Bab 1: Insiden
Ciiitt..!
Braakk..!
Hekal terjatuh bersama dengan motornya. Tubuh driver ojek online ini berguling dua kali di aspal sebelum kemudian berhenti dengan posisi terlentang. Ia melihat ke atas, gelap, malam hari menghadirkan gerimis, dan beberapa tetesnya membasahi wajah Hekal.
Sadar, Hekal tetap sadar. Maka cepat ia bangkit, berjalan ke arah motornya dan mendirikan motor itu untuk ia dorong ke tepi jalan.
“Sial!” Umpat Hekal dalam hati.
Apes sekali memang driver ojek ini. Sebuah mobil sedan yang keluar mendadak dari sebuah persimpangan telah menabrak dirinya.
Mobil sedan masih berhenti di tengah persimpangan, lampu hazardnya menyala, kuning berkedip-kedip kanan dan kiri. Disusul kemudian dengan keluarnya sang pengemudi, yang rupanya seorang wanita cantik berambut pendek dan berpostur proporsional.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya si wanita pengemudi dengan raut yang cemas.
“Tidak, Kak,” jawab Hekal dengan wajah yang memerah karena menahan amarah.
Ketika jatuh tadi Hekal merasakan sebuah benturan di bahu dan kepalanya. Namun syukurlah, ia memakai helm dan helmnya itu dalam keadaan terkunci. Lain dari itu, ia merasakan sedikit sakit di bagian engkel kaki sebelah kiri. Tidak apa-apa. Ia baik-baik saja.
“Syukurlah kalau tidak apa-apa,” sahut si wanita sembari melepaskan nafas yang lega.
Kemudian, tanpa diduga sama sekali oleh Hekal, wanita pengemudi itu malah membentak dirinya.
“Kamu ini bagaimana sih naik motor?? Main selonong saja!”
Hekal yang sudah sampai di tepi jalan serentak menoleh. Matanya mendelik, amarahnya terlepas dan mulutnya balas menyembur.
“Kamu yang seharusnya bagaimana! Nyetir mobil tidak pakai mata!”
“Hei..!” Wanita pengemudi memekik. “Kamu yang salah, kamu pula yang marah!”
Pertama tadi Hekal menyebut dengan panggilan ‘kakak’. Sekarang, ia merasa tidak perlu ‘kakak-kakakan’ lagi. Kamu!
“Kamuu..!” Tuding Hekal persis ke arah bola mata sang wanita. “Kamu yang salah!”
“Bagaimana pula aku yang salah?? Hahh?? Jelas-jelas kamu yang..,”
“Tunggu! Tunggu dulu!” Hekal mengangkat jari telunjuknya lagi di depan wajah sang wanita.
“Kalau kamu mau ribut sama saya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, kamu parkirkan dulu mobil kamu, supaya tidak menghambat kendaraan yang lain!”
********
Mimpi apa Olive tadi malam sampai harus mengalami kejadian apes seperti ini? Belum lama ia memergoki pacarnya yang selingkuh, sekarang ia menabrak seorang pengendara motor yang tak tahu aturan. Driver ojek pula!
Ia menatap Hekal dengan sangat tajam, dibarengi juga dengan nafasnya yang memburu. Teringat pada pertengkarannya yang belum lama dengan Barry, mantan pacarnya itu, juga teringat pada egoisnya kebanyakan lelaki, ingin sekali Olive menampar mulut Hekal. Akan tetapi..,
Tiiiinn..! Suara klakson terdengar dari arah jalan. Cepat Olive menoleh. Ternyata ada beberapa mobil lain yang lajunya sedang terhambat oleh mobil Olive yang berhenti tepat di tengah persimpangan itu.
“Jangan kabur kamu ya!” Ancam Olive pada Hekal.
Sembari mendengus ia kembali menuju mobil dan mengendarainya menuju halaman sebuah ruko yang kosong. Hekal sudah berada di situ lebih dulu dan tampak sedang memeriksa motornya, tepat di teras toko. Rinai gerimis yang tipis tetap saja turun dari langit, dan terus ikut mewarnai pertengkaran mereka.
“Kamu ganti kerusakan mobilku!” Bentak Olive sekeluarnya dari mobil.
“Woi! Enak saja kamu ngomong!” Hekal bangkit dari jongkoknya. “Kamu yang seharusnya mengganti kerusakan motorku! Dan kamu sendiri yang harus mengganti kerusakan mobil kamu!”
“Hei..! Kamu tahu aturan tidak, sih??” Olive berkacak pinggang. “Kamu punya SIM tidak, sih??”
“Aku tahu aturan, dan aku punya SIM!” Hekal juga berkacak pinggang. “Maka sekarang jelas kan, kamu yang tidak tahu aturan, dan pasti kamu yang tidak punya SIM..!”
Dengan sedikit kasar Olive mendorong dada Hekal.
“Hei, Bro! Jangan sembarangan kamu bicara!”
“Hei, Sis!” Hekal ingin balas mendorong. Namun, sepersekian detik kemudian tangannya berhenti tepat di depan buah dada Olive. Hampir saja!
“Mulut kamu itu jangan sembarangan kalau ngomong!” Balas Hekal tak kalah sengit.
Olive semakin kesal saja. Emosinya sudah menyundul langit barangkali. Tangannya pun kini terangkat untuk menuding-nuding wajah Hekal.
“Egois sekali kamu di jalan umum, Bro! Kamu lihat tadi kan, dari jauh aku sudah memberi kode! Aku sudah menyalakan lampu dim beberapa kali! Kamu lihat itu, kan??”
Hekal pun semakin kesal saja. Amarahnya mungkin sudah menyundul langit yang kedua, lebih tinggi dari Olive tadi.
“Kamu yang egois, Sis! Kamuuu..! Kamu berada di jalan kecil, dan mau berbelok masuk ke jalan utama. Sementara aku yang berada di jalan utama dan lurus tidak berbelok. Maka prioritas jalan ada padaku, Sis..! Aku yang seharusnya duluan lewat!”
“Enak sekali kamu jadi laki-laki minta duluan! Aku yang duluan!”
“Enak sekali kamu jadi perempuan minta duluan! Aku yang duluan!”
“Tapi secara jarak aku yang lebih dekat dengan titik persimpangan!”
“Tapi secara hukum aku yang lebih dulu mendapat prioritas jalan!”
Hukum? Secara hukum?? Umpat Olive dalam hatinya. Tahu apa driver ojek ini tentang hukum?! Dirinya-lah yang paling tahu hukum! Karena dirinya-lah yang bekerja di bidang penegakan hukum! Hukum lalu lintas!
Olive semakin naik pitam ketika kemudian Hekal malah berkata-kata macam pengkhotbah.
“Kalau di Amerika sana, di setiap persimpangan semua orang wajib berhenti selama lima detik! Wajib! Ada ataupun tidak ada lampu merah, ada rambu ataupun tidak ada rambu, sekali lagi, waaaajib! Nah, kamu.., asal main tabrak saja, asal nyelonong saja!”
“Ini bukan di Amerika!” Bentak Olive.
“Iya! Bukan di Amerika! Tapi juga bukan di Wakanda!” Bentak Hekal pula.
“Lagi pula,” Hekal menyambung lagi dengan sinis. “Tadi aku tidak melihat ada nyala lampu tembak dari mobil kamu! Kamu tidak meng-kode! Kamu tidak menyalakan lampu dim! Kamu bahkan tidak menyalakan lampu sein!”
Menyusul pertengkaran yang terus saja sengit, ada beberapa orang dari warga sekitar yang mendekati Hekal dan Olive di teras toko. Dua atau tiga orang dari mereka hanya berkata-kata pelan, bertanya ini-itu dan berkomentar yang tidak perlu.
Sementara satu orang lainnya, yang tampak paling tua di antara mereka, menyarankan agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan saja.
“Aku tidak mau menjadi keluargamu!” Tuding Olive ke wajah Hekal.
“Aku juga tidak sudi jadi keluargamu!” Balas Hekal dengan tudingan pula.
“Sudah, sudah! Jangan ribut di sini kalian.” Potong lelaki tua. “Telepon polisi saja!”
“Cocok! Aku setuju!” Pekik Hekal merasa menang. Maka segera saja driver ojek online ini mengambil ponselnya dari saku celana, bermaksud menelepon polisi.
Ada pun Olive, aneh, sikapnya malah berubah menjadi kalem.
“Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!” Kata Olive seraya melipat tangannya di depan dada, bersedekap dengan gesture-nya yang anteng dan jumawa.
“Akulah polisi itu!”
