Dengan seksama, Dandi membaca profil beberapa investor yang menanamkan modal di Glory. Tidak hanya itu, Dandi juga sudah mendata nominal kerja sama Glory yang dilakukan dengan instansi pemerintah. Berkat Bakri, Dandi juga memperoleh data omset dan pemasukan terbesar dari perusahaan tersebut.Semua yang didapat Dandi kali ini merupakan data terbaru, sejak Glory mulai bangkit sepeninggalnya Lingga.Di tengah-tengah kesibukannya tersebut, ponsel Dandi berdering dan dengan segera ia menerimanya karena nama Anton tertulis di sana. Dandi yakin, Anton kali ini akan memberi kabar mengenai Rumi. Karena jika hanya perkembangan kegiatan Alpha, Anton hanya akan mengirimkan pesan padanya.“Ada perkembangan?” tanya Dandi langsung to the point.“Bu Rumi, Pak!” seru Anton. “Kami lagi ngikutin dia. Ceritanya panjang, tapi sekarang dia ada di mobil sama laki-laki yang namanya Rafa.”“Share loc sekarang juga!” Dandi segera beranjak pergi meninggalkan kamarnya dan mengakhiri panggilan tersebut. Ia meraih
“Makan yang banyak.” Dandi menyodorkan satu sendok nasi goreng ke mulut Rumi. Istrinya itu masih tidak banyak bicara dan hanya merespons Dandi seadanya. Rumi masih saja berpikir, bahwa dirinya tidak layak untuk mendampingi Dandi karena masa lalunya. Akan tetapi, Dandi sudah tidak memedulikan itu semua. Sejak awal, ia sudah tahu pasti bagaimana masa lalu Rumi dengan Alpha dan Dandi tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Pria seperti Dandi, sudah sangat hafal bagaimana hiruk pikuk dan gelapnya kehidupan ibukota. Tidak hanya Rumi yang pernah melakukan kesalahan, tetapi Dandi, Thea, dan mayoritas orang di lingkungan mereka juga pernah melakukan hal yang sama. Jadi, Dandi tidak pernah mau menghakimi, karena semua orang pasti punya masa kelamnya masing-masing. “Tapi aku sudah makan makanan rumah sakit tadi, Maaas.” Rumi kesal, karena Dandi kembali menyuruhnya makan, padahal jarum jam sudah hampir menunjuk ke angka sembilan. Karena itulah, Rumi lebih banyak mendiamkan Dandi sejak ia d
“Dengar apa kata dokter, kan?” Dandi segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia meletakkan tas yang berisi pakaian kotor Rumi dan dirinya di samping pintu, lalu segera menyusul sang istri yang berjalan gontai menuju tempat tidur.“Dengar,” jawab Rumi dengan malas. Ia menatap pelan, pada setiap sudut ruang yang sudah berhari-hari ditinggalkannya. Masih rapi dan wanginya pun tetap seperti biasanya. Wangi maskulin Dandi yang segar dan selalu Rumi rindukan.Sampai detik ini pun, Rumi masih saja tidak bisa terima jika Dandi tetap mau menerimanya. Begitu banyak hal yang dilakukan Rumi di masa lalu, yang bisa saja kembali menjadi bumerang dalam hubungan mereka di masa depan.“Mas Dandi nggak ngantor?” Dengan perlahan, Rumi duduk di tepi tempat tidur. Menatap Dandi yang baru saja duduk di sebelahnya, lalu menautkan jemari mereka. Meskipun terkadang bisa sangat cuek, tetapi ada sisi romantis Dandi yang selalu saja bisa membuat Rumi luluh. “Seharian ini di rumah sakit terus.”“Aku cuti.” Da
Senyum Dandi terus saja mengembang, setelah mengetahui hasil tes kehamilan yang dilakukan Rumi. Merasa beruntung, karena tidak perlu sampai menunggu lama untuk bisa mendapatkan kabar gembira yang dinanti-nanti sepasang suami istri.Positif.Dua garis merah yang muncul pada alat tes kehamilan tersebut, sudah cukup mampu meyakinkan Dandi dan Rumi, bahwa mereka akan menjadi orang tua dalam waktu beberapa bulan lagi.“Rumah ini sepertinya harus direnov.” Dandi sedang memikirkan denah rumahnya. Semua hanya berisi bangunan, tanpa adanya ruang terbuka kecuali taman kecil di depan dan tempat untuk menjemur pakaian di belakang. “Atau, kita pindah aja sekalian.”“Kenapa begitu?” Rumi yang berbaring dalam pelukan Dandi, lantas mendongak. Menatap bingung, karena memikirkan rumah Dandi yang sudah cukup sempurna.“Kalau nanti anak kita lahir, dia nggak punya tempat bermain.” Setelah mempertimbangkan dalam waktu singkat, Dandi lantas segera mengambil keputusan. “Kita cari rumah baru aja. Rumah ini b
