Share

Curhat

Author: hajara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku melangkah memasuki rumah dengan tubuh gontai. Rasanya lemas sekali. Energiku seolah-olah terkuras habis. Bukan karena kelelahan. Aku sudah biasa melakukan aktivitas fisik lebih berat dari hari ini.

Satu-satunya alasan yang membuatku tak bersemangat adalah Bia. Entah kenapa, kejadian di sekolah tadi selalu terngiang-ngiang di kepala. Aku ingat betul bagaimana Bia menatapku saat sedang berjalan berdua dengan Elsa, pun demikian saat aku memboncengkan Elsa di depan sekolah. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah kepadanya.

Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tak melakukan kesalahan apa pun. Semua hal yang kulakukan sama sekali tak ada hubungannya dengan Bia. Aku tak perlu meminta izin untuk berjalan bersama Elsa, atau mengantarnya pulang. Semua itu bisa kulakukan tanpa persetujan dari Bia. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan ini semua adalah salah.

Kurebahkan tubuh di atas sofa. Masih dengan seragam yang sama. Bahkan ransel pun masih menempel di balik punggung. Hanya kedua sepatu saja yang sudah kulepas dari kaki.

Sebenarnya tubuhku terasa amat lengket. Butiran peluh sudah membasahi hampir seluruh seragam. Namun, rasanya malas sekali untuk bangkit, apalagi beranjak ke kamar mandi. Akhirnya, kuputuskan untuk memejamkan mata sejenak. Menenangkan isi kepala, pun juga dengan isi hati.

***

“Qi ... Uqi ....” Samar-samar kudengar suara Bunda memanggil namaku. “Bangun, Sayang. Sudah hampir jam lima.”

Perlahan aku membuka mata. Menyadarkan diri dari kehidupan di alam mimpi. Pandanganku beredar ke seisi ruangan. Ternyata aku masih berada di ruang tengah. Dengan posisi tidur masih di atas sofa, pun dengan seragam sekolah yang sama.

“Ayo bangun, Qi! Mandi sana, sudah hampir jam lima loh!” perintah Bunda lagi. Tampak Bunda kini berdiri tepat di hadapanku.

“Jam lima, Bunda?” Aku sedikit terperanjat. Kalau ini jam lima, itu artinya aku sudah tertidur selama kurang lebih dua jam. 

“Iya. Tadi Bunda pulang dari acara arisan, tau-tau kamu udah tiduran di sini. Kamu udah salat Asar belum?” tanya Bunda.

“Belum, Bunda.”

“Ya sudah, sana cepat mandi. Trus salat. Nanti keburu waktu asarnya habis,” titah Bunda.

“Iya, Bunda.” Aku segera bangkit. Meletakkan barang-barang di kamar dan bersiap untuk mandi. Aku masih merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku tadi tertidur. Padahal ada jadwal latihan karate jam setengah empat. Pasti sebentar lagi mereka akan selesai. Tak ada kesempatan untukku mengejar waktu latihan. Terpaksa hari ini aku bolos latihan.

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Melakukan aktivitas rutinku setiap hari. Seusai mandi dan salat, aku segera melangkah menuju dapur. Perutku rasanya keroncongan sekali. Sepulang sekolah tadi, aku memang belum sempat makan siang. Pantas saja perut ini sudah meraung-raung minta diisi.

“Itu, tadi Bunda masak sayur asam sama ikan pindang. Kamu pasti lapar, 'kan?” ucap Bunda tiba-tiba. Sepertinya Bunda melihatku sedang mencari-cari makanan.

“Iya, Bunda. Uqi laper banget, hehe,” ucapku seraya meringis, memamerkan deretan gigi putihku. Aku pun segera mengambil piring dan mengisinya dengan secentong nasi dan lauk pauk. Tanpa banyak waktu, aku segera melahap masakan Bundaku ini di meja makan.

“Ayah mana, Bunda?” tanyaku di sela-sela suapan makan siangku ini. Aku menatap ke arah Bunda yang kini duduk bersamaku di meja makan. Bukan untuk makan. Hanya menemaniku menikmati hidangan lezatnya.

“Ayah lagi takziah ke kampung sebelah, Qi. Paling sebentar lagi juga pulang,” jawab Bunda sambil membuka-buka sebuah buku resep yang tergeletak di atas meja makan.

“Ooh, siapa yang meninggal, Bunda?” tanyaku penasaran.

“Itu loh Pak Bejo. Yang punya toko sembako cukup besar di pasar,” papar Bunda.

“Ooh.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Sebenarnya aku tak kenal siapa Pak Bejo itu. Namun, siapa pun Beliau, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah Swt.

“Oh ya, Qi. Bunda sampai lupa. Tadi Bia datang, ngembaliin jaket. Bunda taroh di kamar kamu. Soalnya kamu tadi lagi mandi, si,” ucap Bunda.