********
Bab 2: Saya Yang Salah “Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!”“Akulah polisi itu!”Mendengar itu, tiba-tiba saja Hekal tersentak. Telinganya bagai tersengat lebah, wajahnya seketika menegang dan terperangah. Beberapa saat ia mematung. Tangannya juga ikut mematung, dengan ponsel tergenggam dan layarnya menyala.Pelan-pelan ia menoleh pada Olive.“Benarkah wanita ini seorang polisi? Seorang Polwan?” Tanya Hekal dalam hati. Ia lalu menyipitkan matanya, untuk menajamkan pandangan dan menaksir si wanita dari penampilan dan posturnya. Tinggi badan? Lumayan tinggi, di atas rata-rata kebanyakan wanita. Gemuk? Tidak. Langsing? Iya.Rambutnya? Pendek! Hanya sepangkal leher, dan itu ciri kuat dari seorang Polwan! Tambahan lagi, dengan amat percaya dirinya Olive lantas meneror Hekal dengan kata-katanya. “Ayo, Abang ojek, silahkan kalau mau menelepon polisi! Saya persilahkan!”“Silahkan saja Mas, Bang, Uda, Beli, Lae, Aa, Kakanda.., silahkan mau ngomong apa. Polisinya sudah ada di sini!”
Bab 3: Bahasa Isyarat “Jujur, saya tadi juga tidak terlalu fokus di jalan, sehingga..,”“Naah..! Kalau ngomong baik-baik begini kan, enak! Ini, tidak! Kamu yang salah, kamu pula yang mencak-mencak!”Seingat Hekal, Olive-lah yang lebih dulu mencak-mencak, dan terus saja mencak-mencak, sampai sekarang! Akan tetapi, apa daya? Hekal sudah tak berkutik ditikam pandangan mata Olive yang tajam, dan juga terus dikejar oleh dering ponselnya yang lagi-lagi menyala.“Iya, Kak. Saya akui saya khilaf,” kata Hekal lagi dengan suara yang memelas.“Namanya saja manusia, Kak, tempatnya salah dan dosa. Kita selesaikan masalah ini dengan cara kekeluargaan saja ya, Kak?”“Aku tak mau jadi keluargamu!” Ketus Olive mengulang kalimatnya yang tadi. Sambil buang muka pula. Hekal mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, lantas maju perlahan.“Saya mohon, tolonglah Kak. Kakak Polwan yang cantik.., saya mengetuk pintu hati Kakak. Saya akan bertanggung jawab atas masalah ini. Saya akan mengganti biay
Bab 4: Sepotong Kisah Dari Seberang Telepon Olive memegang lingkar kemudi mobilnya. Sedikit memajukan posisi tubuh, kepalanya sedikit mendongak ke depan untuk terus menyaksikan Hekal. Hati Olive sudah bulat sekarang. Ia masih belum ingin pergi dari situ.Sejauh yang Olive ingat, ia mengetahui bahasa isyarat hanyalah dari televisi. Ia kemudian menyadari ada sesuatu yang menarik dari diri Hekal, si penutur bahasa isyarat itu. Menurut Olive, wajah Hekal tampak lucu, dan itu membuatnya sedikit gemas. Sang Polwan ini menduga Hekal sedang memarahi atau mengomeli orang tunarungu di seberang teleponnya itu.Ah, Olive semakin penasaran saja. Pelan-pelan ia membuka pintu mobilnya kembali dan keluar. Tanpa menimbulkan suara ia berjalan perlahan menuju Hekal, yang terus asyik dengan pembicarannya di telepon. Sampai-sampai lelaki si driver Ayo-Jek itu tidak menyadari keberadaan Olive yang telah berdiri di sampingnya, sedikit menyisi ke arah belakang.Olive memiringkan kepalanya sedikit. Matanya m
Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan Beberapa saat kemudian, pembicaraan Hekal dengan adiknya di telepon pun berakhir. Driver ojek daring itu masih belum menyadari keberadaan Olive yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Ehemm!” Olive berdehem.Hekal terkejut. Ia sampai terlonjak dari posisi duduknya di lantai teras toko. Ia semakin terkejut setelah balikkan badan lantas mendapati Olive berada di belakangnya. Ia kembali tundukkan wajah, dan menelan ludah. Bingung harus apa dan bagaimana, Hekal merasa serba salah.Masih dalam keadaan berdiri, Olive mencabut kartu identitas miliknya sendiri dari dompet dan melungsurkannya pada Hekal.“Ini KTP saya,” katanya dengan wajah dan suara yang datar.“Besok, kamu bawa motor kamu itu ke bengkel. Hubungi saya. Berapa pun nanti biayanya biar saya yang menanggung.”Hekal terperangah. Ia menatap berganti-gantian pada Olive yang sudah balikkan badan dan pada kartu identitas Olive yang dipegangnya. Wajah Hekal tampilkan keragu-raguan, dan keningnya mengernyit
