Memang apa salahnya hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Toh, aku juga punya sahabat laki-laki. Sahabatku tidak hanya Bia. Begitu pula dengan Bia. Ia juga punya sahabat lain selain aku. Memang benar, setiap hari aku dan Bia selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun, saat sudah sampai sekolah pun kami akan sibuk dengan teman masing-masing.
Seperti pagi ini. Seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan memboncengkan Bia. Tampak di depan sana, kawan-kawan mainku sudah menunggu di parkiran sekolah. Kuyakin mereka pasti akan mengolok-olokku lagi.
“Ciyee pasangan friendzone, makin lengket aja nih,” ledek Ryan—salah satu sahabatku—yang sedang nangkring di atas sepeda motor miliknya.
“Berisik lo!” timpalku sesaat setelah memarkirkan sepeda motor. Segera kulepas helm, lalu menatap kesal ke arahnya.
Sementara itu, Bia kini juga sudah turun dari motor dan sedang berusaha melepas helmnya. “Qi, bantuin. Helmya tiba-tiba macet,” ucap Bia tiba-tiba. Aku pun segera turun dari motor dan berdiri di hadapannya. Kedua tanganku berusaha membantu melepas helm di kepala gadis berambut pendek itu. Memang benar, sedikit macet.
Beberapa saat mencoba, akhirnya helm Bia bisa juga dilepas. Kuangkat helm dari kepalanya. Tampak sedikit peluh menempel di kening Bia yang tak tertutup sehelai rambut pun karena semua rambutnya memang sudah dikuncir ke belakang. Khas seorang Bia.
“Idiih, so sweet banget nih suami istri,” ucap Deni—sahabatku juga—yang baru datang dari arah gerbang mendekati kami. Pemuda berkulit sawo itu sepertinya melihatku tadi sedang melepaskan helm Bia.
“Suami istri!” Bia tampak membulatkan kedua matanya. Gadis berbulu mata lentik itu lantas memberikan bogeman kecil tepat di perut Deni. Si empunya perut pun meringis.
“Ampun, Bi. Ampun. Sakit tau!” ucap Deni seraya memegang perutnya. Bogeman Bia padahal tidak terlalu keras. Namun, entah kenapa Deni sampai kesakitan seperti itu.
“Sakit apanya, orang pelan gitu kok,” jawab Bia santai, “kamu aja tuh yang lemah.” Bia tampak memanyunkan bibir mungilnya. Ia memang tak sungkan-sungkan memberikan bogeman atau jitakan kepada siapa saja yang membuatnya marah. Aku sendiri pun sering sekali dijitak olehnya, meskipun tidak terlalu keras.
“Haha. Cemen lo, Den. Sama cewek aja kalah,” ejek Ryan. Pemuda berparas tampan itu kini tengah tertawa dari atas motornya melihat apa yang dialami Deni.
“Lah emangnya lo berani sama Bia?” tanya Deni. Ia sepertinya tidak terima diejek seperti itu oleh Ryan.
“Enggak juga, si. Mana berani gue sama cewek sabuk hitam kayak dia, hehe.” Ryan meringis, menampilkan deretan giginya yang tersusun rapi. Bia memang jago bela diri. Ia sudah belajar karate bersamaku sejak kami sama-sama masih TK. Kini, kami berdua sudah mendapat gelar sabuk hitam.
“Udah ah, berisik banget si kalian berdua. Aku mau ke kelas dulu. Ini, Qi. Titip helm nya, ya,” ucap Bia. Gadis berkulit putih itu meletakkan helm di atas kaca spion motorku.
“Iya, Bi. Nanti kamu pulang jam dua, 'kan?” tanyaku.
“Iya. Jam dua seperempat.”
“Oke,” balasku.
Gadis berlesung pipi itu pun segera pergi meninggalkan kami bertiga di parkiran.
“Bia itu sebenernya cantik ya, tapi sangar gitu,” ucap Deni seraya menatap kepergian Bia. Memang, sebenarnya Bia gadis yang cantik. Banyak yang mengakuinya. Termasuk aku, sahabatnya sendiri.
