Bab 4: Sepotong Kisah Dari Seberang Telepon
Olive memegang lingkar kemudi mobilnya. Sedikit memajukan posisi tubuh, kepalanya sedikit mendongak ke depan untuk terus menyaksikan Hekal. Hati Olive sudah bulat sekarang. Ia masih belum ingin pergi dari situ.
Sejauh yang Olive ingat, ia mengetahui bahasa isyarat hanyalah dari televisi. Ia kemudian menyadari ada sesuatu yang menarik dari diri Hekal, si penutur bahasa isyarat itu. Menurut Olive, wajah Hekal tampak lucu, dan itu membuatnya sedikit gemas. Sang Polwan ini menduga Hekal sedang memarahi atau mengomeli orang tunarungu di seberang teleponnya itu.
Ah, Olive semakin penasaran saja. Pelan-pelan ia membuka pintu mobilnya kembali dan keluar. Tanpa menimbulkan suara ia berjalan perlahan menuju Hekal, yang terus asyik dengan pembicarannya di telepon. Sampai-sampai lelaki si driver Ayo-Jek itu tidak menyadari keberadaan Olive yang telah berdiri di sampingnya, sedikit menyisi ke arah belakang.
Olive memiringkan kepalanya sedikit. Matanya mengintip pada layar ponsel Hekal. Lewat sebuah sudut pandang, Olive melihat wajah seorang perempuan muda di layar ponsel Hekal. Cantik dan manis, masih remaja, usianya mungkin masih sekitar lima belas tahun.
Olive menduga remaja di layar ponsel itu pastilah adik Hekal si driver Ayo-Jek ini. Tampak jelas sebuah keakraban khas kakak adik, antara Hekal dan remaja tunarungu di seberang sana. Terus menyaksikan bagaimana ekpresi wajah tercipta dalam berkomunikasi itu, Olive pun termangu. Hatinya tersentuh. Ada rasa kasih, rasa sayang, juga rasa iba.
Ponsel yang dipegang remaja tunarungu di seberang sana sepertinya bergoyang-goyang. Hingga sesaat kemudian, wajah yang muncul di layar ponsel Hekal berganti dengan orang lain. Remaja juga, cantik dan manis, dengan wajah yang mirip dengan remaja pertama tadi. Namun, remaja yang kedua ini bukan tunarungu.
“Assalamu’alaikum, Kak,” sapa remaja kedua dari seberang sana.
“Wa’alaikumsalam, Eci.” Hekal menyahut di sini, tanpa menyadari ada Olive di belakangnya.
“Apa kabar, Dik?”
“Kabar Eci baik, Kak.”
“Bohong kamu. Tadi Eca bilang ke Kakak, kamu sakit lagi ya?”
“Mmm, tidak juga sih. Cuma demam saja sedikit.”
“Kenapa? Kamu kecapean lagi?”
“Tidak juga. Eca-nya saja yang suka berlebihan kalau..,“
“Hei, Eci. Dengarkan Kakak.”
“Eca tuh suka menambah-nambahin cerita yang..,”
“Hei, Eci! Dengar, dengarkan Kakak dulu.”
“Iya, aku dengar, Kak.”
“Kamu tuh belum boleh beraktifitas yang berat-berat dulu. Kondisi fisik kamu belum fit benar. Nanti kalau tipes kamu kambuh lagi bagaimana?”
“Aku tidak kerja apa-apa, kok.”
“Eca tadi bilang kamu menimba air dari sumur! Tuh, apa namanya??”
“Cuma menimba air saja kok, tidak berat.”
“Tidak berat apanya?! Kamu membawa air ke dapur pakai ember putih yang bekas cat itu kan?”
“Iya, Kak.”
“Itu berat, Eci!”
“Cuma ke dapur saja kok Kak, untuk masak air minum.”
“Kalau cuma itu kan, Eca bisa, kenapa harus kamu??”
Beberapa saat Hekal terus mengomeli perempuan remaja di seberang sana. Semakin disimak, Olive semakin yakin bahwa dua remaja itu adalah adik-adik Hekal.
