Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.
“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”
Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam. Ayah memang bukan lulusan pesantren. Namun, ilmu agama yang Ayah miliki cukup luas.
Ayah pernah mengatakan bahwa ia menyesal sewaktu muda dahulu tidak belajar di pondok pesantren. Maka dari itu, ayah selalu menyuruh anak-anaknya agar belajar di pesantren. Namun, hanya aku seorang, anak ayah yang tak mau menjadi seorang santri. Mba Huma dan almarhum Mas Fatir patuh kepada perintah ayah untuk belajar di pesantren, tetapi tidak denganku.
Bukannya aku ingin melawan perintah Ayah. Hanya saja aku merasa belum siap jika menjadi seorang santri. Aku masih ingin bebas bergaul dengan kawan-kawan, dan tentunya bermain balap motor. Jika aku berada di pesantren, pasti hobi balap motorku akan terkubur rapat-rapat. Setidaknya, meskipun aku belum bisa menjadi seorang santri, sebisa mungkin aku selalu rajin menjalankan ibadahku baik yang wajib maupun sunah.
Sajadah segera kugelar di atas lantai kamar. Udara dingin kaki Gunung Prau yang selalu menyelimuti daerahku, tak pernah menyulutkan niatku untuk menengadah kepada Tuhan Semesta Alam.
“Allahu akbar.”
Beberapa menit aku larut dalam keheningan malam. Menyatu dengan ayat-ayat Ilahi yang kulantunkan dalam ibadah salat. Aku memang tak serajin dan sesaleh Ayah maupun almarhum Mas Fatir. Setiap hari aku hanya bisa melaksanakan empat rakaat salat malam. Itu pun menurutku sudah cukup. Daripada tidak melaksanakannya sama sekali.
Seusai salat, tak lupa kulantunkan zikir dan doa, memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Karena manusia memang tempatnya salah. Apalagi aku. Pasti dosa-dosaku sudah begitu banyak karena belum bisa menjadi anak yang berbakti dan membanggakan Ayah dan Bunda.
Sebuah mushaf Al-Qur'an kuambil dari atas nakas di samping tempat tidurku. Kulantunkan beberapa ayat Ilahi seraya menunggu azan Subuh berkumandang. Lama-kelamaan kedua kelopak mataku mulai memberat. Huruf-huruf hijaiyyah yang kubaca seolah-olah menghipnotis, dan membuatku tertidur lagi.
“Qi, Uqi.” Suara Bunda tiba-tiba terdengar masuk ke dalam telingaku. “Ayo bangun, Qi. Sudah azan Subuh.”
Perlahan aku mencoba membuka mata. Sepertinya aku tadi tertidur dengan posisi duduk di atas lantai, punggungku masih bersandar pada bagian samping ranjang. Kedua tanganku pun masih menggenggam Al-Qur'an.
“Ayo, ambil air wudhu, Qi. Biar nggak telat jemaahnya.” Aku menurut. Segera aku bangkit menuju ke kamar mandi dan mengambil wudu lagi. Karena memang salah satu hal yang membatalkan wudu adalah tertidur, kecuali tidurnya orang yang duduk. Dan sepertinya tadi aku tertidur dengan posisi duduk berselonjor. Sudah pasti wuduku batal.
Aku melangkah ke luar kamar. Di sana sudah ada Ayah dan Bunda yang sedang menungguku. Kami memang biasa berangkat ke masjid bersama. Meskipun jarak masjid tak terlalu jauh, aku selalu menikmati saat-saat kami berangkat salat Subuh bersama. Rasanya begitu tenang dan damai. Apalagi udara masih sangat sejuk. Bintang-bintang pun masih berkumpul menghiasi langit.
Kami bertiga berjalan bersama di bawah langit subuh kaki Gunung Prau. Tak lupa pintu dan gerbang pun kami kunci. Meskipun hanya ditinggal sebentar, kami harus tetap waspada, karena kejahatan bisa mengincar siapa saja jika ada kesempatan.
Sampai di depan gerbang rumah, tak sengaja kami bertemu dengan Bia yang juga hendak berangkat ke masjid. Aku melirik sekilas ke arahnya. Membuat ia sedikit menunduk, menghindari tatapanku.
“Eh, Bia. Ayo kita ke masjid bareng-bareng saja,” ucap Bunda. Membuatku sedikit terkejut.
“I-iya, Bunda.” Bia hanya menurut dan segera bergabung dengan kami. Bia berjalan di depan bersama Bunda. Sementara aku dan Ayah tepat berada di belakang mereka.
“Bia kok sendirian?” tanya Bunda, memulai obrolan.
“Iya, Bunda. Ayah memang sudah biasa berangkat duluan,” jawab Bia, menanggapi pertanyaan Bunda. Sementara aku hanya diam, mendengarkan obrolan mereka.
“Ooh. Kalau gitu, kita berangkat bareng-bareng saja tiap hari. Daripada kamu sendirian.” Aku tertegun mendengar perkataan Bunda. Saat ini saja aku merasa canggung karena berjalan bersama Bia. Apalagi setiap hari. Mungkin jika kemarin-kemarin saat Bia belum berubah, aku tak akan secanggung ini. Namun, entah kenapa hari ini rasanya canggung sekali saat aku berasama dengannya.
“I-iya, Bunda,” ucap Bia pelan. Aku dapat merasakan dari suara Bia, ia pasti juga merasa canggung saat diajak berangkat bersama kami setiap harinya. Namun, Bia pasti merasa tak enak hati jika menolak ajakan Bunda.
***
Seusai salat subuh, seperti biasa para remaja di desa kami selalu mengaji kepada Kyai Ja'far di masjid. Kyai Ja'far merupakan salah satu kyai yang cukup dihormati di daerah kami. Beliau masih memiliki hubungan kerabat denganku. Kalau tidak salah, almarhum ayah Kyai Ja'far dan almarhum kakekku merupakan saudara kandung.
Kyai Ja'far biasa mengajar kitab Safinatun Najah setiap ba'da Subuh. Kitab yang berisi tentang kajian-kajian fikih itu, beliau berikan kepada kami agar dalam menjalankan ibadah tetap sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah yang diturunkan kepada para sahabat, tabi'in, tabi'at, serta para ulama dan kyai.
Aku pun selalu bersemangat saat mengaji bersama beliau. Walau terkadang mataku harus melawan rasa kantuk yang begitu berat.
“’Aurotur rojulin muthlaqon wal amatu fissholati ma bainas suroti warrukbati.” Kyai Ja'far mulai menjelaskan kajian kitab pagi ini. “Auratnya laki-laki dan budak perempuan di dalam salat yaitu daerah antara pusar sampai lutut.”
“Wa'aurotul khurroti jami'u badaniha ma siwal wajhi wal kafaini. Sedangkan auratnya perempuan merdeka yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan,” lanjut Kyai Ja'far.
“Aurat yang dimaksud di sini, tidak hanya di dalam salat saja. Tetapi juga di luar salat. Baik laki-laki maupun perempuan harus tetap menutup auratnya sesuai batasan yang telah ditentukan dalam kitab tadi. Namun, untuk laki-laki, ya sebaiknya lebih dari bagian itu. Meskipun yang wajib ditutupi hanya bagian pusar sampai lutut, jangan sampai salat cuma pakai sarung tanpa pakai baju. Bisa-bisa yang perempuan malah jadi nggak fokus salatnya,” papar Kyai Ja'far seraya terkekeh kecil.
Sontak seluruh yang hadir di ruangan ini tertawa mendengar penjelasan Kyai Ja'far. Begitu pula denganku. Sekarang aku paham. Mungkin perubahan penampilan Bia karena ia benar-benar ingin menjaga auratnya. Diam-diam aku memperhatikannya seraya tersenyum melihat ia yang masih asik tertawa.
Bersambung.
Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataann
Bia berjalan melewatiku dan Elsa dengan wajah tertunduk. Jangankan menyapa, menatap wajah pun tak ia lakukan. Ia hanya sempat melirik kami saat masih di depan sana. Sejenak aku menghentikan langkah, menatap Bia yang berlalu melewatiku dan Elsa. Rasanya hampa sekali. Tak ada obrolan atau candaan yang biasa mengalir di antara kami.“Qi?” Suara Elsa tiba-tiba menyadarkanku yang sedari tadi tengah menatap kepergian Bia. “Ada apa?” tanyanya. Elsa sepertinya tampak bingung karena melihatku tiba-tiba berhenti. Ia sedikit mengerutkan kening menatapku.“Eh, nggak papa, El,” sahutku buru-buru. Aku segera mengalihkan pandangan dari Bia.“Kirain ada apa,” ucap Elsa.Aku hanya tersenyum, berusaha mengalihkan pikiranku dari Bia yang tadi hanya berlalu melewatiku, lalu kami pun kembali melangkah bersama menyusuri koridor sekolah.“Bukannya tadi itu Bia temen kamu ya, Qi?” tanya Elsa tiba-tiba
Aku melangkah memasuki rumah dengan tubuh gontai. Rasanya lemas sekali. Energiku seolah-olah terkuras habis. Bukan karena kelelahan. Aku sudah biasa melakukan aktivitas fisik lebih berat dari hari ini.Satu-satunya alasan yang membuatku tak bersemangat adalah Bia. Entah kenapa, kejadian di sekolah tadi selalu terngiang-ngiang di kepala. Aku ingat betul bagaimana Bia menatapku saat sedang berjalan berdua dengan Elsa, pun demikian saat aku memboncengkan Elsa di depan sekolah. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa bersalah kepadanya.Jika dipikir-pikir, sebenarnya aku tak melakukan kesalahan apa pun. Semua hal yang kulakukan sama sekali tak ada hubungannya dengan Bia. Aku tak perlu meminta izin untuk berjalan bersama Elsa, atau mengantarnya pulang. Semua itu bisa kulakukan tanpa persetujan dari Bia. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan ini semua adalah salah.Kurebahkan tubuh di atas sofa. Masih dengan seragam yang sama. Bahkan ransel pun masih menempel di balik pungg
Pagi ini, aku dan Bunda dikejutkan dengan sebuah berita buruk. Beberapa menit lalu, ada seorang petugas BPBD yang menghubungi kami. Mereka memberikan kabar bahwa Ayah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas.Ayah memang tadi bergegas pamit dari rumah setelah mendapat panggilan darurat dari kantor. Katanya ada seorang anak kecil yang hanyut terbawa arus yang meluap saat sedang bermain di tepian sungai bersama kakeknya. Ayah sebagai salah satu petugas BPBD yang lokasinya paling dekat, tentu segera ditugaskan ke lokasi kejadian.Alhamdulillah, anak itu dapat diselamatkan oleh Ayah. Namun, nahasnya Ayah malah terbawa arus tersebut sampai terseret beberapa ratus meter. Beruntung petugas yang tadi menguhubungi kami berhasil menyelamatkan Ayah. Dan kini, Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penanganan darurat.Aku dan Bunda tentu begitu kaget dengan kejadian ini. Segera kami berangkat menuju rumah sakit tempat Ayah dirawat. Namun, sampai saat ini Ay
Hari masih pagi, tetapi Bunda dan Mba Huma sudah sibuk berkutat dengan berbagai peralatan dapur. Bunyi wajan dan sutil saling bersahutan, menggema bak sebuah orkestra di rumah kami. Aroma gurih nan lezat pun sudah merebak ke seisi rumah.Bunda dan Mba Huma memang sedang menyiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan tamu dari Pekalongan. Rencananya, hari ini keluarga kyai Mba Huma akan datang ke rumah untuk bertakziah.Aku sebagai anak laki-laki yang tidak bisa memasak, hanya bisa membantu Bunda dengan bersih-bersih rumah sambil sesekali merecoki mereka dengan mengambil makanan yang sudah jadi. Ya, hitung-hitung sebagai tukang cicip, meskipun tak diizinkan Mba Huma.“Dih, Uqi! Gangguin aja, si! Bantu beres-beres di depan aja sana! Dari tadi makan mulu!” Mba Huma sepertinya mulai kesal karena sedari tadi aku selalu mengambil kue-kue dan gorengan yang baru saja dimasaknya. Ia yang berpakaian bak seorang chef yang ada di TV dengan celemek te
Selepas Asar, keluarga kyai Mba Huma pamit untuk pulang. Meninggalkanku, Bunda, dan Mba Huma yang kini kembali sibuk di dapur menyiapkan sajian untuk acara tahlil nanti malam.Kami memang sudah sepakat untuk mengadakan acara tahlil setiap malamnya selama tujuh hari sejak Ayah meninggal dunia. Selain untuk mendoakan Ayah, acara ini juga dapat menjadi tempat bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga sekitar. Memang acaranya tidak terlalu besar. Hanya saudara dan tetangga terdekat saja yang diundang.Makanan yang disajikan pun hanya sekadarnya, yang penting masih pantas untuk menjamu tamu. Seperti saat ini, Bunda dan Mba Huma sedang memasak mi ongklok—makanan khas Wonosobo—dan beberapa makanan kecil lainnya.“Bunda, Uqi mau mandi dulu, ya. Lagian Uqi di sini juga bingung mau ngapain. Ngga bisa masak juga,” pintaku. Sedari tadi, aku memang sedang bingung, tak tahu harus membantu apa. Yang kulakukan hanya duduk di meja makan sembari bermai
Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&
Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p
Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh
Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga
Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb
Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!
Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik
Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa
Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan
Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p
Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&