Pah … ada apa sama mereka, ya?” tanya Mama Nadia begitu lirih. Dia berdiri perlahan, lalu menatap suaminya dengan lekat. “Perasaan Mama tiba-tiba nggak enak, Pa. Mama merasa ada yang terjadi sama mereka,” ungkapnya tentang keresahan hati. Papa Bagas yang mendengar itu menghela nafas