“Justin,” panggil Karina setelah Norman pergi ke ruangan lain untuk membuat kontrak.
“Hmmm?” tanya Justin tanpa menatap Karina. Matanya terus menatap layar handphone-nya, padahal ia tidak membuka apapun sejak tadi. Ia hanya menghindar, tidak mau berbicara atau dekat-dekat dengan Karina. Situasi menjadi agak canggung.
“Kenapa kamu ngeliatin layar handphone yang mati?” tanya Karina polos.
Mendengar pertanyaan Karina, Justin menjadi malu. Ia berdeham, menutupi rasa malunya itu.
“Suka-suka saku dong mau ngeliatin apaan,” jawabnya akhirnya.
“Ohh… Ganteng-ganteng ternyata kamu aneh juga ya,” ujar Karina lagi.
“Apa kata kamu?!”
“Woy woy! Ditinggal bentar aja udah pada berantem lagi ini kucing sama tikus,” ujar Norman yang tiba-tiba keluar dari ruangan kerja Justin.
“Elo ngapain keluar lagi?” tanya Justin.
“Ya elah, nggak boleh ganggu kucing sama tikus yang lagi berduaan ya?” canda Norman.
“Elo beneran gue sleding tekel juga nih…” ujar Justin emosi.
Norman malah tertawa dan Karina tidak tahan ikut tertawa.
“Santei aja mas bro. Gue kesini karena sebaiknya kalian ikut ke ruangan kerja. Gue lagi ngelist poin-poin apa aja yang harus kita cantumin di sana,” ujar Norman.
“Ya udah, ayo,” jawab Karina sambil bangkit berdiri.
Justin memutar bola matanya, tetapi akhirnya ia juga ikut ke dalam ruangan kantornya itu. Norman duduk di depan laptop, sedangkan Justin mengambil kursi yang paling jauh dari Karina.
“Jadi, syarat-syarat Karina kan bayarin hutang papanya, jumlahnya berapa?” tanya Norman.
“Dua ratus juta won,” jawab Karina.
“Hah? Banyak amat!” protes Justin.
“Kalau nggak banyak, nggak mungkin aku dipaksa nikah sama om-om. Kalau dikit papa aku kan bisa bayar,” jawab Karina.
“Bener itu, Justin. Dah nggak usah pelit. Dua juta buat elo cuma sekali proyekan doang,” timpal Norman.
Justin mendengus sambil memutar bola matanya, tetapi ia tidak bisa bilang apa-apa lagi. Justin membanting dirinya ke sandaran kursi dengan kesal.
“Terus, kamu mau dibayar bulanan juga, ya? Berapa gaji yang kamu mau?” tanya Norman.
“Aku pengen buka usaha sendiri, jadi butuh modal. Gimana kalau dua juta sebulan,” jawab Karina.
“Hey! Gila kamu! Nggak ngapa-ngapain mau dua puluh juta sebulan!” protes Justin lagi sambil melebarkan matanya.
“Kalau kamu mau ngapa-ngapain saya rela, koq. Jadi istri betulan,” jawab Karina sambil tersenyum.
Justin sekarang benar-benar memukul keningnya dengan keras, sementara Norman tertawa terbahak-bahak. Sekarang ada seseorang yang benar-benar bisa membuat seorang Justin Kim yang dingin dan ketus itu menjadi tidak berdaya.
“Karina, kamu yakin mau jadi istri benerannya si Justin? Dia itu lebih dingin dari gunung es, tahu!” seru Norman.
“Tapi aku ngefans banget sama Kak Justin dari dulu,” jawab Karina jujur.
“Astaga! Kamu tuh sakit, tahu nggak sih?” tanya Justin.
Karina hanya diam sambil cemberut. Kedua bibirnya yang merah itu dimajukan, membuat wajahnya terlihat imut. Justin memalingkan wajahnya.
“Udah… udah… Oke aku tulis di sini ya. Nah sekarang, Justin kamu syaratnya apa aja?” tanya Norman.
