Home / Romansa / Ada Apa dengan Bia? / Hari yang Kelabu

Share

Hari yang Kelabu

Author: hajara
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.

Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.

Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.

Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ayah sama sekali belum sadarkan diri dan masih berada di ruang UGD.

Tentu, aku dan Bunda amat terpukul. Aku tak tahu, sudah berapa banyak air mata yang keluar dari kedua bola mata Bunda, pun demikian denganku. Aku sungguh takut terjadi apa-apa dengan Ayah.

Kami berdua duduk di depan ruang tunggu UGD bersama beberapa orang petugas yang mungkin adalah rekan kerja Ayah. Tanganku masih setia merangkul punggung Bunda. Memberikan kekuatan kepada wanita yang telah melahirkanku ini. 

Beberapa menit kami menunggu, tetapi tak jua ada kabar dari dokter atau pun perawat yang keluar dari ruang UGD. Berbagai pikiran buruk terus datang menghantuiku. Aku sungguh takut Ayah tak bisa diselamatkan. Apalagi, Ayah tadi dibawa dari lokasi kejadian dalam kondisi yang begitu memprihatinkan. Tubuhnya begitu lemas dan basah kuyup. Beberapa luka memar juga tampak di tubuh Ayah. Mungkin karena menghantam bebatuan atau ranting-ranting pohon.

Kucoba berkali-kali menghubungi nomor ponsel Mba Huma untuk memberitahukan kabar ini. Namun, selalu gagal. Ponselnya sama sekali tak aktif. Entah apa yang sedang dilakukan Mba Huma di saat-saat genting seperti ini.

Kleek!

Pintu ruang UGD tiba-tiba terbuka. Seorang laki-laki paruh baya memakai setelan jas warna putih keluar dari ruangan. Aku yang menyadari itu, segera menuju ke arahnya.

“Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?” ucapku buru-buru. Aku sudah begitu khawatir dengan Ayah. Begitu pula dengan Bunda. Ia kini sudah berada tepat di sebelahku.

“Suami saya baik-baik saja, 'kan, Dok?” tanya Bunda penuh dengan kekhawatiran. Kedua bola matanya masih sembab. Menahan isak tangis.

“Tenang dulu, Mas, Bu. Alhamdulillah Pak Darmawan sudah sadar. Namun, tubuhnya masih amat lemas. Beliau kini kami pasang alat bantu pernapasan karena paru-parunya terlalu banyak kemasukan air,” papar laki-laki yang kuketahui dari jasnya itu bernama dr. Danu.

Aku begitu bersyukur karena Ayah sudah sadar. Namun, rasa khawatir juga masih meliputiku, mendengar penjelasan dr. Danu tentang keadaan Ayah yang masih seperti itu. “Boleh kami masuk, Dok?”

“Iya, silahkan. Tapi jangan terlalu lama, ya. Pasien butuh waktu untuk istirahat. Dan jangan mengganggu kenyamanan pasien juga,” pesan Dokter Danu.

“Baik, Dok.” Aku dan Bunda segera masuk ke ruang UGD diantar oleh Dokter Danu. Tampak di sana, Ayah tengah tergeletak lemas di atas ranjang rumah sakit. Aku sungguh tak tega melihat keadaan Ayah.

Jujur, aku tak habis pikir kenapa Ayah mau bekerja sebagai petugas di Kantor BPBD. Padahal menurut Bunda, Ayah berasal dari keluarga yang cukup berada. Orang tua Ayah memiliki perkebunan yang cukup luas di daerah kami. Namun, kata Bunda, Ayah tak mau hanya mewarisi kekayaan yang dimiliki keluarganya. Ayah lebih senang berusaha dengan jerih payahnya sendiri.

Sebenarnya, Ayah dan Bunda sudah merintis usaha perkebunan milik mereka sendiri. Pegawainya pun kini sudah di atas sepuluh orang. Namun, memang sejak dahulu Ayah memiliki jiwa besar dan kepedulian terhadap sesama, Ayah pun lebih melilih untuk bekerja di kantor BPBD. Membantu orang-orang yang terkena musibah.

