Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan
Beberapa saat kemudian, pembicaraan Hekal dengan adiknya di telepon pun berakhir. Driver ojek daring itu masih belum menyadari keberadaan Olive yang berdiri tak jauh di belakangnya.
“Ehemm!” Olive berdehem.
Hekal terkejut. Ia sampai terlonjak dari posisi duduknya di lantai teras toko. Ia semakin terkejut setelah balikkan badan lantas mendapati Olive berada di belakangnya. Ia kembali tundukkan wajah, dan menelan ludah. Bingung harus apa dan bagaimana, Hekal merasa serba salah.
Masih dalam keadaan berdiri, Olive mencabut kartu identitas miliknya sendiri dari dompet dan melungsurkannya pada Hekal.
“Ini KTP saya,” katanya dengan wajah dan suara yang datar.
“Besok, kamu bawa motor kamu itu ke bengkel. Hubungi saya. Berapa pun nanti biayanya biar saya yang menanggung.”
Hekal terperangah. Ia menatap berganti-gantian pada Olive yang sudah balikkan badan dan pada kartu identitas Olive yang dipegangnya. Wajah Hekal tampilkan keragu-raguan, dan keningnya mengernyit karena heran.
“Oh, ya, satu lagi,” Olive hentikan langkah.
“Sekalian periksakan diri kamu ke klinik atau dokter, barangkali ada yang luka atau semacamnya. Jangan lupa hubungi saya besok. Semua biaya perobatan kamu saya juga yang menanggung.”
Hekal menelan ludah, seakan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Lalu, kerusakan mobil Kakak ini bagaimana?” Tanya Hekal pada Olive yang sudah sampai pada mobilnya kembali.
“Tidak usah kamu pikirkan,” jawab Olive sambil menepis angin. Ia lalu masuk ke dalam mobil, men-stater mesinnya dan segera pergi dari situ, meninggalkan Hekal yang termangu.
Apakah ada yang terlupa? Sekali lagi, apakah ada yang terlupa??
Iya, benar, ada yang terlupa! Apakah itu? Apa pun itu, akan menjadi cikal bakal dari kisah panjang antara mereka berdua!
********
Jam dinding sudah menunjuk angka satu dini hari ketika Hekal sampai di rumah kontrakannya. Cengkerik suara jangkrik dari beberapa penjuru malam Hekal sahut dengan bunyi ‘kriet’ dari daun pintu yang ia buka.
Setelah memasukkan motornya ke dalam rumah dan mengunci pintu depan, Hekal berjalan ke arah belakang. Ia membasuh muka, mencuci tangan dan kedua kakinya di kamar mandi. Beres urusan bersih-bersih ia pun masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.
Ia merogoh semua kantong celananya, juga memeriksa kantong tas sandang untuk mengeluarkan uang yang ada. Ia ingin menghitung berapa jumlah total pendapatannya menarik ojek malam ini, yang tadi ia mulai tepat pukul lima sore, selepas pekerjaannya sebagai teknisi elektronik rampung.
Mendadak saja Hekal tersentak. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh.
“Uang yang hanya beberapa puluh ribu di dompet ini.., ini memang uangku sedari pagi,” kata Hekal dalam hati.
“Tapi, uang yang aku dapat dari menarik ojek tadi.., mana ya?”
“Seingatku, tadi aku punya uang selembar seratus ribuan, hasil ngojek dan juga tip dari penumpang. Tapi..,”
Hekal kembali memeriksa semua kantong yang tadi telah ia geledah. Ia pun tersentak lagi, saat teringat kejadian di lampu merah. Iya, persisnya beberapa saat sebelum insiden tabrakan dengan Polwan yang songong itu.
Di lampu merah tersebut Hekal memberi saweran kepada seorang pengamen, seorang anak kecil dengan ukulele tepat sebelum lampu hijau menyala.
“Banyak sekali ini, Om!” Pekik pengamen itu padanya.
“Iya, ambil sajalah. Itu rejeki kamu.”
“Wah, terima kasih banyak ya, Om. Saya doakan lancar rejekinya, panjang umur, sehat selalu, dapat jodoh yang..,”
Oh, pantas saja, begitu terkejut dan gembiranya pengamen itu menerima uang dari Hekal. Namun sekarang, betapa terkejutnya Hekal di dalam kamarnya, menyadari dirinya yang salah memberi uang.
“Semestinya, yang sepuluh ribu ini yang aku beri, bukan yang seratus ribu itu!” Gerutu Hekal dalam hati. Apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur.