“Dia nggak boleh nyentuh gue. Kalau duduk atau berdiri harus jaga jarak minimal satu meter. Nggak boleh juga nanya hal-hal pribadi. Nggak boleh tidur di kamar yang sama dengan gue. Kalo melanggar dia harus balikin semua uang yang gue keluarin,” ujar Justin.
“Oke… Karina setuju, kan?” tanya Norman sambil mengetik.
“Ya deh. Liat aja nanti, kamu pasti bakalan jatuh cinta sama aku!” seru Karina.
“Hih! Amit-amit!” seru Justin.
Norman hanya menggeleng-geleng sambil mengetik surat kontraknya.
“Nah, selesai juga. Aku print terus masing-masing tanda tangan. Aku juga minta fotokopi KTP kamu Karina untuk keperluan surat kontrak. Kamu juga harus menjaga kerahasiaan kontrak nikah ini ya. Nggak boleh ada satupun orang yang tahu. Paham?” tanya Norman.
“Paham, Norman,” jawab Karina.
“Kalau udah, kita bisa ketemu papanya Karina. Minta restu sekalian selesaikan soal hutang,” ujar Norman.
“Sekarang?” tanya Justin. Ia tidak siap menemui orangtua siapapun dan meminta restu. Apalagi sekarang. Semuanya terlalu tiba-tiba.
“Ya iyalah masa tahun depan? Itu bokapnya mungkin udah kena serangan jantung lihat muka anaknya di TV nasional, di semak-semak sama cowok macam elo,” ujar Norman.
Karina mengangguk-angguk di belakang Norman, membuat Justin mendelik tajam.
“Kamu koq nyantei banget sih, Rina? Nggak khawatir nama baik kamu sama keluarga kamu tercoreng gitu?” tanya Justin penasaran.
“Aku seneng, soalnya nggak usah jadi nikah sama om-om tua itu. Seenggaknya, ini jalan keluar buat aku,” jawabnya.
“Kalau gitu nggak usah minta bayaran gede-gede, dong!” seru Justin.
“Eits, kalau nggak setuju, aku bakalan pergi ke media buat nyebarin skandal ini. Lihat nih baju aku ro…,” ujar Karina sambil hendak membuka jaket yang ia kenakan.
“Jangan dibuka! Iya-iya, aku bakalan bayar dua puluh juta sebulan!” cegah Justin.
“Dia nggak pake baju?” tanya Norman.
“Jangan ngeres!” seru Justin kesal.
“Tapi, aku butuh baju baru. Kan nggak mungkin aku pulang pake baju kayak begini,” ujar Karina.
“Tenang, bentar aku beliin. Sesudah itu, kita langsung berangkat ke rumah kamu. Oke?” tanya Norman.
“Makasih, Norman,” ujar Karina sambil tersenyum.
***
Satu jam kemudian, mereka bertiga sudah berada di dalam mobil menuju ke rumah ayahnya Karina. Karina sudah berganti pakaian dengan celana jeans panjang dan kemeja berwarna biru cerah. Justin juga sudah mengenakan kemeja dan celana kain yang rapi, persis seperti sedang pergi untuk melamar. Wajah Justin masam sepanjang jalan sambil melihat keluar jendela.
“Elo dah siap kan, bro?” tanya Norman yang sedang menyetir.
“Siap kepala lo! Gue nggak tahu harus bilang apa,” jawab Justin.
“Bilang aja, om maafin saya sama Rina, tapi saya cinta sama anak om. Saya mau nikahin dia atas ijin om. Tapi saya akan bilang ke awak media kalau kita berdua udah nikah, biar nggak malu. Begitu aja susah,” ujar Norman.
“Heh! Elo kira gampang? Gue mendingan disuruh syuting dari pagi sampe pagi lagi deh dari pada ngomong beginian,” jawab Justin.
“Siapa suruh bikin masalah aneh-aneh,” ujar Norman.
“Papa aku nggak bakalan galak sama kamu, Justin. Dia cuma sayang uang. Jadi selama kamu kasih dia uang, kamu bakalan aman,” ujar Karina.
