"Hah!" Mataku membulat saat Zahra menyebut bahwa aku akan menjadi Mamanya. Bu Maysaroh tertawa kecil mendengar pertanyaan dari Zahra untukku, sedangkan Mas Sony wajahnya tampak datar, terkesan biasa saja."Iya, Za. Itupun kalau Tante Naya nya mau," kata Bu Maysaroh lalu melirik ke arahku."Mau ya Tante ... Zahra mau punya Mama. Papa sibuk kerja, gak pernah ada waktu buat main sama Zahra," ucap Zahra dengan tatapan memohon ke arahku.Pertanyaan Zahra membuatku salah tingkah. Aku bingung harus bagaimana cara menjawab pertanyaan dari bocah kecil seperti Zahra ini."Zahra ..." Mas Sony memanggil Zahra pelan, seolah menyuruh anaknya untuk diam."Maaf, Pa," lirih Zahra."Tidak apa-apa, Nak. Namanya juga anak kecil," tukas Ayah terkekeh kecil melihat tingkah polos Zahra yang lucu."Khmm ... bagaimana Pak Danu, apa Bapak menerima perjodohan Sony dan Naya?" tanya Bu Maysaroh. Pak Danu adalah nama Ayahku."Hmm ... untuk masalah itu saya serahkan semua pada Naya. Oh ya, bagaimana dengan Nak Sony
"Bu, Yah, maaf sebelumnya, tapi ... aku mau mengenal Mas Sony lebih dalam dulu. Aku menerima perjodohan ini, tapi bukan berarti kami langsung akan menikah bukan? Aku harap Bu Maysaroh dan Ayah mengerti," kataku pelan.Jujur saja, mendengar kata menikah aku jadi merasa cemas. Bayang-bayang kegagalan selalu menghantui hatiku."Nak Naya tenang saja, Ibu kan hanya mendoakan yang terbaik buat kalian. Gak ada salahnya 'kan? Ibu mengerti, jika kamu ingin mengenal Sony lebih dalam, ya monggo ... ibu manut saja. Yang penting gak akan ada penyesalan seandainya kalian menikah nanti," ujar Bu Maysaroh lembut."Bu Maysaroh benar, Nay. Ayah pun setuju kalau kalian mau saling mengenal dulu, itu lebih baik," kata Ayah ikut menimpali."Terima kasih, Bu, Yah.""Iya, Nay. Sebagai orang tua kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaan anak-anaknya," kata Bu Maysaroh bijak."Saya senang mengenal Bu Maysaroh dan juga keluarga. Kalian sangat terbuka, tidak memaksa dengan keinginan kalian," kata
Siang ini, aku masih bingung memilah-milih baju untuk aku pakai saat pergi bersama Mas Sony nanti. Aku bukannya ingin terlihat cantik, hanya saja, aku memang sedikit tidak percaya diri. Dan akhirnya, aku memilih menggunakan kemeja motif bunga-bunga berwarna pink yang aku padukan dengan celana kulot hitam panjang. Tak lupa, aku menggunakan blezer hitam agar serasi dengan dengan celana kulot panjang yang aku pakai.Aku ingin menjaga penampilanku di depan Mas Sony nanti agar terlihat lebih sopan dan elegan. Karena ini adalah kali pertama kami jalan keluar bersama. Tepat pukul 13.00 suara mobil berhenti tepat di depan halaman rumahku. Aku yakin, itu pasti mobil Mas Sony.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuatku semakin gugup. Aku membuang nafas panjang, untuk menetralkan degup jantungku. Setelah sedikit tenang, barulah aku melangkah menuju ke depan untuk membuka pintu."Tante Naya ..." Aku yang baru membuka pintu langsung di kejutkan dengan kedatangan Zahra yang tiba-tiba saja memeluk
Setelah hampir setengah hari mengelilingi pusat perbelanjaan bersama Mas Sony dan juga Zahra, kami memutuskan untuk pulang. Kami juga menyempatkan waktu untuk makan siang bersama Siska dan juga Aska.Selama perjalanan menuju pulang ke rumah, aku dan Mas Sony sama-sama diam. Zahra sendiri saat ini sudah tertidur lelap di pangkuanku. Setelah mengetahui bahwa Mas Sony adalah seorang CEO di PT. Wijaya Kusuma, aku jadi rendah diri dan merasa segan. Rasanya, aku masih tak menyangka bahwa Mas Sony adalah seorang CEO di perusahaan besar.Jujur saja, seketika nyali ini menciut dengan rencana perjodohan ini. Aku yang hanya seorang janda dan dari kalangan keluarga biasa, rasanya tak sepadan apabila bersanding dengan Mas Sony."Nay, kamu kenapa, kok dari tadi diem aja?" tanya Mas Sony membuyarkan lamunanku. Mas Sony berbicara sambil tangannya tetap fokus memegang setir mobil."Eh, aku gak papa kok, Mas," jawabku salah tingkah."Oh ya, Nay. Kita mampir sebentar ya ke rumahku. Aku mau antar Zahra d