“Iya, ambil sajalah. Itu rejeki kamu.” Hekal teringat kata-katanya lagi di lampu merah. Memang benar, uang itu adalah rejeki sang pengamen, bukan rejekinya.
Ada pun rejekinya..,
“Panjang umur, sehat selalu, dapat jodoh yang..,”
Entah mengapa, kata-kata sang pengamen itu mengiang lagi di telinganya.
“Dapat jodoh yang..,” Ulang Hekal dalam hati.
“Yang apa?”
“Yang seperti Polwan tadi??”
“Idiiih..! Amit-amit jabang bayi!”
Hekal merenung. Ia berusaha meredakan kekesalannya sendiri, sekaligus merelakan apa yang telah terjadi.
“Ah, sudahlah, ikhlaskan saja,” pikirnya.
Hekal pun bangkit, kembali lagi ke dapur untuk membuat segelas teh manis. Aroma teh nan harum menguar di udara dan dinikmati hidung Hekal yang kini telah mengambil duduk di ruang depan, menghadap pada sepeda motornya.
Ia memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri. Matanya mencermati beberapa kerusakan yang ada pada motornya itu. Lampu utama pecah, cover depan juga pecah. Tidak luput pula cover samping yang retak besar dan tanggal dari dudukannya. Sepertinya, di bagian pelek dan setang juga ada masalah, tidak simetris lagi dengan rangka bodi motor.
Hekal menarik nafas dalam-dalam, dan melepaskannya kuat-kuat. Mimpi apa ia semalam sampai harus mendapat musibah seperti ini? Soulmate-nya, alias motor kesayangan, sarananya mencari nafkah mendapat cedera yang lumayan parah.
Akan hal pekerjaan utamanya sebagai teknisi di sebuah dealer elektronik mungkin masih bisa ia laksanakan. Namun, pekerjaan sampingannya sebagi driver ojek online, sepertinya tidak mungkin dengan kondisi motor yang seperti ini.
“Kalau kamu mau menelepon polisi, silahkan!”
“Akulah polisi itu!”
Kata-kata wanita pemilik mobil tadi menggema di dalam kepala Hekal. Membuat dadanya tiba-tiba saja terasa sesak. Ia sekarang sudah tidak ingin lagi mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam insiden antara dirinya dengan wanita yang mengaku sebagai polisi itu. Karena sekarang..,
“Tunggu!” Kata Hekal dalam hati.
Tiba-tiba ia merasa penasaran pada jatidiri si wanita itu.
“Bisa saja ia bukan polisi, hanya mengaku-aku untuk menggertak aku. Iya, toh?”
Cepat ia bangkit dari kursi, meninggalkan segelas teh manis yang belum diminum dan sang ‘soulmate’ yang berdiri kuyu di pojok ruang tamu. Ia masuk ke dalam kamar dan mengambil sesuatu dari kantong jaketnya, yaitu kartu identitas wanita pemilik mobil tadi. Ia membaca data diri yang tertera pada lembar identitas di tangannya ini;
“Nama: Olivia Razak.”
“Tempat/Tanggal Lahir: Indragiri, 21 Mei 1996.”
“Hmm, ternyata kamu masih lebih muda satu tahun dari aku,” gumam Hekal dalam hati.
“Alamat.., oh, di situ, suatu wilayah di bagian timur Bandar Baru ya? Aku tidak terlalu mengenal kawasan situ. Pernah juga sih aku.., ah, sudahlah.”
Lalu pada kolom Pekerjaan, tertera keterangan sebagai berikut;
"Kepolisian RI."
“Oh, benar! Dia seorang Polwan!”
Maka sekarang, terbersit pula satu tanda tanya besar di dalam kepala Hekal. Bagaimana mungkin Polwan bernama Olivia Razak itu secara mendadak merubah sikapnya pada dirinya?
Dia yang semula garang dan angkuh menjadi lunak dan lembut? Dia yang semula berkeras menuntut ganti rugi untuk kerusakan mobil miliknya, tiba-tiba berbalik dan malah berniat pula akan menanggung kerusakan motor Hekal? Dan bahkan memberikan KTP miliknya pula sebagai jaminan!
“Astaghfirullahal Adzim!” Kata Hekal tiba-tiba.
Kenapa? Hekal lupa memberi nomor teleponnya pada Olive! Maka bagaimana si Polwan itu bisa menghubungi dirinya?
“Ya Allah, si Polwan dedemit itu pun tidak memberi nomor teleponnya padaku!”
“Lalu bagaimana aku bisa menghubungi dia??”
Hekal menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia lalu mengangkat tangannya lebih tinggi untuk menyejajarkan kartu identitas milik Olivia Razak dengan wajahnya. Ia juga menyipitkan matanya sedikit dan beberapa saat memandangi foto sang pemilik KTP.
“Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”
********
Bab 6: Foto Jelek Abang Ojek “Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”Beberapa saat, Hekal terus menggemasi dan menggerami foto sang Polwan yang ada di KTP pada tangannya.Sementara itu, di tempat lain..,Olive bangkit dari tempat tidur. Ia mengangkat tangannya dan menggeliat-geliatkan tubuh sambil berdiri. Ia menyalakan lampu kamar, lalu melangkah keluar menuju kamar mandi untuk menuntaskan sedikit keperluan pribadinya. Di ruang keluarga langkah kakinya tertahan sebentar dan pandangan matanya tertumbuk pada jam dinding.“Haah?? Masih jam satu??” Pikir Olive dengan terkejut.Seakan tidak percaya ia mengucek-ucek matanya dan kembali menatap jam dinding dengan sedikit menyipit. Benar, masih jam satu. Tidak lama dengan urusannya di kamar mandi, Olive sudah berada di dalam kamarnya kembali.Ia masih belum yakin benar dengan fakta jam dinding tadi. Tidak mungkin sekarang ini masih jam satu, pikirnya. Ia meraih jam tangan yang terletak di atas meja samping ranjang. Melihat teliti pada jarum jam, m
Bab 7:Gadis Berkacamata di Apotek “Siapa yang salah?” Aje bertanya-tanya dalam hati.“Apakah Hekal yang salah? Karena menyuruhku datang ke apotek itu?”“Ataukah Polwan itu yang salah? Karena hadir tiba-tiba dari belakangku?”Sudah pukul satu dini hari, namun Aje masih belum bisa tidur di atas pembaringannya. Untuk sekadar memicingkan matanya sekali pun ia tidak bisa. Ia hanya berbaring miring, sembari mengelus-elus punggung Tiara, putrinya yang masih balita.Bayangan dari kejadian tragis yang ia alami belum lama ini benar-benar menganggu sang duda dengan seorang putri ini. Ia ingin menyalahkan Hekal, sahabatnya sesama driver ojek online itu.“Tetapi, Hekal tidak bersalah,” bantahnya pula di dalam hati.“Dia cukup baik kepadaku dan sudah banyak membantu selama ini.”“Dia juga membantu dengan mengenalkan aku pa
Bab 8:Doa Dari Seorang Ibu “Eh, kamu sudah menikah, Anakku?”Pertanyaan yang terakhir ini sontak membuat hati Aje ngilu. Kenapa? Karena hal ini mengingatkan Aje pada almarhumah Diana, istrinya yang telah meninggal lebih kurang satu tahun yang lalu.“Sudah, Bu, sudah pernah,” jawab Aje kemudian.“Sudah pernah?”Wanita di meja kasir pun serentak melirik ke arah Aje, demikian pula gadis apoteker berkacamata yang melayaninya tadi.“Maksud saya, sekarang saya duda, Bu.”Duh, ngilunya hati Aje. Satu detik, benar, hanya satu detik, segala momen kebersamaan selama empat tahun bersama almarhumah istrinya ia rasakan kembali di dalam dimensi waktu yang satu detik itu. Tawa, bahagia, sedih, pilu.., semuanya menyatu padu. Menimbulkan semacam perasaan ingin berlari dan kembali ke masa lalu.“Oh, begitu?”Aje mengangguk me
Bab 9:Insiden di Depan Minimarket “Kamu tahu siapa saya?? Haah?! Kamu tahu siapa saya??”Sang wanita membuka resleting jaketnya. Di balik jaketnya itu ia memakai kaos dengan sebuah logo yang tertera jelas di bagian dada kirinya. Bagian kaos yang ada logonya itu, dia cubit, dia tarik, dengan maksud untuk memampangkannya pada Aje.Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang Aje bisa melihat sebuah lambang atau logo yang tertera di kaos sang wanita itu. Dugaannya semula memang tidak salah; wanita ini memang seorang Polwan!“Kamu tahu siapa saya??”Aje menunduk lagi, menelan ludah yang terasa begitu kecut.“Saya sebagai abdi negara, lancang sekali kamu merendahkan kehormatan saya! Saya sebagai wanita, berani sekali kamu melecehkan saya!”“Maafkanlah saya, Kakak.” Kata Aje memelas sembari mengatupkan kedua telapak tangan.“D