Pekerjaan yang sangat mulia memang. Namun, penuh dengan resiko. Ayah harus menghadapi ancaman dan bahaya setiap kali menjalankan tugas. Bahkan tak jarang Ayah harus mempertaruhkan nyawa untuk menolong korban bencana atau musibah. Seperti saat ini.

“Ayah ...” ucapku sesaat setelah sampai di dalam ruangan. Aku segera menuju ke samping ranjangnya. Begitu pula dengan Bunda. Bunda kini duduk di sebuah kursi di samping ranjang Ayah. Tangan kanannya tampak menggenggam erat tangan Ayah. Aku tahu Bunda amat terpukul dengan kejadian ini.

“Uqi, Bunda. Ayah nggak papa, kok. Kalian nggak perlu khawatir,” ucap Ayah seraya tersenyum. Suaranya terdengar begitu parau. Wajah yang selama ini selalu tampak gagah dan penuh semangat, kini tampak amat pucat.  

“Ayah yang kuat, ya,” balas Bunda seraya menahan isak tangis. “Ayah harus segera pulih.” Keadaan Bunda tak lebih baik dari Ayah. Wanita yang setiap hari selalu ceria itu kini di wajahnya tampak begitu sendu, penuh dengan kesedihan.

Ayah hanya tersenyum menatap Bunda. Tangannya kini beralih ke wajah Bunda. Mengusap air mata yang sesekali turun membasahi pipi belahan hatinya itu.

“Sauqi, sini Ayah mau bicara sama kamu.” Tampak Ayah mengalihkan tatapannya ke arahku. Tangan kanannya sedikit ia lambaikan ke arahku. Tanpa banyak waktu, aku pun segera mendekat.

“Iya, Ayah. Ada apa, Yah?” Kedua tanganku kini menggenggam lengan Ayah. Kutatap leka-lekat kedua bola mata laki-laki yang selama ini sudah merawatku sampai sebesar ini. 

“Kamu kan anak laki-laki Ayah satu-satunya, dan kamu kini sudah besar. Kamu harus janji satu hal, ya, sama Ayah. Kamu harus selalu menlindungi Bunda dan Kakak kamu.” Ucapan Ayah membuat kedua mataku tiba-tiba terbelalak. Suaranya begitu lemah, tetapi aku dapat mendengar dengan jelas setiap kata yang ia ucapkan. 

“A-apa maksud Ayah berkata seperti itu?” tanyaku. Aku menatap ke arah Bunda. Tampak Bunda juga mengernyitkan dahinya mendengarkan perkataan Ayah. 

“Ayah pengin kamu benar-benar jadi jagoan Ayah. Kamu harus jagain Bunda dan Mba Huma. Apa pun yang terjadi, jangan sampai terjadi apa-apa sama mereka,” ucap Ayah, masih dengan suara yang lemah. Kedua bola matanya menatap lekat-lekat ke arahku.

“A-Ayah kenapa ngomongnya gitu!” sahut Bunda dengan suara yang sedikit bergetar.

Ayah kembali tersenyum. “Yang namanya umur kan siapa yang tahu, Bunda. Bisa saja sekarang, nanti, atau besok, Ayah dipanggil oleh Allah—” 

“Ayah nggak boleh ngomong kayak gitu. Ayah pasti baik-baik aja!” ucapku memotong kalimat Ayah. Jantungku kini berdetak tak keruan. Sungguh, aku amat takut apa yang dikatakan Ayah akan terjadi.

“Ayah, udah nggak usah bahas seperti itu lagi. Bunda percaya pasti Ayah akan segera pulih. Ayah akan segera pulang ke rumah. Ayah harus yakin itu,” ucap Bunda.

Lagi-lagi, Ayah hanya tersenyum. “Qi? Kamu bawa HP?” 

“Bawa, Ayah,” jawabku dengan segera.