“Gue perhatiin juga dia sebenernya manis. Tapi bisa nggak ada cewek-ceweknya tuh anak,” balas Ryan, sependapat dengan Deni. “Lo nggak pernah naksir sama Bia, Qi?” tanya Deni tiba-tiba. Ia kini menatap ke arahku seraya menaik turunkan kedua alisnya.
“Enggak, lah. Gue sama Bia kan cuma sahabatan,” jawabku sesegera mungkin.
“Ya barangkali aja. Sahabat kan bisa jadi cinta. Lo nggak pernah deg-degan gitu kalo lagi deket Bia?” tanya Deni lagi.
Aku melotot mendengar pertanyaannya. “Ya deg-degan lah, bego! Kalo nggak deg-degan gue udah mati dong.”
“Hissh bukan itu maksud gue, Qi!” sahut Deni,
“Lah lagian, lo nanyanya aneh-aneh. Udah lah. Yuk masuk kelas aja. PR gue belum selesai,” ajakku kepada mereka berdua. Aku memang belum sempat menyelesaikan tugasku itu di rumah. Entah kenapa semalam mataku sulit sekali untuk terbuka.
“Eh, iya. Gue juga belum selesai.” Deni tampak menepuk jidatnya. Kami bertiga pun segera melangkah menuju kelas kami, XI IPS 3. Kelas yang menjadi saksi bisu persahabatan kami sampai saat ini.
Aku, Ryan, dan Deni memang sudah bersahabat sejak kelas X. Selain karena kami selalu satu kelas, kami juga sama-sama pecinta dunia motor dan sepak bola. Alhasil kami bertiga pun langsung akrab sejak kenal di kelas X.
Ryan Atmojo, anak seorang pemilik perkebunan teh yang cukup luas di daerah ini. Bisa dibilang dia anak sultan, orang tuanya kaya. Namun dia tak pernah memamerkan kekayaannya di depan orang lain. Wajahnya lumayan tampan. Tubuhnya juga tinggi, layaknya seorang atlet. Tak sedikit gadis-gadis yang naksir ke dia. Apalagi gayanya cukup stylish. Namun, anehnya Ryan punya tipe cewek yang entahlah, aku juga bingung sendiri. Kadang ia berpacaran dengan kutu buku, kadang anak tomboi, kadang anak organisasi. Entahlah aku tak paham dengan seleranya.
Deni Saputra. Di antara kami bertiga, mungkin Deni yang paling banyak omong. Dia sebenarnya cukup tampan, tetapi tingkah koplaknya membuat ia sampai saat ini masih menjomlo. Ya, sama sepertiku si, tetapi jomloku bukan karena aku tak laku. Tak sedikit teman perempuanku yang mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun, entah kenapa belum ada satu pun yang menarik hati.
Dan inilah kami, tiga siswa tampan dan keren di sekolah ini. Hahaha. Enggak kok, itu cuma pendapatku saja. Kami tak sepopuler itu. Namun, kalau tampan, itu sudah jelas. Kami memang terkenal tampan. Terserah mau dikata terlalu GR atau apa. Orang tampan mah bebas. Hahaha.
***
“Uqi, ini coklat buat kamu,” ucap seorang gadis saat aku sedang sibuk mengerjakan PR di dalam kelas. Aku menoleh kepadanya. Tampak Elsa—teman sekelasku—sudah berdiri di samping meja. Kedua tangannya menggenggam sebatang coklat yang ia serahkan kepadaku.
“Kemarin ayahku baru pulang dari Batam. Trus beli beberapa oleh-oleh. Ini buat kamu,” ucap gadis berambut panjang itu seraya tersenyum manis kepadaku. Aku melirik sekilas ke arah coklat dengan bungkus warna hitam yang dibawanya. Merk coklat yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mungkin itu khas dari Batam.
Aku pun tersenyum. Lalu menerima coklat darinya. “Makasih ya, El.”
“Sama-sama, Qi. Semoga kamu suka, ya.” Gadis berwajah ayu itu tampak memperlebar senyumannya kepadaku. Senyuman yang cukup manis. Aku akui itu. Kedua pipinya membentuk lesung yang indah saat ia tersenyum.
“Cuma Uqi aja nih yang dikasih coklat. Kita enggak, El?” celetuk Deni dari arah belakang. Deni dan Ryan memang duduk tepat di bangku belakangku. Barisan paling belakang. Pojok kelas pula. Deni sebenarnya juga sedang mengerjakan PR. Namun entah kenapa ia tahu kalau aku diberi coklat oleh Elsa. Dasar matanya memang jeli sekali kalau lihat gadis cantik.
“Eh. Maaf ya, Den. Aku cuma bawa coklat satu buat Uqi,” jawab Elsa. Ia sedikit mengerutkan kening. Mungkin tak enak hati kepada Deni.
“Emm, ya deh nggak papa. Yang ada di pikiran kamu kan cuma Uqi. Mana inget sama kita berdua ya, Yan. Haha,” balas Deni seraya menghadap ke arah Ryan.
“Eh, bu-bukan gitu kok,” ucap Elsa seraya menundukkan wajah. Kulihat pipinya sudah merah merona karena ucapan Deni tadi. Elsa memang seringkali memberikan perhatian khusus kepadaku. Entah memberikan hadiah, meminjamiku alat-alat tulis, atau hanya sekedar menyapa saat kami bertemu.
Sebenarnya Elsa gadis yang pemalu. Dia bukan tipe gadis yang senang memamerkan kecantikannya seperti gadis pada umumnya. Kuakui Elsa memang cantik. Rambutnya panjang dan selalu tertata rapi dengan jepit rambut yang biasa ia pakai di atas telinganya. Namun, aku sama sekali tak merasakan sesuatu yang lain atas semua perhatian yang ia berikan.
“Nanti aku coba liat di rumah, ya. Barangkali coklatnya masih. Besok aku bawa buat kalian,” ucap Elsa.
“Ehh nggak usah, El. Nanti kita bisa nyicipin aja punya Uqi kok,” balas Ryan.
“Hush. Itu kan spesial buat Uqi. Mana boleh kita minta,” ucap Deni. Aku pun menoleh ke arah mereka berdua. Kubulatkan kedua mata menatap mereka. Mengisyaratkan untuk diam.
“Eng .... Nggak papa, kok. Besok aku bawain buat kalian kalau masih ada,” jawab Elsa.
“Nggak usah repot-repot, El. Jangan dengerin mereka. Mereka mana doyan makan coklat. Mereka doyannya gulali,” ucapku.
Elsa tertawa kecil mendengar ucapanku. “Ya udah, Qi. Aku balik ke mejaku dulu, ya.”
“Iya, El. Sekali lagi makasih, ya,” ucapku seraya mengangkat coklat pemberiannya.
“Sama-sama, Qi.” Elsa tersenyum, lalu kembali ke tempat duduknya di depan.
“Ehm ehm ... jadi mau sama Bia apa sama Elsa, nih?” celetuk Deni. “Kalau milih Bia, biar Elsa-nya buat gue. Kalau milih Elsa, biar Bia-nya buat gue.”
“Diem lo ah, PR gue belum selesai,” jawabku tak pedulikan ucapan Deni. Kuletakkan coklat pemberian Elsa di pojokan meja.
Bersambung.
Kriing!Bel istirahat berbunyi. Membuatku bernafas lega. Menyebalkan sekali pagi-pagi seperti ini sudah dijejali pelajaran matematika. Membuat otakku bekerja tujuh kali lebih ekstra dibanding biasanya. Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Kupejamkan mata sejenak. Menghadapkan wajahku ke langit-langit ruangan. Otakku sepertinya butuh istirahat. Ia sudah terlalu lelah dengan rumus dan angka-angka yang menjejal di kepala.“Qi, pinjem jaket kamu, dong.” Tiba-tiba kudengar suara Bia berbicara kepadaku. Entah kapan datangnya, saat aku membuka mata, gadis berambut pendek itu sudah ada di depan meja. “Aku nanti pelajaran Bahasa Indonesia ada penilaian drama, mau pake jaket kamu buat properti. Boleh, ya?”Aku menatap ke arahnya. “Hmm iya, deh.” Segera kuambil jaket yang memang hanya kuletakkan di atas kursi. “Nih,” ucapku seraya menyerahkan jaket warna navy-ku kepadanya.“Makasih, Uqi. Nanti pulang sekolah biar bawa pulang aku aja, ya. Sekali
Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bia masih berjalan normal saja, layaknya seorang sahabat. Kami berangkat sekolah bersama, latihan beladiri bersama, mendaki Puncak Prau bersama, dan masih banyak kegiatan yang sering kami lakukan bersama. Mungkin satu-satunya kegiatan yang tak pernah kulakukan bersama Bia adalah bermain balap motor.Berbeda denganku yang suka dunia motor dan otak-atik mesinnya, Bia sama sekali tak suka dengan hal-hal semacam itu, bahkan sampai sebesar ini pun Bia sama sekali belum bisa mengendarai sepeda motor. Alhasil, hampir setiap hari aku menjadi tukang ojeknya untuk antar jemput berangkat sekolah.Namun, hari ini aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya ia berangkat sekolah terlebih dahulu meninggalkanku. Padahal biasanya ia selalu setia menungguku menjemputnya di depan rumah, tetapi tidak dengan hari ini. Semuanya berbeda. Apalagi saat bertemu di sekolah. Kedua netraku dibuat terbelalak karena perubahan penampilann
“Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku?Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu
Sayup-sayup suara kokok ayam membangunkanku dari alam mimpi. Segera aku menuju ke kamar mandi. Cuci muka dan mengambil air wudhu. Sudah menjadi rutinitasku, selalu menunaikan salat malam setiap harinya.Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam
Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataann
Bia berjalan melewatiku dan Elsa dengan wajah tertunduk. Jangankan menyapa, menatap wajah pun tak ia lakukan. Ia hanya sempat melirik kami saat masih di depan sana. Sejenak aku menghentikan langkah, menatap Bia yang berlalu melewatiku dan Elsa. Rasanya hampa sekali. Tak ada obrolan atau candaan yang biasa mengalir di antara kami.“Qi?” Suara Elsa tiba-tiba menyadarkanku yang sedari tadi tengah menatap kepergian Bia. “Ada apa?” tanyanya. Elsa sepertinya tampak bingung karena melihatku tiba-tiba berhenti. Ia sedikit mengerutkan kening menatapku.“Eh, nggak papa, El,” sahutku buru-buru. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bia.“Kirain ada apa,” ucap Elsa.Aku hanya tersenyum, berusaha mengalihkan pikiranku dari Bia yang tadi hanya berlalu melewatiku, lalu kami pun kembali melangkah bersama menyusuri koridor sekolah.“Bukannya tadi itu Bia temen kamu ya, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba
Aku melangkah memasuki rumah dengan tubuh gontai. Rasanya lemas sekali. Energiku seolah-olah terkuras habis. Bukan karena kelelahan. Aku sudah biasa melakukan aktivitas fisik lebih berat dari hari ini.Satu-satunya alasan yang membuatku tak bersemangat adalah Bia. Entah kenapa, kejadian di sekolah tadi selalu terngiang-ngiang di kepala. Aku ingat betul bagaimana Bia menatapku saat sedang berjalan berdua dengan Elsa, pun demikian saat aku memboncengkan Elsa di depan sekolah. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah kepadanya.Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tak melakukan kesalahan apa pun. Semua hal yang kulakukan sama sekali tak ada hubungannya dengan Bia. Aku tak perlu meminta izin untuk berjalan bersama Elsa, atau mengantarnya pulang. Semua itu bisa kulakukan tanpa persetujan dari Bia. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan ini semua adalah salah.Kurebahkan tubuh di atas sofa. Masih dengan seragam yang sama. Bahkan ransel pun masih menempel di balik pungg
Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ay
Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh
Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga
Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb
Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!
Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik
Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa
Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan
Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p
Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&