Mendengar kata-kata Karina, Justin seketika terdiam. Dari kalimat yang diucapkannya, Justin bisa menebak betapa kesepiannya Karina. Ia mungkin tidak mendapatkan kasih sayang orangtua sebagaimana mestinya. Namun, Justin segera memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin bersimpati dengan wanita manapun.
“Kalau mama kamu kemana, Rina?” tanya Norman sambil menyetir.
“Mama udah meninggal pas aku masih SMP. Aku anak tunggal. Jadi memang cuma sama papa. Tapi papa sibuk, jadi aku banyaknya sendiri kalau enggak sama pembantu. Pas lulus kuliah, aku dapet kerja terus ngekos deket kantor,” jawab Karina.
Justin berpura-pura tidak mendengarkan dengan melihat keluar jendela, tetapi sebenarnya telinganya menangkap semua cerita Karina.
Saat mobil hampir sampai di rumah ayah Karina, tiba-tiba handphone Karina berdering.“Dari papa nih. Diangkat jangan?” tanya Karina bingung.“Angkat aja, Rina,” jawab Norman.Karina menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengangkat telepon dari ayahnya tersebut.“Yeoboseo?”“Rina! Kamu kemana aja?! Itu foto kamu sama cowok di semak-semak tersebar kemana-mana! Kamu di mana? Ini tetangga, wartawan, semuanya ngumpul depan rumah, papa nggak bisa keluar! Kamu jual diri sama aktor itu?! Pa
Hari ini adalah hari keempat sejak musim gugur datang ke Incheon. Berhubung Incheon adalah kota padat yang didominasi oleh gedung-gedung besar, musim gugur tidak seberapa dirasa oleh penduduk di sana, karena tidak banyak pohon di pusat kota Incheon. Mobil hitam Justin melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya pusat kota, mendahului kendaraan-kendaraan yang melaju cukup pelan. Sesekali pria yang berprofesi sebagai aktor itu menatap arloji di tangan kirinya.Sebentar lagi sore tiba, ia harus cepat mencari makhluk yang baru saja ia dapati petunjuknya melalui mimpi beberapa hari lalu."Sialan, gara-gara masalah semalem, aku jadi harus keteteran," umpat Justin membanting stang bundarnya ke kanan, melaju di jalur yang sepi menuju Seoul. Dalam mimpinya ada gambaran kota Seoul yang didominasi oleh energi gelap yang sangat pekat. Kali ini mimpinya mengatakan bahwa Justin harus memburu makhluk itu di Seoul."Apa rubah ekor sembilan itu ada di Seoul sekarang?" gumamnya menambah kecepatan mobi
Pagi-pagi sekali Norman sudah menelpon Justin yang masih terlelap. Justin menggerutu hebat karena managernya sangat cerewet setelah Justin mengangkat panggilan itu."Sebenernya dia ini manager apa orang tuaku sih?" gerutu Justin langsung bergegas ke kamar mandi, ia tak ingin mendengar ocehan Norman jika Norman tahu Justin belum bersiap-siap untuk konferensi pers nanti.Di sisi lain, Karina sudah bangun bahkan sebelum jam enam. Ia merasa gugup karena tidak pernah melakukan konferensi seumur hidupnya, dan sekarang ia harus melakukan ini di depan awak media, bersama dengan Justin. Ia hanya takut jika ada kesalahan dalam keterangannya di pers nanti. Karina berkali-kali keluar dan melihat kamar Justin, berharap pria itu sudah bangun dan akan memberinya arahan lebih lanjut mengenai pers mereka nanti."Gimana nanti kalau aku keliatan jelek? Terus gimana kalau nanti jerawatku keliatan?" oceh Karina menutupi satu jerawat di kening dengan concealer. "Aku gak boleh keliatan jelek kaya pas di sem
Karina dan Norman tentu saja kebingungan melihat Justin berlari melewati kerumunan, menuju pintu keluar. Norman langsung menghampiri Karina dan mengajak Karina untuk keluar juga.Manager Justin itu sungguh tidak habis pikir kalau Justin bertindak ceroboh di depan media massa yang tengah membara. Dan sudah bisa dipastikan kalau para reporter itu akan menyebar berita bahwa Justin kabur saat pers belum ditutup sepenuhnya.Di sisi lain, Justin melesat dengan kekuatan yang ia miliki, dan seberusaha mungkin ia tidak ketahuan oleh orang-orang. Bagaimanapun caranya ia harus mencari makhluk berekor sembilan itu, ia harus memusnahkannya sesegera mungkin, karena semakin lama Justin mengulur waktu, maka akan semakin banyak korban yang menjadi sasaran makhluk tersebut.Justin menghentikan langkahnya, melihat bayangan besar yang berada di ujung jalan sepi. Cahaya matahari dari timur cukup membuat bayangan itu terlihat jelas.Ia menyipitkan kedua netranya untuk mencoba memperjelas siapa yang berada
Justin merasa bahwa rubah ekor sembilan itu memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya. Bahkan ketika Justin melihat ekornya saja, sudah sangat bisa ditebak kalau kekuatan rubah ekor sembilan itu memiliki peningkatan dari sebelumnya. Mungkin saat bertemu lagi, rupa rubah itu akan terlihat bengis dan sangat mengerikan.Sofa letter U yang menghadap ke televisi saat ini dikuasai oleh Justin. Karina mungkin sedang memasak atau menyiapkan sesuatu untuk Justin. Sebenarnya Justin tidak meminta, tapi Karina bersikeras untuk tetap melakukannya.Mata Justin terpicing ketika Karina membawa tiga mangkuk makanan di atas nampan dengan langkah yang hati-hati. "Kamu ngapain masak sebanyak itu?" tanya Justin. "Ya buat kita, Kak," jawabnya menaruh nampan di meja. "Kok tiga?" imbuh Justin lagi. "Satu buat Kak Justin, dua buat aku," Karina menyengir kuda.Justin tidak habis pikir kalau wanita ini sangat random, dan tingkahnya tidak bisa ditebak."Kok Kak Justin diem aja? Mau aku suapin, ya?!" seru Karina
Incheon sudah kedatangan pagi, musim gugur masih berlangsung dengan indah bagi sebagian orang. Apartemen Dal-Byeol Incheon dipenuhi edaran surat kabar tentang beberapa orang yang tewas dengan jantung yang menghilang.Karina terbangun, merasakan berat di perutnya. Dan ia menyadari bahwa itu adalah tangan Justin yang sedang tidur di sebelahnya. Karina mesem dengan tertahan, lantas menatap lamat-lamat wajah idolanya. "Ganteng banget sii!" seru Karina sambil menyentuh hidung Justin. Justin sepertinya merasakan bahwa hidungnya sedang disentuh, lantas mengerjapkan mata untuk melihatnya, alangkah terkejutnya Justin saat mendapati bahwa ia sedang memeluk Karina dengan posisi tertidur. "Selamat pagi, Kak Justin!" ujarnya kemudian."Astaga!" Justin langsung duduk dan melompat dari sofa, ya benar, mereka tertidur di sofa. "Kak Justin kenapa?""Kok kamu tidur sama aku di sini sih?""Kan Kak Justin yang gandeng aku kesini, peluk-peluk aku lagi," kata Karina menyipitkan matanya. "Jangan-jangan dari
Justin menghampiri pria itu, mencoba melihat lebih dekat. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" jawabnya sambil tersenyum."Apa Bapak pemilik butik ini?" tanya Justin. Pria itu mengangguk dan memperkenalkan dirinya."Nama saya Lee Hyun Jae, pemilik butik ini. Apakah ada yang bisa saya bantu?""Tidak, Pak. Saya hanya ingin bertanya apa butik ini bisa mempersiapkan dress untuk tamu khusus pernikahan dalam jumlah yang cukup banyak?"Justin merasakan bahwa energi jahat itu bukan dari pria ini, dan sejak Justin memanggilnya, energi itu sudah lenyap begitu saja, membuat Justin semakin gencar untuk mencari pusat energi tersebut."Untuk itu, kami tidak bisa, Pak. Karena butuh waktu cukup lama untuk mempersiapkan dress dalam jumlah banyak, apalagi saya hanya memiliki beberapa pegawai saja," jawabnya."Kalau begitu terima kasih, Pak. Saya hanya membeli sepasang baju pengantin saja," Justin sedikit membungkukkan badannya untuk memberi sedikit hormat. Pria bernama Hyun Jae itu pun melakukan hal yang s