“Eh, Kak. Aku mau tanya sesuatu boleh?”
“Hemm, apa itu?”
“Kapan Kakak pulang kampung?”
“Nanti.”
“Nanti? Nanti kapan?”
“Bulan depan. Kenapa rupanya?”
“Eca kangen, tuh.”
“Eca-nya yang kangen atau kamu?”
“Hehe.., aku juga kangen, tapi sedikit saja. Eca yang paling banyak kangennya.”
“Huh, lagak kamu, banyak gengsi!”
“Hehe.., Ibu juga kangen Kakak. Setiap hari Ibu nanyain Kakak terus.”
“Sekarang Ibu mana? Berikan teleponnya ke Ibu.”
“Ibu sudah tidur. Kakak sih, dari tadi ditelepon tidak diangkat.”
“Kakak tadi sedang bekerja, sedang mengantarkan penumpang. Jadi tidak tahu kalau kalian menelepon. Ya sudah. Sudah dulu ya? Besok Kakak telepon lagi.”
“Eh, tunggu, Kak! Tunggu!”
“Apa lagi?”
“Mmm, ini, eee..,”
“Apa?”
“Kakak punya uang?”
“Untuk apa?”
“Sepatu sekolahku sudah rusak, solnya sudah hampir jebol.”
“Mmm, iya, iya, nanti Kakak belikan.”
“Serius?”
“Iya, serius, nanti Kakak belikan di sini. Tapi maaf, Kakak tidak bisa membelikan yang baru. Nanti Kakak cari di pasar loak, yang masih bagus untuk kamu. Nomor kaki kamu berapa?”
“Nomor 38.”
“Hah?? Besar sekali! Itu ukuran kaki gajah, Ci!”
“Aaaakh, Kakak ini! Masak kaki aku dibilang kaki gajah?!”
“Hehehe.., jangan ngambek dong. Kakak cuma bercanda.”
“Tapi janji ya, belikan aku sepatu?”
“Iya, Kakak janji, besok atau lusa Kakak pergi ke pasar loak mencari sepatu kamu.”
“Yeee..! Terima kasih kakakku yang ganteng.”
Perbincangan di video call itu terus berlanjut. Olive yang mencuri dengar dan mencuri lihat pun menelan ludah. Sedikit, ia merasa terharu pada bagaimana Hekal menunjukkan kasih sayang pada adik-adiknya.
Sang Polwan ini semakin terharu ketika mengetahui adik yang bernama Eca adalah seorang tunarungu. Lalu, hati Olive pun kian tersentuh ketika mendengar Eci yang sedang sakit, dan meminta dibelikan sepatu sekolah oleh Hekal, namun kakaknya itu hanya bisa membelikan sepatu bekas di pasar loak.
Olive kemudian berpikir. “Berapakah penghasilan driver ojek online seperti Hekal ini dalam satu hari?” Pasti tidak banyak. Lalu dari yang tidak banyak itu, menyusul kemudian Olive tahu bahwa Hekal-lah yang membiayai sekolah kedua adiknya itu.
“Eca bersekolah di SLB—Sekolah Luar Biasa, dan Eci masih kelas tiga SMP di sekolah yang berbeda.” Olive membatin.
Kemudian dari penghasilannya yang tidak banyak itu Hekal harus membiayai perbaikan mobil Olive yang nilainya pasti jutaan rupiah?
Bahkan, hanya untuk membelikan sepatu adiknya Hekal akan mencari di pasar loak, pasar barang-barang bekas! Olive pun menelan ludah. Pelan-pelan kepalanya menggeleng.
“Di mana? Di mana hati nuraniku?”