"Nay," panggil Mas Sony membuyarkan lamunanku.Karena sibuk memandang kagum rumah ini, aku sampai tak sadar jika Mas Sony kini sudah di luar mobil dan membukakan pintu mobil untukku."Eh, iya, Mas.""Ayo turun, aku gendong Zahra dulu," kata Mas Sony sambil memindahkan Zahra dari pangkuanku ke dalam gendongannya.Aku berjalan mengikuti langkah Mas Sony di belakang. Perasaan gugup tiba-tiba saja mulai mendera hatiku."Loh, kalian udah pulang?" tanya Ibu setelah kami sampai di ruang tamu. Lagi-lagi, mata ini kembali takjub melihat isi rumah Mas Sony yang tak kalah mewahnya dari luar."Iya, Bu, aku mau antar Zahra ke kamarnya dulu. Kayaknya dia kecapean," kata Mas Sony lalu pergi meninggalkan aku dan ibunya."Ya ampun ... saking senengnya itu Zahra sampai ketiduran. Pasti kalian abis bersenang-senang ya? Ayo sini duduk, Nay," ujar Ibu sambil menyuruhku duduk disampingnya."Mbok, buatkan minum untuk kami ya?" kata Ibu menyuruh seorang wanita paruh baya yang sedari tadi berdiri diantara kam
"Nay, Ibu harap kamu tetap mau meneruskan perjodohan ini. Ada banyak harapan besar yang ibu gantungkan padamu, Nak. Terutama Zahra, Ibu yakin, Zahra sangat menginginkan kamu menjadi ibunya," kata Bu Maysaroh membuyarkan lamunanku."Tapi ... aku benar-benar merasa gak pantas untuk bersanding dengan Mas Sony, Bu. Apalagi aku punya banyak kekurangan. Ibu tahu, dulu keluarga mantan suamiku diam-diam menyembunyikan pernikahan mantan suamiku dengan wanita lain, hanya karena aku belum bisa memberikan keturunan," kataku lesu."Ibu sudah tahu. Itu bukan kesalahan kamu sepenuhnya, Nak. Itu takdir Tuhan. Kamu jangan berkecil hati, kamu harus percaya Tuhan itu Maha baik. Jika seandainya kamu dan Sony menikah tapi belum juga dikaruniai keturunan, ibu tak akan menuntut. Jika kalian ingin mengadopsi seorang anak pun, ibu gak masalah. Tapi kamu harus percaya, Nay, gak ada yang gak mungkin kalau kita percaya pada Gusti Allah," kata Bu Maysaroh lembut.Aku langsung menoleh ke arah Bu Maysaroh dengan ta
"Yang dikatakan Siska itu benar, Nay. Kenapa kamu jadi minderan begitu? Ayah yakin, Sony itu pilihan yang tepat untuk jodoh kamu," kata Ayah yang tiba-tiba datang dan ikut duduk bersama kami."Tuh, dengerin kata Ayah Lo," kata Siska melirik ke arahku."Iya, Yah. Menurut Ayah gimana? Kalau Mas Sony orang biasa, mungkin aku akan senang melanjutkan perjodohan ini, Yah. Masalahnya, Mas Sony itu ternyata seorang CEO, Yah," kataku.Aku menceritakan pada Ayah tentang pekerjaan Mas Sony sesungguhnya, juga tentang keluarga Mas Sony yang ternyata adalah orang kaya. Ayah sendiri terdiam sejenak, seolah sedang berpikir."Nay, menurut Ayah gak ada salahnya kalau Sony memang seorang CEO. Yang terpenting buat Ayah, Sony dan keluarganya mau menerima kekurangan kamu. Apalagi Bu Maysaroh menerima kekurangan kamu dengan baik kan? Kalaupun kamu dapat suami CEO, anggap saja itu bonus dari Tuhan," ujar Ayah bijak."Iya sih, Yah.""Nah, kalau begitu. Apalagi yang kamu risaukan?"Yang dikatakan Ayah memang b
Setelah mengetahui bahwa penjual pecel itu adalah mantan ibu mertuaku, aku menarik tangan Siska untuk menjauh, sebelum mantan ibu mertuaku itu mengetahui keberadaan kami."Ih, apaan sih, Nay. Maen tarik-tarik aja," gerutu Siska saat aku menarik tangannya untuk menjauh."Ternyata bener, Sis, itu memang mantan Ibu mertua gue," kataku."Bener kan? Ngeyel sih Lo! Terus kenapa Lo malah narik gue kesini?""Gue gak jadi beli pecel deh, Sis. Males," kataku."Yaelah Marimar ... ini tuh kesempatan emas buat Lo balas perbuatan mereka. Kenapa Lo malah menghindar?""Balas apaan sih, Sis. Gue gak sejahat itu.""Lah emangnya mau ngapain? Kita kan mau beli pecelnya doang, jahat dari mananya?""Lah bukannya tadi Lo bilang gue suruh balas perbuatan mereka?""Payah emang punya temen otaknya lemot mah!" ujar Siska memutar bola mata malas."Sembarangan aja Lo kalau ngomong. Lagian gimana sih, gue emang gak ngerti," kataku bingung."Nih ya Maemunah ... gue jelasin. Kita kesana, beli pecelnya mantan mertua