“Bia? Datang ke rumah, Bunda?” Aku sedikit terkesiap mendengar ucapan Bunda. Kuhentikan aktivitas makanku dan menatap lekat-lekat wajah Bunda. Padahal sebelumnya, hampir tiap hari Bia datang ke rumah. Namun, setelah semua ini, rasanya begitu aneh saat Bia mau datang lagi ke rumah.

“Iya. Tadi Bunda nawarin buat mampir main, tapi Bia nya nggak mau. Lagi buru-buru katanya,” balas Bunda. “Oh ya, sekarang Bia pake jilbab ya, Qi?” tanya Bunda.

Aku hanya mengangguk. Mungkin Bunda baru melihat perubahan penampilan Bia, makanyà Bunda sedikit heran.

“Bia tambah cantik ya kalo pake jilbab kayak gitu.” Ucapan Bunda seketika membuatku membeo di tempat. Entah Bunda orang keberapa yang mengatakan bahwa Bia semakin cantik saat memakai jilbab.

“Menurut kamu juga begitu, 'kan, Qi?” tanya Bunda sembari tersenyum ke arahku.

“Eh, eng-enggak tau, Bunda,” jawabku. Entah kenapa, pertanyaan Bunda membuatku sedikit gelagapan. Kulihat Bunda hanya tersenyum mendengar jawabanku. Senyuman yang terlihat aneh. Apa Bunda sedang menggodaku?

***

Malam ini aku sama sekali tak bisa tidur. Posisi badan sudah kumiringkan ke kanan, ke kiri, terlentang, bahkan tengkurap. Namun, sama sekali tak membuat kedua bola mataku ini mau terpejam.

Aku menatap jam di dinding kamar. Pukul 21.00 WIB. Sebenarnya masih belum terlalu malam. Namun, udara di luar sana begitu menusuk kulit. Membuatku enggan untuk keluar rumah. Lebih baik di dalam kamar saja. Tidur berselubung selimut hangat.

Kuambil ponsel di atas nakas. Berharap dengan memainkan benda pipih itu mataku akan mulai mengantuk. Beberapa aplikasi jejaring sosial mulai kubuka. Namun, tak ada yang menarik. Akhirnya kubuka aplikasi pengirim pesan. Melihat-lihat isi status kawan yang tersimpan di kontak.

“Kok ada status Mba Huma?” gumamku. Aku segera membalas status kakak perempuanku satu-satunya itu, Humairoh Assyifa. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan.

[Mba, kok tumben bikin status. HP nya nggak dikumpulin?]

Aku segera mengirim pesan kepadanya. Tampak dua tanda centang muncul di akhir kalimat yang kukirim. Menandakan ponselnya memang sedang aktif.

Mba Huma merupakan seorang santri di salah satu pondok pesantren di Kota Pekalongan. Aku tahu peraturan di pesantrennya memang mengharuskan seluruh ponsel yang dibawa para mahasiswa saat malam hari untuk dikumpulkan. Namun, malam ini Mba Huma masih terlihat aktif dari status pesannya.

Drrrt drrt! Terdengar bunyi getaran ponsel. Pasti itu pesan dari Mba Huma. Segera kubuka pesan itu.

[Mba lagi ngerjain revisian skripsi, Qi. Jadi HP nya belum dikumpulin dulu.]

Aku mengaggukkan kepala seorang diri. Pantas saja HP Mba Huma tak dikumpulkan. Kakak perempuanku itu memang sudah berada di semester akhir perkuliahannya sehingga saat ini ia sedang sibuk mengerjakan tugas akhir.

Kuketikkan beberapa kata untuk membalas pesan dari Mba Huma

[Ooh. Mba, aku pengin cerita nih. Boleh?]

Aku memang biasa menceritakan segala permasalahanku kepada Mba Huma. Karena dialah satu-satunya orang yang bisa memberiku jalan keluar atau nasihat selain Ayah dan Bunda. Tentu saja Ayah dan Bundalah terbaik. Namun, tentu saja ada beberapa hal yang tak berani kuceritakan kepada Ayah dan Bunda karena malu. Dan saat itu, Mba Huma satu-satnya tempatku mencurahkan segala isi hati.

[Cerita apa? Masalah cewek lagi? Atau masalah pacar kamu?] 

Kubaca pesan balasan dari Mba Huma. Ia seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. Memang ada untungnya punya kakak yang masih sama-sama muda.

[Iya. Tapi bukan cewek biasa. Aku nggak punya pacar lah. Ini masalah Bia. Aku telepon ya]

Segera kutekan tombol panggil di nomor kontak Mba Huma.

“Assalamu'alaikum, Mba,” salamku kepada sesaat setelah panggilan suaraku diterima.

“Wa'alaikumussalam, Qi. Gimana? Ada apa sama Bia?” jawabnya dari ujung telepon.

“Gini, Mba. Aku itu lagi heran sama Bia. Tiba-tiba dia berubah. Penampilannya, perilakunya, dan sikapnya kepadaku. Bia kini pakai jilbab, Mba. Nggak seperti biasanya. Dan dia bilang pengin menjaga jarak dariku. Karena bukan mahram, katanya,” paparku.