********
Bab 5: Foto Jelek Ibu Polwan Beberapa saat kemudian, pembicaraan Hekal dengan adiknya di telepon pun berakhir. Driver ojek daring itu masih belum menyadari keberadaan Olive yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Ehemm!” Olive berdehem.Hekal terkejut. Ia sampai terlonjak dari posisi duduknya di lantai teras toko. Ia semakin terkejut setelah balikkan badan lantas mendapati Olive berada di belakangnya. Ia kembali tundukkan wajah, dan menelan ludah. Bingung harus apa dan bagaimana, Hekal merasa serba salah.Masih dalam keadaan berdiri, Olive mencabut kartu identitas miliknya sendiri dari dompet dan melungsurkannya pada Hekal.“Ini KTP saya,” katanya dengan wajah dan suara yang datar.“Besok, kamu bawa motor kamu itu ke bengkel. Hubungi saya. Berapa pun nanti biayanya biar saya yang menanggung.”Hekal terperangah. Ia menatap berganti-gantian pada Olive yang sudah balikkan badan dan pada kartu identitas Olive yang dipegangnya. Wajah Hekal tampilkan keragu-raguan, dan keningnya mengernyit
Bab 6: Foto Jelek Abang Ojek “Ibu Polwan.., foto kamu jelek!”Beberapa saat, Hekal terus menggemasi dan menggerami foto sang Polwan yang ada di KTP pada tangannya.Sementara itu, di tempat lain..,Olive bangkit dari tempat tidur. Ia mengangkat tangannya dan menggeliat-geliatkan tubuh sambil berdiri. Ia menyalakan lampu kamar, lalu melangkah keluar menuju kamar mandi untuk menuntaskan sedikit keperluan pribadinya. Di ruang keluarga langkah kakinya tertahan sebentar dan pandangan matanya tertumbuk pada jam dinding.“Haah?? Masih jam satu??” Pikir Olive dengan terkejut.Seakan tidak percaya ia mengucek-ucek matanya dan kembali menatap jam dinding dengan sedikit menyipit. Benar, masih jam satu. Tidak lama dengan urusannya di kamar mandi, Olive sudah berada di dalam kamarnya kembali.Ia masih belum yakin benar dengan fakta jam dinding tadi. Tidak mungkin sekarang ini masih jam satu, pikirnya. Ia meraih jam tangan yang terletak di atas meja samping ranjang. Melihat teliti pada jarum jam, m
Bab 7:Gadis Berkacamata di Apotek “Siapa yang salah?” Aje bertanya-tanya dalam hati.“Apakah Hekal yang salah? Karena menyuruhku datang ke apotek itu?”“Ataukah Polwan itu yang salah? Karena hadir tiba-tiba dari belakangku?”Sudah pukul satu dini hari, namun Aje masih belum bisa tidur di atas pembaringannya. Untuk sekadar memicingkan matanya sekali pun ia tidak bisa. Ia hanya berbaring miring, sembari mengelus-elus punggung Tiara, putrinya yang masih balita.Bayangan dari kejadian tragis yang ia alami belum lama ini benar-benar menganggu sang duda dengan seorang putri ini. Ia ingin menyalahkan Hekal, sahabatnya sesama driver ojek online itu.“Tetapi, Hekal tidak bersalah,” bantahnya pula di dalam hati.“Dia cukup baik kepadaku dan sudah banyak membantu selama ini.”“Dia juga membantu dengan mengenalkan aku pa
Bab 8:Doa Dari Seorang Ibu “Eh, kamu sudah menikah, Anakku?”Pertanyaan yang terakhir ini sontak membuat hati Aje ngilu. Kenapa? Karena hal ini mengingatkan Aje pada almarhumah Diana, istrinya yang telah meninggal lebih kurang satu tahun yang lalu.“Sudah, Bu, sudah pernah,” jawab Aje kemudian.“Sudah pernah?”Wanita di meja kasir pun serentak melirik ke arah Aje, demikian pula gadis apoteker berkacamata yang melayaninya tadi.“Maksud saya, sekarang saya duda, Bu.”Duh, ngilunya hati Aje. Satu detik, benar, hanya satu detik, segala momen kebersamaan selama empat tahun bersama almarhumah istrinya ia rasakan kembali di dalam dimensi waktu yang satu detik itu. Tawa, bahagia, sedih, pilu.., semuanya menyatu padu. Menimbulkan semacam perasaan ingin berlari dan kembali ke masa lalu.“Oh, begitu?”Aje mengangguk me