Bab 10:Si Bunga Raya “Apa lagi yang harus aku lakukan?” Batin Aje.Ia telah kehabisan uang, juga telah kehilangan obat untuk Tiara. Pikiran sang driver ojek ini terus berkecamuk di sepanjang perjalanannya pulang.Menyusuri jalan Putri Tujuh dan banyak persimpangan setelahnya Aje semakin melambatkan laju motornya. Ia berharap ada rekan sesama pengojek yang sedang mangkal di tiap persimpangan itu.Barangkali ia bisa meminjam sedikit uang dari mereka untuk membeli obat kembali. Akan tetapi, nihil!Tidak ada satu pun rekan yang ia dapati. Mereka mungkin sedang menarik penumpang di kawasan lain. Kemungkinan terbesar lainnya, mereka telah pulang untuk istirahat dan mematikan aplikasi driver di ponsel mereka.Baru saja Aje akan kembali memasuki jalan raya, ia berpapasan dengan Hekal. Ia segera ‘ngeh’ karena Hekal yang lebih dulu mengklakson, disusul kemudian dengan
Bab 11:Cerita di Meja Makan Karin menghentikan mobilnya di depan rumah, persis di depan pintu pagar. Niatnya memasukkan mobil langsung ke garasi ia batalkan, sebab mobil milik suaminya juga tengah terparkir di halaman depan.Sebelum keluar dari mobil, Karin mengambil ponselnya yang tadi ia letakkan di konsol tengah. Pada saat inilah, ia menyadari ada sebuah miscall. Keningnya mengernyit saat mendapati sebuah nama yang muncul di layar ponselnya itu.“Olive?” Tanya Karin dalam hati.“Ada apa dia menelepon aku?”“Ah, nanti saja aku balas telepon dia.”Karin pun turun dari mobil dan segera memasuki rumah. “Assalamu’alaikum,” ucapnya bersamaan dengan melewati ambang pintu rumah yang setengah terbuka.“Wa’alaikumsalam,” dijawab oleh Bik Asih, pembantunya.Sampai di ruang tengah
Bab 12:Daaa..! Dengan pikiran yang kalut dan hati yang dirundung kesedihan itulah, Aje berbaring sembari terus memeluk Tiara. Putrinya itu juga tertidur demikian pulasnya di atas tubuh sang ayah yang tetap tak berbaju.Sejak terakhir kali Aje memberi Tiara minum dengan susu formula, tidak pernah sekali pun dia merengek atau mengerang. Mungkin ia sedang melunasi utang tidurnya yang sejak dua hari lalu tersita oleh sakit dan demamnya itu.Aje tersentak pukul satu dini hari ketika merasakan ada sesuatu yang hangat mengalir dan membasahi perutnya. Ia pun tersadar, Tiara ngompol.Sebentar Aje memeriksa suhu tubuhnya. Ia menyentuh leher dan ketiak Tiara dengan punggung tapak tangannya.“Syukurlah, demam Tiara sudah turun sekarang.”Aje pun bangkit sambil tetap membawa Tiara dalam pelukannya. Sampai di pojok ruang tengah, ia mengambil pampers dari lemari kecil dan memakaikannya pada
Bab 13:Kesiangan “Haahh?? Jam berapa ini??!” Pekik Hekal dalam hati.Serentak saja ia melompat bangkit dari kasur.“Gawat! Aku kesiangan!”Dengan panik Hekal menolehkan kepalanya kanan dan kiri. Pandangan matanya menikam-nikam di empat bidang dinding kamarnya, mencari jam dinding.“Oh, aku lupa. Aku tak punya jam dinding!”Hekal mengambil ponsel, menyipitkan mata untuk melihat.., ternyata baterainya habis! Ia colokkan segera ke soket listrik dan lalu menyalakannya. Ponsel menyala, loading sebentar, hingga kemudian tertampil informasi waktu di layarnya.Pukul sembilan, lewat dua menit!“Gawat! Benar-benar gawat!”Dengan serba terburu-buru Hekal berjalan ke kamar mandi. Cuci muka, sikat gigi, dan tak perlu mandi. Ia sudah terlambat masuk kerja sebanyak satu jam dua menit. Ditambah dengan perjalanannya nanti menuju sebuah
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma