Aku masih berdiri terpaku sambil memandangi ponsel milikku. Setelah berulang kali aku mencoba menghubungi nomor Mas Kenzie kembali, tapi masih juga tak aktif. Belum juga terjawab tentang acara syukuran di rumah mertuaku, kini ada satu lagi suara wanita yang baru memanggil Mas Kenzie tadi, membuat aku bertanya-tanya. Siapa wanita tadi?
Mas Kenzie bilang, ia masih berada di agen distributor penjual bahan pokok. Tapi setahuku, semua karyawan di agen itu semuanya laki-laki, karena memang agen itu berbentuk bangunan seperti gudang. Semua karyawan disana juga harus memiliki tenaga yang kuat, untuk mengangkut dan memuat barang belanjaan ke dalam mobil. Pemiliknya pun juga seorang laki-laki, karena setahuku istrinya juga jarang berada di sana. Aku jadi ragu, apa benar Mas Kenzie masih berada di agen itu?Sudah 7 tahun kami menikah, tak pernah ada gelagat Mas Kenzie selama ini yang mencurigakan. Bahkan, aku selalu rutin mengecek ponsel milik Mas Kenzie. Selama ini, tak ada yang aneh, hanya ada chat dariku dan juga dari pelanggan toko grosir kami. Aku bukannya tak percaya, tapi apa salahnya untuk sekedar berjaga. Kami suami istri, tak ada salahnya jika aku ingin tahu isi ponsel suamiku bukan?Dengan perasaan gelisah, aku duduk di sofa televisi sambil menunggu Mas Kenzie pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 malam, tapi belum juga ada tanda-tanda kepulangan dari Mas Kenzie.Tin! Tin!Panjang umur, orang yang sedang aku pikirkan akhirnya pulang juga. Suara klakson mobil itu adalah suara mobil sewaan yang biasa Mas kenzie gunakan. Aku segera bergegas ke depan untuk membukakan pintu."Kamu dari mana sih, Mas. Kok baru pulang?" tanyaku setelah Mas Kenzie sudah duduk di kursi."Kamu itu lucu, Sayang. Kamu kan tahu, aku baru pulang belanja," jawab Mas Kenzie santai sambil melepas sepatunya."Maksud aku, kenapa pulangnya malam banget, Mas? Biasanya, jam sembilan kamu udah sampai rumah. Terus kenapa ponsel kamu gak aktif?" Aku memberondong pertanyaan pada Mas Kenzie. Entahlah, rasanya aku agak kesal karena sulit menghubungi Mas Kenzie tadi."Tadi ponsel aku lobet, Sayang. Nih!" kata Mas Kenzie sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Memang benar, ponsel Mas Kenzie tak bisa dinyalakan saat aku sudah mengambil alih ponsel itu."Terus, tadi aku denger ada suara wanita manggil kamu sebelum telpon terputus, itu siapa, Mas?""Astaga ... jadi si Nyonya Kenzie lagi cemburu nih ceritanya?" Mas Kenzie langsung duduk di sampingku dan merangkul pundak ku."Bukan cemburu, Mas. Aku kan cuma tanya?" kataku dengan ekspresi manyun.Cup!Satu kecupan, mendarat di bibirku. Perasaan kesal yang tadi sedikit menggebu-gebu kini mulai melunak. Mas Kenzie memang begitu, dia tahu betul cara untuk membuat rasa kesalku hilang."Apaan sih, Mas," kataku pura-pura malu, padahal aku senang."Tapi kamu suka kan?" tanya Mas Kenzie lalu mencium pipiku lagi."Dih, kepedean. Kamu belum jawab, Mas. Siapa wanita yang manggil kamu tadi?""Dia itu istri salah satu pelanggan Pak Harto, kebetulan tadi kami ngobrol bareng sama suaminya juga," jawab Mas Kenzie. Pak Harto adalah pemilik agen distributor itu.Masuk akal juga sih, karena aku sendiri kadang ikut menemani Mas Kenzie kesana. Kenapa aku jadi begitu curiga dengan Mas Kenzie? Padahal aku tahu betul, Mas Kenzie sangat mencintai aku. Tak mungkin Mas Kenzie mengkhianati aku bukan? Mungkin