Justin yang melihat Norman keluar dari mobil ikut keluar. Ia penasaran kenapa bisa Hyun Jae ada di depan sana, padahal baru beberapa saat lalu Hyun Jae masih berdiri di gedung dan memberi salam hormat dua jari pada Justin, dan kini Hyun Jae sudah ada di depannya, yang berarti ia sudah lebih dulu dari pada Justin dan yang lain."Ban mobilku bocor," Hyun Jae menjawab pertanyaan Norman. Justin memicingkan alisnya, ia masih tidak habis pikir tentang apa yang terjadi. "Pak Lee, bukankah anda tadi masih di gedung sebelum kita berangkat?" sahut Justin.Perlahan, gerimis turun dan menerjang seperti jarum-jarum. Sekali lagi, Justin melangkah, mendekat pada Hyun Jae. Hyun Jae tersenyum, "aku tadi lewat jalan pintas, pak Justin," balas Hyun Jae kemudian, kedua netra bening nan tajam milik Hyun Jae tiba-tiba teralihkan untuk berpusat pada seseorang di dalam mobil Justin, yang tak lain dan tak bukan adalah Karina. Justin merasa was-was tanpa alasan yang jelas, kemudian ia mengikuti arah mata Hyun
Sepuluh tahun kemudian."Papa!"Suara nyaring ini memenuhi rumah hingga Karina menutup telinganya. "Jangan teriak-teriak, Papa lagi keluar," jawabnya dengan menyiapkan sarapan di meja makan. "Kakek! Lihat Mama, Mama marahin aku terus," katanya dengan berlari memeluk sang Kakek."Timothy! Mama gak marahin kamu kok, habisnya kamu teriak-teriak terus dari tadi. Makan dulu," Karina duduk di sebelah papanya, yang sekarang menjadi kakek dari putranya yang berusia sepuluh tahun.Timothy Kim, putra pertama keluarga kecil Justin dan Karina. Ia mewarisi kekuatan Justin yang bahkan lebih kuat dari Justin. Tanpa Timothy ketahui, ia bisa membuka segala dimensi hanya dengan memikirkannya saja. Di usianya yang kesepuluh, Timothy meraih juara lomba lari di sekolahnya. Karena pada dasarnya kecepatan lari itu ia warisi dari sang papa. Timothy belum bisa mengendalikan kekuatan yang ia miliki. Karena Justin juga belum memberi tahu putranya kalau putranya itu memiliki kekuatan, dan papanya bukan manusia.
Pernikahan sudah usai, malam ini bukan malam yang ditunggu, melainkan malam yang menegangkan, pasalnya tepat setelah pesta pernikahan selesai, Justin harus dengan berat hati bertarung dengan iblis. Iblis itu rupanya sejak tadi menunggu Justin dan Karina keluar dari Chapel. Dia mengincar Justin karena keberadaan Justin membahayakan iblis dan monster di muka bumi.Karina mondar-mandir di kamar menunggu Justin kembali, ia masih dalam balutan gaun pengantin yang indah, bahkan riasannya juga belum terhapus.Di sisi lain, Justin menghadapi iblis tingkat biasa, tapi cukup membahayakan manusia. Ia tidak memanggil Pangeran Biru maupun Alice. Ia ingin terbiasa melawan makhluk jahat sendirian. Karena ia juga tidak mungkin terus menerus memanggil Alice dan Pangeran Biru untuk membantunya.Untung saja iblis itu bisa disingkirkan oleh Justin secara mudah. Karena tingkat kekuatannya yang tergolong sebagai iblis biasa. Berbeda dengan Ruin, Sin Rose, Rubah ekor sembilan, ataupun iblis Norman yang ting
Hari ini adalah hari pernikahan tanpa persiapan. Papa Karina membuka acara itu dengan membuka identitas Karina sebagai putrinya di depan semua pegawai kantornya. Hana sangat terkejut mendengar itu, karena ia pernah memarahi Karina saat Karina membuat Justin benjol tempo hari itu. Kalau tahu dia anak dari pemilik perusahaan, tentu saja Hana akan diam saja."Saya akan menjadikan Karina sebagai pemimpin, menggantikan saya di Moon interior ini. Saya menaikkan jabatan bukan karena dia putri saya, tapi karena keberhasilannya dalam bekerja yang luar biasa, peningkatan produk dan penambahan produk itu sangat mampu menarik perhatian dari para pecinta interior classic modern. Dan untuk Park Hana, saya ucapkan terima kasih karena telah membantu perkembangan perusahaan ini. Untuk semuanya, saya berterima kasih karena kalian bekerja dengan baik dan jujur, saya harap akan tetap seperti ini meski pemimpin Moon interior akan berganti. Akan ada beberapa orang yang naik jabatan karena memiliki potensi
Karina dan Papanya saling menatap, tak lama kemudian ada suara ketukan pintu yang membuat keduanya berhenti menatap. "Permisi," ujar seseorang dari luar ruangan. "Masuk," balas Karina. Ternyata itu adalah asisten dari papanya. Saat ia masuk, suasana sangat canggung karena raut wajah papanya sangat aneh."Ada apa?" tanya papanya pada sang asisten."Produksi interior jenis vintage dan classic sedang dalam peningkatan, bagaimana dengan kerja sama dengan perusahaan HS Eksterior? Apa perlu diberhentikan?""Tidak perlu, bahas ini di luar saja," balas papanya berjalan keluar dari ruangan, diikuti asistennya yang membawa sebuah dokumen berisi beberapa produk perusahaan yang akan mengalami peningkatan atau pembaruan.Karina langsung menutup pintu saat mereka pergi, lantas mondar-mandir di depan pintu dengan perasaan takut. Karina ingin menjelaskan semuanya saat nanti makan malam, karena ia tahu, kalau papanya akan marah jika tiba-tiba Justin kembali setelah meninggalkan Karina.***Sore datang
Karina masuk ke mobil, begitu juga dengan Martin. Ia membawa mobilnya ke tepi jalan. Karina masih dalam keadaan yang sama, ia terus menanyakan perihal identitas pria bermarga Kim itu."Rin," Martin menghela nafasnya."Apa?""Maaf aku udah bohongin kamu."Karina merasa dunia seperti sedang berhenti, meski tidak ada yang menghentikannya. Netranya menahan genangan air yang menumpuk di pelupuknya. "Jadi, kamu beneran Kak Justin?" tanya Karina, memastikan kalau apa yang ia dengar dari bibir Martin adalah kebenaran.Beberapa detik selanjutnya, pria itu mengangguk. Karina ingin pingsan sekarang. "Tega kamu Kak, bohongin aku kayak gini. Puas kamu?!" Karina membuka pintu, menutupnya dengan keras hingga mobil itu terguncang.Sosok Martin yang ternyata adalah Justin itu keluar, mengejar Karina, karena Karina berjalan dengan langkah cepat. "Rin!" Justin meneriaki Karina, tapi Karina tidak mau tahu, karena ia sudah merasa sedang dipermainkan.Setelah berlari mengejar Karina cukup jauh, Justin berh
Setelah suara misterius di kamar Karina, sontak Karina menyalakan lampu kamarnya, dan orang yang ada di kamarnya saat ini membuat Karina benar-benar terpaku karena kehadirannya yang sangat tidak mungkin."Kak Justin!!!" Karina tentu saja histeris. Ia melotot sampai matanya hampir terlepas. Bahkan Karina menampar pipinya sendiri.Mata Karina mencoba terbuka, dan Karina sadar, itu hanyalah mimpi. "Jadi, ini cuma mimpi?" Karina menyalakan lampu kamarnya, ia melihat ke arah di mana di dalam mimpi itu ia melihat Justin berdiri di sana.Dengan berat hati, Karina mematikan lagi lampunya, meratapi kenyataan yang benar-benar menyakitkan. Harapannya bertemu Justin dalam mimpi terwujud, tapi itu justru membuat hati Karina semakin terkoyak dan tersayat.Kenyataan macam apa ini? Di ambang keputusasaan yang membuatnya menggila. Sejauh tujuh hari ini, ia sudah bisa perlahan terbiasa, tapi sejak ia bertemu Martin, ia gagal lagi untuk melupakan Justin. Mungkin Karina memang membutuhkan waktu yang lama
Waktu berlalu begitu cepat, dan jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Karina menutup laptopnya dan bersiap pulang untuk beristirahat. Karina melihat ada Martin yang sedang berjalan menuju basement, lantas ia berlari untuk menghampiri Martin."Martin!" teriak Karina, Martin berhenti dan menoleh ke arahnya. Tapi ia langsung kembali pergi setelah tahu yang memanggilnya adalah Karina. Pelipis Martin terlihat sedang diperban, dan itu sepertinya akibat benjolan tadi pagi yang dibuat Karina. Karina berlari dengan kekuatan Naruto untuk mengejar Martin."Stop!" Karina kembali menutup pintu mobil Martin saat Martin baru saja membukanya dan akan masuk. "Martin, boleh saya ngobrol sama kamu?"Martin menghela nafasnya dan mengangguk pasrah. "Mau ngobrol di mana?""Di sana," Karina menunjuk sebuah cafe yang terletak di depan kantor. Martin berjalan mendahului Karina setelah meletakkan tasnya di dalam mobil. Karina mengekori Martin menuju cafe tersebut.Setelah memesan makan dan minum, Karina tidak
Sudah sejak tujuh hari lalu, Justin pergi dari dunia Karina. Kini Karina sudah merasa ia bisa hidup meski tanpa Justin. Karena Justin ada di hatinya, untuk ia kenang sebagai mimpi yang terindah. Kemampuan Karina untuk merasakan adanya kehadiran iblis juga semakin sirna. Tidak lagi seperti saat ia bersama Justin, ia bisa melihat makhluk jahat dan merasakan energinya dengan jelas.Hari ini ia pergi ke kantor, tapi terlambat karena taxi yang biasa ia tumpangi, sekarang tidak lewat di depan jalan rumahnya. Karina terpaksa menunggu taxi lebih lama karena tidak ada kendaraan lain. Meski ia memiliki mobil papanya, Karina tidak mau menggunakan itu, ia ingin suatu saat Karina bisa membeli mobilnya sendiri.Selang beberapa menit, ada taxi yang dari kejauhan mendekat ke arah Karina. Karina menghentikannya. Ia lega karena ada taxi yang lewat, bukan apa-apa, ini hari Minggu, jadi sangat jarang taxi yang lewat."Pak, ke kantor Moon interior, ya?""Baik. Minggu-minggu begini kerja, mbak?""Sebenarny
Karina melepas kedua earphone di telinganya. Ia terdiam untuk sesaat, mencoba mendengarkan lagi suara yang memanggil namanya. Suara itu benar-benar tidak asing, lantas ia tergerak untuk keluar kamar, dan melihat siapa yang datang. Saat membuka pintu, Karina agak terkejut karena suara itu memang suara papanya. "Papa? Papa kenapa? Tumben banget," Karina membuka jalan agar papanya masuk."Rin, papa minta maaf," papa Karina menunduk setelah duduk di sofa, tangannya tergerak menyatukan telapak tangan. "Papa kenapa minta maaf?" Karina mendekat. "Selama ini papa udah jahat sama kamu, papa cuman mikirin uang, uang dan uang. Papa gak mikirin kamu sama sekali. Papa minta maaf," katanya dengan nada tersendat karena menahan tangis. "Pa, jangan minta maaf gitu," Karina meraih tangan papanya, dan memeluk pria itu."Papa menyesal lakuin itu semua, papa minta maaf, Rin.""Papa itu papa Karina, papa gak perlu minta maaf sampai kayak gini.""Kamu gak benci sama papa?""Karina emang pernah benci sama pa