“Coba telpon mbakmu, Qi. Ayah pengin ngomong sama dia.” Aku hanya menurut, mengikuti perintah Ayah. Segera kuhubungi nomor Mba Huma. Namun lagi-lagi, nomornya tak bisa dihubungi. Pesan yang kukirim pun tak juga bercentang dua.

“Uhuk ... uhuk ... gimana, Qi?” tanya Ayah.

Aku menggeleng kepadanya. “Nomor Mba Huma nggak aktif, Yah. Dari tadi Uqi udah berkali-kali telpon tapi nggak berdering,” jawabku.

Ayah tampak menghela napas. “Ya udah. Sampein ke mbakmu ya, Qi. Bilang kalau Ayah sayang banget sama dia. Begitu pula sama kamu dan Bunda. Ayah sangat sayang kalian. Kalianlah satu-satunya harta yang paling berharga bagi Ayah.”

“Yah, Ayah ngomong apa, si!” Tiba-tiba perasaanku jadi tak menentu. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Firasat buruk mulai datang menghampiri.

“Tiba-tiba Ayah rindu Fatir, Qi. Ayah ingin bertemu dengan dia.”

“Ayah! Jangan bilang gitu!” Bunda tampak mulai panik. Wajahnya kian memerah. Air mata Bunda sudah tak mampu lagi dibendung.

“Ayah minta maaf kalau selama ini belum bisa jadi Ayah yang baik buat kamu dan Huma, Qi. Ayah juga minta maaf belum bisa jadi suami yang baik buat kamu, Sayang.” Suara Ayah mulai memelan. Sorot matanya mulai meredup. Begitu pula tubuhnya, semakin lemas seperti tak ada tenaga.

“Ayah nggak boleh ngomong gitu. Ayah adalah Ayah terbaik bagi Uqi. Uqi lah yang harusnya minta maaf sama Ayah karena belum bisa jadi anak yang baik.” Aku mulai panik. Begitu pula Bunda.

Ayah hanya tersenyum. Lalu bibirnya mulai bergetar. “A-ayah pa-pamit,  ya, Qi. Asy ... hadu ... al ... laa ... ilaaha ... illalloh ... wa ... asyhadu ... anna ... muhammadar ... rosu ... lulloh ....”

Tepat setelah mengucapkan kata terakhirnya, tiba-tiba Ayah menutup mata. Tubuhnya terkulai lemas. Senyuman manis terukir di kedua sudut bibirnya. Aku begitu syok. Begitu pula Bunda. Air mata kami sudah tak tertahankan.

“Ayah!” teriakku. Berusaha menggoyang-goyang tubuh Ayah. Namun, tak ada respons. 

“Qi. Cepat panggil dokter, Qi! Cepat!” perintah Bunda dengan suara sedikit histeris. Aku pun segera berlari keluar memanggil dokter atau siapa pun yang bisa memeriksa Ayah.

Setelah menemukannya, aku segera masuk ke ruangan Ayah kembali. Tampak Dokter Danu sedikit memeriksa Ayah. Namun, ekspresi mukanya tiba-tiba memuram.

“Maafkan saya, Mas, Bu. Pak Darmawan memang sudah pergi menghadap-Nya.”

Seketika air mataku tumpah ruah. Terlebih Bunda. Isak tangis mulai bersahutan di ruangam kecil ini. Aku sama sekali tak menyangka, Ayah benar-benar pergi meninggalkan kami. Ayah yang selalu menjadi idolaku. Namun, begitu banyak kekecewaan yang aku ukir kepadanya.

“Ayah, kumohon bangunlah ...” lirihku. 

***

Malam ini juga, jenazah Ayah akan diberangkatkan ke pemakaman. Bunda memang menghendaki jenazah Ayah untuk segera dikubur. Karena sudah sembilan jam sejak Ayah menghembuskan nafas terakhir, dan Bunda tak ingin memperlama proses pemakaman Ayah.

Sebenarnya, bisa saja Ayah segera dikuburkan tadi sore. Namun, kami harus menunggu Mba Huma pulang dari pesantren terlebih dahulu. Bunda ingin agar proses pemakaman Ayah dihadiri oleh seluruh keluarga, termasuk Mba Huma yang sedang berada di luar kota.

Alhasil, selepas Asar, aku berangkat menuju Pekalongan untuk menjemput Mba Huma. Lima jam menempuh perjalanan pulang pergi, aku dan Mba Huma akhirnya sampai di rumah. Mba Huma sempat syok karena mendengar berita ini. Apalagi ia tak sempat bertemu atau pun berbicara dengan Ayah di saat-saat terakhirnya.

“Bunda ....” Tangis Mba Huma pecah saat melihat Ayah sudah terbujur kaku di tengah ruangan. Ia segera berlari ke pelukan Bunda. Meluapkan segala tangisnya.

Sementara aku, sama halnya dengan Mba Huma, aku sungguh tak sanggup lagi membendung semua air mata ini. Aku masih tak percaya, secepat ini Ayah pergi meninggalkan kami. Ayah yang selama ini selalu menjadi pelindungku, menjadi idolaku, menjadi pahlawanku dan menjadi penyemangat di setiap hari-hariku. Namun, aku sama sekali belum bisa menjadi seperti yang Ayah inginkan

Dengan tubuh gontai, aku mendekat ke samping ranjang tempat jenazah Ayah terbaring. Aku tertunduk lesu di samping jenazah Ayah. Tanganku mengelus tubuh yang kini benar-benar tertutup oleh kain putih.

“Maafkan Uqi, Ayah. Uqi sering membuat Ayah marah, membuat Ayah kesal. Bahkan Uqi selalu menolak saat Ayah minta Uqi masuk pesantren ... Uqi benar-benar anak yang durhaka, Ayah.”

Aku merutuki diri sendiri. Segala penyesalan seketika muncul. Harapan terbesar Ayah agar aku menjadi seorang santri, tak pernah sekali pun aku turuti. Ayah memang seringkali menyarankanku untuk masuk pesantren seperti Mba Huma. Namun, aku merasa belum siap, dan aku pun masih ingin bermain bersama teman-teman klub motorku.

Kini, aku benar-benar menyesal telah mengecewakan segala harapan Ayah. Andai aku tahu Ayah akan pergi secepat ini, tentu akan kulakukan apa pun permintaan Ayah.

***

Setelah melaksanakan salat jenazah dan membaca Surah Yasin, kami segera membawa jenazah Ayah menuju ke pemakaman. Meskipun hari sudah amat gelap dan udara semakin dingin, para warga masih setia mengikuti prosesi pemakaman Ayah. Aku yakin, Ayah memang benar-benar orang yang baik. Ayah adalah seorang pahlawan. Tidak hanya bagiku, tetapi juga bagi seluruh warga kampung.

Bersama beberapa kerabat, aku ikut mengangkat keranda Ayah menuju lokasi pemakaman yang letaknya memang tak begitu jauh dari rumah. Lantunan tahlil mengiringi langkah perjalanan kami. Menggema di jalalan sepanjang kaki Gunung Prau. Sesampainya di pemakaman, jenazah Ayah segera didoakan dan dimasukkan ke liang lahat. 

“Qi, kamu azanin Bapak kamu, ya. Buat mengantar kepergian Beliau,” perintah Kyai Ja'far. Aku pun patuh dan segera melakukan apa yang Kyai Ja'far perintahkan.

Dengan masih menahan segala beban di dada, kukumpulkan suara sebagai persembahan terakhir untuk Ayah sebelum jenazahnya benar-benar dikebumikan.

“Allahu akbar allahu akbar ... Allahu akbar allahu akbar ... Asyhadu alla ilaaha illallah ... Asyhadu alla ilaaha illallah ....”

Tepat pukul 21.30 WIB, prosesi pemakaman Ayah selesai. Semua tetangga tampak berangsur-angsur pulang. Meninggalkan tanah makan yang mulai menyepi. Di ujung makam, tampak Bia juga hadir mengiringi jenazah Ayah. Aku memang sempat melihatnya sejak dari rumah tadi. Namun, tak sempat kuucapkan sepatah kata pun kepadanya. Tampak ia juga merasa sedih atas kepergian ayahku.