“Ya bagus dong. Itu artinya Bia sedang hijrah menjadi muslimah yang lebih baik lagi,” balas Mba Huma.

“Iya, Mba. Aku juga lagi berusaha memahaminya. Tapi Bia benar-benar beda, Mba. Bia selalu mendiamkanku. Rasanya aneh sekali. Aku seperti kehilangan hari-hariku yang selama ini selalu bersama dia, Mba. Bahkan tiba-tiba aku merasa bersalah sendiri saat jalan sama cewek lain, atau mengantarnya pulang. Rasanya aneh. Selama ini yang selalu memboncengku adalah Bia. Tiba-tiba berubah cewek lain. Perasaanku mengatakan ini semua salah.”

Terdengar Mba Huma sedikit tertawa. Membuatku heran. Apa yang salah dengan ucapanku? Aku kan sedang tidak melawak.

“Kok ketawa, Mba?” tanyaku.

Mba Huma masih sedikit tertawa. Namun, kali ini lebih pelan daripada tadi. “Abisnya kamu lucu, Qi. Kamu tuh kayaknya lagi jatuh cinta sama Bia, Qi.”

“Ja-jatuh cinta?” Aku sedikit melongo dengan jawaban Mba Huma. Tak mungkin kan aku jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Bagian mana dari ceritaku yang mengatakan aku jatuh cinta kepadanya?

“Iya. Kamu pasti lagi jatuh cinta sama sahabat kamu sendiri itu, Qi. Makanya kamu merasa kesepian tanpa dia,” jawab Mba Huma.

“Nggak mungkin.”

Bersambung.

Related chapters

  • Ada Apa dengan Bia?   Hari yang Kelabu

    Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ay

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Rindu yang Mulai Muncul

    Hari masih pagi, tetapi Bunda dan Mba Huma sudah sibuk berkutat dengan berbagai peralatan dapur. Bunyi wajan dan sutil saling bersahutan, menggema bak sebuah orkestra di rumah kami. Aroma gurih nan lezat pun sudah merebak ke seisi rumah.Bunda dan Mba Huma memang sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan tamu dari Pekalongan. Rencananya, hari ini keluarga kyai Mba Huma akan datang ke rumah untuk bertakziah.Aku sebagai anak laki-laki yang tidak bisa memasak, hanya bisa membantu Bunda dengan bersih-bersih rumah sambil sesekali merecoki mereka dengan mengambil makanan yang sudah jadi. Ya, hitung-hitung sebagai tukang cicip, meskipun tak diizinkan Mba Huma.“Dih, Uqi! Gangguin aja, si! Bantu beres-beres di depan aja sana! Dari tadi makan mulu!” Mba Huma sepertinya mulai kesal karena sedari tadi aku selalu mengambil kue-kue dan gorengan yang baru saja dimasaknya. Ia yang berpakaian bak seorang chef yang ada di TV dengan celemek te

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Menahan Malu

    Selepas Asar, keluarga kyai Mba Huma pamit untuk pulang. Meninggalkanku, Bunda, dan Mba Huma yang kini kembali sibuk di dapur menyiapkan sajian untuk acara tahlil nanti malam.Kami memang sudah sepakat untuk mengadakan acara tahlil setiap malamnya selama tujuh hari sejak Ayah meninggal dunia. Selain untuk mendoakan Ayah, acara ini juga dapat menjadi tempat bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga sekitar. Memang acaranya tidak terlalu besar. Hanya saudara dan tetangga terdekat saja yang diundang.Makanan yang disajikan pun hanya sekadarnya, yang penting masih pantas untuk menjamu tamu. Seperti saat ini, Bunda dan Mba Huma sedang memasak mi ongklok—makanan khas Wonosobo—dan beberapa makanan kecil lainnya.“Bunda, Uqi mau mandi dulu, ya. Lagian Uqi di sini juga bingung mau ngapain. Ngga bisa masak juga,” pintaku. Sedari tadi, aku memang sedang bingung, tak tahu harus membantu apa. Yang kulakukan hanya duduk di meja makan sembari bermai

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Insiden Bola Basket

    Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Pertengkaran

    Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Kecupan yang Tiba-Tiba

    Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Terlambat Jatuh Cinta

    Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Pengakuan

    Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Ada Apa dengan Bia?   Di Gubuk yang Sama

    Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh

  • Ada Apa dengan Bia?   Lebih dari Sekedar Sahabat

    Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga

  • Ada Apa dengan Bia?   Melepas Rindu

    Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb

  • Ada Apa dengan Bia?   Permintaan Maaf

    Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!

  • Ada Apa dengan Bia?   Pengakuan

    Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik

  • Ada Apa dengan Bia?   Terlambat Jatuh Cinta

    Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa

  • Ada Apa dengan Bia?   Kecupan yang Tiba-Tiba

    Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan

  • Ada Apa dengan Bia?   Pertengkaran

    Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p

  • Ada Apa dengan Bia?   Insiden Bola Basket

    Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&

DMCA.com Protection Status