Bab 9:Insiden di Depan Minimarket “Kamu tahu siapa saya?? Haah?! Kamu tahu siapa saya??”Sang wanita membuka resleting jaketnya. Di balik jaketnya itu ia memakai kaos dengan sebuah logo yang tertera jelas di bagian dada kirinya. Bagian kaos yang ada logonya itu, dia cubit, dia tarik, dengan maksud untuk memampangkannya pada Aje.Dengan pandangan yang masih berkunang-kunang Aje bisa melihat sebuah lambang atau logo yang tertera di kaos sang wanita itu. Dugaannya semula memang tidak salah; wanita ini memang seorang Polwan!“Kamu tahu siapa saya??”Aje menunduk lagi, menelan ludah yang terasa begitu kecut.“Saya sebagai abdi negara, lancang sekali kamu merendahkan kehormatan saya! Saya sebagai wanita, berani sekali kamu melecehkan saya!”“Maafkanlah saya, Kakak.” Kata Aje memelas sembari mengatupkan kedua telapak tangan.“D
Bab 10:Si Bunga Raya “Apa lagi yang harus aku lakukan?” Batin Aje.Ia telah kehabisan uang, juga telah kehilangan obat untuk Tiara. Pikiran sang driver ojek ini terus berkecamuk di sepanjang perjalanannya pulang.Menyusuri jalan Putri Tujuh dan banyak persimpangan setelahnya Aje semakin melambatkan laju motornya. Ia berharap ada rekan sesama pengojek yang sedang mangkal di tiap persimpangan itu.Barangkali ia bisa meminjam sedikit uang dari mereka untuk membeli obat kembali. Akan tetapi, nihil!Tidak ada satu pun rekan yang ia dapati. Mereka mungkin sedang menarik penumpang di kawasan lain. Kemungkinan terbesar lainnya, mereka telah pulang untuk istirahat dan mematikan aplikasi driver di ponsel mereka.Baru saja Aje akan kembali memasuki jalan raya, ia berpapasan dengan Hekal. Ia segera ‘ngeh’ karena Hekal yang lebih dulu mengklakson, disusul kemudian dengan
Bab 11:Cerita di Meja Makan Karin menghentikan mobilnya di depan rumah, persis di depan pintu pagar. Niatnya memasukkan mobil langsung ke garasi ia batalkan, sebab mobil milik suaminya juga tengah terparkir di halaman depan.Sebelum keluar dari mobil, Karin mengambil ponselnya yang tadi ia letakkan di konsol tengah. Pada saat inilah, ia menyadari ada sebuah miscall. Keningnya mengernyit saat mendapati sebuah nama yang muncul di layar ponselnya itu.“Olive?” Tanya Karin dalam hati.“Ada apa dia menelepon aku?”“Ah, nanti saja aku balas telepon dia.”Karin pun turun dari mobil dan segera memasuki rumah. “Assalamu’alaikum,” ucapnya bersamaan dengan melewati ambang pintu rumah yang setengah terbuka.“Wa’alaikumsalam,” dijawab oleh Bik Asih, pembantunya.Sampai di ruang tengah
Bab 12:Daaa..! Dengan pikiran yang kalut dan hati yang dirundung kesedihan itulah, Aje berbaring sembari terus memeluk Tiara. Putrinya itu juga tertidur demikian pulasnya di atas tubuh sang ayah yang tetap tak berbaju.Sejak terakhir kali Aje memberi Tiara minum dengan susu formula, tidak pernah sekali pun dia merengek atau mengerang. Mungkin ia sedang melunasi utang tidurnya yang sejak dua hari lalu tersita oleh sakit dan demamnya itu.Aje tersentak pukul satu dini hari ketika merasakan ada sesuatu yang hangat mengalir dan membasahi perutnya. Ia pun tersadar, Tiara ngompol.Sebentar Aje memeriksa suhu tubuhnya. Ia menyentuh leher dan ketiak Tiara dengan punggung tapak tangannya.“Syukurlah, demam Tiara sudah turun sekarang.”Aje pun bangkit sambil tetap membawa Tiara dalam pelukannya. Sampai di pojok ruang tengah, ia mengambil pampers dari lemari kecil dan memakaikannya pada
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma