Note:
Kisah ini diangkat dari kisah nyata dari seorang teman yang saya bumbui banyak fiksi, ikuti kisahnya ya...☘️☘️☘️☘️"Kamu lagi ngapain, sayang?" Mas Kenzie tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang."Eh, ini Mas, aku lagi catat barang-barang yang kosong," jawabku sambil tetap melanjutkan aktivitas mencatatku. Minggu ini sudah waktunya belanja, karena barang-barang di toko juga banyak yang kosong."Bagaimana kabar Ibu dan Bapak, Mas?" tanyaku. Mas Kenzie tadi berpamitan pergi kerumah mertuaku untuk memberikan uang bulanan, yang memang selalu rutin kami berikan. Sedangkan aku tak bisa ikut, karena sibuk menyiapkan pesanan sembako dari pelanggan."Alhamdulilah, mereka sehat kok. Ibu sama Bapak titip salam buat kamu. Oh ya, kenapa catatnya berdiri disini? Ayo duduk." Mas Kenzie menarik tubuhku yang sedang berdiri di depan lemari etalase belanjaan, dan menuntunku untuk duduk di kursi."Besok, biar Mas aja yang belanja. Kamu di toko aja, kalau gak, kamu liburan bareng temen-temen kamu seperti biasa. Biar gak jenuh di toko mulu, kasian istri kesayangan Mas ini, pasti jenuh kan?" kata Mas Kenzie sambil menjawil hidungku.Begitulah Mas Kenzie, dia begitu menyayangi dan memanjakanku. Tak pernah sekalipun ia marah atau berbicara kasar padaku. Sikapnya lembut, baik, sabar dan juga pengertian. Hidup kami sangat bahagia, tak pernah sekalipun kami bertengkar. Tapi, sudah hampir 7 tahun kami menikah, hingga kini kami belum juga dikaruniai keturunan.Segala macam cara sudah aku lakukan untuk berusaha mendapatkan momongan, tapi hasilnya tetap nihil. Padahal, aku dan Mas Kenzie sudah periksa ke dokter, dan hasilnya kami sama-sama subur. Mungkin Tuhan masih belum mempercayakan seorang anak di rahimku. Mas Kenzie selalu menyemangatiku, begitu juga dengan kedua mertuaku. Tak pernah sekalipun mereka menuntut ataupun mendzalimi aku, seperti cerita drama rumah tangga yang biasa aku baca.Sebenarnya, semua ini memang salahku dan juga Mas Kenzie, karena aku dan Mas Kenzie terjerumus pergaulan bebas saat kami masih pacaran dulu. Aku tinggal seatap dengan Mas Kenzie saat status kami masih melajang dan belum terikat pernikahan. Bisa dibilang, kami kumpul kebo.Kami juga melakukan hubungan layaknya sepasang suami istri. Dan yang lebih buruk, aku meminum pil KB agar aku tak hamil. Aku sadar, itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Mungkin ini juga adalah hukuman dari Tuhan atas perbuatan buruk kami di masa lalu."Heii, kok malah melamun?" Mas Kenzie tiba-tiba mencium pipiku dan membuyarkan lamunanku. Begitulah Mas Kenzie, ia sangat genit padaku, tapi tak apa, karena aku istrinya."Gak papa, Mas. Oh ya, Mas, besok aku mau ke tukang urut dekat rumah Siska.""Loh, ngapain ke tukang urut? Kamu sakit?""Enggak, Mas. Aku baik-baik aja kok. Begini, Mas, kata Siska, tukang urut itu bisa benerin peranakan. Katanya sih, udah banyak orang yang cocok urut disitu. Baru beberapa kali diurut banyak yang langsung hamil loh, Mas," jawabku antusias."Wah, bagus dong Sayang. Tapi maaf ya, Mas besok gak bisa anterin kamu. Besok kan Mas harus belanja di kota Metro. Seperti biasa, disana kan belanjanya ngantri, mungkin malam Mas baru pulang," ujar Mas Kenzie dengan raut wajah sedih."Iya, Mas. Gak papa, aku ngerti kok," jawabku tersenyum.Mas Kenzie memang selalu rutin belanja mingguan untuk toko kami. Jika ada waktu, terkadang aku ikut menemani Mas kenzie. Tapi, karena mengantri belanja disana bisa menghabiskan waktu seharian, aku jarang ikut karena merasa jenuh. Aku dan Mas Kenzie membuka sebuah toko grosir di sebuah pusat pasar di kota ini. Usaha kami berkembang cukup pesat, karena kami sudah memiliki cukup banyak pelanggan, hingga menghasilkan uang yang cukup banyak setiap bulannya.Usaha yang kami jalani ini juga tak mudah awalnya. Kami harus banting setir untuk mendapatkan modal yang cukup. Awalnya, aku dan Mas Kenzie sama-sama bekerja untuk mengumpulkan uang. Dengan modal nekat, akhirnya kami bisa membuka toko grosir kecil-kecilan. Semakin hari, toko kami semakin berkembang, hingga menjadi sebuah toko yang cukup besar. Dari hasil toko itulah, aku dan Mas Kenzie bisa membeli mobil dan dua motor. Kami juga berencana ingin membangun sebuah rumah karena saat ini kami masih mengontrak.Kami mengambil barang-barang kebutuhan pokok dari sebuah agen yang memang menjual kebutuhan pokok dengan harga yang cukup miring. Meskipun tempatnya lumayan jauh, tak masalah, karena sesuai dengan untung yang kami dapatkan."Oh ya, besok kamu pergi sama siapa Sayang?""Aku mau ngajak Dini, Mas.""Kayaknya Dini besok ada acara deh," jawab Mas Kenzie seperti sedang berpikir. Dini adalah adik Mas Kenzie yang bungsu. Biasanya, aku memang suka pergi dengan Dini."Memang tadi kamu ketemu Dini, Mas?""Iya, Sayang. Kebetulan tadi aku ngobrol sebentar sama Dini, katanya besok dia ada acara sama temen-temennya," jawab Mas Kenzie."Gitu ya, Mas. Ya udah deh, besok aku pergi sendiri aja.""Kamu ajak temen kamu yang lain aja, aku gak mau loh kamu pergi sendiri. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?""Yaelah, Mas. Aku kan bukan anak kecil lagi," sungutku."Dih gitu aja ngambek, ya udah yang penting kamu hati-hati bawa mobilnya ya, Sayang.""Iya, Mas."Mas Kenzie memang selalu mengkhawatirkan aku. Setiap aku pergi, ia selalu menelpon untuk menanyakan keadaan ataupun keberadaanku. Bahkan, ia selalu mengingatkan aku agar tak telat makan. Itulah yang membuat aku selalu percaya dan juga mencintai Mas Kenzie sepenuh hatiku.*****Hari ini, aku sudah janjian dengan Siska untuk mengantarkanku berobat ke tukang urut dekat rumahnya. Siska adalah teman dekatku dari sekolah dulu. Kami selalu pergi bersama, dan suka menghabiskan waktu di luar bersama. Karena Siska masih melajang, aku bisa mengajaknya kemanapun aku mau tanpa perlu meminta izin pada suaminya."Lo enak banget sih, Nay, punya suami mapan, sabar, pengertian, udah gitu ngebebasin Lo mau pergi kemana aja, tanpa perlu merengek-rengek minta izin," kata Siska saat kami sudah di mobil untuk pergi ke rumah tukang urut itu."Disyukuri aja, Sis. Gue sama Mas Kenzie juga pernah susah kali, bisa di titik ini juga butuh proses dan perjuangan," kataku."Iya juga ya, tapi kan sekarang Lo udah bisa petik hasilnya. Tapi Lo aneh, Nay, mobil punya, motor ada dua, terus duit banyak, tapi kenapa rumah masih ngontrak?""Gue kan lagi ngumpulin duit dulu buat bikin rumahnya. Rencananya, gue sama mas Kenzie mau bikin rumah yang sekalian gede jadi butuh dana gede juga," jawabku."Memang kalian mau bikin rumah dimana?""Samping rumah mertua gue, Sis. Kebetulan mertua gue tanahnya luas, jadi kami mau bangun disana aja.""Lo gak takut tinggal deket mertua? Banyak tuh kasus, mertua sama menantu ribut karena gak cocok tinggal deket-deket," ujar Siska."Gak lah, mertua gue kan baik," kataku tegas.Tak lama, kamipun sampai di tempat tukang urut yang direkomendasikan oleh Siska. Setelah memarkirkan mobil, aku dan Siska segera turun dari mobil. Ternyata, tukang urut ini memiliki banyak pasien terlihat dari ramainya orang-orang yang datang."Naya!" Sebuah suara perempuan memanggil."Bude Darmi, kok ada disini?" Ternyata Bude Darmi, tetangga rumah mertuaku."Ini, Bude lagi nemenin keponakan mau urut. Kok kamu ada disini, Nay?""Aku juga mau urut Bude," jawabku tersenyum."Loh, bukannya di rumah Ibu mertuamu lagi ada acara syukuran ya? Kamu gak kesana?" tanya bude Darmi bingung."Acara syukuran apa ya, Bude?""Kayaknya, saudara Ibu mertuamu baru melahirkan. Tapi, bikin acara syukurannya tempat Ibu mertuamu, memangnya kamu gak tahu?"Aku jadi bingung dengan pertanyaan Bude Darmi, aku bingung harus menjawab apa. Karena memang, aku tak tahu apapun tentang acara syukuran di rumah Ibu. Mas Kenzie pun tak bilang apapun padaku, padahal, kemarin mas Kenzie baru mengunjungi Ibu dan Bapak. Lalu, siapa yang baru melahirkan? Setahuku, tak ada saudara Ibu mertuaku yang sedang hamil saat ini.******"Nay, kita daftar dulu yuk, nanti takutnya ngantri lama," ajak Siska sambil menarik lenganku."Eh, iya. Maaf ya bude, saya mau masuk ke dalam dulu," kataku pada Bude Darmi."Oh, iya. Ya sudah, Bude juga mau buru-buru nih," jawab Bude Darmi dan berlalu pergi bersama seorang wanita muda yang katanya keponakan Bude Darmi itu.Aku sedikit lega, Siska mengajakku ke dalam sehingga aku tak perlu menjawab pertanyaan Bude Darmi yang justru membuatku bingung. Meskipun begitu, aku penasaran, sebenarnya ada acara apa di rumah Ibu? Kenapa aku tak di beri tahu?Selama ini, jika ada acara apapun Ibu selalu memberi tahuku. Kadang, hanya sekedar acara pengajian ibu-ibu saja, Ibu ngasih tau. Kenapa ini tidak?"Lo kenapa, Nay? Pasti kepikiran sama pertanyaan ibu-ibu tadi ya?" tanya Siska."Iya, Sis. Gue bingung, ada acara apa ya di rumah mertua gue? Gak biasa-biasanya mereka gak ngasih tau gue," jawabku."Nah itu, kayaknya Lo harus cari tau deh. Atau Lo telpon aja si Kenzie.""Nanti aja deh, Sis. Mas Ke
Aku masih berdiri terpaku sambil memandangi ponsel milikku. Setelah berulang kali aku mencoba menghubungi nomor Mas Kenzie kembali, tapi masih juga tak aktif. Belum juga terjawab tentang acara syukuran di rumah mertuaku, kini ada satu lagi suara wanita yang baru memanggil Mas Kenzie tadi, membuat aku bertanya-tanya. Siapa wanita tadi?Mas Kenzie bilang, ia masih berada di agen distributor penjual bahan pokok. Tapi setahuku, semua karyawan di agen itu semuanya laki-laki, karena memang agen itu berbentuk bangunan seperti gudang. Semua karyawan disana juga harus memiliki tenaga yang kuat, untuk mengangkut dan memuat barang belanjaan ke dalam mobil. Pemiliknya pun juga seorang laki-laki, karena setahuku istrinya juga jarang berada di sana. Aku jadi ragu, apa benar Mas Kenzie masih berada di agen itu?Sudah 7 tahun kami menikah, tak pernah ada gelagat Mas Kenzie selama ini yang mencurigakan. Bahkan, aku selalu rutin mengecek ponsel milik Mas Kenzie. Selama ini, tak ada yang aneh, hanya ada
Malam ini, aku, Mas Kenzie dan Ibu makan malam bertiga di rumah Ibu. Karena sedari tadi, Bapak dan Dini tak kunjung pulang dari rumah Anggun. Padahal, tadi Ibu bilang sebentar lagi Bapak dan Dini akan segera pulang. Nyatanya, sudah hampir satu setengah jam lamanya, Bapak dan Dini belum juga sampai di rumah.Sambil menikmati makan malam, Ibu bercerita banyak hal pada kami. Dari mulai rencana kuliah Dini nanti, dan juga tentang usaha bengkel milik Bapak yang sedang sepi. Bapak memang membuka usaha bengkel motor tak jauh dari rumah. Sedangkan adik iparku Dini memang sebentar lagi akan lulus SMA, dan Ibu bilang, Dini ingin melanjutkan kuliahnya. Sebenarnya, aku tahu alasan Ibu bercerita ini padaku, Ibu ingin aku dan Mas Kenzie membiayai kuliah Dini nantinya.Memang Ibu tak secara langsung mengatakannya padaku dan Mas Kenzie, tapi sebagai seorang anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, Mas Kenzie masih bertanggung jawab untuk membantu kebutuhan keluarga ini. Terutama biaya sekolah adikny
Aku memeluk tubuh Mas Kenzie erat setelah aku sampai di toko grosir milik kami. Aku tak peduli dengan tatapan para pengunjung di toko kami dengan aksiku memeluk tubuh Mas Kenzie. Perasaan senang bercampur haru sedang menggebu-gebu untuk diungkapkan. Ini adalah moment salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Sekian lama menanti, akhirnya kini aku telah mengandung benih cintaku bersama Mas Kenzie."Hey, kamu kenapa, Sayang?" tanya Mas Kenzie sambil membalas pelukan dariku.Saking bahagianya, rasanya sangat sulit untukku berkata-kata. Justru kini, air mata mulai keluar dari kelopak mataku. Bukan tangisan sedih, melainkan tangisan haru nan bahagia."A ... aku ... aku hamil, Mas," ucapku dengan suara serak."Hamil? Kamu hamil, Sayang?" tanya Mas Kenzie lalu melerai pelukan dariku. Kini Mas Kenzie menatap mataku dalam, ada sorot binar bahagia di mata Mas Kenzie.Aku tak bisa menjawab, tenggorokan rasanya tercekat karena sulit untuk mengeluarkan suaraku. Aku hanya bisa mengangguk dan t
"Mas!" panggilku pada Mas Kenzie."Eh, iya ada apa, Sayang?" tanya Mas Kenzie seolah terbangun dari lamunan. Mas Kenzie yang sedari tadi melihat kepergian Anggun, kini langsung menoleh ke arahku dengan tersenyum kikuk."Kamu ngapain, Mas, liatin si Anggun sampai gak kedip gitu? Kamu suka sama Anggun?!" tanyaku penuh penekanan.Jujur saja, ini kali pertama aku melihat Mas Kenzie melihat wanita dengan tatapan seperti itu. Aku merasa, Mas Kenzie seperti terpukau dengan pesona Anggun. Wajar saja, karena aku yang seorang wanita saja begitu kagum melihat wajah ayu Anggun yang begitu manis itu. Wajahnya khas wanita Jawa yang terkesan manis dan juga kalem. Cara berbicara Anggun juga begitu lembut dan juga kalem. Tapi melihat suamiku yang seolah terpesona dengan Anggun, jelas saja aku cemburu."Kamu ini ngomong apa sih, Sayang? Anggun kan sepupu aku, masa' aku suka sama sepupu sendiri. Lagian, istri aku aja cantik begini," jawab Mas Kenzie sambil membelai kepalaku lembut. Ku akui, aku memang j
"Hei, kamu kenapa, Sayang, kok nangis?" tanya Mas Kenzie saat ia baru keluar dari kamar. Mas Kenzie langsung ikut duduk di sampingku."Mas, aku ... aku ..." Tenggorokan rasanya tercekat, aku tak mampu mengatakan ini pada Mas Kenzie.Melihat wajah Mas Kenzie, ada rasa bersalah dalam hati. Mas Kenzie begitu bahagia dan antusias menyambut hadirnya calon bayi kami. Seandainya benar janin bayi dalam rahimku tak ada, bagaimana perasaan Mas Kenzie? Pasti sama hancurnya denganku, atau mungkin ia akan marah padaku."Kamu kenapa? Apa ada masalah, cerita sama aku?" ujar Mas Kenzie sambil memeluk dan membelai punggungku lembut. Pelukan dan belaian dari Mas Kenzie perlahan membuat hatiku sedikit tenang."Ada apa? Ayo cerita, kalau ada masalah jangan di pendam sendiri," ujar Mas Kenzie lembut. Aku melerai pelukan dari Mas Kenzie dan menatap wajah Mas Kenzie dengan tatapan nanar."Mas, aku takut ....""Takut? Takut kenapa, Sayang?"Pelan-pelan, aku menceritakan pada Mas Kenzie tentang hilangnya Emak
Tepat pukul 16.00 sore, Mas Kenzie akhirnya sampai di rumah. Raut wajah lelah terukir jelas di wajah pria yang sudah lebih dari tujuh tahun itu menemaniku."Kok kamu baru pulang, Mas?" tanyaku setelah aku mencium punggung tangan Mas Kenzie."Iya nih, Sayang. Maaf ya, tadi toko kita ramai. Aku kewalahan ngelayani pembeli sendirian. Aku juga belum dapat karyawan buat bantu kita di toko," ujar Mas Kenzie sambil melepaskan sepatunya."Kamu kenapa, Sayang? Kok matanya bengkak gitu, kamu nangis lagi?" ujar Mas Kenzie sambil membelai rambut panjangku."Mas, tadi siang Dewi nelpon aku," kataku lesu.Aku pun menceritakan pada Mas Kenzie tentang kandungan Dewi yang kosong setelah melakukan USG di dokter kandungan."Kamu yang sabar ya, Sayang. Ikhlaskan, jika seandainya memang tidak ada janin bayi dalam perut kamu. Yang penting kamu sudah berusaha, kamu harus tetap semangat. Banyak jalan menuju Roma, kamu gak perlu khawatir dan sedih. Jika memang sudah waktunya, kamu pasti akan hamil," kata Mas
Hari ini, aku janjian dengan Dewi untuk urut perut kami yang mulai rata dan terlihat normal. Meskipun perut kami sudah terlihat normal, tapi ini adalah urut untuk yang terakhir kalinya agar perutku dan Dewi bisa normal seutuhnya."Mbak Naya, ternyata benar suami Mbak Naya itu, memang teman Mas Harun suami aku," ujar Dewi saat kami sedang berada dalam mobil menuju ke rumah tukang urut yang kami tuju."Aku malah gak tahu, Dew. Selama ini, Mas Kenzie jarang banget kenalin aku ke temen-temennya. Lagian, selama ini kami selalu sibuk di toko, jadi jarang main keluar. Paling sesekali aja, itupun kami cuma jalan berdua," kataku sambil tetap fokus menyetir mobil."Iya, Mbak. Kata Mas Harun juga dia jarang ketemu sama Mas Kenzie. Mereka cuma sering chat an lewat WA aja. Dan setelah aku ingat-ingat, ternyata memang benar, aku pernah lihat foto Mas Kenzie di daftar chat WA Mas Harun. Makanya waktu nelpon Mbak Naya waktu itu, aku ngerasa gak asing lihat foto profil Mak Naya ada foto Mas Kenzie," j