"Yang dikatakan Siska itu benar, Nay. Kenapa kamu jadi minderan begitu? Ayah yakin, Sony itu pilihan yang tepat untuk jodoh kamu," kata Ayah yang tiba-tiba datang dan ikut duduk bersama kami."Tuh, dengerin kata Ayah Lo," kata Siska melirik ke arahku."Iya, Yah. Menurut Ayah gimana? Kalau Mas Sony orang biasa, mungkin aku akan senang melanjutkan perjodohan ini, Yah. Masalahnya, Mas Sony itu ternyata seorang CEO, Yah," kataku.Aku menceritakan pada Ayah tentang pekerjaan Mas Sony sesungguhnya, juga tentang keluarga Mas Sony yang ternyata adalah orang kaya. Ayah sendiri terdiam sejenak, seolah sedang berpikir."Nay, menurut Ayah gak ada salahnya kalau Sony memang seorang CEO. Yang terpenting buat Ayah, Sony dan keluarganya mau menerima kekurangan kamu. Apalagi Bu Maysaroh menerima kekurangan kamu dengan baik kan? Kalaupun kamu dapat suami CEO, anggap saja itu bonus dari Tuhan," ujar Ayah bijak."Iya sih, Yah.""Nah, kalau begitu. Apalagi yang kamu risaukan?"Yang dikatakan Ayah memang b
Setelah mengetahui bahwa penjual pecel itu adalah mantan ibu mertuaku, aku menarik tangan Siska untuk menjauh, sebelum mantan ibu mertuaku itu mengetahui keberadaan kami."Ih, apaan sih, Nay. Maen tarik-tarik aja," gerutu Siska saat aku menarik tangannya untuk menjauh."Ternyata bener, Sis, itu memang mantan Ibu mertua gue," kataku."Bener kan? Ngeyel sih Lo! Terus kenapa Lo malah narik gue kesini?""Gue gak jadi beli pecel deh, Sis. Males," kataku."Yaelah Marimar ... ini tuh kesempatan emas buat Lo balas perbuatan mereka. Kenapa Lo malah menghindar?""Balas apaan sih, Sis. Gue gak sejahat itu.""Lah emangnya mau ngapain? Kita kan mau beli pecelnya doang, jahat dari mananya?""Lah bukannya tadi Lo bilang gue suruh balas perbuatan mereka?""Payah emang punya temen otaknya lemot mah!" ujar Siska memutar bola mata malas."Sembarangan aja Lo kalau ngomong. Lagian gimana sih, gue emang gak ngerti," kataku bingung."Nih ya Maemunah ... gue jelasin. Kita kesana, beli pecelnya mantan mertua
Aku dan Siska saling berpandangan. Mungkin, Siska sama terkejutnya dengan diriku. Aku tak menyangka, nasib mantan ibu mertuaku itu sangat tragis. Bahkan lebih tragis dari perjalanan hidupku. Mungkin, inilah yang dinamakan hukum tabur tuai.Dulu, begitu mudahnya mantan Ibu mertuaku itu menyuruhku untuk menerima Anggun sebagai maduku. Dan kini, ia sendiri justru merasakan dengan apa yang aku rasakan dulu. Dia sendiri pun tak mau dimadu, hingga memutuskan untuk bercerai. Apakah ini yang dinamakan dengan karma?"Oh ya, Bu. Ngomong-ngomong Bu Leha itu tinggal dengan siapa disini?" tanyaku pada Bu Anita."Sama anak gadisnya, Mbak. Mereka cuma tinggal berdua," jawab Bu Anita."Iya, Mbak Naya, kasihan loh. Mana kemarin anak gadisnya habis kena musibah lagi," kata Bu Zaenab."Musibah apa, Bu?" tanyaku."Loh, Mbak Naya gak tahu? Padahal heboh loh, sampai viral tuh dimedia sosial," jawab Bu Zaenab."Saya gak tahu, Bu. Saya kan jarang keluar rumah," kataku.Aku memang jarang sekali keluar rumah.
Tok! Tok! Tok!"Nay, sudah siap belum?" tanya Ayah dari luar setelah mengetuk pintu kamarku."Iya, Yah. Sebentar lagi!" jawabku sedikit berteriak."Ya sudah, Ayah tunggu diluar," kata Ayah. Suara derap langkah kaki Ayah semakin menjauh, itu artinya Ayah sudah menjauh dari kamarku.Aku sendiri masih sibuk memilih baju yang cocok untuk aku pakai saat acara makan malam bersama keluarga Mas Sony nanti. Malam ini, Bu Maysaroh mengundang aku dah juga Ayah untuk makan malam di rumahnya.Meskipun hanya makan malam biasa, aku harus memilih baju yang pas dan juga sopan. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk memakai dres panjang berwarna hijau lumut yang aku padukan dengan blazer berwarna hitam. Tak lupa, aku memoles wajahku dengan make up natural agar terlihat sedikit fresh.Tak terasa, sudah lima bulan masa perkenalanku dengan Mas Sony. Aku juga sudah sedikit mengetahui tentang sifat Mas Sony. Dari mulai makanan dan minuman kesukaannya, hobinya, dan juga karakter Mas Sony yang ternyata sedikit
"Kita pulang aja yuk, Yah? Kaki aku pegal dari tadi berdiri disini," ajakku pada Ayah. Saat ini, kami memang masih berdiri di pintu masuk taman yang terlihat gelap ini. Karena menggunakan sepatu sedikit berhak tinggi kaki ini terasa pegal, ingin duduk pun tak tahu harus duduk dimana. Karena tak terlihat ada kursi disini, mungkin juga karena tak ada penerangan cahaya hingga tak terlihat letak kursi. Tak mungkin juga kan, di taman yang terlihat luas ini tak memiliki kursi?"Kita tunggu sebentar lagi, Nay," ucap Ayah menenangkanku."Enggak ah, Yah. Aku gak ma ..." ucapanku terhenti saat lampu tiba-tiba menyala di tengah-tengah taman ini.Ternyata, lampu itu berasal dari lampu-lampu kecil yang menyala mengelilingi sebuah kolam renang di tengah-tengah taman ini. Aku baru bisa melihat, ternyata ada sebuah kolam renang besar di tengah taman ini. Tak lama, hidup lagi lampu-lampu berwarna merah terang membentuk sebuah hati di tengah-tengah kolam itu.Ayah tiba-tiba menggenggam tanganku erat,
POV KenzieTok! Tok! Tok!Sayup-sayup, terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Aku yang sedang meracik bumbu untuk memasak di dapur, langsung menghentikan aktivitasku. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 06.00 pagi, pagi-pagi begini, siapa yang datang bertamu? Aku bergegas mencuci tangan sebelum membuka pintu depan, malu jika harus bertemu tamu dengan tangan bau bawang dan juga bumbu masakan."Siapa sih, Mas, pagi-pagi ketuk-ketuk pintu. Ganggu orang tidur aja," gerutu Anggun yang tiba-tiba datang ke dapur."Aku juga gak tahu," jawabku."Ya udah kamu bukain sana, aku mau mandi dulu!" ucap Anggun ketus lalu meminum segelas air putih. Setelahnya, ia pergi kembali ke kamar lagi.Aku membuang nafas kasar, semenjak resmi bercerai dari Naya, hidupku berubah 360 derajat. Begitu juga dengan sikap Anggun, yang berubah drastis setelah Toko grosir milikku bangkrut. Anggun yang dulu selalu bersikap manis dan lembut kini berubah dan semakin bersikap semena-mena padaku, bahkan ia tak pern
"Memang begitu kan? Kalian kan sudah menikah, jadi harta yang kamu punya juga jadi milik Kenzie," kata Ibu."Dengar ya, Bu. Sepertinya, Ibu gak pernah belajar ilmu agama. Rumah ini, rumah pemberian orang tua aku, jadi, Mas Kenzie gak punya hak apa-apa di rumah ini. Dan ingat, Ibu gak usah bermimpi untuk bisa tinggal bersama kami disini. Karena aku gak akan ijinkan Ibu sama Dini tinggal disini!" kata Anggun dengan penuh penekanan.Ibu dan Dini terperangah seolah terkejut dengan kata-kata yang disampaikan oleh Anggun. Sedangkan aku sendiri tak mampu bicara apapun, karena yang dikatakan Anggun memang benar adanya."Lancang kamu! Aku ini Ibu mertuamu, tega sekali kamu membiarkan Ibu sama Dini kesusahan!" kata Ibu tak terima."Itu bukan urusan aku. Kalau seandainya Mas Kenzie bisa memberi nafkah untuk aku, aku gak masalah kalian mau tinggal disini. Tapi sayangnya, Mas Kenzie saja hidup bergantung dari aku. Terus kalau kalian tinggal disini, siapa yang akan menanggung biaya hidup kalian? Mo
"Mas, Clara buang air besar tuh. Kamu bersihin dulu gih," ujar Anggun. Aku yang sedang sibuk menggoreng nasi untuk sarapan pagi langsung menoleh ke arah Anggun."Kamu bersihin dulu lah. Kamu gak lihat aku lagi masak," kataku sedikit kesal."Kamu kan tahu, Mas, aku orangnya jijik an. Kamu aja lah," kata Anggun santai sambil memainkan ponselnya sambil duduk di depan meja makan."Ya udah kamu terusin masaknya nih. Entar gosong!"Anggun meletakkan ponselnya, dan dengan wajah malas menggantikan posisiku memasak. Aku segera mencuci tangan dan bergegas menghampiri anak bungsuku Clara yang kini sudah menginjak usia hampir 2 tahun itu.Dengan telaten, aku membersihkan kotoran anakku. Pekerjaan seperti ini saja, Anggun selalu mengandalkan diriku. Kesal rasanya, memiliki seorang istri pemalas seperti Anggun. Aku memang paling suka memanjakan wanita, tapi, bukan berarti wanita itu bisa sesuka hati menginjak harga diriku. Lama-lama, rasanya aku bosan diperlakukan seperti pembantu oleh Anggun."Yan