aku yang terlalu parno, karena terlalu sering mendengar cerita tentang peselingkuhan dari teman-temanku."Oh ya, Mas. Besok, kita ke rumah Ibu sama Bapak ya, aku gak enak tadi gak datang ke acara syukuran itu. Sekalian aku mau nengok keponakan Ibu dan bayinya itu," kataku."Sepertinya gak perlu deh, Sayang. Besok kan kita banyak kerjaan, belum nyusun barang-barang belanjaan yang baru aku beli tadi," kata Mas Kenzie."Ya kita kesana sore aja lah, Mas. Kalau tokonya udah tutup.""Ya udah terserah kamu aja deh, Sayang, aku sih ikut aja. Oh ya, tadi kamu jadi urut sama Siska gak, Sayang?" tanya Mas Kenzie sambil membelai rambutku lembut."Jadi, Mas.""Terus gimana?""Ya belum tahu hasilnya, Mas. Masa' baru urut tiba-tiba hamil," jawabku. Mas Kenzie justru terkekeh mendengar jawabanku."Iya, Sayang. Semoga kamu bisa cepet hamil ya," ujar Mas Kenzie sambil mencium keningku mesra."Aamiin ....""Ya udah, kalau gitu aku mau bikin kamu cepet hamil," bisik Mas Kenzie sambil mengedipkan sebelah matanya. Tak lama, Mas Kenzie menggendong tubuhku untuk masuk ke dalam kamar.Aku tersenyum menatap wajah tampan suamiku yang begitu mempesona. Hampir setiap malam Mas Kenzie tak pernah absen memberikan nafkah batin untukku, kecuali jika aku datang bulan saja. Mas Kenzie selalu memperlakukan aku dengan manis, lembut dan penuh kasih sayang. Itulah sebabnya, mengapa aku begitu percaya dan juga mencintai Mas Kenzie sepenuh hatiku.________Sore ini, setelah selesai menutup toko, aku dan Mas Kenzie memutuskan untuk berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak. Sebelum sampai di rumah Ibu dan Bapak, aku menyuruh Mas Kenzie mampir ke toko baby shop untuk membeli perlengkapan bayi untuk keponakan Ibu nanti. Tak mungkin aku datang hanya dengan tangan kosong, bukan?"Mas, bayinya keponakan Ibu itu laki-laki atau perempuan?" tanyaku sambil memilah milih pernak-pernik bayi. Saat ini, kami sudah berada di sebuah toko baby shop."Kayaknya sih perempuan, Sayang," jawab Mas Kenzie sambil sibuk memainkan ponselnya."Kalau gitu, aku belinya yang warna pink aja," kataku sambil mengambil satu set perlengkapan pakaian bayi yang sudah dikemas cantik dalam kotak transparan.Dalam kotak itu, berisi gaun bayi berwarna pink yang sangat cantik dilengkapi dengan bandana bayi, sarung tangan dan juga sepatu. Semua lengkap dengan warna serba pink. Rasanya sangat gemas, ingin sekali rasanya aku memiliki seorang bayi perempuan. Lagi-lagi hati ini sesak, meskipun hidupku dan Mas Kenzie selalu terlihat bahagia, tapi selalu saja ada yang kurang tanpa kehadiran seorang anak di tengah-tengah kebahagiaan kami."Kok malah melamun, mau beli yang mana?" tanya Mas Kenzie."Eh, sepertinya yang ini aja deh Mas, cantik," jawabku sambil memperlihatkan kotak berisi set bayi itu pada Mas Kenzie."Bagus, ya udah yuk kita bayar, sebentar lagi magrib," kata Mas Kenzie.Kami pun segera bergegas ke kasir untuk membayar. Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Ibu dan Bapak.______"Bagaimana kabarmu, Nduk?" tanya Ibu saat kami sudah sampai di rumah Ibu. Tepat adzan Maghrib berkumandang, aku dan Mas Kenzie sampai di rumah Ibu."Aku sehat, Bu. Ibu sendiri gimana? Maaf, kemarin aku gak kesini. Mas Kenzie gak kasih tahu aku, Bu, kalau ada acara syukuran disini," kataku sambil melirik ke arah Mas Kenzie. Mas Kenzie sendiri hanya tersenyum kikuk sambil menggaruk rambutnya."Ibu juga sehat, Nduk. Gak papa, Ibu ngerti kok. Tadi Kenzie sudah telpon Ibu ngejelasin kenapa kamu gak datang, emang dasar si Kenzie ini kebiasaan. Kalau disuruh apa, pasti lupa," jawab Ibu lembut. Ibu mertuaku memang begitu, sikapnya mirip dengan Mas Kenzie. Ibu selalu bicara lembut dan tak pernah kasar ataupun membentak. Itulah mengapa, aku begitu menghormati beliau."Iya nih, Bu. Oh ya mana keponakan Ibu dan bayinya, aku pengen lihat, Bu," kataku."Wah, kamu telat, Nduk. Barusan aja Bapakmu sama si Dini nganterin ponakan Ibu ke rumah barunya. Kebetulan, keponakan Ibu sudah dapat rumah kontrakan," jelas Ibu."Oh gitu, kok cepet banget perginya? Padahal aku udah bawain kado loh, Bu," kataku sambil menunjuk kotak yang sudah di bungkus rapi dengan kertas kado."Kamu taruh disini saja, Nduk. Biar besok si Dini saja yang nganterin kadonya," kata Ibu."Gimana kalau kita nyusul kesana aja, Mas?" kataku pada Mas Kenzie."Eh, apa, Sayang?!" Mas Kenzie seolah terkejut dan melirik ke arah Ibu."Kita nyusul Bapak sama Dini, Mas. Ke rumah ponakan Ibu, aku pengen banget lihat bayinya," kataku sedikit memaksa."Kayaknya gak perlu, Nduk. Sebentar lagi juga Bapakmu dan Dini pulang. Lagian Kenzie kan belum tahu rumah baru keponakan Ibu," ujar Ibu."Yah, padahal aku pengen banget liat bayinya. Oh ya siapa nama keponakan Ibu itu?""Eh, hmmm .... namanya Anggun, Nduk," jawab Ibu dengan ekspresi wajah yang sulit aku artikan."Sudahlah, Sayang. Kita gak perlu repot-repot kesana, biar Dini aja besok yang nganterin kadonya. Nanti kapan-kapan juga pasti kita ketemu dia," kata Mas Kenzie."Iya, Nduk, kapan-kapan saja lihat bayinya si Anggun. Yowes, Ibu mau siapkan makan malam dulu, nanti kita makan malam bareng ya? Sudah lama loh kita gak makan bareng," kata Ibu, lalu beranjak ke dapur.Aku sedikit aneh melihat sikap Ibu dan Mas Kenzie, yang seolah-olah menghalangiku untuk melihat keponakan Ibu yang bernama Anggun itu, serta bayinya. Lagi pula, baru juga kemarin acara syukuran di rumah Ibu usai, kenapa si Anggun itu cepat sekali pindah?*****Malam ini, aku, Mas Kenzie dan Ibu makan malam bertiga di rumah Ibu. Karena sedari tadi, Bapak dan Dini tak kunjung pulang dari rumah Anggun. Padahal, tadi Ibu bilang sebentar lagi Bapak dan Dini akan segera pulang. Nyatanya, sudah hampir satu setengah jam lamanya, Bapak dan Dini belum juga sampai di rumah.Sambil menikmati makan malam, Ibu bercerita banyak hal pada kami. Dari mulai rencana kuliah Dini nanti, dan juga tentang usaha bengkel milik Bapak yang sedang sepi. Bapak memang membuka usaha bengkel motor tak jauh dari rumah. Sedangkan adik iparku Dini memang sebentar lagi akan lulus SMA, dan Ibu bilang, Dini ingin melanjutkan kuliahnya. Sebenarnya, aku tahu alasan Ibu bercerita ini padaku, Ibu ingin aku dan Mas Kenzie membiayai kuliah Dini nantinya.Memang Ibu tak secara langsung mengatakannya padaku dan Mas Kenzie, tapi sebagai seorang anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, Mas Kenzie masih bertanggung jawab untuk membantu kebutuhan keluarga ini. Terutama biaya sekolah adikny
Aku memeluk tubuh Mas Kenzie erat setelah aku sampai di toko grosir milik kami. Aku tak peduli dengan tatapan para pengunjung di toko kami dengan aksiku memeluk tubuh Mas Kenzie. Perasaan senang bercampur haru sedang menggebu-gebu untuk diungkapkan. Ini adalah moment salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Sekian lama menanti, akhirnya kini aku telah mengandung benih cintaku bersama Mas Kenzie."Hey, kamu kenapa, Sayang?" tanya Mas Kenzie sambil membalas pelukan dariku.Saking bahagianya, rasanya sangat sulit untukku berkata-kata. Justru kini, air mata mulai keluar dari kelopak mataku. Bukan tangisan sedih, melainkan tangisan haru nan bahagia."A ... aku ... aku hamil, Mas," ucapku dengan suara serak."Hamil? Kamu hamil, Sayang?" tanya Mas Kenzie lalu melerai pelukan dariku. Kini Mas Kenzie menatap mataku dalam, ada sorot binar bahagia di mata Mas Kenzie.Aku tak bisa menjawab, tenggorokan rasanya tercekat karena sulit untuk mengeluarkan suaraku. Aku hanya bisa mengangguk dan t
"Mas!" panggilku pada Mas Kenzie."Eh, iya ada apa, Sayang?" tanya Mas Kenzie seolah terbangun dari lamunan. Mas Kenzie yang sedari tadi melihat kepergian Anggun, kini langsung menoleh ke arahku dengan tersenyum kikuk."Kamu ngapain, Mas, liatin si Anggun sampai gak kedip gitu? Kamu suka sama Anggun?!" tanyaku penuh penekanan.Jujur saja, ini kali pertama aku melihat Mas Kenzie melihat wanita dengan tatapan seperti itu. Aku merasa, Mas Kenzie seperti terpukau dengan pesona Anggun. Wajar saja, karena aku yang seorang wanita saja begitu kagum melihat wajah ayu Anggun yang begitu manis itu. Wajahnya khas wanita Jawa yang terkesan manis dan juga kalem. Cara berbicara Anggun juga begitu lembut dan juga kalem. Tapi melihat suamiku yang seolah terpesona dengan Anggun, jelas saja aku cemburu."Kamu ini ngomong apa sih, Sayang? Anggun kan sepupu aku, masa' aku suka sama sepupu sendiri. Lagian, istri aku aja cantik begini," jawab Mas Kenzie sambil membelai kepalaku lembut. Ku akui, aku memang j
"Hei, kamu kenapa, Sayang, kok nangis?" tanya Mas Kenzie saat ia baru keluar dari kamar. Mas Kenzie langsung ikut duduk di sampingku."Mas, aku ... aku ..." Tenggorokan rasanya tercekat, aku tak mampu mengatakan ini pada Mas Kenzie.Melihat wajah Mas Kenzie, ada rasa bersalah dalam hati. Mas Kenzie begitu bahagia dan antusias menyambut hadirnya calon bayi kami. Seandainya benar janin bayi dalam rahimku tak ada, bagaimana perasaan Mas Kenzie? Pasti sama hancurnya denganku, atau mungkin ia akan marah padaku."Kamu kenapa? Apa ada masalah, cerita sama aku?" ujar Mas Kenzie sambil memeluk dan membelai punggungku lembut. Pelukan dan belaian dari Mas Kenzie perlahan membuat hatiku sedikit tenang."Ada apa? Ayo cerita, kalau ada masalah jangan di pendam sendiri," ujar Mas Kenzie lembut. Aku melerai pelukan dari Mas Kenzie dan menatap wajah Mas Kenzie dengan tatapan nanar."Mas, aku takut ....""Takut? Takut kenapa, Sayang?"Pelan-pelan, aku menceritakan pada Mas Kenzie tentang hilangnya Emak
Tepat pukul 16.00 sore, Mas Kenzie akhirnya sampai di rumah. Raut wajah lelah terukir jelas di wajah pria yang sudah lebih dari tujuh tahun itu menemaniku."Kok kamu baru pulang, Mas?" tanyaku setelah aku mencium punggung tangan Mas Kenzie."Iya nih, Sayang. Maaf ya, tadi toko kita ramai. Aku kewalahan ngelayani pembeli sendirian. Aku juga belum dapat karyawan buat bantu kita di toko," ujar Mas Kenzie sambil melepaskan sepatunya."Kamu kenapa, Sayang? Kok matanya bengkak gitu, kamu nangis lagi?" ujar Mas Kenzie sambil membelai rambut panjangku."Mas, tadi siang Dewi nelpon aku," kataku lesu.Aku pun menceritakan pada Mas Kenzie tentang kandungan Dewi yang kosong setelah melakukan USG di dokter kandungan."Kamu yang sabar ya, Sayang. Ikhlaskan, jika seandainya memang tidak ada janin bayi dalam perut kamu. Yang penting kamu sudah berusaha, kamu harus tetap semangat. Banyak jalan menuju Roma, kamu gak perlu khawatir dan sedih. Jika memang sudah waktunya, kamu pasti akan hamil," kata Mas
Hari ini, aku janjian dengan Dewi untuk urut perut kami yang mulai rata dan terlihat normal. Meskipun perut kami sudah terlihat normal, tapi ini adalah urut untuk yang terakhir kalinya agar perutku dan Dewi bisa normal seutuhnya."Mbak Naya, ternyata benar suami Mbak Naya itu, memang teman Mas Harun suami aku," ujar Dewi saat kami sedang berada dalam mobil menuju ke rumah tukang urut yang kami tuju."Aku malah gak tahu, Dew. Selama ini, Mas Kenzie jarang banget kenalin aku ke temen-temennya. Lagian, selama ini kami selalu sibuk di toko, jadi jarang main keluar. Paling sesekali aja, itupun kami cuma jalan berdua," kataku sambil tetap fokus menyetir mobil."Iya, Mbak. Kata Mas Harun juga dia jarang ketemu sama Mas Kenzie. Mereka cuma sering chat an lewat WA aja. Dan setelah aku ingat-ingat, ternyata memang benar, aku pernah lihat foto Mas Kenzie di daftar chat WA Mas Harun. Makanya waktu nelpon Mbak Naya waktu itu, aku ngerasa gak asing lihat foto profil Mak Naya ada foto Mas Kenzie," j
Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang setelah mengantar Dewi pulang ke rumahnya. Entah kenapa, hati ini jadi sedikit bimbang setelah mendengarkan saran dari Dewi tadi. Meskipun aku percaya dengan Mas Kenzie sepenuhnya, tapi tiba-tiba ada sedikit keraguan dalam hati.Jam tangan yang terpasang di pergelangan tangan kiriku kini sudah menunjukkan angka pukul 16.00 sore. Sebenarnya aku ingin segera pulang ke rumah, tapi entah mengapa tiba-tiba aku ingin ke toko grosir milikku dan Mas Kenzie. Akhirnya, aku memutuskan untuk memutar arah mobilku menuju toko.Setelah sampai di toko, aku sedikit terkejut karena ternyata toko grosir kami tutup. Padahal, masih ada sisa satu jam lagi biasanya toko kami akan tutup. Apakah Mas Kenzie sudah pulang? Dengan perasaan gelisah, aku kembali melajukan mobilku untuk pulang ke rumah.Lima belas menit kemudian, aku tiba di rumah. Namun tak ada tanda-tanda Mas Kenzie ada di rumah. Pagar rumah masih terkunci, itu artinya tak ada orang di rumah kami. Jik
Hari ini, aku dan Mas Kenzie sudah mulai menyicil membangun rumah. Kami mulai untuk membuat pondasinya dulu, sesuai saran dari Ibu mertuaku. Kami membuat pondasi rumah tepat di samping rumah orang tua Mas Kenzie yang memang sudah di siapkan untuk kami. Daerah rumah mertuaku memang masih masuk daerah perkampungan. Tapi, akses menuju kota cukup dekat dari sini, apalagi jalan aspal disini juga sudah bagus dan mulus.Di kampung ini, jika ada orang yang akan membangun rumah baru, para tetangga berbondong-bondong datang untuk ikut membantu. Yang pria akan ikut membantu mengerjakan bangunan rumah, sedangkan ibu-ibu membantu memasak di dapur untuk makan siang bersama nanti."Nak Naya, kok sekarang perutnya sudah rata? Bukannya dulu hamil ya, atau sudah melahirkan?" tanya Bu Ningsih tetangga Ibu. Saat ini aku sedang bergabung bersama ibu-ibu mengupas bawang untuk memasak.Aku hanya tersenyum dan memilih untuk tak menjawab pertanyaan dari Bu Ningsih. Jujur saja, sesak hati ini setiap kali orang