“Nanti sore aku buatin bakmi seafood.” Rumi menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut Dandi. Tidak hanya Rumi, tetapi Dandi pun melakukan hal yang sama. Mereka makan di piring yang sama dan saling suap sejak tadi. “Barusan aku minta bibik ke pasar buat beli udang, cumi, sama yang lain-lain.”“Kamu nggak mual? Pusing? Mau tiduran?” Berkaca dari kehamilan Thea, Dandi pun membandingkannya dengan kondisi kehamilan Rumi. Istrinya terlihat sehat dan tidak seperti Thea. “Nggak.” Rumi menggeleng karena tidak merasakan hal yang berbeda dengan tubuhnya. Kemudian, ia meraih tangan kiri Dandi yang duduk di sebelahnya, untuk memegang perutnya. “Moga anak kita nggak rewel. Tetap nyantai di dalam sini kayak ayahnya.”Dandi terkekeh. Ia meletakkan sendok, lalu merapatkan tubuh dan memeluk Rumi. “Semoga dia tetap santai di sana dan nggak buat ulah seperti anaknya Thea.”“Mas, aku, tuh, gerah ditempelin terus kayak gini.” Seingat Rumi, Dandi tidak seperti ini ketika mereka baru saja menikah. Terkadang,
“Selamat buat kesembuhanmu?” Dandi membuka obrolan lebih dulu, ketika Hera akhirnya bersedia menemani mengelilingi Glory. Awalnya sedikt alot, karena Rafa ingin menggantikan Hera berkeliling menemani Dandi. Namun, setelah melakukan perdebatan, akhirnya Hera bisa meyakinkan Rafa. “Tapi aku yakin, kalau kamu sudah sembuh jauh sebelum kekacauan ini ada.” Hera menunduk sebentar seraya tersenyum. Tebakan Dandi memang tidak salah, tetapi ia tidak ingin membahas hal tersebut. Ada obrolan yang jauh lebih penting, daripada membicarakan masalah pribadi Hera. “Makasih, Mas,” ucap Hera menghormati Dandi. “Jadi, kita langsung ke intinya. Apa mau Mas Dandi sebenarnya? Bukan rahasia lagi, kalau Mas Dandi membeli saham Glory karena mau balas dendam dengan Alpha. Jadi, apa maumu, Mas?” “Menghancurkan Alpha,” kata Dandi terus terang, karena tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan. “Tapi, karena rencanaku sedikit meleset, jadi—” “Ini dendam pribadi,” sela Hera tetap berjalan tegak di samping Dandi, sa
Agnes menghela panjang, setelah mendengar penjelasan Hera dan Rafa mengenai ulah Dandi. Lebih tepatnya, semua masalah yang tercipta saat ini, kembali berasal dari keluarga Mahawira.“Panggilkan Alpha ke sini, Ra,” pinta Agnes.Hera mengangguk dan segera keluar dari ruang kerjanya, agar bisa langsung menyeret Alpha ke ruangannya.Sementara itu, di ruang kerja Hera, saat ini hanya menyisakan Rafa dan Agnes.“Kenapa Hera nggak bilang kalau Dandi sudah punya saham di Glory?” Agnes menatap tanya pada Rafa, meskipun ia tahu Rafa tidak akan tahu alasan Hera. “Harusnya, Hera ngomong kalau kemarin ada rapat mendadak dan beberapa pemilik saham ternyata menjual sahamnya.”Rafa tidak bisa berkomentar. Awalnya, Rafa mengira Agnes telah mengetahui permasalah yang ada di Glory, tetapi dugaannya salah. Hera sama sekali tidak memberitahu Agnes, perihal jual beli saham yang telah terjadi beberapa waktu lalu.“Tapi, Bu, saya bisa jamin kalau Glory sudah bersih dari kasus yang kemarin.” Rafa sudah memast
Rafa menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruang kerja Hera. Melihat pintunya sedikit terbuka di jam yang tidak biasa, ia lantas membuka dengan perlahan.“Hera?” Saat melihat Hera masih duduk di kursi kerjanya, Rafa pun membuka pintu semakin lebar. “Tumben? Ini sudah setengah delapan dan kamu masih di sini?”“Ah, iya.” Hera tersenyum kecil dan melihat pada sudut layar komputernya. Rafa benar, hari sudah cukup larut dan hal itu sesuai dengan rencananya. “Mas Rafa sendiri juga belum pulang.”“Kadang, aku bisa sampai jam 11 di sini.” Rafa menghampiri Hera dengan perlahan. “Tapi, kamu? Kenapa jam segini masih di kantor?”“Ini juga mau pulang, Mas.” Hera segera mematikan semua perangkat komputernya. Ia mengambil tas di dalam laci meja, kemudian berdiri sembari menyambar ponsel di meja. “Mas Rafa mau pulang? Atau mau … ke mana?”“Aku mau pulang.” Rafa berbalik dan mempersilakan Hera melewatinya dan lebih dulu keluar ruangan. “Apa ada masalah, sampai harus lembur sampai jam segini.”“