“Qi, ayo pulang. Sudah malam,” ajak Bunda seraya mengelus lembut pundakku.

“Bunda sama Mba Huma pulang saja dulu. Uqi masih pengin di sini sebentar,” jawabku.

“Tapi sudah malam, Qi.” Bunda tampak mengerutkan kening mendengar jawabanku.

“Cuma sebentar, kok, Bunda.”

“Ya sudah, yang penting jangan kemalaman, ya. Bunda duluan.” Aku hanya tersenyum, menatap kepergian Bunda dan Mba Huma. Kini hanya ada aku seorang diri di pemakaman ini. Bertemankan angin malam yang dinginnya mulai menusuk pori-pori.

Kuusap batu nisan yang tertuliskan nama Ayah. Berkali-kali kuucapkan kata maaf di depan gundukan tanah yang sudah menutupi jenazah Ayah ini. Aku tidak meratap. Tidak. Aku tahu ratapan untuk orang meninggal adalah dilarang agama. Aku hanya sedang meluapkan rasa penyesalanku selama ini yang sudah mengecewakan Ayah.

“Uqi janji, Ayah. Uqi akan selalu menjaga dan melindungi Bunda dan Mba Huma seperti yang Ayah minta. Uqi akan menebus semua kesalahan Uqi dengan memegang teguh janji ini.” 

“Uqi mau jadi laki-laki yang hebat seperti Ayah. Tapi maaf, Ayah. Uqi tidak bisa kalau masuk pesantren. Uqi tidak bisa meninggalkan Bunda sendirian di rumah. Uqi akan selalu menenami dan menjaga Bunda seperti yang ayah inginkan.”

Aku menghela nafas. Mencoba mengumpulkan segala kekuatan. Aku tak boleh terus-menerus larut dalam kesedihan. Aku harus menjadi laki-laki kuat yang bisa diandalkan. Aku harus memenuhi semua janjiku kepada Ayah.

***

Fajar sidik mulai mendatangkan dirinya. Menjadi pertanda mulanya salat Subuh. Tak seperti biasanya, perjalanan ke masjid kali ini terasa berbeda. Tak ada lagi Ayah yang mengiringi langkah kami di tengah dinginnya udara pagi. 

Aku, Bunda, dan Mba Huma mulai hari ini harus membiasakan diri hidup tanpa adanya sosok pemimpin dan kepala keluarga. Aku sebagai satu-satunya lelaki di keluarga ini, harus sebisa mungkin menggantikan peran Ayah, melindungi dan menjaga keluarga.

“Bunda, hari ini Uqi nggak berangkat sekolah dulu, ya,” ucapku saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari masjid. 

“Kamu mau bolos, Qi?” sahut Mba Huma seraya menyejajarkan langkahnya di sebelahku. Tampak ia sedikit mengernyitkan kening menatapku.

Aku menanggapi pertanyaan Mba Huma dengan sebuah senyuman. “Ya, nggak bolos juga. Nanti Uqi bisa buat surat izin.”

Bunda tampak menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke arahku. “Qi, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Ayah di sana pasti nggak suka kalau kamu seperti ini,” tutur Bunda seraya menggenggam erat tanganku.

Aku tersenyum menatap Bunda. “Uqi bukannya bolos karena masih bersedih, Bunda. Uqi hanya mau sedikit menepati janji Uqi ke Ayah. Hari ini Bunda pasti sangat sibuk karena keluarga Kyai Mba Huma akan datang, 'kan? Ditambah nanti sore di rumah juga ada acara tahlil. Uqi mau bantuin Bunda aja, sekalian beres-beres rumah. Nggak papa, 'kan, Bunda?” jawabku.

“Tapi cuma hari ini aja, 'kan?” tanya Bunda. Aku dapat melihat dari wajahnya, ia masih begitu khawatir terhadapku.

“Iya, Bunda. Besok pasti Uqi berangkat lagi,” jawabku seraya tersenyum kepada Bunda. Aku mencoba meyakinkan wanita yang sudah melahirkanku ini, bahwa aku baik-baik saja.

“Ya udah, nggak papa,” balas Bunda.

“Makasih, Bunda.”

Kami pun kembali melanjutkan langkah menuju rumah. Sesekali canda dan tawa terdengar di antara aku dan Mba Huma. Canda tawa yang sekarang jarang terjadi karena Mba Huma lebih sering berada di pesantren dibandingkan di rumah.

Bersambung.

Related chapters

  • Ada Apa dengan Bia?   Rindu yang Mulai Muncul

    Hari masih pagi, tetapi Bunda dan Mba Huma sudah sibuk berkutat dengan berbagai peralatan dapur. Bunyi wajan dan sutil saling bersahutan, menggema bak sebuah orkestra di rumah kami. Aroma gurih nan lezat pun sudah merebak ke seisi rumah.Bunda dan Mba Huma memang sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan tamu dari Pekalongan. Rencananya, hari ini keluarga kyai Mba Huma akan datang ke rumah untuk bertakziah.Aku sebagai anak laki-laki yang tidak bisa memasak, hanya bisa membantu Bunda dengan bersih-bersih rumah sambil sesekali merecoki mereka dengan mengambil makanan yang sudah jadi. Ya, hitung-hitung sebagai tukang cicip, meskipun tak diizinkan Mba Huma.“Dih, Uqi! Gangguin aja, si! Bantu beres-beres di depan aja sana! Dari tadi makan mulu!” Mba Huma sepertinya mulai kesal karena sedari tadi aku selalu mengambil kue-kue dan gorengan yang baru saja dimasaknya. Ia yang berpakaian bak seorang chef yang ada di TV dengan celemek te

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Menahan Malu

    Selepas Asar, keluarga kyai Mba Huma pamit untuk pulang. Meninggalkanku, Bunda, dan Mba Huma yang kini kembali sibuk di dapur menyiapkan sajian untuk acara tahlil nanti malam.Kami memang sudah sepakat untuk mengadakan acara tahlil setiap malamnya selama tujuh hari sejak Ayah meninggal dunia. Selain untuk mendoakan Ayah, acara ini juga dapat menjadi tempat bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga sekitar. Memang acaranya tidak terlalu besar. Hanya saudara dan tetangga terdekat saja yang diundang.Makanan yang disajikan pun hanya sekadarnya, yang penting masih pantas untuk menjamu tamu. Seperti saat ini, Bunda dan Mba Huma sedang memasak mi ongklok—makanan khas Wonosobo—dan beberapa makanan kecil lainnya.“Bunda, Uqi mau mandi dulu, ya. Lagian Uqi di sini juga bingung mau ngapain. Ngga bisa masak juga,” pintaku. Sedari tadi, aku memang sedang bingung, tak tahu harus membantu apa. Yang kulakukan hanya duduk di meja makan sembari bermai

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Insiden Bola Basket

    Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Pertengkaran

    Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Kecupan yang Tiba-Tiba

    Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Terlambat Jatuh Cinta

    Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Pengakuan

    Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik

    Last Updated : 2024-10-29
  • Ada Apa dengan Bia?   Permintaan Maaf

    Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Ada Apa dengan Bia?   Di Gubuk yang Sama

    Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh

  • Ada Apa dengan Bia?   Lebih dari Sekedar Sahabat

    Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga

  • Ada Apa dengan Bia?   Melepas Rindu

    Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb

  • Ada Apa dengan Bia?   Permintaan Maaf

    Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!

  • Ada Apa dengan Bia?   Pengakuan

    Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik

  • Ada Apa dengan Bia?   Terlambat Jatuh Cinta

    Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa

  • Ada Apa dengan Bia?   Kecupan yang Tiba-Tiba

    Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan

  • Ada Apa dengan Bia?   Pertengkaran

    Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p

  • Ada Apa dengan Bia?   Insiden Bola Basket

    Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&

DMCA.com Protection Status