Bab 6: Foto Jelek Abang Ojek “Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”Beberapa saat, Hekal terus menggemasi dan menggerami foto sang Polwan yang ada di KTP pada tangannya.Sementara itu, di tempat lain..,Olive bangkit dari tempat tidur. Ia mengangkat tangannya dan menggeliat-geliatkan tubuh sambil berdiri. Ia menyalakan lampu kamar, lalu melangkah keluar menuju kamar mandi untuk menuntaskan sedikit keperluan pribadinya. Di ruang keluarga langkah kakinya tertahan sebentar dan pandangan matanya tertumbuk pada jam dinding.“Haah?? Masih jam satu??” Pikir Olive dengan terkejut.Seakan tidak percaya ia mengucek-ucek matanya dan kembali menatap jam dinding dengan sedikit menyipit. Benar, masih jam satu. Tidak lama dengan urusannya di kamar mandi, Olive sudah berada di dalam kamarnya kembali.Ia masih belum yakin benar dengan fakta jam dinding tadi. Tidak mungkin sekarang ini masih jam satu, pikirnya. Ia meraih jam tangan yang terletak di atas meja samping ranjang. Melihat teliti pada jarum jam, m
Bab 7:Gadis Berkacamata di Apotek “Siapa yang salah?” Aje bertanya-tanya dalam hati.“Apakah Hekal yang salah? Karena menyuruhku datang ke apotek itu?”“Ataukah Polwan itu yang salah? Karena hadir tiba-tiba dari belakangku?”Sudah pukul satu dini hari, namun Aje masih belum bisa tidur di atas pembaringannya. Untuk sekadar memicingkan matanya sekali pun ia tidak bisa. Ia hanya berbaring miring, sembari mengelus-elus punggung Tiara, putrinya yang masih balita.Bayangan dari kejadian tragis yang ia alami belum lama ini benar-benar menganggu sang duda dengan seorang putri ini. Ia ingin menyalahkan Hekal, sahabatnya sesama driver ojek online itu.“Tetapi, Hekal tidak bersalah,” bantahnya pula di dalam hati.“Dia cukup baik kepadaku dan sudah banyak membantu selama ini.”“Dia juga membantu dengan mengenalkan aku pa
Bab 8:Doa Dari Seorang Ibu “Eh, kamu sudah menikah, Anakku?”Pertanyaan yang terakhir ini sontak membuat hati Aje ngilu. Kenapa? Karena hal ini mengingatkan Aje pada almarhumah Diana, istrinya yang telah meninggal lebih kurang satu tahun yang lalu.“Sudah, Bu, sudah pernah,” jawab Aje kemudian.“Sudah pernah?”Wanita di meja kasir pun serentak melirik ke arah Aje, demikian pula gadis apoteker berkacamata yang melayaninya tadi.“Maksud saya, sekarang saya duda, Bu.”Duh, ngilunya hati Aje. Satu detik, benar, hanya satu detik, segala momen kebersamaan selama empat tahun bersama almarhumah istrinya ia rasakan kembali di dalam dimensi waktu yang satu detik itu. Tawa, bahagia, sedih, pilu.., semuanya menyatu padu. Menimbulkan semacam perasaan ingin berlari dan kembali ke masa lalu.“Oh, begitu?”Aje mengangguk me
Bab 9:Insiden di Depan Minimarket “Kamu tahu siapa saya?? Haah?! Kamu tahu siapa saya??”Sang wanita membuka resleting jaketnya. Di balik jaketnya itu ia memakai kaos dengan sebuah logo yang tertera jelas di bagian dada kirinya. Bagian kaos yang ada logonya itu, dia cubit, dia tarik, dengan maksud untuk memampangkannya pada Aje.Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang Aje bisa melihat sebuah lambang atau logo yang tertera di kaos sang wanita itu. Dugaannya semula memang tidak salah; wanita ini memang seorang Polwan!“Kamu tahu siapa saya??”Aje menunduk lagi, menelan ludah yang terasa begitu kecut.“Saya sebagai abdi negara, lancang sekali kamu merendahkan kehormatan saya! Saya sebagai wanita, berani sekali kamu melecehkan saya!”“Maafkanlah saya, Kakak.” Kata Aje memelas sembari mengatupkan kedua telapak tangan.“D
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma